IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Angin Meridional. Analisis Spektrum

Gambar 4 Diagram alir penelitian

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

Musim Hujan. Musim Kemarau

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

ANALISIS PENJALARAN GELOMBANG KELVIN DI ATAS KOTOTABANG BERBASIS DATA EAR (EQUATORIAL ATMOSPHERE RADAR) WIDYA NINGRUM

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

I. INFORMASI METEOROLOGI

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

I. INFORMASI METEOROLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PEMANFATAAN DATA EQUATORIAL ATMOSPHERE RADAR (EAR) DALAM MENGKAJI TERJADINYA MONSUN DI KAWASAN BARAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEJADIAN POHON TUMBANG DI PANGKALAN BUN TANGGAL 5 APRIL 2017

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PERAN REVERSAL WIND DALAM MENENTUKAN PERILAKU CURAH HUJAN DI KAWASAN BARAT INDONESIA

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

STASIUN METEOROLOGI NABIRE

ANALISIS VARIASI CURAH HUJAN HARIAN UNTUK MENENTUKAN RAGAM OSILASI ATMOSFER DI KOTA PADANG (Studi Kasus Data Curah Hujan Harian Tahun )

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

2. Awal Musim kemarau Bilamana jumlah curah hujan selama satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter serta diikuti oleh dasarian berikutnya.

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI DUSUN SORIUTU KECAMATAN MANGGALEWA KABUPATEN DOMPU ( TANGGAL 14 NOVEMBER 2016 )

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS EKSTRIM DI KECAMATAN ASAKOTA ( TANGGAL 4 dan 5 DESEMBER 2016 )

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima

STASIUN METEOROLOGI GAMAR MALAMO GALELA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

IDENTIFIKASI GELOMBANG KELVIN ATMOSFER EKUATORIAL DI INDONESIA BERBASIS DATA NCEP/NCAR REANALYSIS I. Sandro Wellyanto Lubis dan Sonni Setiawan

ANALISIS STRUKTUR VERTIKAL MJO TERKAIT DENGAN AKTIVITAS SUPER CLOUD CLUSTERS (SCCs) DI KAWASAN BARAT INDONESIA

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017)

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juni 2017

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Transkripsi:

7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang Kajian penelitian ini adalah Kototabang, Bukittinggi (100,32 0 BT, 0,20 0 LS, 865m), Sumatera Barat (Gambar 10). Karena letaknya di dekat ekuator Bukit Kototabang merupakan daerah penyimpan bahang (panas), baik panas sensible maupun panas laten terbesar bagi pembentukan awan. Fungsi spektral silang yang digunakan dalam penelitian adalah amplitudo, koherensi dan fasa. Gambar 9 Monsun musim dingin dan musim panas Asia Tenggara (Pidwirny 2006) Gambar 8 Diagram Alir Penelitian Secara umum Kototabang merupakan daerah yang dipengaruhi efek lokal maupun global. El Nino, La Nina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan fenomena global yang dapat mempengaruhi iklim dan cuaca Kototabang. Di samping itu ada juga pengaruh fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-Australia (Gambar 9), Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia. Sementara itu efek lokal yang berpengaruh di Kototabang terutama disebabkan kondisi topografinya berupa bukit serta letaknya di pantai barat pulau Sumatera dan berbatasan dengan bukit Barisan (Gambar 10). Topografi berupa perbukitan menambah efek topografi di Kototabang. Adapun letaknya pantai sebelah barat pulau akan menyebabkan daerah ini cenderung memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.

