PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN

dokumen-dokumen yang mirip
Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Abstrak

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Ternak Babi

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas


I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

5 KINERJA REPRODUKSI

PENAMBAHAN DAUN KATUK

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB I. PENDAHULUAN A.

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan dari Induk yang Disuperovulasi Sebelum Pengawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

Anatomi/organ reproduksi wanita

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : ISSN :

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

II. TINJAUAN PUSTAKA

PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK SELAMA KEBUNTINGAN DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Sebelum Pengawinan. Abstrak

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

Pengaruh Superovulasi terhadap Produksi Anak Babi

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

SUBSITUSI DEDAK DENGAN POD KAKAO YANG DIFERMENTASI DENGAN Aspergillus niger TERHADAP PERFORMANS BROILER UMUR 6 MINGGU

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

PENAMPILAN TERNAK BABI LOKAL PERIODE GROWER DENGAN PENAMBAHAN BIOTETES SOZO FM -4 DALAM RANSUM

KAJIAN EPIGENETIK GEN GROWTH HORMONE (GH) MELALUI PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA TERNAK BABI UNTUK OPTIMASI PRODUKSI NONNY MANAMPIRING

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

SKRIPSI BUHARI MUSLIM

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS

Transkripsi:

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Performans Bakalan yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2012 Mien Theodora R.Lapian NIM: D161080051

iv

ABSTRACT MIEN THEODORA R. LAPIAN. Performance of Growing Pig Born of Superovulated Gilts with PMSG and hcg Prior to Mating. Under direction of POLLUNG H. SIAGIAN, WASMEN MANALU and RUDY PRIYANTO This research was conducted to study the effect of superovulation prior to mating on gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two groups namely 1) gilts without superovulation (control group) and 2) gilts with superovulation (superovulated group). Once the gilts showed a standing heat symptoms, the boar was introduced into the pig pen to mate the gilts. During the study, the pregnant gilts were kept together in postal pens and two weeks before farrowing each pregnant gilt was then placed in 2.5 x 3.5 m2 individual cages equipped with feeding and drinking devices. A Completely Randomized Design (CRD) was used in the first phase of study, consisting of two treatments with 30 replicates of each. Data were analysed based on the mathematical model procedures, Yij = μ + αi + εij. All data were then analysed using variance. The results showed that the superovulation treatments significantly (P <0.01) shortened gestation period (GP) in superovulated gilts), increased the body dimension (BD), increased the front leg high of birth (FLHB, increased the rear leg high of birth (RLHB), increased pig weight at birth (PWAB), and increased the birth weight per, increased the daily sows feed consumption (DSFC), increased the sows milk production per suckling (SMPPS), increased the daily milk production (DMP), increased the milk production per lactation (MPPL), increased the piglet gain weight (PGW), reduced the mortality, increased the weaning weight per litter (WWPL), and increased litter size at weaning (LSW). But the superovulation treatment was just significantly (P <0.05) improved sow body weight (SBW), increased the litter size born alive (LSBA), increased the the birth weight per litter, increased pig weigth at birth (PWAB), whereas the superovulation did not significantly affect (P>0.05) the litter size dead born (LSDB) and the litter size at birth ( LSAB). It is concluded that the superovulation treatment in the gilts before mating can improve sows reproductive performances through endogenous secretions of hormones of pregnancy, which is followed by the improvement of pigs weigth at birth, litter size at weaning, mortality, consumption of rations, and the sow milk production. Keywords: Superovulation, reproduction, piglet, feed efficiency, carcass quality

vi

RINGKASAN MIEN THEODORA R.LAPIAN. Performans Bakalan yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Divulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Dibimbing oleh POLLUNG H. SIAGIAN, WASMEN MANALU, dan RUDY PRIYANTO Produksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Bobot anak pada saat lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan anak babi ditentukan oleh produksi air susu induk. Peningkatan produksi air susu induk sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu yang sangat dipengaruhi oleh peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan. Melalui peningkatan produksi air susu induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan, dan bobot sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong. Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara mulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado ke lokasi penelitian adalah ± 25 km. Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahap, tahap satu menggunakan 60 ekor babi dara dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu 1) babi dara tanpa ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda. Setelah babi dara menampakkan gejala berahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk mengawininya. Selama penelitian, babi yang telah bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 x 3,5 m 2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan, dan analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut: Y ij = µ + αi + ε ij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam. Penelitian tahap II dan III menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 x 3 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah ovulasi ganda dengan hormon PMSG+ hcg yang terdiri atas dua taraf, nol (kontrol) dan disuntik dengan PMSG+HCG. Faktor kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas tiga level, yaitu litter size rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (kisaran sebesar 12-14 ekor). Masingmasing ulangan menggunakan dua ekor induk dan dari tiap induk tersebut dipilih satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina sebagai sampel. Data dianalisis mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut : Y ij = µ + αi +βj + (αβ) ij + ε ijk. Semua data diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila pengaruh perlakuan nyata atau sangat nyata, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan. Perlakuan ditempatkan pada setiap

viii kandang untuk dilakukan pengamatan. Ternak babi ditempatkan dalam kandang percobaan masing-masing satu ekor babi tiap satu unit kandang. Ransum yang digunakan dalam penelitian (mulai disapih sampai dipotong) terdiri atas tiga macam ransum, yaitu pada waktu anak babi dipindahkan ke kandang selama lima minggu (umur 7-12 minggu) diberikan makanan berbentuk butiran. Kemudian, pada umur 13-18 minggu, butiran dicampur dengan jagung, sesudah itu diberikan konsentrat dengan jagung sampai mencapai bobot potong. Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) memperpendek lama bunting (LB) (115.00 ± 2.26 hari pada kontrol dan 110.52 ± 2.23 hari pada kelompok ovulasi ganda), meningkatkan dimensi tubuh yang meliputi panjang badan saat lahir (PBAL) (21.12 ± 1.31 cm pada kontrol dan 22.81 ± 0.97 cm pada kelompok ovulasi ganda), tinggi tungkai muka (TTML) (13.35 ± 1.12 cm pada kontrol dan 14.53 ± 0.55 cm pada kelompok ovulasi ganda), dan tungkai belakang (TTBL) (15.35 ± 0.90 cm pada kontrol dan 16.39 ± 0.55 cm pada kelompok ovulasi ganda). Selain itu, ovulasi ganda secara nyata meningkatkan bobot badan lahir per ekor (BLPE) (1.34 ± 0.14 kg pada kontrol dan 1.46 ± 0.19 kg pada kelompok perlakuan), bobot lahir per litter (BLPL) (13.64 ± 2.31 kg pada kontrol dan 16.10 ± 4.19 kg pada kelompok ovulasi ganda), konsumsi ransum harian induk (KRHI) 4.87 ± 0.77 kg pada kontrol dan 5.48 ± 0.45 kg pada kelompok ovulasi ganda), produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui (0.32 ± 0.10 kg pada kontrol dan 0.39 ± 0.05 kg pada kelompok ovulasi ganda), PASI babi per hari (6.23 ± 1.89 kg pada kontrol dan 7.74 ± 1.00 kg pada kelompok ovulasi ganda), PASI babi per laktasi (305.54 ± 92.40 kg pada kontrol dan 379.44 ± 11.08 kg pada kelompok ovulasi ganda), pertambahan bobot badan anak (PBBA) (9.35 ± 0.15 kg pada kontrol dan 10.81 ± 1.69 kg pada kelompok ovulasi ganda), menurunkan mortalitas (26.64 ± 18.60% pada kontrol dan 14.92 ± 10.18% pada kelompok ovulasi ganda), meningkatkan bobot sapih per litter (BSPL) (79.63 ± 20.78 kg pada kontrol dan 107.02 ± 21.85 kg pada kelompok ovulasi ganda), litter size sapih (LSS) (7.48 ± 1.97 ekor pada kontrol dan 9.29 ± 1.98 ekor pada kelompok ovulasi ganda). Akan tetapi ovulasi ganda secara nyata (P<0.05) meningkatkan bobot badan induk (BBI) (171.38 ± 9.15 kg pada kontrol dan 179.86 ± 11.49 kg pada kelompok ovulasi ganda), litter size lahir hidup (LSLH) (8.95 ± 2.03 ekor pada kontrol dan 10.43 ± 2.54 ekor pada kelompok ovulasi ganda), BLPL (13.64 ± 2.31 kg pada kontrol dan 16.10 ± 4.19 kg pada kelompok ovulasi ganda), bobot badan lahir per ekor (BLPE) (1.34 ± 0.14 kg pada kontrol dan 1.46 ± 0.19 kg pada kelompok ovulasi ganda). Sebaliknya, ovulasi ganda tidak mempengaruhi litter size lahir mati (LSLM) (1.33 ± 1.02 ekor pada kontrol dan 0.81 ± 1.57 ekor pada kelompok ovulasi ganda) dan litter size lahir total (LSLT) (10.29 ± 2.19 ekor pada kontrol dan 11.24 ± 3.33 ekor pada kelompok ovulasi ganda). Hasil analisis ragam pada penelitian tahap II menunjukkan bahwa ovulasi ganda dan litter size tidak mempengaruhi komsumsi ransum harian (KHR). Superovulasi secara nyata (P<0.05) meningkatkan pertambahan bobot badan, sedangkan litter size lahir dan interaksi keduanya tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Ovulasi ganda nyata (P<0.05) memperbaiki efisiensi penggunaan ransum (EPR), sedangkan litter size, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.

Hasil penelitian tahap III menunjukkan bahwa anak babi yang lahir dari induk babi ovulasi ganda mencapai bobot potong pada umur 185 hari dibandingkan dengan 200 hari pada anak babi tanpa ovulasi ganda. Anak babi yang lahir dari induk babi ovulasi ganda memiliki bobot karkas (70.25 ± 2.70 kg) dan persentase karkas (74.73 ± 3.09%) dibandingkan dengan anak babi kontrol (64.18 ± 3.58 kg bobot karkas dan 68.28 ± 3.90% persentase karkas). Panjang karkas dan tebal lemak punggung tidak dipengaruhi oleh ovulasi ganda. Anak babi yang lahir dari induk babi ovulasi ganda memiliki panjang karkas 74.56 ± 4.72 cm dan tebal lemak punggung 3.07 ± 0.35 cm, sementara anak babi kontrol panjang karkasnya 74.00 ± 2.81 cm dan tebal lemak punggungnya 3.20 ± 0,35 cm. Anak babi yang lahir dari induk babi ovulasi ganda mempunyai loin eye area (44.81 ± 3.55 cm²) dibandingkan dengan kontrol (39.97 ± 4.29 cm²). Disimpulkan bahwa ovulasi ganda dari induk babi dara sebelum kawin menghasilkan anak babi yang tumbuh lebih cepat dengan kualitas karkas yang lebih baik. Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda pada babi dara sebelum pengawinan dapat memperbaiki bobot lahir, litter size sapih, dimensi tubuh, produksi air susu induk babi, mortalitas, serta konsumsi ransum. Performans produksi anak babi dari induk melalui ovulasi ganda pada babi dara sebelum pengawinan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum, pada tingkat konsumsi ransum yang sama. Ovulasi ganda sebelum pengawinan akan mempertahankan kualitas karkas babi potong yang baik dengan waktu pencapaian bobot potong yang lebih singkat, peningkatan bobot karkas, persentase karkas, dan loin eye, area serta mempertahankan panjang karkas dan tebal lemak punggung Disimpulkan bahwa performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda pada babi dara sebelum pengawinan dapat memperbaiki bobot lahir, litter size sapih, dimensi tubuh, produksi air susu induk, mortalitas, dan konsumsi ransum. Performans produksi anak dari induk dengan ovulasi ganda sebelum pengawinan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum pada tingkat konsumsi ransum yang sama. Ovulasi ganda pada babi dara sebelum pengawinan akan mempertahankan kualitas karkas babi potong yang baik dengan pencapaian waktu bobot potong yang lebih singkat, peningkatan bobot karkas, persentase karkas, dan loin eye, area serta mempertahankan panjang karkas dan tebal lemak punggung. ix

x

Hak Cipta milik IPB. Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun, tanpa izin IPB.

xii

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

xiv PENGUJI LUAR KOMISI PEMBIMBING Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Doktor (10 Agustus 2012) 1. Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS (Fakultas Peternakan IPB, Departemen PTP) 2. Dr. drh. Ligaya I. T. A. Tumbelaka, M.Sc (Fakultas Kedokteran Hewan-IPB) Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka Doktor (1 Oktober 2012) 1. Dr. Ir. Pius Ketaren (Balai Penelitian Peternakan, Bogor) 2. Prof. Dr. Ir. Muladno, M.SA (Fakultas Peternakan IPB, Departemen IPTP)

HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi : Performans Bakalan yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Nama : Mien Theodora Rossesthellinda Lapian NIM : D 161080051 Program Studi/Mayor : Ilmu Teknologi Peternakan Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Pollung H. Siagian, MS. Ketua Prof.Dr.Ir.Wasmen Manalu Anggota Dr.Ir.Rudy Priyanto Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr.Ir.Muladno, M.SA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 1 Oktober 2012 Tanggal Lulus:

xvi

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena anugerah dan kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Performans Bakalan yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan penghargaan terima kasih dan pada : 1. Komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto yang telah memberi arahan, bimbingan, saran, dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini. 2. Bapak Dr.Ir. Dahrul Syah MSc.Agr, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknonogi Peternakan Prof. Dr.Ir.Muladno,M.SA, mantan Ketua Program Studi Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA, serta para dosen beserta staf administrasi di lingkungan Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan Sekolah Pascasarjana IPB yang selalu memberikan perhatian semangat, bantuan, dan semua masukan guna penyusunan disertasi ini. 3. Pimpinan dan pegawai Peternakan Babi PT. Wailan yang telah memberikan tempat maupun ternak untuk melakukan penelitian lapangan juga bantuan pikiran dan tenaga yang diberikan selama melakukan penelitian di kandang. 4. Teman-teman asrama Bogor Baru 2, Bogor Baru 1, Sempur Kaler, mahasiswa Pascasarjana angkatan 2008, dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas bantuan dan kerja sama selama studi bahkan pada tahap-tahap penulisan disertasi ini. 5. Ucapan terima kasih disampaikan kepada; kedua orang tua (papi dan mami), Bapak Junius Christian Lapian, Ibu Elsye Bertha Rumambi dan mertuaku papi Dantje M. Rumengan serta adik-adikku Joyce, Boy, Stephen, Arthur dan Agnes,

xviii juga kakak iparku Boy, Jhon yang selalu mendorong dan mendoakan saya sehingga tulisan ini bisa diselesaikan dengan baik. 6. Ucapan terima kasih disampaikan kepada suamiku tercinta Ferry F. Rumengan dan anak-anakku Cindy Chynthia Rumengan dan Michael Raynold Rumengan, atas kesabaran, dorongan, doa, perhatian, dan curahan kasih sayang selama ini. Disertasi ini mungkin ada kekurangan, untuk itu penulis menyampaikan permohonan maaf.. Karya ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi berbagai pihak dalam rangka pengembangan teknologi ternak babi. Bogor, Oktober 2012 Mien Theodora R. Lapian

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1960 di Tangkuney, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Junius Christian Lapian dan Elsye Bertha Rumambi, dan telah dikaruniai dua orang anak; putri Cindy Cynthia Rumengan dan putra Michael Raynold Rumengan dari hasil pernikahan dengan suami tercinta Ferry Frederik Rumengan. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1972 di SDN XV Manado, pendidikan lanjutan tingkat pertama pada tahun 1974 di SMP Kristen Tabita Manado, lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Manado tahun 1979, dan pada tahun 1979 masuk perguruan tinggi Universitas Samratulangi Manado dan selesai tahun 1985. Pada tahun 1991, penulis diterima sebagai mahasiswa magister sains pada Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan IPB Bogor. Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan, di Fakultas Peternakan IPB. Penulis merupakan dosen Fakultas Peternakan Universitas Samratulangi Manado. Selama menempuh Program Doktor Penulis dibiayai oleh BPPS tahun 2008-2011 Sekolah Pascasarjana IPB, di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fapet IPB.

xx

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xxi xxiii xxv xxvii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian. 4 Hipotesis Penelitian.. 4 Ruang Lingkup Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ternak Babi.. 9 Siklus Berahi Ternak Babi.... 9 Fisiologi Reproduksi..... 12 Laktasi... 17 Ovulasi ganda....... 19 Hormon Ovulasi Ganda: PMSG dan hcg.. 20 Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Reproduksi Ternak Babi... 24 Produksi Ternak Babi... 29 Kualitas Karkas Babi....... 31 Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Abstrak.. 37 Abstract... 38 Pendahuluan.. 39 Bahan dan Metode... 41 Hasil dan Pembahasan.. 45 Simpulan... 71 Daftar Pustaka... 72 Performans Anak Babi Sapihan Sampai Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Abstrak.. 77 Abstract... 78 Pendahuluan.. 79 Bahan dan Metode... 80 Hasil dan Pembahasan.. 83

xxii Simpulan... 89 Daftar Pustaka... 90 Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda sebelum Pengawinan Abstrak.. 91 Abstract. 91 Pendahuluan.. 93 Bahan dan Metode... 95 Hasil dan Pembahasan.. 99 Simpulan... 107 Daftar Pustaka... 108 Keadaan Umum Manajemen Pemeliharaan Ternak Babi di PT Wailan... 111 Manajemen Pakan... 113 Ransum yang Digunakan dalam Penelitian... 113 Manajemen Penelitian. 115 PEMBAHASAN UMUM. 117 SIMPULAN DAN SARAN.. 125 DAFTAR PUSTAKA... DAFTAR LAMPIRAN 127 139

DAFTAR TABEL Halaman 1 Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya.. 32 2 Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum untuk Induk Babi dan Pejantan, Induk Bunting, dan Laktasi (%)... 41 3 u Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol (TSO) dan yang Diovulasi Ganda (SO).... 46 4 Komposisi Bahan dan Kandungan Zat Makanan dalam Ransum untuk Anak Babi Umur 7-12 Minggu, Ransum Umur 13-18 Minggu dan Babi Penggemukan (>18 Minggu).. 82 5 Konsumsi Ransum Harian, Pertambahan Bobot Badan, dan Efisiensi Penggunaan Ransum pada Anak Babi yang Dilahirkan oleh Induk Tanpa dan Dengan Ovulasi Ganda sebelum Pengawinan dengan Litter Size Rendah, Sedang, dan Tinggi. 83 6 Umur Potong, Bobot Potong, Bobot Karkas,Persentase Karkas,Tebal Lemak Punggung, dan Loin Eye Area Babi yang Dilahirkan oleh Induk Kontrol Tanpa Ovulasi Ganda dan yang Diovulasi Ganda Sebelum Pengawinan pada Litter Size Rendah, Sedang, dan Tinggi... 100

xxiv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram Alir.. 5 a Diagram Alir Penelitian Tahap I 5 b Diagram Alir Penelitian Tahap II..... 6 c Diagram Alir Penelitian Tahap III. 7 2 Siklus Berahi Pada Babi... 11 3 Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi 16 4 Struktur Ambing (Delaval 2008)... 18 5 Bagan Penelitian 36 6 Frekuensi Menyusui Induk Babi Tanpa Ovulasi Ganda dan dengan Ovulasi Ganda 58 7 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Per Menyusui 60 8 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Per Ekor Per Hari.. 62 9 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi sampai Prasapih.. 64 10 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Anak Babi dengan Produksi Air Susu Induk Babi.. 65 11 Pertumbuhan Babi mulai Disapih sampai Potong. 86 12 Lokasi Pengukuran Panjang Karkas. 97 13 Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Punggung 97 14 Lokasi Pengukuran Loin Eye Area. 98 15 Kandang Induk Kering dan Induk Bunting... 112 16 Kandang Induk Beranak... 112 17 Kandang Penelitian Tahap II (Grower hingga Finisher)... 113 18 Kandang Pemeliharaan Babi Fase Grower hingga Finisher. 113

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis Keragam Lama Bunting.. 141 2 Analisis Keragam Bobot Badan Induk Babi Bunting 142 3 Analisis Keragam Litter Size Hidup Lahir... 143 4 Analisis Keragam Litter Size Mati Lahir... 144 5 Analisis Keragam Litter Size Total Lahir.. 145 6 Analisis Keragam Panjang Badan Lahir 146 7 Analisis Keragam Tinggi Tungkai Muka Lahir... 147 8 Analisis Keragam Tinggi Tungkai Belakang Lahir... 148 9 Analisis Keragam Bobot Lahir per Litter. 149 10 Analisis Keragam Bobot Lahir per Ekor... 150 11 Analisis Keragam Konsumsi Ransum Harian Induk. 151 12 Analisis Keragam Frekuensi Induk Babi Menyusui.. 152 13 Analisis Keragam Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui... 153 14 Analisis Keragam Produksi Air Susu Induk Babi Induk per Hari. 154 15 Analisis Keragam Produksi Air Susu Induk Babi per Laktasi 155 16 Analisis Keragam Pertambahan Bobot Badan Anak Babi... 156 17 Analisis Keragam Mortalitas Anak Babi... 157 18 Analisis Keragam Litter Size Sapih... 158 19 Analisis Keragam Bobot Sapih per Litter... 159 20 Analisis Keragam Bobot Sapih per Ekor... 160 21 Analisis Keragam Konsumsi Ransum Harian... 161 22 Analisis Keragam Pertambahan Bobot Badan Harian 162 23 Analisis Keragam Efisiensi Penggunaan Ransum 163 24 Analisis Keragam Umur Potong... 164 25 Analisis Keragam Bobot Potong... 165 26 Analisis Keragam Bobot Karkas... 166

xxviii 27 Analisis Keragam Persentase Karkas... 167 28 Analisis Keragam Panjang Karkas 168 29 Analisis Keragam Tebal Lemak Punggung... 169 30 Analisis Keragam Loin Eye Area... 170

PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan kemampuan pembangunan sub sektor peternakan yang merupakan bagian dari pembangunan di bidang pertanian sangat diperlukan dalam upaya penyediaan makanan bergizi bagi masyarakat yang pada gilirannya akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semua ini dapat dicapai dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan konsumsi yang bernilai gizi seimbang dengan penyediaan pangan asal hewan (PAH) berupa ikan, daging, telur, dan susu yang aman dan sehat. Daging, susu, dan telur merupakan bahan-bahan makanan bernilai gizi tinggi yang tidak sedikit sumbangannya dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tubuh. Konsumsi masyarakat Indonesia akan protein hewani sudah berada di atas standar dari jumlah kebutuhan gizi yang telah ditetapkan pemerintah. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011 yang dilaksanakan pada bulan Maret 2011 dan dilaporkan oleh BPS (2011) menyebutkan bahwa konsumsi protein penduduk tahun 2009 sebesar 31.15 kg/kap/tahun dan pada tahun 2010 menurun menjadi 30.60 kg/kap/tahun, namun masih di atas anjuran konsumsi protein sebesar menjadi 20 kg/kap/tahun. Komposisi konsumsi protein pada tahun 2010 berasal dari 42,18 gram protein nabati dan 15,31 g protein hewani, sementara anjuran konsumsi protein nabati sebesar 37 g/kap/hari dan protein hewani 15 g/kap/hari. Ternak babi adalah salah satu jenis ternak yang dapat menyumbangkan sumber protein hewani. Keistimewaan dari ternak babi ialah relatif mudah dipelihara dan sebagai ternak yang tergolong prolifik (sangat cepat dalam meningkatkan populasi) serta merupakan ternak "Pemakan Segala" yang termasuk di dalamnya limbah pertanian, limbah industri, sampah, sisa-sisa restoran, dan lain sebagainya yang tidak mungkin lagi digunakan oleh jenis ternak lain. Ternak ini juga mempunyai kemampuan mengubah bahan-bahan makanan limbah tersebut menjadi daging. Ternak babi mempunyai potensi besar dalam penyediaan daging secara nasional, ditinjau dari jumlah populasi ternak babi di Indonesia sebesar 6.710.758

2 ekor dengan jumlah pemotongan 3.092.420 ekor dan produksi daging babi sebanyak 225.905 ton pada tahun 2007. Dilihat dari produksi daging berbagai ternak secara nasional sebesar 2.067.332 ton pada tahun 2007, maka ternak babi mempunyai sumbangan produksi daging sebesar 10.93%. Sulawesi Utara merupakan daerah yang memproduksi daging babi keempat terbanyak setelah Bali, Sumatera Utara, dan NTT. Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011), total pemotongan ternak babi di Sulawesi Utara adalah 12.15% dari total pemotongan ternak babi di Indonesia. Produksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Bobot anak pada saat lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan anak babi ditentukan oleh produksi air susu dari induk. Peningkatan produksi air susu induk sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan yang dirangsang oleh peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan. Melalui peningkatan produksi air susu dari induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan, dan bobot sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong. Penggalangan pertumbuhan mulai dari fetus sampai jumlah anak lahir hidup dan peningkatan bobot sapihan dilakukan melalui ovulasi ganda menggunakan PMSG dan hcg. Penggunaan kedua hormon ini berfungsi untuk merangsang sekresi endogen hormon kebuntingan dalam darah induk babi yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan uterus, embrio, fetus, plasenta, dan kelenjar ambing (Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1999; Adriani et al. 2005; Mege et al. 2007). Secara keseluruhan, PMSG dan hcg menentukan keberhasilan induk dalam proses reproduksi dan produksi yang dalam hal ini faktor kualitas bakalan ternak.

3 Pregnant Mare s Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic Gonadotrophin (hcg) atau dikenal sebagai hormon-hormon ovulasi ganda telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, yang berfungsi memperbaiki sistem reproduksi ternak dan diharapkan pula dapat memperbaiki produksi ternak melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi susu selama laktasi. Dengan demikian, penampilan reproduksi yang baik akan meningkatkan produktivitas ternak dan sebaliknya penampilan reproduksi yang buruk akan menurunkan produktivitas ternak. Penampilan produksi anak babi erat hubungannya dengan rendahnya produksi air susu induk selama laktasi. Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan, dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan serta jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir. Berbagai langkah dapat dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi ternak babi, antara lain dengan perlakuan hormonal secara eksogen sebelum pengawinan untuk menstimulasi ekspresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol yang selanjutnya menstimulasi perkembangan folikel dan meningkatkan ovulasi serta korpus luteum, mempertahankan kebuntingan melalui pemeliharaan lingkungan internal uterus dan plasenta, serta memperbaiki kesiapan kelenjar susu induk untuk dapat menyediakan makanan secara optimal bagi anak babi selama masa laktasi. Hasil penelitian ini diharapkan bahwa melalui teknik ovulasi ganda maka akan diperoleh anak babi yang mempunyai bobot badan yang tinggi pada saat lahir sehingga mempunyai kesempatan yang baik untuk dapat hidup dan bertumbuh cepat, yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menunjang upaya peningkatan produksi mulai dari prapenyapihan sampai pada bobot potong.

4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian 1. Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang dilahirkan sampai disapih. 2. Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang disapih sampai dipotong. 3. Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada kualitas kaskas. Manfaat Penelitian 1. Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang kaitan fisiologis reproduksi, khususnya pada babi selama periode kebuntingan, disapih, dan kualitas bakalan sebagai respons dari perlakuan ovulasi ganda. 2. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi peternak yang berkaitan dengan upaya perbaikan reproduksi untuk mencapai produksi yang optimal. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa dengan penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan akan meningkatkan performans dan kualitas karkas dari bakalannya. Ruang Lingkup Penelitian Penilitian ini meliputi peningkatan kualitas babi dara untuk menghasilkan bakalan yang optimal dengan menggunakan teknologi penyuntikan PMSG dan hcg sebelum pengawinan agar dapat meningkatkan sekresi endogen hormonhormon kebuntingan. Ruang lingkup penelitian ini dapat dilihat dalam diagram alir penelitian pada Gambar 1a-1c.

5 PENELITIAN TAHAP I Judul : Performans Reproduksi Induk Babi melalui Ovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Tujuan: Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang dilahirkan sampai disapih. Metode : RAL dua perlakuan (Tanpa dan dengan ovulasi ganda PMSG +hcg) menggunakan tiga ulangan Peubah yang diamati : Lama Bunting, Bobot Badan Induk Bunting, Liter Size Lahir, Dimensi Tubuh Anak Babi, Bobot Lahir, Konsumsi Ransum Harian Induk Laktasi, Produksi Air Susu Induk, Pertambahan Bobot Badan Anak Babi, Mortalitas, Bobot Sapih, dan Litter Size Sapihan Output : Menghasilkan produk berupa anak babi lahir yang akan diuji sampai sapihan Gambar 1a Diagram Alir Penelitian Tahap I.

6 Penelitian Tahap II Judul : Performans Anak Babi Sapihan Sampai Potong Melalui Ovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Babi Dara Sebelum Pengawinan Tujuan: Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan terhadap performans anak babi yang disapih sampai dipotong Metode : Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 x 3 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah superovulasi dengan hormon PMSG+ hcg yang terdiri atas dua level, nol (kontrol) dan disuntik dengan PMSG+HCG. Faktor kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas tiga level yaitu; rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor) dan tinggi (kisaran sebesar 12-14 ekor) masing-masing dengan tiga ulangan dengan menggunakan dua ekor (satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina). Data dianalisis mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut : Y ij = µ + αi +βj + (αβ) ij + ε ijk Peubah yang diamati : Konsumsi Ransum Harian Pertambahan Bobot Badan Harian, dan Efisienan Penggunaan Ransum Output : Menghasilkan anak babi sapihan yang akan diuji performansnya sampai bobot potong pada penelitian tahap II Gambar 1b Diagram Alir Penelitian Tahap II.

7 Penelitian Tahap III Judul : Kualitas Karkas Babi Potong dari Induk yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Sebelum Pengawinan Tujuan: Untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan terhadap kualitas karkas Metode : Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 x 3 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah superovulasi dengan hormon PMSG+ hcg yang terdiri atas dua level, nol (kontrol) dan disuntik dengan PMSG+HCG. Faktor kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas tiga level yaitu; rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (kisaran sebesar 12-14 ekor) masing-masing dengan tiga ulangan menggunakan dua ekor (satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina). Data dianalisis mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut : Y ij = µ + αi +βj + (αβ) ij + ε ijk Peubah yang diamati : Umur Potong (UMP) (hari), Bobot Potong (BP) (kg), Bobot Karkas(BK), Persentase Karkas (PK) (%), Panjang Karkas (PjK) (cm), Tebal Lemak Punggung (TLP) (cm) dan Loin eye area, (LEA) cm 2 ) Output : Menghasilkan produk karkas hasil uji performansnya pada Tahap III Gambar 1c Diagram Alir Penelitian Tahap III.

8

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ternak Babi Babi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat menguntungkan, yaitu kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien, siklus reproduksinya relatif pendek, dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8-14 ekor dengan rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya, lebih cepat tumbuh, dan cepat dewasa (Sihombing 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan babi yang digemukkan untuk tujuan daging dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode prasapih (prestarter), lepas sapih (starter), pertumbuhan (grower), dan finisher. Babi periode finisher adalah babi setelah melewati periode pertumbuhan, yang dicirikan dengan bobot hidup 60-90 kg, sedangkan pertambahan bobot badan babi periode finisher adalah 701-815 g/hari. Soeparno (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan bobot selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan, jadi pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi bobot dan komponen-komponen tubuh ternak, termasuk tulang, otot, dan lemak. Menurut Sutardi (1980), kecepatan pertumbuhan suatu ternak dipengaruhi berbagai faktor, antara lain bangsa, jenis kelamin, umur, makanan, dan kondisi lingkungan. Siklus Berahi Ternak Babi Berahi adalah periode yang ditandai oleh betina yang siap menerima pejantan, dimana tanda-tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda, dan kadang-kadang adanya sekresi dari vagina) (Hafez 1993). Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada babi yang menunjukkan gejala berahi adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila punggungnya ditekan oleh pejantan atau tangan pekerja. Gejala berahi pada babi betina sangat spesifik, babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan

10 singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara babi jantan, baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang divasektomi ataupun yang tidak divasektomi dan menempatkannya pada kandang yang berdekatan dengan babi betina sangat membantu dalam menentukan berahi. Babi betina yang berahi akan cenderung mencari pejantan atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk mendeteksi berahi ialah uji penekanan pada punggung babi betina dan menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan adalah 100%. Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990). Lama berahi biasanya terjadi 2-3 hari dan pada periode tersebut betina memiliki penerimaan terhadap pejantan (Sihombing 2006), satu sampai empat hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1990). Menurut Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas, dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara, dan Belstra (2003) menyatakan bahwa periode berahi pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk. Menurut Goodwin (1974), periode berahi pada babi dara selama 12-36 jam. Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel telur fertil diproduksi dalam ovarium. Berdasarkan histologi, vagina siklus berahi dibagi menjadi empat stadium, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi, fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan fase diestrus diakhiri dengan luteolisis (MacMillan dan Burke 1996). Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua

11 fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi, rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus masingmasing adalah 3, 3, 4, dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus berahi pada babi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 Siklus Berahi pada Babi. Proestrus adalah fase sebelum estrus, yaitu periode ketika folikel de graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh cepat selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de graaf membesar dan menjadi matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan ke arah pematangan. Selama periode ini, umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem saraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak, ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus.

12 Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus dimana corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah dibawah pengaruh LH dari adenohyphophisa (Toelihere 1979). Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa sehingga menghambat pembentukan folikel de graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Diestrus adalah periode terakhir dan siklus berahi terlama pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini, korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi menjadi kembali ke ukuran semula. Pada periode ini juga mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan poliestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologis umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Fisiologi Reproduksi Pertumbuhan dan perkembangan konseptus mulai dari saat fertilisasi, menjadi zigot, berkembang menjadi embrio, fetus, dan siap lahir, dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terintegrasi. Faktor tersebut didukung oleh kelenjar hipofisis untuk mensekresikan hormon perangsang pertumbuhan folikel. Hormon adalah suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai saluran, disebut kelenjar endokrin, dan disebarkan melalui peredaran darah untuk memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh (Hafez 1980). Hormon dapat dikelompokkan menurut tempat asalnya, yaitu dari hipotalamus, pituitari, gonad (testis dan ovarium), dan beberapa lainnya, seperti prostaglandin dari uterus, bermacam-macam hormon dari plasenta, atau yang dihasilkan oleh unit plasentafetus selama kebuntingan. Hormon-hormon hipotalamus yang diketahui sebagai hormon pelepas atau penghambat yang langsung berhubungan dengan reproduksi adalah Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan

13 dilepaskannya Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH dan LH. Follicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein dengan bobot molekul 67.000. Hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada ph 4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada ph 4,5 dengan mengandung heksosamin, heksosa, nitrogen, dan sulfur. Fungsi utama FSH adalah stimulasi pertumbuhan dan pematangan follicle de graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. Luteinizing hormone (LH) pada babi mempunyai bobot molekul 100.000. Luteinizing hormone bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez 1980). Sesudah pematangan folikel, LH menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan LH adalah bersifat luteotropik. Hormon dari pituitari anterior yang berhubungan dengan reproduksi diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) (Hafez 1980). Hormon-hormon ini adalah FSH dan LH. Semua hormon pituitari anterior adalah glikoprotein dan mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara buatan. Prolaktin (PRL atau Luteotropic Hormone atau LTH) adalah suatu hormon protein dengan bobot molekul 22.000-35.000. Hormon ini diinaktifkan oleh pepsin, tripsin, dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara aktivitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron, dan merangsang tingkah laku keibuan (Toelihere 1979). Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari hipotalamus sampai ke pituitari (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah oktapeptida yang mengandung delapan asam amino dengan bobot molekul 1000 dan relatif bersifat basa dengan titik isoelektrik pada ph basa. Hormon tersebut merupakan peptida dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesis secara buatan. Fungsi utama hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis, oksitoksin telah lama

14 digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus. Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitoksin pada sel-sel mioepitel kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan berkontraksi bila dirangsang oleh oksitoksin dengan akibat peningkatan tekanan air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau berahi pada hewan betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin. Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan tergolong hormon steroid. Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh teka interna dari folliclel de graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus berahi (Toelihere 1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, akan tetapi disingkirkan melalui inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses. Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980). Di samping itu, hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak disimpan di dalam tubuh, ia dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi, yang disebabkan oleh LH, terbentuklah korpus hemorargikum di dalam ovarium yang kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan dipertahankan oleh LTH atau prolaktin. Di bawah pengaruh prolaktin, sel-sel lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain, seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa estrogen terutama menyebabkan proses-proses pertumbuhan, sedangkan progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae. Relaksin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan simfisis pelvis. Relaksin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air dengan bobot molekul kirakira10.000 (Toelihere 1979). Relaksin dihasilkan oleh korpus luteum selama masa kebuntingan. Di samping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan relaksin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaksin dalam ovarium babi sangat meninggi pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian

15 kira-kira 10.000 GPU per gram bobot basah ovarium yang dipertahankan sampai partus. Hormon relaksin bekerja sama sangat erat dengan hormon estrogen pada saat induk babi partus (Hafez 1980). Prostaglandin merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang banyak ditemui hampir di seluruh bagian tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin (PGF 2α ) diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus balik ke ovarium. PGF 2α dan PGE 2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum ovulasi. Prostaglandin berbeda dari hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya. Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan hati (Hafez 1980). Gonadotropin releasing hormone (GnRH) mempunyai daya kerja untuk merangsang sekresi follicle stimulating hormone (FSH) dan penstimulasi luteal Luteinizing hormone (LH) serta faktor pengatur lainnya. Sekresi FSH selanjutnya menstimulus pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang kemudian akan merangsang sekresi LH yang selanjutnya akan merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum dan melakukan fungsi utamanya mensekresi progesteron. Mekanisme tersebut didukung oleh sekresi LH yang menstimulasi ovulasi atau pematangan oosit, pertumbuhan folikel, pembentukan dan fungsionalisasi korpus luteum untuk mensintesis dan membebaskan progesteron. Setelah ovum tersebut terfertilisasi, perkembangan zigot, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sangat bergantung pada dukungan korpus luteum mensekresi progesteron yang selanjutnya berperan mengawali dan menyiapkan lingkungan mikrouterus, merangsang perkembangan kelenjar uterus dan plasenta, serta mempertahankan kebuntingan (Niswender et al. 2000; Cardenas dan Pope 2002). Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3. Korpus luteum merupakan suatu kelenjar endokrin yang secara khusus memproduksi progesteron dan memainkan peranan penting dalam pemeliharaan kebuntingan untuk mendukung perkembangan embrio (Rueda et al. 2000). Rentang hidup korpus luteum bervariasi antara satu spesies dan spesies yang lain,

16 dan dapat berubah secara dramatis melalui peristiwa seperti pengawinan dan kebuntingan. Gambar 3 Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi. Pada dasarnya korpus luteum mengalami dinamika proses regresi dan kehilangan kapasitas untuk memproduksi progesteron dan mengalami involusi struktural, yaitu granulosa dan sel-sel teka folikel ditransformasi dan berkembang menjadi korpus luteum (Bao dan Garverick 1998). Hormone luteinisasi (LH) dari pituitari anterior sangat berperan penting dalam perkembangan dan fungsi normal korpus luteum pada hampir semua mamalia, meskipun hormon pertumbuhan, prolaktin, dan estradiol juga berperan penting pada sejumlah spesies. Proses ini dimulai kirakira 1-2 hari sesudah terjadi pengawinan, selanjutnya korpus luteum memproduksi dan membebaskan progesteron yang responsif untuk mempertahankan kebuntingan. Jika terjadi konsepsi saat pengawinan, korpus luteum tetap berfungsi dan secara terus menerus akan memproduksi dan mensekresi progesteron (Wuttke et al. 1997). Dalam mekanisme tersebut, estrogen berperan penting dalam mempertahankan korpus luteum melalui aksi secara tidak langsung untuk

17 menstimulusi sekresi prolaktin (Geisert et al. 1990). Sebaliknya jika konsepsi tidak terjadi, prostaglandin (PGF2α) disekresi oleh uterus untuk meregresi korpus luteum dan terjadi penghentian produksi progesteron dan selanjutnya akan terjadi perkembangan folikel baru (Wuttke et al. 1997; Bao dan Garverick 1998; Niswender et al. 2000). Gangguan atau kegagalan reproduksi yang bermuara pada tingginya mortalitas, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan dapat berawal dari tidak didukung oleh pertumbuhan dan perkembangan korpus luteum atau terjadi gangguan perkembangan sel folikel yang diregulasi oleh hormon yang menstimulus FSH pada pituitari untuk memodulasi sekresi progesteron dan estradiol (Garret et al. 1998). Laktasi Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies mamalia selama masa laktasi (Shandolm dan Saarela 2003), yaitu ketika kelenjar susu mensekresikan air susu. Kelenjar susu adalah suatu organ kompleks yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel sekretoris. Sel-sel ini tergabung dalam lobula alveoli, yang merespons dan bekerja harmonis selama laktasi (Delaval 2008). Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu beranak pertama. Pada spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan, dan kortisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4. Pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh pada kelenjar susu atau pada semua hewan, maupun pengaruh eksternal, seperti lingkungan, iklim, dan makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat, yakni pada saat laktasi penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersamasama dengan jaringan ikat dan lemak, dan sekresi susu yang dihasilkan per hari bisa melebihi bobot kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat bunting.