8 Gambar 10 Peta satelit Bukit Kototabang, inset peta regional daerah Sumatera. 4.2 Analisis Jangka Panjang Gambar 11 Time Height Section angin zonal dan meridional per jam di atas Kototabang periode 1 Desember 2007-31 Desember 2008. Gelombang Kelvin dicirikan oleh gangguan pada kecepatan angin zonal dan vertikal, dengan tidak adanya gangguan pada komponen angin meridional (Holton 1996, Mota et al. 2008). Gambar 11a dan 11b mewakili Time Height Section angin zonal dan meridional di daerah Kototabang selama satu tahun (1 Desember 2007-31 Desember

9 2008). Nilai negatif menandakan angin timuran (easterly) atau angin ke arah selatan (northly). Berdasarkan Time Height Section angin zonal (Gambar 11a) dapat terlihat adanya penjalaran atau propagasi ke bawah dalam komponen angin zonal pada ketinggian 15 18 km. Perambatan angin zonal ini menguat pada ketinggian 17.41 km. Analisa Spektrum pada angin zonal dari ketinggian 15 hingga 18 km (Gambar 13a) menunjukan adanya puncak spektrum yang signifikan di periode 18 harian, sedangkan pada komponen angin meridonal tidak diperoleh puncak yang signifikan pada periode 18 harian dalam rentang ketinggian yang sama (Gambar 13b). Sementara itu, di selang ketinggian yang sama, komponen angin meridional tidak menunjukkan adanya perambatan yang serupa dengan komponen zonal (Gambar 11b). Hal tersebut mengindikasikan adanya gelombang Kelvin pada ketinggian dalam selang ketinggian 15 18 km dengan kondisi aliran-dasar adalah timuran di Kototabang. ~ 60 harian ~ 18 harian Tidak ada osilasi dalam arah meridional Gambar 13 Power Spektral density angin zonal dan meridional pada ketinggian 15.05-18.00 km di Kototabang periode 1 Desember 2007-31 Desember 2008. Gambar 12 Struktur vertikal gelombang Kelvin. Selain periode 18 harian dalam angin zonal, analisis spektral pada komponen zonal menunjukkan adanya osilasi gelombang dominan sekitar 60 harian di ketinggian 16.82 km (Gambar 13a). Sebaliknya, analisis spektral pada angin meridional tidak menunjukkan osilasi yang dominan (Gambar 13b). Osilasi 60 harian tersebut mengindikasikan adanya fenomena MJO (Madden Julian Oscillation). Berdasarkan analisis wavelet pada ketinggian 17.41 km pun diperoleh adanya osilasi dominan sekitar 18 harian, akan tetapi seperti terlihat pada Gambar 14, osilasi dengan periode ini hanya menguat dalam selang bulan tertentu saja terutama pada bulan Agustus. Selain itu terdapat juga puncak osilasi angin zonal dengan periode 15 harian pada awal Februari. Gelombang Kelvin dominan di sekitar lapisan tropopause topis (Tropical Tropopause Layer/TTL) (Madden & Julian 1972; Parker 1973, diacu dalam Fujiwara 2006). Ketinggian lapisan tropopause dapat diestimasi dari vertical echo peak sebuah

10 Radar. Kenaikan vertical echo power dari Radar biasanya terjadi di ketinggian tropopause (Gage & Green 1978; Rottger & Liu 1978 dalam Heo et al. 2003). Time Height Section vertikal echo intensity di Kototabang, seperti terlihat pada Gambar 15 menunjukkan bahwa tropopause layer terletak pada ketinggian ~17 km. 4.3 Analisis Jangka Pendek ~ 18 harian Gambar 14. Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada ketinggian 17.41 di Kototabang periode 1 Desember 2007-31 Desember 2008. Gambar 15 Time Height Section Vertikal Echo Intensity di Kototabang Periode 1 Desember 2007 31 Desember 2008. Gambar 16 Time Height section angin zonal periode Desember 2007 Februari 2008 dan Juni Juli 2008 per jam di atas Kototabang Analisis jangka pendek dilakukan untuk melihat variasi gelombang Kelvin saat musim basah dan musim kering. Musim basah diwakili oleh bulan Desember 2007 Februari 2008 sedangkan musim kering diwakili oleh bulan Juni Agustus 2008. Berdasarkan Time Height Section angin zonal, terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara musim basah dan musim kering (Gambar 16). Intensitas gelombang Kelvin terlihat lebih kuat pada saat musim basah (Gambar 16a dan 17a) dibandingkan pada saat musim kering (Gambar 16b dan 17b). Hal ini karena pada saat musim basah, aktifitas awan konvektif Cumulonimbus (Cb) yang cukup tinggi dapat memicu peningkatan intensitas gelombang Kelvin.