18 Gambar 4 Struktur Ambing (Delaval 2008). Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kebuntingan, akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau tiga hari setelah tikus beranak. Penelitian yang dilakukan Knight dan Parker (1982) menunjukkan bahwa, pada tikus, populasi sel sekretoris pada hari kelima setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari terakhir kebuntingan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Juga dilaporkan bahwa produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi. Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor, seperti fisiologi, endokrinologi, dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal di atas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu, yaitu kondisi

19 stress saat induk menyusui dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusui (Delaval 2008). Proses sintesis dan sekresi susu sangat bergantung pada suplai prekursor ke sel epitel kelenjar susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah, yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material. Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam kelenjar susu sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan sel sekretoris, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak ke dalam darah (Walstra 1999). Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak, dan mineral. Ovulasi Ganda Ovulasi ganda adalah suatu teknik untuk merangsang pembentukan sejumlah besar folikel di dalam ovarium dan mematangkannya lebih cepat daripada kemampuan alamiahnya (Toelihere 1981). Ovulasi ganda pada ternak babi dapat dirangsang dengan cara pemberian suntikan hormon gonadotropin. Termasuk ke dalam golongan hormon gonadotropin ini adalah luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), human chorionic gonadotropin (hcg), pregnant mare's serum gonadotropin (PMSG), dan prolactin (Sherwood dan McShan 1977; Partodihardjo 1980). Hormon gonadotropin telah dikenal hampir 60 tahun yang silam, yaitu sejak ditemukan zat-zat di dalam kelenjar pituitari (hipofisis), darah, air seni, dan plasenta yang dapat mempengaruhi perkembangan alat kelamin primer (gonad). Isolasi hormon gonadotropin ini semula sangat sulit dilakukan karena jumlahnya sangat kecil, labil, dan polimorfik. Namun, sejak tahun 1960, beberapa ahli telah mampu mengisolasi beberapa preparat hormon ini dalam keadaan cukup murni (Partodihardjo 1980). Ovulasi ganda telah dicoba pada beberapa hewan ternak komersial maupun pada hewan model. Ovulasi ganda pada domba memperbaiki bobot lahir

20 dalam litter size (Manalu et al. 2000). Ovulasi ganda pada domba juga dapat meningkatkan jumlah korpus luteum yang selanjutnya meningkatkan sekresi progesteron, dan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus serta pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sakai dan Takashi 1993; Manalu et al. 1999; Manalu 1999). Ovulasi ganda pada sapi diduga dapat mengontrol terjadinya kenaikan LH pada preovulasi (Vos et al. 1994), sangat efektif untuk sinkronisasi yang memperbaiki target pengawinan dan dapat meningkatkan produksi per induk kambing (Goel dan Agrawal 1998). Ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan dapat memperbaiki produktivitas dalam hal ini merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, embrio dan fetus serta kelenjar susu (Mege et al. 2007). Hormon Ovulasi Ganda : PMSG dan hcg Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) ditemukan pertama kali oleh Cole dan Hart pada tahun 1930. Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) disekresi oleh mangkok-mangkok uterus kuda bunting, yaitu mulai umur kebuntingan enam minggu dan tetap ada sampai umur kebuntingan 12 minggu. Bobot molekul PMSG bervariasi dari 28.000 sampai 53.000 dan dapat dipisahkan menjadi subunit alfa dan beta PMSG yang memiliki sifat-sifat fisiologis, seperti FSH dan sedikit LH. Seperti FSH, PMSG yang disuntikkan merupakan stimulator yang potensial terhadap pertumbuhan indung telur dan meningkatkan kadar estradiol di dalam darah, dan seperti LH, PMSG juga bisa merangsang sel-sel granulosa dan ovulasi sel telur (Kaltenbach dan Dunn 1980). Fungsi PMSG dalam tubuh kuda yang sedang bunting adalah merangsang indung telur membentuk folikel-folikel baru, karena korpus luteum yang sudah terbentuk hanya berumur 40 hari. Folikel-folikel yang tumbuh tersebut ada yang matang sampai ovulasi dan ada juga bersifat atretik. Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) merangsang dan meningkatkan laju pertumbuhan folikel, juga diduga mempengaruhi proses terjadinya reduksi folikel berukuran kecil yang bersamaan dengan itu terjadi peningkatan jumlah tipe folikel yang berukuran besar (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003).

21 Teknik ovulasi ganda pada umumnya hewan donor disuntik dengan preparat FSH dan PMSG atau kombinasi PMSG dengan hcg. Supriatna et al. (1998) menyatakan bahwa PMSG yang merupakan hormon gonadotropin mempunyai daya kerja biologi yang unik dengan aktivitas berpotensi ganda FSH dan LH dalam satu molekul yang dapat merangsang pertumbuhan folikel. Selanjutnya Bindon dan Piper (1982) menyatakan bahwa PMSG mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan FSH dan LH. Dijelaskan lebih lanjut bahwa PMSG dapat dikatakan sebagai gonadotropin yang lengkap, yang dapat meningkatkan pertumbuhan folikel, produksi estrogen, ovulasi dan luteinisasi, serta sintesis progesteron. Pregnant mare s serum gonadotropin mempunyai efektivitas yang tinggi dalam menimbulkan ovulasi ganda pada hewan bila diberikan dengan dosis yang tepat secara injeksi tunggal, karena PMSG mempunyai waktu paruh biologi yang panjang. Lain halnya dengan FSH yang mempunyai waktu paruh yang pendek (sekitar lima jam), sehingga pemberiannya harus dua kali atau berulang kali selama tiga-empat hari (Armstrong et al. 1982). Menurut Menzer dan Schams (1979), PMSG mempunyai waktu paruh yang panjang yaitu mencapai 123 jam, sehingga walaupun pengaruh ovulasi ganda telah tercapai, PMSG masih dapat merangsang ovarium. Yadav et al. (1983) menyatakan bahwa residu PMSG yang beredar di peredaran darah dan masih memiliki potensi biologis akan terus merangsang aktivitas ovarium, sehingga menimbulkan negative rebound effect terhadap hipofisa yang berakibat pada penekanan sekresi LH. Menurut Armstrong et al. (1982) ovarium yang terangsang disertai tidak adanya sekresi LH akan menghasilkan folikel yang gagal berovulasi (persisten). Dampak lanjutan dengan beredarnya PMSG dalam sirkulasi darah adalah gangguan keseimbangan hormonal, gangguan ovulasi, gangguan pembuahan (fertilisasi) dan pengangkutan embrio di saluran telur. Pada hewan ternak yang diinduksi dengan ovulasi ganda pada saat fase yang tepat dari siklus estrusnya akan diperoleh hasil ovulasi ganda yang maksimum (Rajamahendran et al. 1987). Ovulasi ganda pada domba, kambing, dan sapi, PMSG biasanya diberikan pada fase folikuler, meskipun respon pada

22 masa ini terhadap jumlah ovulasi tidak dapat diprediksi dan tingginya variabel yang mempengaruhi pada hewan donor (Cahill et al. 1982). Pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) memiliki aktivitas biologi ganda, yaitu serupa dengan follicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) sehingga disebut sebagai gonadotropin sempurna. Pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG antara lain: (1) menunjang produksi estrogen; (2) ovulasi; (3) luteinisasi; dan (4) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang sehingga dengan dosis tunggal melalui suntikan secara intramuskuler cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda (Bates et al. 1991). Penggunaan PMSG dan human corionic gonadotropin (hcg) untuk merangsang ovulasi ganda, lebih sering digunakan daripada FSH dan LH. Human Corionic Gonadotropin (hcg) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisa melainkan disintesis dari villi-villi khorion (cytotrophoblast) yang kemudian disebut "anterior pituitary-like hormone " karena aktivitas biologisnya menyerupai LH dan sedikit FSH (Hafez 1993). Human Corionic Gonadotropin merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 40.000 dalton, terdiri atas sub unit a dengan 92 asam amino dan dua rantai karbohidrat dan menyerupai sub unit a pada LH. Sub unit o terdiri atas 145 asam amino dan lima rantai karbohidrat (Hafez 1993). Aktivitas biologis hcg menyerupai LH, meskipun struktur kimianya berbeda. Human Corionic Gonadotropin (hcg) merangsang sel-sel interstisial pada ovarium dan menyebabkan ovulasi (Kaltenbach dan Dunn 1980). Reseptor untuk hcg sama dengan untuk LH. Human Corionic Gonadotropin mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap sel-sel interstisial dan terbatas pada sel-sel teka. Selain itu, hcg diketahui berikatan dengan sel-sel granulosa sehingga peranan hcg juga membantu merangsang pembentukan folikel pada ovarium (Sherwood dan McShan 1977). Human Corionic Gonadotropin juga mempunyai daya kerja sedikit seperti FSH, maka pemberian hcg dengan dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan folikel dalam ovarium. Selain itu, hcg bertanggungjawab atas luteinisasi sel-sel granulosa, memelihara fungsi korpus luteum dan meningkatkan sekresi progesteron (Sherwood dan

23 McShan 1977; Hafez 1993). Aktivitas luteinisasi hcg terlihat pada perpanjangan sekresi progesteron. Pemberian hcg akan memperpanjang hidup korpus luteum (Bennet dan Laymaster. 1989). Hasil penelitian superovalasi pada domba telah dilaporkan berhasil meningkatkan konsentrasi estradiol dan progesteron dalam darah induk, peningkatan pertumbuhan jaringan uterus, embrio dan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1999). Ovulasi ganda berhasil pula meningkatkan pertumbuhan diferensial kelenjar susu, pada waktu kebuntingan berdasarkan gambaran kandungan kolagen, DNA, RNA (Manalu et al, 1999). Selanjutnya, ovulasi ganda berhasil meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, produksi susu induk domba, dan menurunkan mortalitas, serta memperbaiki pertumbuhan prasapih dan bobot sapih anak domba (Manalu dan Sumaryadi 1998). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum yang meliputi lebih dari duapertiga siklus estrus (Hunter 1995). Human chorionic gonadotropin (hcg) adalah hormon yang ditemukan pada urin dan serum darah wanita yang sedang hamil. Hormon ini tidak berasal dari hipofisis, melainkan disintesis dari villi-villi khorion cytotrophoblast yang kemudian disebut anterior pituitary-like hormone karena aktivitas biologisnya menyerupai LH dan sedikit mirip FSH (Hafez 1993). Human chorionic gonadotropin (hcg) dapat ditemukan kira-kira satu minggu setelah fertilisasi atau satu hari setelah implantasi. Human chorionic gonadotropin (hcg) adalah hormon glikoprotein terdiri atas subunit alfa dan beta dengan bobot molekul 40.000. Human chorionic gonadotropin (hcg) memiliki aktivitas seperti LH karena keduanya memiliki struktur yang hampir sama. Aktivitas hcg antara lain merangsang pertumbuhan sel-sel interstisial indung telur yang menyebabkan ovulasi dan meningkatkan sekresi progestin (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hcg di dalam air seni wanita hamil terus meningkat dari minggu pertama kehamilan dan mencapai kadar maksimal pada umur kehamilan 10 sampai 12 minggu, dan setelah itu kadar hcg menurun (Sherwood dan McShan 1977). Kadar hcg tertinggi di dalam darah (120 i.u./ml serum) didapatkan pada hari

24 ke-62 setelah menstruasi terakhir, dan kadar terendah (10 i.u./ml serum darah) didapatkan pada hari ke-154, namun pada hari ke-200 meningkat lagi (20 i.u./ml serum darah) dan kadar ini tetap tidak berubah sampai kehamilan berakhir (Partodihardjo 1980). Adanya kandungan asam sialat yang lebih tinggi pada PMSG dan hcg menyebabkan waktu paruhnya lebih panjang sehingga penggunaannya lebih efektif daripada FSH dan LH (Sherwood dan McShan 1977). Faktor yang Mempengaruhi Penampilan Reproduksi Ternak Babi Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan jalan meningkatkan reproduktivitas ternak betina (Yoga 1988). Dikemukakan pula bahwa peningkatan reproduktivitas pada ternak babi guna mendapatkan jumlah anak sekelahiran (litter size) dan bobot lahir yang tinggi, laju pertumbuhan yang pesat, angka kematian yang rendah, dan lain sebagainya banyak diusahakan orang. Banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas reproduksi pejantan maupun betina (Sihombing 2006). Hafez (1993) mengemukakan lama bunting ternak diukur dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kelahiran adalah suatu proses fisiologis yang berhubungan dengan pengeluaran anak dan plasenta dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan (Toelihere 1981), sedang menurut Partodihardjo (1982) kelahiran adalah suatu proses mengeluarkan anak dan plasenta melalui saluran kelahiran. Tanda-tanda babi yang akan beranak ialah babi sangat gelisah, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan lendir, berusaha membuat tempat atau sarang untuk bakal anaknya, di dalam puting susu terdapat air susu dan urat daging di sekitar vulva mengendor (Eusebio 1980). Proses pembentukan dan pemeliharaan kebuntingan pada sebagian besar mamalia melibatkan integrasi fungsi antara ovarium, uterus, plasenta, dan konseptus itu sendiri serta ketersediaan nutrisi maupun dukungan stimulasi hormon-hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan (Bazer et al. 1982; Roberts et al. 1993). Kesemuanya itu merupakan faktor penentu untuk menghasilkan jumlah anak sekelahiran yang berbobot lahir optimal dan sangat substansial bagi efisiensi produksi babi (Geisert dan Schmitt 2002). Pertumbuhan dan

25 perkembangan embrio dimulai sejak blastosis menempel pada dinding uterus. Selsel blastosis tersebut akan membelah dengan cepat sehingga terjadi pertambahan jumlah dan masa sel disertai dengan diferensiasi sel. Mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Aksi hormon tersebut terjadi secara langsung dalam mekanisme pertambahan dan diferensiasi jaringan embrio dan fetus selama kebuntingan (Owens 1991; Anthony et al. 1995). Kapasitas uterus ternak babi mempengaruhi jumlah anak sekelahiran sesudah umur 25 hari kebuntingan (Fenton et al. 1972; Pope et al. 1990). Tingginya laju ovulasi yang dapat menghasilkan sejumlah embrio dan fetus yang tidak didukung oleh kapasitas uterus yang memadai menjadi penyebab kematian embrio dan fetus selama kebuntingan (Christenson et al. 1987; Wu et al. 1988; Sterle et al. 2003). Kapasitas uterus yang kurang memadai pada gilirannya berpengaruh pada dukungan fisiologis lingkungan internal uterus dalam mempertahankan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Young et al. 1990; Wilson et al. 1999; Sterle et al. 2003). Lingkungan internal uterus yang memadai bergantung pada dukungan dan perkembangan kelenjar-kelenjarnya yang mensekresi kebutuhan zat-zat makanan untuk konseptus selama kebuntingan (Bennet dan Leymaster 1989; Vallet et al. 1998; Willis et al. 2003). Ketidaksiapan lingkungan uterus terutama dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya berdampak pada tingginya kematian, lambatnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wu et al. 1988), pada gilirannya berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak yang lahir serta pertumbuhannya (Sterle et al. 2003). Sekresi kelenjar uterus sangat penting dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan konseptus (Yamashita et al. 1990; Gray et al. 2001). Kelenjar uterus yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan normal konseptus pada saat implantasi akan memicu terjadinya kegagalan reproduksi, yang digambarkan dengan kematian embrio yang tinggi pada kebuntingan dini (Pope dan First 1985; Geisert et al. 1990). Kematian ini dapat juga bermula dari ketidakcukupan kebutuhan nutrisi sejumlah konseptus untuk tumbuh dan berkembang dengan baik (Pope dan First 1985; Pope et al. 1990), sedangkan pada awal kebuntingan konseptus membutuhkan nutrisi yang cukup dan apabila

26 cadangan makanan dalam ovum tidak mencukupi akan berakibat pada daya tahan dan kesehatan embrio karena semuanya sangat bergantung pada sekresi kelenjar uterus (Vallet et al. 1998; Gray et al. 2001). Sekresi uterus sangat penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan konseptus pada ternak yang mempunyai periode kebuntingan yang panjang, seperti domba, kambing, sapi, dan babi (Roberts dan Bazer 1988). Mortalitas, pertumbuhan, dan perkembangan fetus selama periode kebuntingan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kapasitas serta kemampuan plasenta menyediakan nutrisi melalui mobilisasi sirkulasi dari induk. Plasenta adalah organ yang mempunyai peran sebagai mediator pertukaran gas, nutrien, dan limbah antara induk dan sistem fetus. Fungsi utama plasenta adalah menyalurkan substrat metabolik yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan fetus. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan plasenta merupakan salah satu faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan normal fetus (Reynolds dan Redmer 1995). Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup, dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan dan perkembangan fetus secara optimal sangat ditentukan oleh mekanisme sirkulasi nutrien baik yang dimediasi oleh protein transpor maupun melalui difusi, dan sangat bergantung pada hubungan fungsional antara permukaan dinding uterus di plasenta (Reynolds dan Redmer 1995) dalam uterus melalui perubahan mekanisme dan ekspresi gen jaringan fetus (Anthony et al. 1995; Fowden 1995). Peningkatan progesteron yang mempengaruhi pertumbuhan embrio dan fetus, juga merangsang sekresi protein oleh uterus (Vallet et al. 1998). Banyak protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal fetus pada babi yang disekresi oleh uterus, seperti uteroferin dan retinol-binding-protein (RBP). Uteroferin berperan untuk transpor besi, sedangkan RBP berperan untuk transpor retinol. Sekresi protein tersebut mengalami perubahan selama kebuntingan dan perubahan disini terutama berhubungan dengan perkembangan fetus. Sekresi protein melalui endometrium selama kebuntingan dikontrol oleh progesteron dan estradiol (Adams et al. 1981; Torut et al. 1992).

27 Pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik sampai akhir kebuntingan diharapkan akan memberikan bobot lahir yang baik walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya menghasilkan penampilan produksi yang lebih baik pula. Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan perkembangan embrio serta fetus selama kebuntingan dan jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir (Bennett dan Leymaster 1989). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999), baik melalui perbaikan pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti FSH dan LH atau melalui tiruannya, seperti PMSG dan hcg serta kombinasi hormon gonadotropin lainnya. Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak babi setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari. Seekor induk babi dapat menghasilkan anak babi sampai 12-14 ekor anak dalam sekelahiran. Litter size ini dapat digunakan sebagai indikator kemampuan reproduksi ternak babi karena anak yang banyak setiap kelahiran adalah esensial untuk produksi babi (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kelahiran anak yang banyak disertai banyaknya anak yang hidup pada waktu disapih menunjukkan beberapa hal sebagai berikut; menandakan ovulasi yang tinggi dan kematian embrio rendah, air susu induk babi dapat berfungsi dengan baik dan kedua pernyataan ini menunjukkan kemampuan induk dalam mengasuh anak. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, di antaranya jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes dan Varley 2004), umur (Singh dan Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus, dan bangsa (Leymaster dan Jhonson 1994). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi Landrace dapat menghasilkan litter size lahir sekitar 10.94 ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire

28 adalah 9.57 ekor (Park dan Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al. (2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire, masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum, litter size lahir dan sapih terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada paritas selanjutnya. Induk babi pada paritas ketiga dan keempat memiliki penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk. Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat sebanyak 0.7 ekor sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et al. 2003). Bobot lahir adalah bobot badan yang ditimbang sesaat setelah hewan dilahirkan. Bobot lahir anak babi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa, pejantan, ransum yang diberikan selama induk bunting, dan litter size pada waktu lahir (De Borsotti 1982). Bangsa babi mempengaruhi bobot lahir per ekor, yaitu pada babi Duroc 1.47 kg (Milagres 1983), 1.46 kg (Lopez et al. 1983), Landrace 1.74 kg, dan Yorkshire 1.39 kg (Quintana dan Lopez 1983). Rataan bobot lahir bangsa murni dan persilangan Duroc, Landrace, Yorkshire adalah 1.38±0.10 kg (De Borsotti 1982). Mati lahir adalah suatu kondisi yang anak babi dilahirkan sudah dalam keadaan mati. Huges dan Varley (2004) menyatakan bahwa kejadian mati lahir anak babi dapat mencapai 3-5%, sedangkan hasil penelitian Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan angka kematian babi saat dilahirkan 4-8% dari semua anak yang dilahirkan. Menurut Bolet (1982) bahwa kematian anak babi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anak babi yang lahir per kelahiran, selanjutnya Benkov (1983) mengemukakan bahwa jika litter size lahir anak babi kurang dari 6 ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari adalah 1.78% dan jika litter size lahir anak babi 6-8.8, 8.8 10, dan 10-12 ekor, maka tingkat kematian anak babi pada umur 21 hari masing-masing 6, 18 dan 12.79%, bila litter size lahir 12 ekor, maka kematian pada 21 hari adalah 10.86%. Anak babi yang mempunyai bobot badan di bawah 1 kg pada waktu lahir lebih banyak mati karena kalah bersaing dengan anak babi yang lebih besar dalam menyatakan air susu (Bolet 1982). Lebih lanjut dinyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sebelum

29 disapih dapat mencapai 72% dengan empat penyebab utama, yaitu 35.4% akibat terinjak oleh induk, 14% kaki tidak lurus, 11% akibat agalactic, dan 11% akibat kelemahan pada waktu lahir, ini lebih sering berlaku pada induk yang beranak pertama. Cole dan Foxcroft (1982) menyatakan kematian anak babi pada waktu sebelum disapih sangat bervariasi, yaitu 12-30%, sedangkan periode menyusu rataan tingkat kematian adalah 20.8%. Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk, dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). Lebih lanjut dikatakan pada umur penyapihan tertentu, anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi di saat sapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot potong daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan, umur induk, dan keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, serta suhu lingkungan. Umumnya, kisaran bobot sapih adalah 13.6 18.1 kg (Hafez 1993). Produksi Ternak Babi Produksi ternak babi mencakup pertumbuhan ternak babi, proses yang terjadi sangat kompleks, bukan saja pertambahan bobot badan, tetapi menyangkut pertumbuhan semua ogran tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al. 1983). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel serta peningkatan ukuranukurannya. Hyun et al. (1998) menyatakan bahwa faktor makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk kebutuhan 24 jam (Anggorodi 1994). Ransum yang sempurna adalah kombinasi beberapa bahan yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan jumlah dan bentuk sedemikian rupa sehingga fungsifungsi fisiologis dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi 1983). Adapun konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bobot badan, umur ternak, temperatur, jumlah ransum, serta bertambahnya umur (Sihombing 2006). Tingkat konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang

30 dimakan oleh ternak bila diberikan ad libitum (Cuncha 1980). Faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi adalah palatabilitas dan palatabilitas yang bergantung pada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain, seperti suhu lingkungan, kesehatan ternak, stress, dan bentuk ransum (Church 1984). Pada umumnya, konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi pemberian makan. Babi dengan bobot badan 10-90 kg yang diberikan ransum dua kali sehari mengkonsumsi rataan 1.54 kg per ekor per hari, sedangkan pada pemberian tiga kali sehari, konsumsi ransum sebesar 1.92 kg dan pada pemberian ad libitum konsumsi ransumnya 2.61 kg per ekor per hari (Tillman et al. 1989). Pertumbuhan meliputi perbanyakan jumlah sel (hiperplasia) serta peningkatan sel (hipertropi). Definisi pertumbuhan adalah pertambahan besar otot, tulang, organ-organ dalam, dan bagian tubuh lain (Cuncha 1980). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fungsi dari konsumsi langsung yang dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hipotalamus (Goodwin 1974). Pertumbuhan umumnya diukur dengan kenaikan bobot badan yang dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot badan harian, minggu, atau tiap waktu lainnya (Tillman et al. 1989). Parakkasi (1983) mengemukakan bahwa untuk kebutuhan zat makanan, urutan yang paling penting adalah protein, karena dibutukkan untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi, di samping itu untuk sejumlah energi yang cukup untuk membantu proses pertumbuhan. Kebutuhan protein untuk periode starter 14-16% dengan bobot badan ternak babi 15-45 kg. Menurut Sihombing (2006) periode pertumbuhan pengakhiran, yaitu babi yang memiliki bobot rata-rata 35 90 kg. Periode ini merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan zat makanannya dan ransum yang bermutu. Pertambahan bobot badan dan konversi ransum yang tinggi adalah satu faktor terpenting yang mempengaruhi performans babi grower. Pertambahan bobot badan mencapai 820 g/hr dan efisiensi ransum 0.31. Efisiensi penggunaan makanan merupakan pertambahan bobot badan yang dihasilkan setiap satuan ransum yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk pertumbuhan

31 hidup pokok dan fungsi lain, kemampuan ternak untuk mencerna makanan, jumlah makanan yang hilang melalui proses metabolisme, dan tipe makanan yang dikonsumsi (Campbell 1985). Faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak, dan keseimbangan ransum yang diberikan (Devendra dan Fuller 1979). Efisiensi penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik (Bogart 1997). Bobot potong yang paling disukai konsumen berkisar 90-115 kg, karena kisaran ini memberikan perbandingan antara daging dan lemak yang optimal dengan penilaian karkas sesuai dengan standar USDA (United State Development of Agriculture). Bobot potong yang paling optimum menurut Whittemore (1980) adalah 50-120 kg. Untuk menghasilkan bobot karkas yang berkisar 78-86 kg maka babi sebaiknya dipotong pada bobot hidup dengan kisaran 90-100 kg (Sihombing 2006). Kualitas Karkas Babi Teknik ovulasi ganda pada induk melalui pemberian hormon eksternal PMSG dan hcg memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas bakalan ternak babi. Kualitas bakalan dapat dilihat dari karakteristik karkas pada saat dipotong. Pada ternak babi, karkas yang dihasilkan berkisar 60-90% dari bobot hidup, bergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas, dan cara pemotongan. Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu penting pengaruhnya pada bobot karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas lambung yang lebih kecil (Pond dan Maner 1974). Devendra dan Fuller (1979) mengemukakan bahwa persentase karkas adalah perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup dalam persen. Persentase karkas ini dapat menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dan bobot hidup. Persentase karkas lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau domba karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely dan Bade 1998). Persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe ternak, penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Campbell et al. 1985). Pemberian makanan yang bersifat bulky dan

32 lama pemuasaan sebelum ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan (Devendra dan Fuller 1979). Krider dan Carroll (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tebal lemak punggung memiliki hubungan dengan komposisi daging yang dihasilkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. (Meat Evaluation Handbook 1988). Tabel 1 Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan dengan Golongan Ternak Menurut Mutunya Kelas Tebal Lemak Punggung (cm) Persentase Daging (%) US NO 1 < 3,56 >53 US NO 2 3,56-4,32 50-42,9 US NO 3 4,32-5,08 47-49,9 US NO 4 >5,08 < 47 Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988 Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Dengan perkataan lain, anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan memberikan kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) menyatakan bahwa anak babi yang lahir dengan bobot tubuh ringan akan menurunkan penampilan pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dikatakan bahwa anak babi yang dilahirkan dengan bobot ringan akan menurunkan kualitas karkas, dalam hal ini mempunyai deposisi lemak tinggi dan LEA yang rendah (Bee 2004). Rendahnya bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008). Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan isi rongga dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih yang dapat dikonsumsi oleh manusia, termasuk isi rongga perut dan dada. Karkas babi yang dihasilkan berkisar antara 60-90% dari bobot hidup bergantung pada kondisi, genetik, kualitas pakan, dan cara pemotongan (Forrest et al. 1975).

33 Whittemore (1980) menyatakan bahwa karkas babi mengandung tiga perempat bagian daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas adalah nonkarkas atau offal. Lawrie (2003) menyatakan bahwa karkas merupakan bagian tubuh ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran pencernaan, intestin, kantong urin, jantung, trakhea, paru-paru, ginjal, limfa, hati, dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas terdiri atas urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang terdiri atas tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-lain. Rataan bobot karkas domba, sapi, dan babi masing-masing 50, 55, dan 75% dari bobot hidup. Kualitas karkas (yield grade), yang dijadikan ukuran adalah tebal lemak punggung, luas urat daging mata rusuk, persentase lemak pelvis, ginjal dan jantung, dan bobot karkas (Forrest et al. 1975). Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Komponen nonkarkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis kelamin, dan bobot potong (Forrest et al. 1975). Offal terdiri atas bagian yang layak dimakan (edibleoffal), yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, saluran pencernaan, ginjal, dan limpa. Tanduk, kuku, tulang, dahi, atau kepala adalah termasuk bagian yang tidak layak dimakan (inedible offal). Daging sebagai komponen utama karkas, tersusun dari otot, jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak. Otot merupakan bagian terbesar dari karkas yang mengandung 75% air, 19% protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, 2,3% zat terlarut bukan protein, dan sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak mengandung 2% protein dan 8-12% air (Soeparno 1992). Daging babi memiliki protein yang berkualitas tinggi dengan kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong yang dinyatakan dalam persen (Forrest et al. 1975). Bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi. Hal ini dikarenakan sering adanya perbedaan pada bobot kepala, bulu, isi rongga dada, dan perut (Soeparno 1992). Oleh karena itu, bobot potong lebih dari 90 kg memang meningkatkan hasil bobot karkas, tetapi persentase karkas yang dihasilkan akan menurun (Sihombing 2006). Bobot potong optimum dapat dicapai jika terdapat

34 interaksi antara jenis pakan yang diberikan, cara pemberian pakan, bangsa ternak, jenis kelamin, dan kematangan seksual (Davendra dan Fuller 1979). Persentase karkas babi dibagi menjadi beberapa kelas, kelas satu menurut USDA adalah 68-72% (Forrest et al. 1975). Besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe dan ukuran ternak serta penanganan ternak, lamanya pemuasaan, serta banyaknya kotoran yang dikeluarkan (Soeparno, 1992). Persentase karkas akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong (Forrest et al. 1975), yang dinyatakan pula dengan meningkatnya presentase lemak karkas menyebabkan persentase otot dan tulang menurun. Persentase karkas normal berkisar antara 60-75% dari bobot hidup. Persentase ini lebih tinggi pada babi dibandingkan dengan ternak lain, seperti domba dan sapi karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar serta babi mempunyai lambung tunggal (Blakely dan Bade 1998). Panjang karkas erat hubungannya dengan panjang badan pada waktu hidup. Whittemore (1980) juga menyatakan bahwa semakin pendek bentuk tubuh ternak maka akan cenderung mempunyai lemak punggung yang semakin tebal. Selain itu, Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa panjang karkas erat kaitannya dengan tebal lemak punggung dan bobot karkas dalam mengklasifikasikan kualitas karkas. Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh Hazel dan Kline dengan alat yang disebut back fat probe. Setelah itu alat ini sangat luas penggunaannya dan perkembangan teknologi peralatannya juga berjalan terus. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi persentase hasil daging yang tinggi dan, sebaliknya, tebal lemak punggung yang tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968, lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan kelas karkas babi yang siap potong. Krider dan Carrol (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas karena dua pertiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan. Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas. Ternak babi merupakan ternak yang paling cepat menimbun lemak dan paling cepat di antara ternak lainnya (Miller et al.

35 1991). Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh ternak. Karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno 1998). Devendra dan Fuller (1979) menyatakan bahwa babi yang baru lahir sudah mengandung 1% lemak dari total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi 10% pada saat disapih, setelah itu menjadi 20-35% pada saat bobot badan mencapai 60-120 kg. Pertambahan umur dan bobot badan ternak babi akan menyebabkan persentase lemak meningkat. Lokasi penumpukan atau deposisi lemak dalam karkas terdiri atas empat bagian, yaitu di bawah kulit (subkutan), lemak internal (lemak di sekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuskuler dan lemak intramuskuler (lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada keempat lokasi ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak di sekitar rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling. Jaringan lemak ternak babi paling banyak disimpan di bawah kulit dibandingkan dengan sapi dan domba yang terbesar pada bagian pundak. Kualitas daging erat hubungannya dengan ukuran luas penampang otot longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut urat daging mata rusuk yang diukur di antara tulang rusuk ke 10 dan 11 (Miller et al. 1991). Luas urat daging mata rusuk dapat digunakan untuk menduga perdagingan karkas dan bobot karkas karena terdapat korelasi dengan total daging pada karkas, yaitu yang lebih berat akan mempunyai ukuran penampang urat daging mata rusuk yang lebih besar. Lebih lanjut dikatakan bahwa luas urat daging mata rusuk dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut Figueroa (2001) yang meneliti pengaruh performans babi pertumbuhan finisher yang diberikan pakan rendah protein, rendah energi, tepung biji sorghum-kedelai memperoleh nilai rataan luas urat daging mata rusuk sebesar 42,97 cm 2. Menurut Soeparno (1998), luas urat daging mata rusuk dipengaruhi juga oleh bobot potong. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan daging mata rusuk yang lebih luas.

36 30 Ekor Disuntik PMSG dan Hcg 600 IU 60 EKOR BABI DARA PENYERENTAKAN BERAHI. 30 Ekor Disuntik NaCl Fisiologis 0.95% 30 EKOR BUNTING 30 EKOR BUNTING L SR L SRU1 (N=2) L SRU2 LSL, BBL,PASI, 9 Induk LS SS SSU1 (N=2) SSU2 L L L ST KRH, PBBH, EPR L SR L SRU1 (N=2) L SRU2 SS SSU1 (N=2) SSU2 L L L STU1 (N=2) STU2 ST KUALITAS KARKAS: BP,BK,PK,TLP,LEA STU1 (N=2) STU2 L L L L L L TAHAP I TAHAP II BP 87-90 KG TAHAP III Kualitas Karkas Gambar 5 Bagan Penelitian L SR L SRU1 (N=2) L SRU2 L SR L SRU1 (N=2) L SRU2 LSL, BBL,PASI, 9 Induk LS SS SSU1 (N=2) SSU2 L L L ST STU1 (N=2) STU2 KRH, PBBH, EPR SS SSU1 (N=2) SSU2 L L L KUALITAS KARKAS: BP,BK,PK,TLP,LEA ST STU1 (N=2) STU2 L L L L L L

Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan Abstrak Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda babi dara sebelum dikawinkan pada performans reproduksi. Penelitian menggunakan 60 ekor babi dara yang dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu 1) babi dara tanpa ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda. Setelah babi dara memperlihatkan gejala berahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak ditempatkan pada kandang individu berukuran 2,5 x 3,5 m 2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Penelitian tahap I menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan. Analisis data mengikuti prosedur model matematika sebagai berikut: Y ij = µ + αi + ε ij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) memperpendek lama bunting (LB), meningkatkan dimensi tubuh, yaitu panjang badan lahir (PBL), tinggi tungkai muka lahir (TTML), tinggi tungkai belakang lahir (TTBL). Induk yang diovulasi ganda mempunyai konsumsi ransum harian induk (KRHI) yang lebih tinggi. Induk yang diovulasi ganda juga mengalami peningkatan produksi air susu induk (PASI) per menyusui, produksi air susu induk ( PASI ) babi per hari, produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi. Anak yang dihasilkan induk yang diovulasi ganda mempunyai pertambahan bobot badan anak (PBBA) yang lebih tinggi dengan mortalitas (MRTA) yang lebih rendah, sehingga menghasilkan litter size sapih (LSS) yang lebih tinggi. Induk yang diovulasi ganda mempunyai anak dengan bobot sapih yang lebih tinggi baik per litter (BSPL), maupun per ekor (BSPE). Ovulasi ganda meningkatkan (P<0.05) bobot badan induk (BBI), litter size lahir hidup (LSLH), bobot badan lahir per litter (BLPL), dan bobot badan lahir per ekor (BLPE). Ovulasi ganda tidak mempengaruhi litter size lahir mati (LSLM) dan litter size lahir total (LSLT) Dapat simpulan bahwa performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda sebelum pengawinan dapat memperbaiki bobot lahir, litter size sapih, dimensi tubuh, produksi air susu induk babi, mortalitas, dan konsumsi ransum. Kata Kunci : Ovulasi ganda, Performans reproduksi

38 The Reproduction Performances of Superovulated Sows with PMSG and hcg Before Mating Abstract This research was conducted to study the effect of superovulation prior to mating on gilts reproduction performance. Sixty gilts were divided into two factor treatments of A, namely 1) gilts without superovulation and 2) gilts with superovulation. Once the gilts showed a standing heat symptoms, the boar was introduced into the pig pen to mate the gilts. During the study, the pregnant gilts were kept together in postal pens and two weeks before farrowing, each pregnant gilts was then placed in 2.5 x 3.5 m2 individual cages equipped with feeding and drinking devices. A Completely Randomized Design (CRD) was used in the first phase of study, consisting of two treatments with 30 replications, while analysis of data were based on the mathematical model procedures, as follows: Yij = μ + αi + εij. All data were then analysed using analysis of variance. The results showed that the superovulation significantly (P<0.01) reduced gestation period (GP), increased the pigs body dimension (BD), the front leg height at birth (FLHB), the rear leg height at birth (RLB), the daily sow ration consumption, the sows milk production (SMP) per suckling, the daily sows milk production (SMP) per day, the sows milk production (SMP) per lactation, the piglet body weight gain (PBWG), the mortality (MRTA), litter size at weaning (LSW), the weaning litter size (WLS). Superovulation significantly (P <0.05) increased the sows body weight (SBW), the litter size born alive (LSBA), the litter weigth at birth (LWAB), the pig weight at birth (PWAB). Superovulation prior to mating did not affect litter size dead born (LSDB) and the total born litter size. It was concluded that the superovulation of the sows before mating could improve sow reproductive performances, which is described by the improvement of birth weight, weaning litter size, mortality, consumption of rations, and the sow milk production. Keywords: Superovulation, reproduction, sows productivity

39 Pendahuluan Performans reproduksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan proses reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat penyapihan sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhinya adalah frekuensi beranak, pertambahan bobot badan anak sebelum disapih, angka kematian yang rendah dan bobot anak pada saat lahir, semuanya ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama dalam kandungan) yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio, fetus, sampai dilahirkan. Kehidupan anak babi lahir sampai disapih merupakan periode kritis, umumnya angka kematian atau mortalitas pada periode ini sangat tinggi. Hal ini merupakan masalah utama yang sering terjadi pada usaha peternakan babi, baik skala kecil maupun skala besar. Angka kematian anak babi sebelum disapih berkisar 20 30% dan bahkan dapat mencapai 65% ( Eusebio 1974). Tingginya angka kematian ini dapat dimengerti karena pada periode awal (starter) status faali anak babi sangat peka terhadap derita cekaman (stress) dingin. Jumlah anak babi sekelahiran (litter size) yang tinggi dengn bobot lahir yang rendah juga akan mempengaruhi kematian anak babi selama menyusu (Pond and Maner 1974). Anak babi yang lahir dengan bobot badan rendah diduga ada hubungan dengan kemampuan untuk melawan cekaman pada kehidupan di luar kandungan karena adanya sistem hormonal dalam lingkungannya serta keadaan faali yang relatif belum matang. Banyak cara telah dilakukan untuk memperbaiki produktivitas induk, antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan prenatal, yaitu perkembangan embrio dan fetus yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang optimal. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu zigot, embrio, dan fetus. Diantara ketiga periode tersebut, periode pertumbuhan dan perkembangan fetus merupakan periode pertumbuhan prenatal yang paling pesat, selain itu dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat

40 memproduksi susu secara optimal selama masa laktasi. Pertumbuhan anak babi setelah kelahiran sampai penyapihan ditentukan oleh produksi air susu dari induk untuk pemeliharaan anak selama prasapih (Kim et al. 2000; Valros et al. 2003). Ovulasi ganda merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sistem reproduksi ternak dengan harapan dapat memperbaiki produksi melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu selama laktasi (Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1999). Penggunaan PMSG dan hcg telah dibuktikan dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi air susu pada domba (Manalu et al. 1998), sapi (Sudjadmogo et al. 2001), kambing (Adriani et al. 2005), dan babi (Mege et al. 2007). Melalui peningkatan produksi air susu dari induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan dan bobot sapihan dapat dinaikkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada performans anak babi yang dilahirkan sampai disapih.

41 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian tahap I ini dilaksanakan di Peternakan Wailan, yang berlokasi di Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, mulai dari Oktober 2010 hingga Maret 2011. Jarak dari Manado ke lokasi penelitian ± 25 km. Materi Penelitian Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi dara (calon induk) keturunan Landrace, Yorkshire, dan Duroc sebanyak 60 ekor dengan bobot badan berkisar antara 100 107 kg. Ransum yang digunakan selama penelitian disesuaikan dengan ransum yang digunakan di perusahaan. Tabel 2 Komposisi Bahan dan Zat Makanan dalam Ransum Induk Babi dan Pejantan, Induk Bunting dan Laktasi (%) Bahan Makanan Induk dan Pejantan Induk Bunting dan Laktasi Jagung 80 40 Konsentrat 20 60 Dedak halus - - Butiran EGP 702 - - Komposisi Zat-zat Makanan Ransum Induk dan Pejantan)* Ransum Induk Bunting dan Laktasi )* Bahan Kering 87.47 87.47 Abu 3.83 10.58 Protein Kasar 14.49 16.68 Lemak 8.05 8.30 Serat Kasar 3.91 15.18 Beta-N 57.19 38.53 Kalsium 0.95 1.38 Fosfor 0.88 1.04 NaCl 0.12 0.27 Energi Bruto (kkal/kg) 3891 3960 Ket.:*) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)

42 Komposisi bahan makanan dan zat-zat makanan dalam ransum masingmasing dapat dilihat pada Tabel 2. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari dan air minum tersedia ad libitum sepanjang hari. Agen ovulasi ganda yang digunakan adalah hormon PMSG (Folligon, Intervet, North Holland) dan hcg (Chorulon, Intervet, North Holland). Penyerentakan berahi dilakukan dengan menggunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland). Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian tahap I ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas dua perlakuan masing-masing dengan 30 ulangan. Analisis data mengikuti prosedur model matematika Y ij = µ + αi + ε ij. Semua data diolah dengan menggunakan sidik ragam (Steel dan Torrie 1989). Prosedur Penelitian Penelitian tahap 1 (Gambar 5) menggunakan 60 ekor babi dara yang ditempatkan dalam kandang, yaitu 30 ekor babi dara disuntik PMSG dan hcg dengan dosis: 400/200 (ovulasi ganda 600) IU per ekor dan 30 ekor lainnya disuntik dengan NaCl fisiologis 0.95% sebagai kontrol. Sebelum penyuntikan PMSG dan hcg, dilakukan penyerentakan berahi dengan penyuntikan satu ml PGF 2 α sebanyak dua kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF 2 α kedua, atau tiga hari sebelum berahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan hcg secara intramuskuler (sesuai dengan dosis pada masing-masing perlakuan), sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCI fisiologis 0.95%. Setelah menampakkan gejala berahi, babi pejantan dimasukkan ke dalam satu kandang untuk mengawini babi dara yang berahi. Selama penelitian, babi yang telah bunting dipelihara bersama dalam kandang postal, dan dua minggu menjelang beranak, babi ditempatkan pada kandang individu berukuran 2.5 x 3.5 m 2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 49 hari setelah beranak (postpartum), yang merupakan umur penyapihan.