11 Gambar 17 Struktur vertikal gelombang Kelvin saat bulan basah dan bulan kering. ~ 46 harian ~ 15 harian ~ 18 harian (c) (d) Tidak ada osilasi dalam arah meridional Tidak ada osilasi dalam arah meridional Gambar 18 Power Spectral Density angin zonal di bulan basah, angin zonal di bulan kering, angin meridional di bulan basah (c), dan angin meridional di bulan kering di Kototabang

12 Analisis spektrum pada komponen angin zonal di kedua musin menunjukan bahwa periodisitas gelombang Kelvin pada musim basah (15 hari) lebih pendek daripada periodisitasnya pada musim kering (18 hari). Akan tetapi, nilai spektrumnya lebih besar saat musim basah daripada saat musim kering (Gambar 18). Besarnya nilai spektrum pada musim basah ini menunjukan bahwa energi kinetik gelombang Kelvin lebih besar saat musim basah daripada saat musim kering. Aktifitas gelombang Kelvin terkuat pada musim basah terjadi di ketinggian 16.97 km, seperti ditunjukkan pada Gambar 18a. Sedangkan pada musim kering, aktifitas gelombang Kelvin terkuat terjadi di ketinggian 16.52 km (Gambar 18b). Sehingga dapat dikatakan bahwa posisi aktifitas gelombang Kelvin pada musim basah lebih tinggi. Selain itu, analisa spektrum fourier menunjukan pula adanya osilasi angin zonal dengan periode 46 harian pada musim basah di ketinggian 15.64 km yang merupakan fenomena MJO (Gambar 18a) Akan tetapi, seperti ditunjukkan pada Gambar 18b, fenomena MJO ini tidak tampak pada musim kering. Berdasarkan hasil spektrum komponen angin zonal pada masing-masing musim, tampak bahwa ada kaitan antara aktifitas intensitas gelombang Kelvin dengan penguatan fenomena MJO. Analisis FFT tersebut diperkuat dengan analisis wavelet. Power spektral berdasarkan metode wavelet juga menunjukkan peridiositas sekitar 15 harian di ketinggian 16.97 km saat musim basah (Gambar 19a) dan 18 harian di ketinggian 16.52 km saat musim kering (Gambar 19b). Puncak kecepatan angin zonal pada musim basah terjadi sekitar awal dan tengah Januari. Pada musim kering, puncak kecepatan angin terjadi sekitar tanggal 6 Agustus Seperti telah disebutkan sebelumnya, gelombang Kelvin berpropagasi di sekitar tropopause. Berdasarkan Time Height Section vertical echo intensity menunjukkan perbedaan ketinggian Kototabang Tropical Tropopause Layer (KTTL) saat musim basah dan musim kering. KTTL mencapai ketinggian di atas 16 km saat musim basah (Gambar 20a). Namun, ketinggian KTTL mengalami penurunan saat musim kering (Gambar 20.b). Hal ini konsisten dengan hasil power spektral density (Gambar 18) dimana gelombang Kelvin terdapat di lapisan yang lebih tinggi saat bulan basah. Variasi ketinggian tropopause ini dipengaruhi oleh konveksi yang kuat. Gambar 19 Wavelet Kecepatan Angin Zonal di ketinggian 16.97 pada bulan basah dan di ketinggian 16.52 km pada bulan kering di Kototabang.