43 Peubah yang diamati dalam penelitian tahap I ini adalah sebagai berikut : 1. Lama bunting (LB) (hari), diperoleh dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. 2. Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg), diperoleh pada saat induk akan beranak dilakukan pengukuran lingkar dada dengan menggunakan pita ukur, caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan. 3. Liter size lahir dibagi dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang hidup lahir (LSHL), jumlah anak babi yang mati lahir (LSML), dan hasil penjumlahan dari kedua ketegori tersebut, yaitu litter size total (LSTL). 4. Dimensi tubuh anak babi (cm), yang kesemuanya diukur bersamaan pada saat penimbangan bobot anak. Pengukuran dimensi tubuh dilakukan dengan menggunakan meteran berskala sentimeter, yang meliputi a. Panjang badan lahir (PBL) (cm), diukur dari pangkal batang leher sampai pangkal tulang ekor b. Tinggi tungkai muka lahir (TTML) (cm) diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang bahu. c. Tinggi tungkai belakang lahir (TTBL) (cm) diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang. 5. Bobot lahir meliputi; a. Bobot badan lahir per litter (BLPL) (kg/litter), diperoleh dengan cara menimbang semua anak babi yang hidup lahir dari seperindukan b. Bobot badan lahir per ekor (BLPE) (kg/e), diperoleh dari hasil perhitungan bobot badan per litter dibagi dengan jumlah anak per induk per kelahiran. 6. Konsumsi ransum harian induk (KRHI) (kg/e/h), dihitung dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum sisa pagi hari berikutnya. 7. Frekuensi menyusui (FIM), diperoleh dari hasil pengamatan berapa kali induk babi menyusui anaknya dan diamati selama 24 jam. 8. Produksi air susu induk (PASI) babi, yang diukur dalam tiga periode, yaitu PASI babi per menyusui, per hari, dan per laktasi.

44 a. Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui (kg), didasarkan pada bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi, 1983), anak babi ditimbang sebelum dan segera setelah selesai menyusu dan selisih bobot penimbangan adalah PASI babi pada saat itu. Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak babi dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari hasil pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran air susu induk babi dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk mengurangi stres pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke- 14, ke- 21, ke-28, ke-35, ke-42, dan hari ke-49. b. Produksi air susu induk (PASI) babi per hari diperoleh dari frekuensi induk menyusui (FIM) x PASI babi per menyusui c. Produksi air susu induk (PASI) babi per laktasi (kg), PASI /hari x 49 hari (selama laktasi) 9. Pertambahan bobot badan anak (PBBA) babi selama menyusu (kg/ekor/hari), yaitu selisih antara rataan bobot badan sebelum dan sesudahnya, dan dilakukan dengan cara menimbang anak babi menyusu setiap minggu. 10. Mortalitas (MRTA) anak babi prasapih (%) diperoleh dengan menghitung jumlah anak yang mati dari seperindukan selama menyusui (49 hari), kemudian dibagi dengan jumlah anak yang lahir hidup dan dikalikan dengan 100% (persentase mortalitas). 11. Litter size sapihan (LSS) (ekor), diperoleh dengan menghitung jumlah anak babi sekelahiran segera setelah disapih 12. Bobot sapih meliputi; a. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg), diperoleh dengan menimbang semua anak babi seperindukan segera setelah disapih. b. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg), diperoleh dengan cara menghitung bobot badan sapih per litter (BSPL) dibagi dengan jumlah anak babi sapihan per induk per kelahiran

45 Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan pada Penampilan Reproduksi Induk Babi Penampilan reproduksi induk babi yang diamati dalam penelitian ini ialah lama bunting, bobot badan induk babi bunting, dan penampilan reproduksi yang meliputi litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk laktasi, produksi air susu induk babi, pertambahan bobot badan anak babi, mortalitas, bobot sapih, dan litter size sapih. Lama Bunting Rataan umum lama bunting hasil penelitian adalah 112.76 ± 3.83 hari dengan kisaran lama bunting 107 119 hari. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari pendapat Eusebio (1980) yang menyatakan bahwa umur kebuntingan ternak babi berkisar antara 112 120 hari dengan rataan 114 hari. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat nyata (P<0.01) mempersingkat lama bunting. Secara rinci rataan lama bunting berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan lama bunting babi yang tanpa ovulasi ganda adalah 115 ± 2.83 hari (dengan KK=5.98%), dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 110.52 ± 2.23 hari (dengan KK=2.05%). Lama bunting induk babi yang diovulasi ganda lebih singkat 4.48 hari daripada yang tidak diovulasi ganda. Hal ini demikian karena babi dara yang diovulasi ganda mengalami peningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta aktivitas fisiologis uterus dan plasenta sehingga uterus dan plasenta tumbuh lebih baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio dan festus walaupun dalam jumlah yang lebih banyak (Mege et al. 2007). Hasil ini juga didukung oleh Hafez (1993) yang mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi lama bunting ternak, antara lain faktor induk, jumlah anak yang dikandung, dan bangsa babi. Menurut Yoga (1988), lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh periode kelahiran, banyaknya anak dalam kandungan, dan bangsa atau jenis babi. Lebih lanjut dinyatakan, makin banyak anak yang dikandung maka lama bunting semakin singkat. Jumlah anak dalam kandungan dapat menentukan waktu untuk beranak atau partus karena proses beranak akan berlangsung dengan cepat

46 Tabel 3 Penampilan Reproduksi Induk Babi Kontrol (TSO) dan yang Diovulasi Ganda (SO) Parameter Perlakuan Rataan TSO SO Lama Bunting (LB) (hari) 115. 00 ± 2.83 B 110.52 ± 2. 23 A 112.76± 3.38 Bobot badan induk bunting (BBIB) (kg) Litter size lahir (LSL) 171. 38 ± 9.15 a 179.86 ± 11. 49 b 175.62± 11.12 1. Litter size hidup lahir (LSHL) (ekor) 8. 95 ± 2. 03 a 10.43± 2. 54 b 9. 69± 2. 39 2. Litter size lahir mati (LSML) (ekor) 1.33 ± 1. 02 0.81± 1. 57 1. 07± 1. 33 3. Litter size total lahir (LSTL) (ekor) 10. 29 ± 2.19 11.24± 3. 33 10. 76± 2. 83 Dimensi Tubuh Lahir 1. Panjang badan (PBAL) (cm) 21.12 ± 1. 31 A 22.81± 0. 97 B 21. 96 ± 1.43 2. Tinggi tungkai muka (TTML) (cm) 13. 35 ± 1.12 A 14.53± 0. 55 B 13. 94± 1.06 3. Tinggi tungkai belakang (TTBL) (cm) 15. 35 ± 0. 90 A 16.39± 0. 55 B 15. 87± 0. 90 Bobot Lahir 1. Bobot lahir per litter (BLPL) (kg /litter) 13.64 ± 2. 31 a 16.10 ± 4. 19 b 14. 87± 3. 57 2. Bobot lahir per ekor (BLPE) (kg/e) 1.34 ± 0. 14 a 1. 46 ± 0.19 b 1. 40 ± 0.18 Konsumsi Ransum Harian Induk (KRHI) (kg) 4.87 ± 0. 77 A 5. 48±0. 45 B 5. 16± 0.71 Produksi Air Susu Induk (PASI) Babi 1. Frekuensi induk babi menyusui (FIM) 18.93 ± 0. 23 A 19. 89± 0.40 B 19.41± 0.58 2. PASI babi per menyusui (kg) 0. 32 ± 0. 10 a 0. 39± 0.05 b 0.35± 0.08 3 PASI babi per hari (kg) 6. 23 ± 1. 89 A 7. 74±1.00 B 6.99±1.68 4. PASI babi per laktasi (kg) 305. 54 ± 92. 40 A 379. 44± 11.08 B 342.49 ± 82.12 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi (PBBA)(kg) 9. 35 ± 0. 69 A 10. 81± 1.69 B 10.08 ± 1.48 Mortalitas (MRTA) (%) 26. 64 ±18.60 B 14. 92± 10.18 A 20.78 ± 15. 95 Litter size sapih (LSS) (ekor) 7. 48 ±1.97 A 9. 29± 1.98 B 8.38 ± 2. 15 Bobot Sapih 1. Bobot sapih per litter (BSPL) (kg/litter) 79.63 ± 20.78 A 107.02± 21.85 B 93.33± 25. 21 2. Bobot sapih per ekor (BSPE) (kg/e) 10.64 ± 0.75 A 11. 61± 1.41 B 11.13± 1.07 Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama masing-masing menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0.05); TSO = tanpa ovulasi ganda, SO = ovulasi ganda

47 disebabkan dorongan fetus dari dalam akan terjadi sehingga kontraksi uterus, serviks serviks menjadi relaks bersamaan dengan tekanan yang dihasilkan oleh otot uterus, fetus yang di dalam uterus akan membuat jalan baginya untuk menuju vagina lebih cepat sampai akhirnya beranak (Yoga 1988). Lebih lanjut dinyatakan bahwa lama bunting ternak babi dipengaruhi oleh frekuensi beranak dari induk. Induk babi yang baru pertama kali beranak biasanya lebih cepat proses beranaknya daripada induk babi yang sudah beberapa kali beranak. Hal ini dapat dijelaskan bahwa lama bunting induk dara lebih singkat daripada induk yang sudah beberapa kali beranak. Bobot Badan Induk Babi Bunting Bobot badan induk babi bunting (BBIB) diukur pada saat induk akan beranak dengan melakukan pengukuran lingkar dada menggunakan pita ukur, caranya dengan melingkarkan pita ukur pada dada, kemudian terbaca angka lingkar dada yang langsung terkonversi ke bobot badan. Rataan umum dari hasil penelitian BBIB adalah 175.62 ± 11.12 kg. Secara rinci, rataan BBIB menurut perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan nyata (P<0.05) meningkatkan BBIB. Rataan BBIB induk yang tidak diovulasi ganda (kontrol) adalah 171.38 ± 9.15 kg (dengan KK =5.34% ) dan induk yang diovulasi ganda adalah 179.86 ± 11.49 kg (dengan KK=6.39%). Dengan kata lain, ovulasi ganda menyebabkan terjadinya peningkatan BBIB 8.48 kg lebih tinggi daripada yang tidak diovulasi ganda. Bobot badan induk babi bunting sangat dipengaruhi oleh ovulasi ganda karena jumlah dan bobot embrio yang terkandung di dalam uterus. Bobot badan induk babi bunting yang diovulasi ganda lebih berat daripada yang tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 2000). Jumlah korpus luteum ini memiliki kaitan erat dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mamogenik, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Manalu et al. 1999). Hormon-hormon tersebut, selain berperan dalam memantapkan proses kebuntingan, juga berfungsi dalam memodulasi

48 ekspresi sejumlah protein, selain itu konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus dan bobot fetus dalam kandungan (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Hormonhormon tersebut berperan sebagai faktor penentu pertumbuhan selanjutnya dan akan memelihara hubungan antara embrio dan uterus serta memandu pertumbuhan embrio untuk menjadi fetus dengan pertumbuhan yang baik (Schultz et al. 1993). Litter Size Lahir Litter size lahir dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jumlah anak babi yang hidup lahir (Litter Size Hidup Lahir, LSHL), jumlah anak mati lahir (Litter Size Mati Lahir, LSML), dan hasil penjumlahan kedua kategori tersebut (Litter Size Total Lahir, LSTL). 1. Litter Size Hidup Lahir Rataan umum jumlah anak-anak babi yang hidup lahir per ekor induk adalah sebesar 9.69 ± 2.39 ekor (Tabel 3). Rataan umum yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada pernyataan Kurniawan (2006) bahwa litter size hidup lahir anak babi sebesar 10.16 ekor. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan litter size hidup lahir, yaitu 8.95 ± 2.03 ekor (dengan KK= 22.74%) pada kontrol dan 10.43 ± 2.54 ekor (dengan KK= 24.37% ) pada induk yang diovulasi ganda. Litter size hidup lahir pada induk yang diovulasi ganda lebih tinggi daripada induk tanpa ovulasi ganda. Lazimnya, pada ternak yang beranak banyak, seperti ternak babi, semakin tinggi jumlah anak yang dikandung cenderung semakin banyak anak yang lahir di bawah bobot rataan normal sehingga anak babi dengan bobot lahir di bawah normal akan mati dengan demikian, akan mempengaruhi jumlah anak yang hidup lahir. Litter size hidup lahir bergantung pada jumlah anak yang mati pada proses sebelum dan sesudah lahir. Makin tinggi anak babi yang mati pada proses tersebut diikuti dengan makin rendah litter size hidup lahir.

49 2. Litter Size Mati Lahir Rataan umum anak babi yang mati lahir dalam penelitian ini adalah sebesar 1.07 ± 1.33 ekor atau 9.29 ± 9.87%. Persentase rataan umum yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama dengan pendapat Sihombing (2006), yang menyatakan bahwa hampir 10% anak babi yang mati lahir adalah yang benar-benar mati sebelum mulai proses kelahiran dan 90% sisanya adalah mati selama proses kelahiran. Rataan litter size mati lahir pada penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi litter size mati lahir. Rataan litter size mati lahir pada penelitian ini untuk induk babi tanpa ovulasi ganda adalah 1.33 ± 1.02 ekor (dengan KK 11.83%) dan untuk induk yang diovulasi ganda ialah 0.81 ± 1.56 ekor (dengan KK 10%). Walaupun hasil analisa sidik ragam untuk perlakuan tidak berbeda nyata, namun pada Tabel 3 tampak bahwa babi dara yang diovulasi ganda menghasilkan jumlah anak babi yang mati lahir lebih sedikit dibanding dengan yang tidak diovulasi ganda. Hal ini demikian karena anak babi yang lahir dari induk babi tanpa ovulasi ganda umumnya lebih banyak yang mempunyai bobot lahir yang rendah yaitu di bawah satu kilogram. Hasil pengamatan memperlihatkan, umumnya anak babi mati sesudah dilahirkan. Banyak anak babi yang mati dalam keadaan lemah, dan pada umumnya mempunyai bobot lahir yang sangat rendah, yaitu di bawah satu kilogram. Kematian ini umumnya terjadi pada saat lahir hingga hari ke-3 setelah lahir. Sihombing (2006) menyatakan bahwa tingkat kematian anak babi sampai umur tiga hari adalah 12% sedangkan sampai umur 4-7 hari adalah 10%. 3. Litter Size Total Lahir Rataan umum litter size total lahir hasil penelitian adalah 10.76 ± 2.83 ekor. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran, antara lain faktor genetik dan lingkungan. Litter size total lahir yang diperoleh selama penelitan lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Krider dan Carrol (1971), yaitu sebesar 11.4 ekor, sedangkan menurut Eusebio (1980) litter size lahir anak babi berkisar antara 8-12 ekor. Bangsa babi juga dapat mempengaruhi jumlah litter size lahir, babi Duroc dengan litter size 10,24 ekor, bangsa babi Landrace

50 10,94 ekor (Milagres et al. 1983) dan 11 ekor (Devendra dan Fuller 1979), sedangkan untuk bangsa babi Yorkshire adalah 9,57 ekor (Park dan Kim 1983). Rataan litter size total lahir untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda adalah 10.29 ± 2.19 ekor (dengan KK=21.33%) dan untuk induk yang diovulasi ganda ialah 11.24 ± 3.33 ekor (dengan KK=29.63%). Hasil analisis keragaman perlakuan menunjukkan bahwa ovulasi ganda tidak nyata mempengaruhi litter size total lahir pada babi percobaan. Litter size total lahir pada induk yang diovulasi ganda menghasilkan rataan jumlah anak yang hampir sama dengan induk yang tidak ovulasi ganda karena ternak babi adalah ternak yang prolifik. Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik, jumlah anak total lahir atau litter size total lahir pada induk babi yang diovulasi ganda masih lebih tinggi daripada tanpa ovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran bahwa secara fisiologis, induk babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian PMSG dan hcg yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH, yaitu merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang selanjutnya akan merangsang ovulasi (Bates et al. 1991; Estiene dan Harper 2003) dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan progesteron dan ovum yang lebih banyak sehingga berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Mege et al. 2007). Dimensi Tubuh Anak Babi Lahir Dimensi tubuh anak babi setelah lahir diperoleh dengan cara mengukur bagian-bagian tubuhnya. Dimensi tubuh anak babi lahir dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu panjang badan anak babi lahir (PBAL), tinggi tungkai muka lahir (TTML), dan tinggi tungkai belakang lahir (TTBL). 1. Panjang Badan Anak Babi Lahir Pertumbuhan anak babi saat lahir digambarkan dengan peningkatan ukuran morfometrik panjang badan dari anak babi yang dilahirkan. Rataan umum panjang badan anak babi lahir (PBAL) adalah 21.96 ± 1.43 cm. Panjang badan anak babi lahir pada penelitian ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Rataan panjang badan anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 21.12 ± 1.31 cm (dengan KK=6.22%) dan 22.81 ± 0.97 cm

51 (dengan KK= 4.26 %). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan ukuran panjang badan anak babi lahir. Tabel 3. memperlihatkan bahwa anak babi yang lahir dari induk babi tanpa ovulasi ganda mempunyai ukuran badan yang lebih pendek daripada anak babi dari induk yang diovulasi ganda. Perbaikan penampilan panjang badan anak saat lahir pada induk yang diovulasi ganda digambarkan pula oleh peningkatan fenotipe panjang badan. Hasil penelitian ini didukung hasil Manalu et al. (2000) pada domba bahwa anak domba yang berasal dari induk ovulasi ganda mempunyai panjang badan yang lebih panjang dibanding dengan yang tanpa ovulasi ganda, demikian juga pada kambing hasil ovulasi ganda (Adriani et al. 2005). Ovulasi ganda dapat meningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progestreron dan estradiol sehingga memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan uterus yang memanifestasikan peningkatan bobot uterus dan kandungan total DNA dan RNA, dan glikogen yang menggambarkan adanya hipertropi atau pertambahan masa sel aktif, tetapi juga disertai oleh peningkatan konsentrasi DNA dan RNA yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan uterus disertai oleh adanya sintetik sel terutama memproduksi substrat untuk pemeliharaan embrio pada kebuntingan dini. Pada tikus dan kelinci, estrogen menstimulasi hipertropi dan mempertahankan sel-sel luteal selama kebuntingan (Niswender et al. 2000). 2. Tinggi Tungkai Muka Anak Babi Lahir Rataan umum dari hasil pengamatan tinggi tungkai muka anak babi lahir (TTML) adalah 13.94 ± 1.06 cm. Tinggi tungkai muka merupakan hasil pengukuran dimensi tubuh yang menggambarkan pertumbuhan ternak. Tinggi tungkai muka anak babi lahir pada penelitian ini secara rinci diperlihatkan pada Tabel 3. Rataan tinggi tungkai muka anak babi yang dilahirkan oleh induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 13.35 ± 1.12 cm (dengan KK=6.41% ) dan 14.53 ± 0.56 cm (dengan KK= 3.82%). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan tinggi tungkai muka anak babi lahir. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga memperlihatkan bahwa peningkatan panjang badan anak babi lahir disertai dengan peningkatan rataan tinggi tungkai muka pada anak babi yang

52 dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda. Perbaikan parameter reproduksi pada induk digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka. Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai muka berlangsung terus sampai anak babi berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini disebabkan induk babi yang diovulasi ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, sehingga integrasi kinerja uterus dan plasenta secara optimal menyebabkan asupan nutrisi untuk embrio berjalan dengan baik sehingga berdampak pada ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan oleh fenotipe tinggi tungkai muka saat lahir (Manalu et al. 1996; Manalu dan Sumaryadi 1998). 3. Tinggi Tungkai Belakang Anak Babi Lahir Rataan umum pengamatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir adalah sebesar 15.87 ± 0.90 cm. Tinggi tungkai belakang anak babi lahir pada penelitian ini selengkapnya terlihat pada Tabel 3. Pertumbuhan anak saat lahir digambarkan juga oleh peningkatan morfometrik tinggi tungkai belakang anak yang lahir. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan tinggi tungkai belakang anak babi lahir. Rataan tinggi tungkai belakang anak babi lahir dari induk babi kontrol dan yang diovulasi ganda masing-masing adalah 15.35 ± 0.90 cm (dengan KK=5.87%) dan 16.39 ± 0.55 cm (dengan KK= 3.36 %). Peningkatan tinggi tungkai belakang anak babi lahir memberi peluang pertumbuhan ternak babi yang lebih baik. Perbaikan tinggi tungkai belakang pada anak babi digambarkan melalui peningkatan fenotipe pada tinggi tungkai muka. Perbaikan dimensi tubuh berupa tinggi tungkai belakang berlangsung terus sampai ternak berumur 49 hari atau pada waktu disapih. Hal ini terjadi karena ovulasi ganda mampu meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, sehingga kerja optimal dari hormon progesteron dalam proses pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta, serta embrio akan baik. Hasilnya, uterus berkembang secara optimal sebagai tempat hidup embrio, yang menyebabkan ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan oleh fenotipe, yaitu tinggi tungkai belakang saat lahir akan lebih baik dibandingkan dengan anak babi dari induk yang tanpa ovulasi ganda. Hal ini

53 didukung oleh Manalu et al. (1999) dan Adriani et al. (2005) yang menyatakan bahwa anak domba dan kambing yang berasal dari induk yang diovulasi ganda mempunyai badan lebih panjang. Hal ini terjadi karena estrogen berfungsi merangsang hipertropi dan hiperplasia endometrium dan miometrium akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Selain itu, estrogen dan progesteron juga berfungsi dalam merangsang osteogenesis pada embrio dan fetus. Kekurangan estrogen menyebabkan aktivitas osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfor tulang berkurang sehingga pertumbuhan tulang terganggu. Bobot Lahir Anak Babi Bobot lahir dibagi ke dalam dua kategori, yaitu penimbangan anak babi yang lahir dari setiap induk (bobot lahir per litter, BLPL) dan bobot lahir per ekor (BLPE) hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak hidup lahir (ekor). 1. Bobot Badan Lahir per Litter Rataan umum bobot lahir anak babi per litter adalah 14.87 ± 3.57 kg. Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot badan lahir per litter dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan bobot lahir per litter. Bobot badan lahir anak per litter dari induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 13.64 ± 2.31 kg (dengan KK=16.98%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 16.10 ± 4.19 kg (dengan KK=25.99%). Ovulasi ganda pada induk babi menghasilkan bobot lahir per litter yang lebih tinggi daripada tanpa ovulasi ganda, karena ovulasi ganda meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam perangsangan proses sintesis dan sekresi kelenjar endometrium uterus yang pada gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan konseptus sejak pra-implantasi sampai menjelang kelahiran (Carson et al. 2000). Pregnant Mare s Serum Gonadotropin dan Human Chorionic Gonadotrophin berperan dalam meingkatkan kapasitas dan sekresi uterus (Geisert dan Schmitt 2002) serta pertumbuhan dan perkembangan

54 intrauterus (Valet et al. 2002). Setelah plasentasi, pertumbuhan fetus sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1999; Giellespie dan James 1998). 2. Bobot Badan Lahir per Ekor Rataan umum bobot lahir anak babi per ekor adalah 1.40 ± 0.18 kg. Kurniawan (2006) yang meneliti hubungan bobot lahir dengan litter size lahir menyatakan bahwa bobot lahir anak babi adalah 1.30 kg/ekor. Bobot lahir anak babi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa induk, dan jumlah anak seperindukan pada waktu lahir (De Borsotti et al. 1982). Pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada bobot badan lahir dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan bobot lahir per ekor. Bobot lahir per ekor anak babi dari induk kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 1.34 ± 0.14 kg (dengan KK=10.46%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 1.46 ± 0.19 kg (dengan KK=13.12%) (Tabel 3). Bobot lahir anak yang lebih tinggi pada induk babi yang diovulasi ganda terjadi karena ovulasi ganda meningkatkan aktivitas hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan. Hormon-hormon tersebut akan disekresikan secara endogen selama kebuntingan dan berperan dalam diferensiasi dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang berkaitan dengan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa transisi dari kehidupan intrauterus ke ekstrauterus (Geisert et al. 1994). Bobot lahir tidak lepas dari kapasitas dan sekresi uterus (Giesert dan Schmitt 2002), dan juga oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al. 2002) yang setelah plasentasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas plasenta yang memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk untuk pemeliharaan fetus (Wilson et al. 1998). Konsentrasi progesteron dan estradiol selama kebuntingan berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot lahir anak (Manalu & Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Ovulasi ganda dapat meningkatkan pertumbuhan otot awal yang ditandai dengan peningkatan ukuran serat otot (hipertropi), pertumbuhan otot kemudian berasal dari peningkatan jumlah serat otot (hiperplasia) (Giellespie dan James 1998). Sebagian besar ternak

55 berkembang 60 70% dari bobot lahir selama fase pertumbuhan fetus. Peningkatan terbesar dalam bobot fetus terjadi selama kebuntingan (Giellespie dan James 1998). Akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang sebagian besar terjadi pada periode kebuntingan menyebabkan bobot anak babi yang lahir dari induk yang diovulasi ganda lebih baik. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi Laktasi Konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi laktasi adalah jumlah ransum yang dimakan induk babi setiap hari selama masa laktasi. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah ransum awal dengan jumlah sisa. Ransum yang dikonsumsi induk babi, di samping akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga digunakan untuk produksi air susu, energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan sebagai kotoran. Rataan umum untuk konsumsi harian ransum induk babi laktasi adalah 5.16 ± 0.70 kg, Sihombing (2006) menyatakan dalam menghitung kebutuhan ransum untuk induk laktasi adalah 2 kg untuk hidup pokok induk dan ditambah dengan 0.5 kg untuk setiap ekor anak. Dari hasil perhitungan, rataan kebutuhan ransum dihubungkan dengan rataan umum litter size lahir hidup (9.69 ± 2.39 ekor) adalah sebesar 6.85 kg per ekor induk. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian maka ransum yang dikonsumsi oleh induk babi laktasi masih lebih rendah 1.69 kg daripada kebutuhan yang direkomendasikan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa induk babi yang diovulasi ganda mengkonsumsi ransum yang lebih banyak (P<0.01) selama laktasi. Hasil pengamatan konsumsi ransum harian induk (KRHI) babi selama masa laktasi diperlihatkan pada Tabel 3. Rataan konsumsi ransum harian induk babi selama laktasi masingmasing adalah 4.87 ± 0.77 kg pada kontrol (dengan KK=15.86 %) dan 5.48 ± 0.45 kg pada induk yang diovulasi ganda (dengan KK=8.23 %). Konsumsi ransum yang lebih tinggi pada induk babi laktasi yang diovulasi ganda terjadi karena litter size hidup lahir (10.43 ± 2.54 ekor) juga lebih tinggi dibandingkan dengan pada induk tanpa ovulasi ganda (8.95 ± 2.03 ekor). Kebutuhan ransum induk babi selama laktasi sangat bergantung pada banyaknya anak yang disusuinya (Sihombing 2006). Hasil penelitian rataan litter size lahir pada perlakuan induk babi ovulasi ganda dan tidak diovulasi ganda dihubungkan

56 dengan konsumsi ransum harian induk babi laktasi dalam penelitian ini masih lebih rendah daripada yang seharusnya, yaitu 7.21 kg untuk yang diovulasi ganda dan tanpa ovulasi ganda adalah 6.48 kg. Kebutuhan ransum untuk induk babi laktasi bergantung pada jumlah dan bobot badan anak yang disusuinya. Semakin tinggi litter size, konsumsi ransum induk juga semakin meningkat. Litter size juga mempengaruhi produksi susu. Semakin tinggi litter size lahir maka konsumsi ransum induk laktasi semakin banyak. Apabila konsumsi ransum induk selama laktasi tidak terpenuhi sesuai dengan jumlah anak sekelahiran, cadangan makanan dalam tubuh akan digunakan untuk memproduksi susu dan selanjutnya apabila cadangan makanan dalam tubuh berkurang maka produksi susu akan berkurang. Bobot badan anak juga mempengaruhi konsumsi ransum. Makin tinggi bobot badan anak-anak babi yang disusuinya maka konsumsi ransum induk laktasi makin tinggi (Parakkasi 1990). Bobot lahir anak babi dari induk babi kontrol adalah 1.34 ± 0.14 kg/ekor dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 1.46 ± 0.19 kg/ekor. Dengan demikian, induk yang mempunyai anak yang bobot lahirnya lebih tinggi akan mengkonsumsi ransum lebih banyak daripada induk yang mempunyai bobot lahir rendah. Induk babi yang diovulasi ganda mempunyai anak dengan bobot badannya lebih tinggi sehingga frekuensi induk babi menyusui lebih sering daripada anak babi yang bobot badannya lebih rendah. Dengan demikian, untuk mengimbangi produksi air susu induk babi maka konsumsi ransum induk laktasi yang diovulasi ganda lebih banyak daripada induk babi tanpa ovulasi ganda yang kenyataannya mempunyai anak lebih rendah bobot badannya. Produksi Air Susu Induk Babi Produksi air susu induk (PASI) babi yang dimaksud adalah per menyusui, per hari, dan per laktasi yang mana PASI babi per hari dan per laktasi merupakan hasil perhitungan frekuensi induk babi menyusui per hari dikalikan dengan PASI babi per menyusui. Frekuensi induk babi menyusui (FIM) per hari diperoleh dengan cara mengamati berapa kali induk babi menyusui anaknya selama 24 jam. Produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui diperoleh dengan menimbang bobot anak babi per kelahiran (Parakkasi 1990), anak babi ditimbang sebelum dan

57 segera setelah selesai menyusu dan selisih bobot penimbangan merupakan PASI babi pada saat itu. Penimbangan dilakukan dua kali, penimbangan pertama setelah anak babi dipuasakan selama 4 jam, kemudian penimbangan kedua sesudah anak babi menyusu (± 60 menit). Produksi air susu induk babi diperoleh dari hasil pengurangan penimbangan kedua dengan pertama. Pengukuran air susu induk babi per menyusui dimulai pada hari ketujuh setelah beranak untuk mengurangi stress pada anak babi, kemudian dilanjutkan pada hari ke-14, ke- 21, ke-28, ke- 35, ke-42, dan hari ke-49. Produksi air susu induk babi per hari diperoleh dengan cara menghitung PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi menyusui dan produksi air susu induk babi per laktasi diperoleh dari PASI babi per hari dikalikan dengan umur prasapih atau masa laktasi, yaitu 49 hari. 1. Frekuensi Induk Babi Menyusui Rataan umum untuk frekuensi induk babi menyusui (FIM) ialah 19.41 ± 0.58 kali per hari, dengan kisaran 13.57-24.29 kali/hari. Berdasarkan nilai pengamatan FIM anaknya selama penelitian dapat diperoleh rataan lama anak babi setiap menyusu adalah 74.81 menit (1.15 jam) sekali. Hasil pengamatan yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan pernyataan Xu dan Cranwell (2003) bahwa frekuensi induk babi menyusui adalah sebanyak 20 kali. Data frekuensi induk babi menyusui menurut perlakuan disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan frekuensi induk babi menyusui. Rataan frekuensi induk babi menyusui per hari pada induk kontrol adalah 18.93 ± 0.23 kali (dengan KK=1.20%) dan 19.89 ± 0.40 kali (dengan KK= 1.99%) pada induk yang diovulasi ganda. Perlakuan ovulasi ganda pada induk babi ternyata dapat meningkatkan frekuensi induk menyusui anaknya. Induk babi dengan produksi air susu yang tinggi akan lebih sering menyusui anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak babi dari induk ovulasi ganda secara konsisten dan lebih baik dalam mempertahankan frekuensi menyusui sampai prasapih daripada anak babi dari induk babi yang tanpa ovulasi ganda. Hal ini disebabkan anak babi yang lahir dari induk tanpa ovulasi ganda mempunyai bobot badan yang lebih rendah (1.34 ± 0.14 kg) dibandingkan dengan anak babi yang lahir dari induk ovulasi ganda (1.46 ± 0.19

58 kg) sehingga kebutuhan air susu lebih banyak dan anak hasil ovulasi ganda lebih agresif daripada anak yang lahir dari induk tanpa diovulasi ganda. Frekuensi menyusui 25.00 20.00 15.00 SO TSO Linear (SO) Linear (TSO) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke Gambar 6 Frekuensi Menyusui OvulasiGanda Induk Babi Tanpa Ovulasi Ganda dan dengan Gambar 6 menjelaskan bahwa frekuensi menyusui akan mengikuti jumlah produksi air susu dari induknya. Frekuensi menyusui sangat tinggi pada awal laktasi sampai pada minggu ke-2 dengan rataan 22 kali untuk induk babi yang diovulasi ganda dan 21 kali untuk induk babi yang tidak diovulasi ganda. Frekuensi induk menyusui mulai menurun setelah minggu ke-3 sampai frekuensi paling rendah pada minggu ke-7 dengan rataan 15 kali. Jadi, semakin lama masa laktasi maka semakin menurun frekuensi induk babi menyusui. Hal ini terjadi karena produksi air susu induk babi semakin menurun sehingga dari hasil pengamatan kebiasaan induk untuk memanggil anaknya untuk menyusu baik dengan gerakan maupun mengeluarkan bunyi semakin berkurang dan apabila anak-anak babi mendekati induknya, induk akan berdiri dan berjalan dalam kandang. Tindakan ini merupakan penolakan induk untuk menyusui anaknya, dan dari hasil pengamatan bahwa induk yang siap menyusui anaknya akan membaringkan tubuhnya sehingga posisi ambingnya nyaman untuk melakukan proses menyusui. Jumlah frekuensi induk babi menyusui harus diikuti dengan banyaknya jumlah air susu yang dapat diperoleh anaknya, karena jumlah air susu yang diperoleh mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dan hal ini akan menentukan daya hidup prasapih.

59 2. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Rataan umum untuk produksi air susu induk (PASI) babi per menyusui adalah 0.35 ± 0.08 kg. Produksi air susu induk babi per menyusui sangat penting bagi anak babi, terutama pada awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya bergantung pada air susu induknya, sebelum anak babi tersebut belajar untuk mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak dapat memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan PASI babi per menyusui. Rataan PASI babi per menyusui pada babi kontrol adalah 0.32 ± 0.10 kg (dengan KK=1.20%) dan pada induk dengan ovulasi ganda adalah 0.39 ± 0.05 kg (dengan KK=1.99%). Produksi air susu induk babi per menyusui pada induk babi yang diovulasi ganda meningkat karena ovulasi ganda meningkatkan konsentrasi progesteron dan estradiol sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu yang digambarkan dengan peningkatan jumlah sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesis susu (Manalu et al. 1999; Mege et al. 2007). Kelenjar susu adalah suatu kompleks organ yang tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel, dan sel sekretoris. Sel sekretoris tergabung dalam lobula alveoli yang merupakan tempat penghasil susu yang bekerja selama masa laktasi. Peran progesteron dan prolaktin sangat diperlukan untuk perkembangan alveoli. Produksi air susu induk yang dihasilkan oleh kelenjar mammae bergantung pada jumlah sel dalam kelenjar tersebut. Jadi semakin banyak sel tempat sintesis susu maka akan semakin banyak produksi air susu yang akan dihasilkan (Delaval 2008). Produksi air susu induk sangat penting bagi anak babi, terutama pada awal laktasi ketika anak babi sepenuhnya bergantung pada air susu induknya, pada waktu anak babi dilahirkan sebelum anak babi tersebut belajar untuk mengkonsumsi makanan lain, seperti ransum. Apabila anak babi tidak bisa memanfaatkan air susu pada awal laktasi secara maksimal maka pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu. Hal ini akan berdampak pada bobot anak waktu penyapihan sampai dengan bobot potong. Gambar 7 menyajikan kurva

60 produksi air susu induk babi per menyusui dari induk tanpa dan dengan ovulasi ganda pada setiap waktu pengukuran yang berbeda. 0.50 0.40 So TSO Linear (So) Linear (TSO) KG 0.30 0.20 1 2 3 4 5 6 7 Minggu Ke Gambar 7 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Gambar 7 menunjukkan bahwa pola produksi air susu induk babi menyusui mencapai puncaknya pada minggu ke-3 kemudian menurun secara linear sampai produksi terendah pada minggu ke-7. Gambar 7 juga menjelaskan bahwa produksi air susu per menyusui dari induk yang diovulasi ganda lebih tinggi dibandingkan dengan produksi air susu dari induk menyusui tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol, yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sehingga dengan ransangan anak babi yang menyusu akan meningkatkan sekresi air susu untuk menghasilkan produksi susu yang lebih baik (Mege et al. 2007). 3. Produksi Air Susu Induk Babi per Hari Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per hari diperoleh dari jumlah PASI babi per menyusui dikalikan dengan frekuensi induk babi menyusui per hari. Rataan umum PASI babi per ekor adalah 6.99 ± 1.68 kg/h. Rataan umum PASI babi per hari hasil penelitian ini lebih tinggi 1.54 kg/h daripada PASI babi per hari yang diperoleh dari hasil penelitian Silalahi (2011), yaitu 5.45 ± 1.64 kg/h dengan menambahkan 5% daun bangun-bangun dalam ransum induk babi. Menurut Mepham (1987), produksi air susu induk babi bergantung pada

61 banyaknya anak yang menyusu, walaupun tidak harus menjamin kebutuhan optimum dari anak-anak tersebut (Parakkasi 1983). Secara rinci, pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi per hari dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan PASI babi per hari. Rataan PASI babi kontrol adalah 6.23 ± 1.89 kg/h (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah, 7.74 ± 1.00 kg/h (dengan KK=12.97%). Produksi air susu induk babi per hari mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi ganda melalui bertambahnya jumlah sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun karena peningkatan aktivitas sintesis air susu. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan, terutama estradiol dan progesteron serta laktogen plasenta (Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000; Sudjatmogo et al. 2001; Adriani et al. 2005; Hurley et al. 2001). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan diakibatkan oleh peningkatan sekresi estrogen dan progesteron pada induk babi yang diovulasi ganda (Mege et al. 2007). Hasil pengamatan PASI babi per hari pada tiap minggu pengukuran diperlihatkan pada Gambar 8 yang menunjukkan bahwa puncak PASI babi terjadi pada minggu ke-3 masa laktasi, baik yang tanpa maupun yang diovulasi ganda. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Kim et al. (2000) bahwa kelenjar susu pada babi secara fungsional memproduksi susu selama laktasi mencapai puncak mulai 5 sampai 21 hari laktasi kemudian menurun secara perlahan yang digambarkan dengan adanya peningkatan DNA yang sangat pesat, yaitu 100 persen dari periode 5 sampai 2 hari laktasi dan kemudian menurun sampai akhir laktasi (Forsyth 1986). Peningkatan kandungan DNA kelenjar susu selama laktasi merupakan indikator peningkatan jumlah sel aktif yang berfungsi mengoptimalkan produksi susu dan pernyataan ini dudukung oleh Sihombing (2006) bahwa pada awalnya produksi air susu induk babi adalah 4 kg dan meningkat pada minggu ketiga dan keempat. Pada grafik terlihat produksi air susu induk babi mulai dari minggu pertama sampai ketujuh pada induk yang diovulasi ganda lebih tinggi daripada induk babi tanpa ovulasi ganda. Pada minggu kedua dan ketiga PASI babi per hari dari induk babi yang diovulasi ganda adalah sama,

62 yaitu 9.50 kg, sedangkan pada induk yang tanpa diovulasi ganda PASI babi pada minggu kedua berkisar 7.50 kg dan pada minggu ketiga naik menjadi 8.0 kg. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pada umur 2-3 minggu, anak babi dari induk yang tanpa ovulasi ganda mulai lebih aktif menyusu daripada anak babi dari induk yang diovulasi ganda. Perbedaan ini disebabkan babi yang diovulasi ganda mengalami peningkatan masa sel dan aktivasi sel sintetik sel sektretotis kelenjar ambing yang lebih banyak (Manalu et al. 2000) yang dibuktikan dengan peningkatan kandungan total DNA (Mege et al. 2007). 10.50 SO TSO Linear (SO) Linear (TSO) PASI Babi Per Hari (Kg) 9.50 8.50 7.50 6.50 5.50 4.50 y = -0.5523x + 8.5272 R² = 0.6976 y = -0.7587x + 10.87 R² = 0.7592 3.50 0 1 2 3 4 5 6 7 Minggu ke Gambar 8 Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Per Ekor per Hari Tingkat perkembangan kelenjar ambing pada awal laktasi akan menentukan puncak laktasi seekor ternak (Forsyth 1986) dan mulai mengalami penurunan produksi susu air pada minggu keempat sampai minggu ketujuh. Produksi air susu induk per hari pada tiap minggu pengukuran menunjukkan bahwa babi yang diovulasi ganda lebih baik dalam hal mempertahankan produksinya dibandingkan dengan babi yang tanpa ovulasi ganda. Artinya, pada induk babi juga ditemukan fenomena peningkatan persistensi produksi susu. 4. Produksi Air Susu Induk Babi per Laktasi Produksi air susu induk (PASI) babi per ekor per laktasi diperoleh dari jumlah PASI babi per hari dikalikan dengan jumlah hari induk menyusui (masa laktasi), yaitu 49 hari. Rataan umum PASI babi per ekor per laktasi adalah