13 Gambar 20 Time Height Section Vertikal Echo Intensity di Kototabang saat musim basah dan musim kering. Ketinggian tropopause sensitif terhadap perubahan suhu di troposfer dan stratosfer. Struktur vertikal suhu di atmosfer berkaitan erat dengan massa udara dan radiasi. BBU mengalami musim dingin saat bulan basah (DJF) sehingga terdapat pusat tekanan tinggi di Asia. Sebaliknya, BBS mengalami musim panas sehingga di Australia tekanannya lebih rendah. Perbedaan tekanan ini mendorong udara bergerak dari Asia ke Australia (Gambar 21). Angin yang bertiup melewati laut membawa massa udara lembab. Densitas udara cenderung lebih rapat saat musim basah karena udara lebih banyak mengandung uap air (kelembaban udara tinggi) sehingga banyak menyerap radiasi langsung matahari. Udara lembab ini lebih kuat menyerap panas daripada udara kering karena lebih banyak mengandung molekul air yang bersifat sebagai penyerap dan penghantar panas. Proses pengangkatan udara pada bulan basah secara maksimal memungkinkan terbentuknya awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang tinggi. Sebaliknya, saat bulan kering angin bertiup dari Australia ke Asia. Massa udara yang dibawa angin ini cenderung kering karena udara bergerak di atas laut dengan jarak lebih pendek. Akibatnya, kemungkinan terbentuknya awan SCCs pun menjadi kecil. Gambar 21 Perubahan arah angin saat musim basah (Januari) dan musim kering (Juli) (Kyung 2005)

14 4.4 Analisis Statistika Analisis statistika dilakukan untuk membuktikan hubungan antara angin zonal dengan fluktuasi ketinggian tropopause. Estimasi hubungan angin zonal dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer (KTTL) dilakukan pada musim basah dan musim kering. Analisis ini dilakukan dengan metode cross correlation (korelasi silang) dan cross spectrum (spektrum silang). Pada musim basah korelasi silang dilakukan terhadap data angin zonal di ketinggian 16.97 km dan ketinggian KTTL dengan jumlah data (n) sebanyak 91. Nilai kepercayaan kedua variabel tersebut terletak antara -0.210 sampai dengan 0.210. Berdasarkan Gambar 22, secara umum terlihat adanya relasi linier antara angin zonal dengan ketinggian tropopause di Kototabang dengan nilai korelasi yang negatif (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas kecepatan angin zonal maka ketinggian lapisan tropopause akan berkurang Gambar 22 Korelasi silang antara angin zonal pada musim basah dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer. Tabel 3 Nilai korelasi silang angin zonal dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer pada musim basah Lag Cross Correlation Std. Errora -8-0.18004 0.109764-7 -0.23416 0.109109-6 -0.21586 0.108465-5 -0.29613 0.107833-4 -0.34289 0.107211-3 -0.33526 0.1066-2 -0.3554 0.106-1 -0.36294 0.105409 0-0.3831 0.104828 1-0.32957 0.105409 2-0.24548 0.106 3-0.26698 0.1066 4-0.24887 0.107211 5-0.0997 0.107833 6-0.06876 0.108465 7-0.05903 0.109109 8-0.10866 0.109764 Gambar 23 Cross spectrum angin zonal (H = 16.97 km) dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer (KTTL) periode Desember 2007 Februari 2008 di Kototabang meliputi koherensi, cross amplitudo, dan fase spektrum (c).