63 342.49 ± 82.12 kg. Secara rinci pengaruh perlakuan ovulasi ganda pada PASI babi per ekor per laktasi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan PASI induk per laktasi. Rataan PASI pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 305.54 ± 92.40 kg/laktasi (dengan KK=30.24%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah, 379.44 ± 49.20 kg/laktasi (dengan KK=12.97%). Produksi air susu induk babi per laktasi mampu ditingkatkan melalui perlakuan ovulasi ganda karena dengan meningkatnya PASI induk per menyusui menyebabkan PASI babi per hari dan per laktasi juga meningkat. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Menyusu Pertambahan bobot badan anak (PBBA) babi selama menyusu diperoleh dari selisih bobot badan anak babi saat lahir dan bobot badan anak babi pada saat disapih, yaitu hari ke-49. Pertambahan bobot badan anak babi menyusu bergantung pada kuantitas dan kualitas air susu yang diperoleh dari induknya selama menyusu. Rataan umum pertambahan bobot badan anak babi per ekor hingga hari ke-49 menyusu adalah 10.08 ± 1.48 kg. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) meningkatkan PBBA babi per ekor prapenyapihan. Secara rinci, pertambahan bobot badan anak babi dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan anak babi per ekor hingga hari ke-49 atau pada waktu disapih pada kontrol adalah 9.35 ± 0.69 kg (dengan KK=7.33%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 10.81 ± 1.69 kg (dengan KK=15.71%). Hal ini membuktikan bahwa induk babi yang ovulasi ganda dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak babi dibandingkan dengan yang tidak diovulasi ganda. Pertambahan bobot badan anak babi prapenyapihan bergantung pada bobot lahir anak babi dan produksi air susu induk babi dan kemampuan anak babi untuk menyusu. Induk babi tanpa ovulasi ganda menghasilkan PASI sebanyak 6.23 ± 1.89 kg/e/hari, sedangkan dengan ovulasi ganda adalah sebesar 7.74 ± 1.00 kg/e/hari. Induk yang diovulasi ganda sangat nyata (P<0.01) mempunyai produksi air susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa ovulasi ganda. Dengan demikian, PBBA babi per ekor pada induk yang diovulasi ganda juga lebih tinggi dibandingkan dengan PBBA pada induk

64 yang tanpa ovulasi ganda. Jadi, peningkatan PASI diikuti dengan pertambahan bobot badan anak babi yang semakin meningkat. Pada induk babi yang diovulasi ganda, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu meningkat yang dibuktikan oleh peningkatan jumlah sel-sel sektretoris yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesisnya (Mege et al. 2007). Dengan meningkatnya PASI babi maka pertambahan bobot badan anak babi akan lebih baik. Pertambahan Berat Badan 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 - y = 0.1205x + 0.0751 R² = 0.9534 y = 0.1006x + 0.087 R² = 0.9453 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu Ke Gambar 9 Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Sampai Prasapih. SO PBB/H TSO PBB/H Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kemampuan anak babi yang lahir dari induk yang diovulasi ganda lebih baik untuk menyusu. Hal ini disebabkan anak babi tersebut lebih kuat karena bobot badan lahirnya yang lebih tinggi. Gambar 9 memperlihatkan bahwa pertambahan bobot badan anak babi prapenyapihan yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari induk yang tidak diovulasi ganda. Gambar 10 memperlihatkan hubungan antara pertambahan bobot badan anak babi dengan produksi air susu. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan anak babi sangat berhubungan dengan produksi air susu. Gambar 10 memperlihatkan bahwa makin tinggi produksi air susu induk akan menyebabkan pertambahan bobot badan anaknya yang semakin meningkat juga. Namun, terlihat dengan jelas bahwa anak babi dari induk yang diovulasi ganda (R= 92.0%) lebih tinggi pertambahan bobot badannya dibanding dengan anak dari induk yang tidak diovulasi ganda (R=89.5%). Ovulasi ganda yang dilakukan pada induk babi dapat meningkatkan produksi air susu induk babi per ekor per hari. Hal tersebut

PASI/H1 PASI/H 65 disebabkan fungsinya adalah untuk pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, terutama duktus dan perkembangan alveolar selama kebuntingan sangat dipengaruhi oleh hormon yang meliputi estrogen, progesterone, prolaktin, laktogen plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Knigth dan Peaker 1982; Forsyth 1986). Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian Mege et al. (2007) yang menyatakan bahwa dengan ovulasi ganda dapat meningkatkan massa sel sekretoris dan aktivitas sintetik kelenjar susu yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi DNA dan RNA serta kandungan glikogen. 8 10 7 S 0.494679 R-Sq 92.0% R-Sq(adj) 88.0% 9 8 S 0.747530 R-Sq 89.5% R-Sq(adj) 84.2% 6 7 6 5 5 4 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 TSO PPB/H 0.6 0.7 0.8 4 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 SO PBB/H 0.7 0.8 0.9 1.0 Gambar 10 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Anak Babi dengan Produksi Air Susu Induk. Peningkatan konsentrasi DNA mengambarkan bahwa terjadi pertambahan jumlah massa sel sekretori sedangkan peningkatan aktivitas sintetik sel digambarkan dengan konsentrasi RNA yang distimulasi oleh ovulasi ganda (Mege et al. 2007). Peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan produksi air susu induk sehingga berdampak pada pertambahan bobot badan anak prasapih. Mortalitas Anak Babi Prasapih Rataan umum persentase mortalitas anak babi prasapih adalah 20.78 ± 15.95%. Tingkat mortalitas yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Sihombing (2006) bahwa persentase mortalitas anak babi berkisar 20-25%. Persentase mortalitas anak babi prasapih menurut perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P < 0.01) menurunkan mortalitas anak babi selama menyusu. Mortalitas anak babi dari

66 induk babi kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 26.64 ± 18.60% (dengan KK=69.82%) dan mortalitas anak dari induk yang diovulasi ganda adalah 14.92 ± 10.18% (dengan KK= 68.20%). Mortalitas anak babi yang lebih tinggi pada induk yang tanpa ovulasi ganda dibandingkan dengan yang diovulasi ganda membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat memperkecil angka mortalitas. Mortalitas anak babi berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Bobot lahir anak babi dari induk yang tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 1.34 ± 0.14 kg dan 1.46 ± 0.19 kg. Dengan bobot anak babi lahir yang tinggi maka daya tahan hidupnya akan semakin baik. Eusebio (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin meningkat dan dengan demikian mempunyai kesempatan yang baik untuk hidup. Ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan embrio selama kebuntingan (Mege et al. 2007 ) sehingga berdampak pada anak babi yang lahir dengan bobot badan yang tinggi. Dengan demikian, anak babi berkesempatan untuk bertahan hidup lebih banyak yang mengakibatkan persentase mortalitas anak babi menjadi rendah. Angka mortalitas anak babi yang terjadi selama penelitian juga dapat disebabkan manajemen dalam kandang, seperti penanganan induk dan anak mulai dari lahir hingga menyusu adalah kurang baik. Sifat keibuan dari induk (mothering ability) yang kurang baik juga berperan karena ketika induk akan berbaring ada anak babi yang ditindihnya. Induk babi yang digunakan pada penelitian ini adalah induk yang baru pertama kali beranak jadi belum berpengalaman dalam mengasuh anaknya. Selain itu, ada juga yang disebabkan oleh anak-anak babi yang sakit (mencret) karena anak babi kedinginan, menjadi lemas, dan sulit mendapat air susu induk sehingga menyebabkan kematian anak babi. Hurley (2001) manyatakan bahwa lebih dari 60% kematian anak babi sebelum disapih disebabkan oleh faktor induk dan juga pengaruh dari pasokan pakan yang mengakibatkan rendahnya produksi air susu induk.

67 Bobot Sapih Bobot sapih dibagi ke dalam dua kategori, yaitu bobot sapih anak babi per litter (BSPL) (kg/litter), yang diperoleh dengan melakukan penimbangan semua anak babi dari seperindukan segera setelah penyapihan, dan bobot sapih per ekor (BSPE) (kg/e) adalah hasil penimbangan bobot badan lahir per litter dibagi dengan jumlah anak yang disapih (ekor). 1. Bobot Sapih per Litter Bobot sapih bergantung pada bobot lahir karena kondisi dari anak babi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan prenatal (Dziuk 1992), termasuk perubahan biokimia sebelum implantasi embrio oleh estradiol dan progesteron. Bobot sapih juga merupakan indikator dari produksi air susu induk babi dan kemampuan bertumbuh anak babi. Rataan umum bobot sapih per litter adalah 93.33 ± 25.21 kg. Secara rinci, rataan bobot sapih per litter pada induk kontrol dan yang diovulasi ganda dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01) meningkatkan bobot sapih per litter. Bobot sapih per litter pada induk kontrol adalah 79.63 ± 20.78 kg/litter dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 107.02 ± 21.85 kg/litter. Dengan kata lain, bobot sapih per litter pada anak yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda 28.39 kg lebih tinggi diabndingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda. Ovulasi ganda ternyata dapat meningkatkan bobot sapih per litter hal ini disebabkan bobot sapih sangat ditentukan oleh pertambahan bobot badan anak selama menyusu. Pertambahan bobot badan anak babi sampai disapih dari induk babi tanpa ovulasi ganda (9.35 ± 0.69 kg) lebih rendah dibandingkan dengan anak yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda (10.81 ± 1.69 kg). Hal ini disebabkan ovulasi ganda sebelum pengawinan akan mensekresi hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) pada induk babi, yang akan mempengaruhi perkembangan saluran reproduksi pada betina, terutama uterus dan plasenta, yang merupakan salah satu penentu keberhasilan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus sampai lahir (Geisert dan Schmitt 2002; Sterle et al. 2003). Bahkan pertumbuhan dan perkembangan uterus

68 dan plasenta yang baik akan memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kebuntingan yang selanjutnya akan sangat menentukan penampilan anak pascalahir dan produksi (Foxcroft dan Town 2004). Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan bobot embrio (Mege et al. 2007). Hal ini memberi gambaran bahwa ovulasi ganda menstimulasi sekresi endogen hormon kebuntingan sehingga sangat mempengaruhi sekresi progesteron dan estradiol selama kebuntingan (Geisert et al. 1994; Geisert dan Shcmitt 2002) Pertumbuhan sapi, kambing, dan domba sangat dipengaruhi oleh progesteron dan estradiol melalui mekanisme modulasi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan serta fungsi uterus dan plasenta mensekresi zat makanan juga faktor pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup fetus yang berdampak sampai anak lahir bahkan bobot sapih lebih baik (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999). 2. Bobot Sapih per Ekor Rataan umum bobot sapih per ekor adalah 11.13 ± 1.07 kg. Bobot sapih per ekor hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang direkomendasikan oleh NRC (1998), yaitu sekitar 13-18 kg. Bobot sapih sangat ditentukan, antara lain oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anaknya, kuantitas dan kualitas ransum, serta suhu lingkungan (Sihombing, 2006). Secara rinci bobot sapih per ekor babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda sangat nyata (P< 0.01) meningkatkan bobot sapih per ekor. Bobot sapih per ekor untuk anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol yang tidak diovulasi ganda adalah 10.64 ± 0.75 kg/ekor dan pada anak yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah 11.61 ± 1.14 kg/ekor. Dengan perkataan lain, babi dara dengan pemberian ovulasi ganda menghasilkan anak dengan bobot sapih 0.97 kg/ekor lebih berat dibandingkan dengan tanpa diovulasi ganda. Perkembangan anak setelah lahir bergantung pada produksi air susu induk dan kemampuan anak babi untuk menyusuinya. Induk yang diovulasi ganda lebih baik untuk menyusui anaknya daripada induk yang tidak diovulasi ganda. Hal ini dibuktikan juga dengan frekuensi menyusui pada induk babi yang kontrol

69 tanpa ovulasi ganda adalah 18.93 ± 0.23 kali dengan produksi susu induk 6.23 ± 1.86 kg/ekor sementara induk yang diovulasi ganda menyusukan anaknya 19.89 ± 0.40 kali dengan produksi air susu induk sebanyak 7.74 ± 1.00 kg/ekor. Bobot sapih anak yang dilahirkan oleh induk babi dara yang diovulasi ganda lebih berat dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda. Hal ini disebabkan ovulasi ganda mampu mensekresi endogen hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) sehingga setelah bunting terjadi petumbuhan dan perkembangan kelenjar susu (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999) dan terus meningkat sampai periode akhir kebuntingan. Pada periode tersebut, terjadi periode pertumbuhan dan perkembangan paling ekstensif bagi sel kelenjar pensekresi susu serta sistem vaskuler, sel-sel epitel, jaringan ikat dan jaringan basal yang merupakan pertautan sel-sel pensekresi (Knight dan Wilde 1993). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, terutama duktus dan perkembangan lobul alveolar selama kebuntingan, sangat dipengaruhi oleh sejumlah hormon yang meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, laktogen plasenta, insulin, hormon tiroid, dan faktor pertumbuhan (Forsyth 1986). Peningkatan hormon-hormon tersebut bertanggung jawab atas kontrol pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan, dan apabila terjadi gangguan keseimbangan hormon mammogenik (Anderson et al. 1986) akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu. Peningkatan jumlah sel sekretoris digambarkan dengan peningkatan DNA dan RNA sangat menentukan tingkat produksi air susu induk sejalan dengan peningkatan konsentrasi hormon kebuntingan, seperti progesteron dan estradiol dan faktor pertumbuhan sehingga menyebabkan peningkatan kelenjar susu yang amat berperan dalam produksi air susu induk sehingga berdampak pada bobot sapih anak babi (Hurley 2001; Manalu dan Sumaryadi 1998; Mege et al. 2007). Litter Size Sapih Sapih adalah tahap pertumbuhan suatu hewan atau ternak mammalia ketika tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi ransum padat dan cair (Inglis 1980). Rataan umum litter size sapih yang diperoleh selama pengamatan adalah 8.38 ± 2.15 ekor. Secara rinci litter size sapih pada

70 kelompok babi percobaan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil litter size sapih yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan litter size sapih untuk babi dara menurut Sihombing (2006), yaitu 6.2 ekor. Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda pada induk sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan litter size sapih. Rataan litter size sapih pada induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 7.48 ± 1.97 ekor (dengan KK= 26.29%) dan pada induk yang diovulasi ganda adalah 9.29 ± 1.98 ekor (dengan KK= 21.31%). Litter size sapih pada induk babi ovulasi ganda lebih banyak daripada induk tanpa ovulasi ganda. Pada penelitian ini membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) sehingga memperbaiki bobot embrio dan fetus (Mege et al. 2007). Penampilan embrio dan fetus yang baik berdampak pada anak babi yang lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda. Hal ini memberi gambaran bahwa pengaruh hormon tersebut merupakan mimik dari LH dan FSH terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan terutama melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan yang juga memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih. Litter size sapih sangat bergantung pada litter size lahir dan mortalitas prasapih. Litter size hidup lahir pada babi dara tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 8.95 ± 2.03 dan 10.43 ± 2.54 ekor, sementara persentase mortalitas pada induk tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing adalah 26.64 ± 18.60% dan 14.92 ± 10.18%. Maka dengan jumlah anak babi lahir yang tinggi diimbangi dengan mortalitas prasapih yang lebih rendah akan menyebabkan litter size sapih yang optimal.

71 Simpulan Performans reproduksi induk babi melalui ovulasi ganda dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan dapat mempersingkat lama bunting, memperbaiki bobot badan induk bunting, litter size lahir, dimensi tubuh, bobot lahir, konsumsi ransum harian induk, produksi air susu induk, pertambahan bobot badan anak, mortalitas, litter size sapih, dan bobot badan sapihan.

72 Daftar Pustaka Anderson RR, Wahab IM. 1990. Changes in parenchyma and stroma of goat udders during pregnancy, lactation and involution. Small Rum Res. 3:650-362. Adriani IK, Sutama, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan etawa. J. Anim. Production 6:86-94 Bates RO, Day BN, Britt JH, Clark LK, Brauer MA. 1991. Reproductive performance of sows treated with a combination of pregnan mare s serum gonadotropin and prostaglandins during lactation. J Anim Sci 9:894-898. Carson DD, Bagchi I, Dey SK, Enders AC, Fazleabas AT, et al.,2000. Embrio implantasi. Dev Biology 223:217-237. De Borsotti PN, Verde O, Plasse D. 1982. Genetic and enviromental factor affecting growth of piglets. Anim Breed Abstr 50 (12). Delaval. 2008. Milking Technology. Di dalam : Delaval editor. The Lactating Dairy Cow. USA Delaval Publishing [Terhubung berkala]. http://www.milkproduction.com/ library [10 Januari 2010]. Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford University Press. Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci 28:299-308. Estiene JM, Harper AF. 2003. Uses of P.G.600 in swine breeding herd management http://ext.vt.edu/news/livestock/aps-0344.htmi. [29 Mei 2004]. Eusebio, J.A. 1974.The Science and Practice of Swine Production. College of Agriculture.Philippines. Pp 470. Eusebio JA 1980. Pig Production and The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. Logman Group Ltd. Hong Kong. pp 7-26 Forsyth IA. 1986. Varition among species the endokrine control of mammary growth and function. The role of prolactin, growth hormone and plasental laktogen. J Dairy Sci 46 : 1293-1298. Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal performance the unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269 279.

73 Geisert RD, Pratt T, Bazer FW, Mayes JS and Watson GH. 1994. Immunocytochemical lokalization pregnancy. Reprod Vertil Dev 6:749-760. Geisert RD, Schmitt RAM. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be improved. J Anim Sci 80:54 85. Giellespie, James R. 1998. Animal Science. Delmar Publishers, New York. Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed. Ke-6. Philadelpia : Lea and Fibeger. Hurley WL. 2001. Mammary gland growth in the lactating sow. Livestock Prod Sci 70:149-157. Inglis LK. 1980. To Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon Press Ltd., Oxford. Kim SW, Hurley WL, Han IK, Easter RA. 2000. Growth of nursing pigs related to thecharacteristics of nursed mammary glands. J Anim Sci 78:1313-1318. Knight CH, Peaker M. 1982. Development of the mammary gland. J Reprod Fert 65:521-536. Knight JW, Wilde W. 1993. Factors that affect ovarian follicular dynamics in cattle. J Anim Sci 70:3615-3626. Krider JL, Carroll WE. 1971. Swine Production. New Delhi. Tata Mc Graw Hill Publishing Company. Kurniawan RI. 2006. Hubungan litter size dengan bobot lahir dan mortalitas anak babi tiga hari setelah lahir [sripsi]. Bogor. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Manalu W, Sumaryadi MY, Kusumorini N. 1996. The effect of fetal number on the concentrations of sirculating maternal serum progesteron and estradiol of daes during late pregnancy. Small Rumin Res 23:117-124 Manalu W dan Sumaryadi MY. 1998. Correlations of litter size and maternal serum progesterone concentration during pregnancy with mammary gland growth and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep. Asian-Austr. J Anim Sci 11:300-306. Manalu W dan Sumaryadi MY. 1999. Correlations between lamb birth weight and the concentrations of hormone and metabolites in the maternal serum during pregnancy. J Agric Sci 133:227-234.

74 Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effec of superovulation on maternal serum progersterone concentration, uterine and fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res 30:171-171. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in soperovulated Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res 33:279-284 Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. The effects of superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight and preweaning growth. Asian-Aus. J Anim Sci 13:292-299. Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N, 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. J Hayati 14:1-6. Mepham, T. B. 1987. Physiology of Lactation. Open University Press. Melton Keynes, Philadelphia Milagres JC, Fedalto LM, Silvia AE and Peraira JAA, 1983. Source of variation in litter size and weight birth and 21 days of age in Duroc, Landrace, large White Pigs. Anim Breed Abstr 51:49. [National Research Council]. 1998. Nutrient Riquirement of swine. National Academy Press, Washington, D.C. Niswender DG, Juengel JL, Silva PJ, Rollyson MK, McIntosh EW. 2000. Mechanisms controling the fungction and life spain of the corpus luteum. Physiol Rev 80:1-29. Parakkasi A. 1990. Ilmu Gisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit. Angkasa. Bandung. Park YI, Kim JB. 1983. Evaluation of litter sized of pure breeds and specific twobreeds crosses produced from five breed of swine. Anim Breed Absr 51(1):49. Pond WG, Maner JH. 1974. Swine Production In Temperate and Tropical Environment. San Fransisco. W.H Freeman Company. Schutltz GA, Hahnel A, Mayi AP, Liangsu W, Goubau S, Watson A, Harvey M 1993. Expression of IGF ligand and receptor genes during preimplantation mammalian development. Mol Reprod Dev 35:414-420. Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Cetakan II. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

75 Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Alih bahasa Sumantri B. PT Gramedia. Jakarta. Sterle JA, Cantley TC, Matteri RL, Carroll JA, Lucy MC and Lamberson WR. 2003. Effect of recombinant porcine somatotropin (rpst) on fetal and placental growth in gilts with reduced uterine capacity. J of Anim Sci 81:765-771. Sudjatmogo B, Utomo, Subiharta, Manalu W, Ramelan. 2001. Tampilan produksi susu akibat peningkatan perumbuhan ambing sapi perch Friesian Holstein yang disuntik PMSG pads program perkawinannya. J Trop Anim Dev 26:8-13. Vallet JL, Leymaster KA, Christenson RK. 2002. The influence uterine function on embryonic and fetal survival. J Anim Sci 80:67-74. Valros et al. 2003. Metabolic state of the sow, nursing behaviour and milk production livest. Prod Sci 79:155-167. Wilson ME, Biensen NJ, Ford SP. 1999. Novel insight in to the control of litter zise in the pig using placental efficiency as a selection tool. J Anim Sci 77 : 1654 1658. Yoga MS. 1988. Studi penggunaan ekstrak hipofise sapi untuk peningkatan reproduksi babi(tesis). Yogyakarka; Fakultas Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Xu RJ. Cranwell PD. 2003. The Neonatal Pig. Gastrointestinal physiology and Nutrition. Nottingham. University Press.