15 Analisis spektral silang (cross spectrum) merupakan metode yang alami digunakan untuk melihat hubungan antara dua deret waktu yang sama dalam domain frekuensi (Chatfield 1989). Spektrum koherensi pada musim basah menunjukkan adanya kaitan antara angin zonal dengan KTTL di periode 15 hari. Selain itu spekrum fasa yang bernilai positif pada periode ini (Gambar 23c dan Lampiran 23) menunjukan bahwa gelombang Kelvin dapat mempengaruhi fluktuasi ketinggian KTTL. Rendahnya nilai koherensi menunjukan bahwa angin zonal bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi ketinggian KTTL di Kototabang. Tabel 4 Nilai korelasi silang angin zonal dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer pada musim kering Lag Cross Correlation Std. Errora -8 0.130184 0.109109-7 0.070192 0.108465-6 0.040934 0.107833-5 -0.083 0.107211-4 -0.19096 0.1066-3 -0.2742 0.106-2 -0.30749 0.105409-1 -0.34106 0.104828 0-0.42742 0.104257 1-0.4216 0.104828 2-0.4247 0.105409 3-0.42503 0.106 4-0.34974 0.1066 5-0.27817 0.107211 6-0.24011 0.107833 7-0.11203 0.108465 8 0.059194 0.109109 Gambar 24 Korelasi silang antara angin zonal pada musim kering dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer. Sementara itu, analisis pada musim kering dilakukan terhadap data angin zonal di ketinggian 16.52 km dengan ketinggian KTTL. Korelasi silang dilakukan terhadap 92 data sehingga selang kepercayaannya adalah sebesar 2/n 0.5 yaitu sebesar -0.209 sampai dengan 0.209. Nilai korelasi melebihi batas selang kepercayaan pada lag -3 sampai dengan lag 6 (Gambar 24) pada musim kering. Korelasi tertinggi sebesar -0.427 berada pada lag time 0 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara dinamika angin zonal di ketinggian 16.52 km dengan ketinggian KTTL Berkaitan dengan dinamika gelombang Kelvin, maka dilakukan analisis spektrum diterapkan pada komponen angin zonal dengan ketinggian KTTL. Berdasarkan analisis ini, diperoleh koherensi yang tinggi sebesar 0.871 pada periode 18 harian. (Gambar 25a dan Lampiran 24). Hal ini menunjukan bahwa dinamika gelombang Kelvin mempunyai relasi yang signifikan terhadap ketinggian KTTL di Kototabang saat musim kering. Di samping itu, pada musim kering, gelombang Kelvin cenderung menurunkan ketinggian KTTL. Hal ini ditunjukkan oleh nilai spektrum fase yang negatif antara angin zonal di ketinggian 16.52 km dengan ketinggian TTL pada musim kering (Juni Agustus 2008) (Gambar 25c dan Lampiran 24).

16 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan data EAR dengan periode 1 Desember 2007 31 Desember 2008 dideteksi adanya gelombang Kelvin dengan propagasi secara zonal ke arah timur dan secara vertikal. Analisis spektrum daya selama periode 1 Desember 2007 31 Desember 2008 menunjukkan gelombang Kelvin memiliki periode 18 harian di ketinggian 17.41 km. Gelombang Kelvin tersebut ditemukan di dekat lapisan tropopause (sekitar 17 km). Analisis spektrum daya saat musim basah dan kering menunjukkan energi gelombang Kelvin saat musim basah lebih kuat dibandingkan saat musim kering. Pada musim basah gelombang Kelvin dominan di ketinggian 16.97 km dengan periode 15 harian. Sedangkan pada musim kering gelombang Kelvin lebih dominan di ketinggian 16.52 km dengan periode 18 harian. Hasil analisis statistika pada musim basah dan kering menunjukkan adanya korelasi antara dinamika angin zonal dengan fluktuasi ketinggian tropopause baik secara spontan maupun secara tidak spontan. Lebih lanjut, analisis spektrum-silang menunjukan bahwa aktifitas dinamika angin zonal mempengaruhi fluktuasi ketinggian tropopause dimana gelombang Kelvin cenderung menaikkan ketinggian KTTL pada musim basah sedangkan pada musim kering gelombang kelvin akan menurunkan ketinggian KTTL. Gambar 25 Koherensi angin zonal (H = 16.97 km) dengan Kototabang Tropical Tropopause Layer (KTTL) periode Desember 2007 Februari 2008 di Kototabang meliputi koherensi, cross amplitudo, dan fase spektrum (c). 5.2 Saran Masih perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan periode data yang lebih panjang untuk melihat pengaruh gelombang Kelvin terhadap intraseasonal variability, terutama fenomena MJO.