76

Performans Anak Babi Sapihan Sampai Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Sebelum Pengawinan Abstrak Penelitian ini secara khusus mempelajari pengaruh ovulasi ganda induk babi sebelum pengawinan pada performans anak yang dilahirkan sejak sapihan hingga dipotong. Sebanyak 36 ekor anak babi sapihan digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 3. Faktor A adalah status induk yang terdiri atas dua faktor, yaitu induk kontrol tanpa ovulasi dan induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan. Faktor B adalah litter size lahir yang terdiri atas tiga, yaitu rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor). Setiap unit percobaan terdiri atas tiga ulangan, dan setiap ulangan terdiri atas satu jantan kastrasi dan satu betina. Dari anak babi hasil percobaan tahap pertama, diperoleh total sampel 36 ekor anak babi periode pertumbuhan sampai pengakhiran yang diberi makan pakan komersial. Sejak disapih, anak-anak babi percobaan dipelihara sampai kisaran bobot potong rata-rata 92,5-94 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda mempunyai konsumsi ransum harian (KRH) sebesar 2.29±0.17 kg/ekor/hari dengan pertambahan bobot badan (PBB) 0.61±0.02 kg dan efisiensi penggunaan ransum (EPR) 0.27±0.02. Sementara itu, anak babi yang dihasilkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan mempunyai KRH yang sama, yaitu sebesar 2.26±0.26 kg/ekor/hari, tapi dengan PBB yang lebih tinggi, yaitu sebesar 0.72±0.19 kg dengan EPR yang lebih baik, yaitu sebesar 0.32±0.10. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk dan litter size lahir tidak mempengaruhi KRH sejak penyapihan sampai umur potong. Akan tetapi, anak babi yang berasal dari induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan mempunyai PBB yang lebih tinggi (P<0.05) dengan EPR yang lebih baik (P<0.05) dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kontrol yang tidak diovulasi ganda. Sebaliknya, litter size lahir tidak mempengaruhi PBB dan EPR anak sejak penyapihan sampai umur potong. Kesimpulan dari penelitian ini adalah performans bakalan dari induk babi melalui ovulasi ganda sebelum pengawinan dapat meningkatkan performans produksi yang terlihat pada pertambahan bobot badan yang meningkat meskipun dengan konsumsi ransum yang sama sehingga penggunaan ransum lebih efisien. Kata Kunci : Ovulasi ganda, Pertumbuhan pengakhiran

78 The Growth Performances from Weaning to Slaughtering of Pigs Born to Superovulated Sows with PMSG and hcg before Mating Abstract An experiment was conducted to study the effect of superovulation in gilts prior to mating on the performances of offsprings from weaning to slaughtering. Thirty six weaned piglets were used during this study which were assigned into a 2 x 3 factorial arrangement. The first factor was the status of the gilts which was consisted of 2 levels i.e., 1) gilts without superovulation and 2) gilts with superovulation prior to mating. The second factor was litter size at birth consisted of three levels i.e., low (6-8 pigs), medium (9-11 pigs), and high (12-14 pigs). Each experimental unit was replicated three times (three gilts) and each replication (gilt) was represented by one castrated male and one female piglets. During the experiment, the weaned piglets were fed with commercial ration and maintained until they reached the average slaughther weights of 92.5 to 94 kg. The results of the experiment showed that piglets born to control (nonsuperovulated) sows had averaged daily feed consumption (DFC) of 2.29±0.17 kg/pig with average daily gain (ADG) of 0.61±0.02 kg and feed efficiency (FE) of 0.27±0.02. Meanwhile, piglets born to superovulated sows had the same DFC of 2.26±0.26 kg/pig, with higher ADG of 0.72±0.19 kg/pig and with a better FE of 0.32±0.10. Analysisi of variance showed that superovulation and litter size did not affect DFC from weaning to slaughtering. However, piglets born to superovulated sows before mating had higher ADG with better FE (P<0.05) as compared to those born to nonsuperovulated or control sows. However, litter size at birth did not affect ADG and FE from weaning to slaughtering. It was concluded that growth performances of piglets could be improved by superovulation of sows prior to mating without increasing feed consumption. Keywords: Superovulation, finishing growth

79 Pendahuluan Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan, antara lain laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak per kelahiran (litter size) yang tinggi, efisiensi penggunaan ransum yang baik (75-80%). Selain itu, babi mampu memanfaatkan sisa-sisa makanan atau limbah pertanian menjadi daging yang bermutu tinggi. Konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh bobot badan dan umur ternak. Konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya bobot badan ternak, jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak (NRC 1998; Sihombing 2006). Walaupun demikian, untuk meningkatkan produksi, baik secara kuantitas maupun kualitas, perlu usaha untuk dapat mengefektifkan penggunaan ransum untuk memperbaiki ternak babi pada fase pertumbuhan sehingga efisien dalam penggunaan makanan. Hormon PMSG dan hcg merupakan salah satu aspek yang bisa memperbaiki sistem reproduksi ternak, bobot lahir, dan bobot sapih, yang dengan demikian akan berdampak pada bobot potong. Hal ini akan tercapai apabila ternak babi mampu memanfaatkan ransum untuk menghasilkan pertambahan bobot badan sejak disapih sampai bobot potong secara baik. Konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh bobot badan dan umur ternak. Peningkatan produktivitas ternak babi yang akan digunakan adalah melalui perbaikan aktivitas hormon-hormon kebuntingan. Melalui teknik ovulasi ganda akan diperoleh pertumbuhan anak babi yang mempunyai bobot badan yang besar pada saat lahir sehingga mempunyai kesempatan yang baik untuk dapat hidup yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menunjang upaya peningkatan produksi mulai dari prapenyapihan sampai pada bobot potong.

80 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Peternakan Wailan yang berlokasi di Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, mulai dari Maret hingga Oktober 2011. Materi Penelitian Penelitian tahap II ini dilakukan dengan menggunakan 36 ekor babi sapihan hasil dari percobaan tahap I yang berasal dari induk babi tanpa dan dengan ovulasi ganda masing-masing dengan jumlah anak sekelahiran atau litter size sebesar 6-8 ekor (rendah), 9-11 ekor (sedang), dan 12-14 ekor (tinggi). Ternak babi secara acak ditempatkan dalam kandang percobaan masing-masing satu ekor babi tiap satu unit kandang yang berukuran 1 x 1.25 x 1 meter. Ransum yang digunakan dalam penelitian (mulai disapih sampai dipotong) terdiri atas tiga macam ransum, dan pada waktu anak babi disapih dan dipindahkan ke kandang selama satu bulan diberikan butiran. Sesudah itu, butiran dicampur dengan jagung dan diberikan selama satu bulan, kemudian campuran konsentrat dengan jagung diberikan hingga mencapai bobot potong. Metode Penelitian tahap II menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 x 3. Faktor pertama adalah status induk babi, yang terdiri atas 2 level, yaitu tidak disuntik dan disuntik dengan hormon PMSG+hCG sebelum pengawinan untuk merangsang ovulasi ganda. Faktor kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas 3 level, yaitu litter size rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor). Setiap unit percobaan menggunakan tiga ekor induk sebagai ulangan dan dari setiap ekor induk dipilih dua ekor ternak babi, yaitu satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina. Analisis data dilakukan mengikuti prosedur model matematika (Steel dan Torrie 1993) sebagai berikut: Y ij = µ + αi +βj + (αβ) ij + ε ijk

81 Semua data diolah dengan menggunakan analisa sidik ragam (Steel dan Torrie 1993), dan apabila antarperlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01) maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Prosedur Penelitian Anak babi yang digunakan pada tahap II (Gambar 5) ini merupakan hasil penelitian dari tahap 1, dimana dipilih anak babi dari induk babi yang mempunyai jumlah anak lahir yang berbeda atau litter size lahir rendah, dengan kisaran (6-8 ekor), litter size lahir sedang dengan kisaran (9-11 ekor), dan litter size tinggi dengan kisaran (12 14 ekor). Ransum yang diberikan selama masa pemeliharaan tahap II ada tiga macam yang disesuaikan dengan fase pertumbuhan atau umur ternak babi dan mengikuti apa yang biasa dilakukan perusahaan peternakan. Selengkapnya bahan dan zat makanan dari ransum yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 4. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati sebagai indikator untuk mengetahui pengaruh perlakuan dengan penyuntikan hormon PMSG+hCG dan NaCl fisiologis induk sebelum pengawinan dan litter size yang berbeda pada penampilan anak babi sapihan hingga mencapai bobot potong adalah sebagai berikut: 1. Konsumsi Ransum Harian (KRH) (kg) dapat dihitung dari jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum sisa pagi hari berikutnya. 2. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) (kg), yaitu selisih antara rataan bobot badan akhir dengan rataan bobot badan awal dibagi lama waktu penelitian (hari). 3. Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR) (kg), merupakan hasil bagi dari pertambahan bobot badan dengan jumlah konsumsi ransum (gain/feed) dalam satuan waktu yang sama.

82 Tabel 4 Komposisi Bahan dan Kandungan Zat Makanan dalam Ransum untuk Anak Babi Umur 7-12 Minggu, Umur 13-18 Minggu, dan Babi Penggemukan (> 18 Minggu) Bahan dan Zat Makanan (%) Ransum Anak Babi (Umur 7-12 minggu)*) Ransum Anak Babi (Umur 13-18 minggu) **) Babi Penggemukan (%) ** Jagung - 40 60 Konsentrat - - 40 Butiran EGP 702 100 60 - Komposisi Nutrisi (%) Bahan Kering - 87.58 88.23 Abu - 6.22 4.41 Protein Kasar 20 19.03 15.27 Lemak 3 3.88 7.30 Serat Kasar 4 3.86 3.08 Beta-N - 54.59 58.17 Kalsium 0.76 1.71 1.16 Fosfor 0.7 0.98 0.86 NaCl - 0.28 0.21 Energi Bruto (kkal/kg) 3400 3891 3913 Ket: *) Komposisi Zat Makanan dari Pakan Komplit Butiran EGP 702 **)Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor (2011)

83 Hasil dan Pembahasan Pengaruh Ovulasi Ganda pada Penampilan Produksi Penampilan produksi yang diamati pada penelitian ini meliputi raataan konsumsi ransum harian, pertambahan bobot badan harian, dan efisiensi penggunaan ransum. Tabel 5 memperlihatkan rataan penampilan produksi dari masing-masing perlakuan. Tabel 5 Konsumsi Ransum Harian, Pertambahan Bobot Badan, dan Efisiensi Penggunaan Ransum pada Anak Babi yang Dilahirkan oleh Induk Tanpa dan Dengan Ovulasi Ganda sebelum Pengawinan dengan Litter Size Rendah, Sedang, dan Tinggi Parameter Perlakuan Rendah (6-8 ekor) Litter Size Sedang (9-11 ekor) Tinggi (12-14 ekor) Rataan KRH (Kg) TSO 2.30±0.21 2.22 ±0.16 2.36±0.11 2.29 ±0.17 SO 2.24±0.08 2.17± 0.18 2.36± 0.42 2.26±0.26 Rataan 2.27±0.16 2.20±0.16 2.36± 0.29 2.28±0.22 PBBH(Kg) TSO 0.59±0.01 0.62± 0.03 0.60±0.01 0.61± 0.02 a SO 0.61±0.04 0.72±0.04 0.82±0.30 0.72±0.19 b Rataan 0.60±0.17 0.67±0.06 0.71±0.24 0.66±0.14 EPR TSO 0.26±0.02 0.28 ±0.02 0.25± 0.01 0.27±0.02 a SO 0.27±0.01 0.33± 0.01 0.36±0.17 0.32±0.10 b Rataan 0.27±0.02 0.31 ±0.33 0.31 ±0.13 0.30 ±0.08 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), KRH = konsumsi ransum harian, PBBH = pertambahan bobot badan harian, EPR= efisiensi penggunaan ransum, TSO=tanpa ovulasi ganda, SO=ovulasi ganda Konsumsi Ransum Harian Pengamatan konsumsi ransum harian dilakukan untuk melihat pola konsumsi anak babi lepas sapih hingga mencapai bobot potong yang telah ditentukan. Rataan umum hasil konsumsi ransum adalah 2.28 ± 0.22 kg/ekor/hari. Hasil konsumsi ransum ini masih dalam batas yang direkomendasikan NRC (1998), yaitu sebesar 1-3 kg. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor,

84 diantaranya adalah palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal, dan fase pertumbuhan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda, litter size lahir, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi konsumsi ransum harian. Hasil konsumsi ransum harian selama penelitian berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Konsumsi ransum harian babi yang dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 2.29 ± 0.17 kg/ekor/hari (dengan KK=7.21%) dan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan adalah 2.26 ± 0.26 kg/ekor/hari (dengan KK=11.66%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi ransum relatif tidak dipengaruhi oleh apakah anak babi tersebut dilhirkan oleh induk babi yang tanpa ovulasi ganda maupun dengan ovulasi ganda. Hal ini disebabkan ternak babi yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai bobot badan awal, umur, dan fase pertumbuhan yang relatif sama. Keragaman dalam faktor-faktor ini akan mempengaruhi konsumsi ransum pada ternak babi. Menurut Whittemore (1980), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum di antaranya palatabilitas, bentuk fisik, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal, dan fase pertumbuhan. Dengan demikian, konsumsi ransum harian menjadi relatif sama untuk anak babi yang induknya diovulasi ganda maupun tanpa ovulasi ganda. Litter size lahir, walaupun jumlah anak sekelahiran berbeda, tidak mempengaruhi konsumsi ransum harian. Hal ini demikian karena fase pertumbuhan babi percobaan adalah relatif seragam mulai disapih sampai umur potong. Demikian juga bobot awal babi penelitian hampir sama. Bentuk fisik ransum mulai dari butiran sampai campuran butiran dan jagung, kemudian campuran konsentrat dan jagung, semuanya adalah sama. Perbedaan tingkat konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh kandungan energi ransum, yaitu kandungan energi pakan. Energi ransum yang rendah akan meningkatkan jumlah konsumsi ransum, sedangkan kandungan energi yang tinggi akan menyebabkan penurunan konsumsi pakan (Sihombing 2006). Kandungan energi ransum yang digunakan pada penelitian ini sejak disapih sampai bertumbuh pengakhiran adalah 3891-3400 kkal/kg sehingga menyebabkan konsumsi ransum harian menjadi relatif sama. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh ovulasi ganda dan liter size

85 lahir dan interaksi keduanya tidak memperlihatkan perbedaan konsumsi ransum harian yang nyata pada ternak babi yang diteliti. Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan harian (PBBH) anak babi selepas sapih sangat menentukan pencapaian target bobot potong babi dan kemampuan babi dalam memanfaatkan ransum yang diberikan. Hasil pengamatan pada Tabel 5. memperlihatkan rataan umum pertambahan bobot badan harian adalah 0.66 ± 0.14 kg. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda nyata (P<0.05) meningkatkan pertambahan bobot badan harian babi, sedangkan litter size lahir dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian. Rataan pertambahan bobot badan ternak babi dari periode penyapihan hingga bertumbuh pengakhiran yang dilahirkan oleh induk babi kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 0.61 ± 0.02 kg/ekor/hari (dengan KK=7.21%) dan yang dilahirkan oleh induk babi yang diovulasi ganda adalah 0.72 ± 0.19 kg/ekor/hari (dengan KK=0.62%). Pertambahan bobot badan harian babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda lebih tinggi 0.11 kg/ekor/hari dibandingkan dengan PBBH anak babi yang dilahirkan oleh induk tanpa diovulasi ganda. Manalu dan Sumaryadi (1999) menyatakan bahwa ovulasi ganda pada induk terbukti dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang menyebabkan pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih yang lebih tinggi, dengan demikian akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya, seperti pada pertambahan bobot badan harian menjadi lebih baik. Hasil penimbangan yang dilakukan tiap minggu seperti pada Gambar 11. memperlihatkan kenaikan pertambahan bobot badan yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1990) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ternak babi periode grower akan mengalami peningkatan bobot badan dalam tiap periode waktu berikutnya. Pertumbuhan pada babi dipengaruhi oleh berbagai faktor; diantaranya umur, nutrisi, lingkungan, bobot lahir, dan penyakit. Pada Gambar 11. terlihat bahwa babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi

86 ganda. Hal ini membuktikan bahwa ovulasi ganda dapat menghemat konsumsi ransum harian dengan pertambahan bobot badan yang lebih baik. Konsumsi ransum yang sama pada babi yang dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda adalah 2.29 ± 0.17 kg/ekor/hari dan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah 2.26 ± 0.26 kg/ekor/hari. Konsumsi ransum yang relatif sama pada kedua kelompok itu menghasilkan pertambahan bobot badan yang berbeda. Pertambahan bobot badan yang tinggi terjadi pada babi yang dilahirkan oleh induk babi yang diovulasi ganda. Perbedaan ini dikarenakan bobot lahir anak pada induk yang diovulasi ganda (1.46 ± 0.19 kg) lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk kontrol tanpa ovulasi ganda (1.34 ± 0.14 kg). Ovulasi ganda menstimulus peningkatan pertumbuhan dan perkembangan bobot embrio dan fetus walaupun dengan jumlah konseptus yang lebih banyak. Perbedaan tersebut memberi gambaran bahwa adanya pengaruh hormon yang sama fungsinya dengan hormon LH dan FSH terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama proses kebuntingan terutama melalui modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan, akan menentukan penampilan anak pascalahir dan produksi (Foxcroft dan Town 2004). Dengan uraian di atas disimpulkan bahwa bobot lahir anak yang baik akan menyebabkan pertambahan bobot badan yang lebih baik. Pertumbuhan dan perkembangan fetus sangat menentukan penampilan anak lahir dan merupakan faktor utama penentu kelangsungan hidup dan pertumbuhan pascalahir. Bobot Badan (kg/e) 100 80 60 40 20 TSO SO Linear (TSO) Linear (SO) y = 4.8399x + 11.148 R² = 0.9978 y = 4.3529x + 11.427 R² = 0.9988-0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Jumlah Minggu Penimbangan Gambar 11 Pertumbuhan Babi mulai Disapih sampai Potong

87 Efisiensi Penggunaan Ransum Percobaan untuk mengevaluasi ransum biasanya menggunakan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum sebagai kriteria pokok. Nilai efisiensi penggunaan ransum adalah hasil perhitungan dari perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan konsumsi ransum dalam satuan waktu yang sama sehingga makin tinggi angka efisiensi maka makin efisien penggunaan ransumnya. Efisiensi ransum berkaitan erat dengan rataan pertambahan bobot badan harian dan konsumsi ransum serta aktivitas fisiologi ternak (Bogart 1997). Efisiensi pakan adalah jumlah produksi satuan makanan yang dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi pakan dapat dijadikan kriteria untuk menunjukkan kualitas ransum. Rataan umum efisensi penggunaan ransum untuk babi hasil penelitian adalah 0.30 ± 0.08. Efisiensi penggunaan ransum babi yang dihasilkan oleh induk yang tanpa dan dengan ovulasi ganda sebelum pengawinan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Efisiensi penggunaan ransum babi yang dilahirkan oleh induk kontrol atau tanpa ovulasi ganda adalah 0.27 ± 0.02 (dengan KK=6.42%), sementara pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan adalah 0.32 ± 0.10 (dengan KK=8.94%). Efisien penggunanaan ransum ini lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi dari NRC (1988), yaitu sebesar 0.35 0.50. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan nyata (P<0.05) memperbaiki efisiensi penggunaan ransum, sedangkan litter size lahir dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan ternak babi untuk menghasilkan bobot badan yang tinggi terjadi pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda, dengan konsumsi ransum yang tidak berbeda dari anak yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda. Jadi dapat dikatakan bahwa babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda lebih efisien dalam penggunaan makanan untuk menjadi produk, dalam hal ini pertambahan bobot badan. Devendra dan Fuller (1979) juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan adalah nutrisi, lingkungan, kesehatan ternak, dan keseimbangan ransum yang diberikan.

88 Pengaruh litter size lahir pada efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat pada Tabel 5. Efisiensi penggunaan ransum untuk babi dari litter size rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut adalah 0.27 ± 0.02, 0.31 ± 0.03, dan 0.31 ± 0.13. Hasil ini memperlihatkan bahwa babi yang berasal dari induk dengan litter size yang rendah adalah yang paling tidak efisein dibanding dengan litter size yang sedang dan tinggi. Untuk babi yang berasal dari litter size sedang dan tinggi nilai efisiensinya adalah sama, yang dapat dijelaskan bahwa litter size yang sedang dengan jumlah anak (9-11 ekor) dan litter size tinggi dengan jumlah anak (12-14 ekor), sama efisien dalam menggunakan ransum untuk menjadi produk. Bogart (1997) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan makanan dapat digunakan sebagai parameter untuk seleksi terhadap ternak yang mempunyai pertambahan bobot badan yang baik.

89 Simpulan Performans produksi ternak babi dapat dihasilkan melalui ovulasi ganda dengan PMSG dan hcg pada babi dara (induk) sebelum pengawinan yang selanjutnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum, dengan tingkat konsumsi ransum yang relatif sama.

90 DAFTAR PUSTAKA Bogart R. 1997. Scientific Farm Animal Production. Burgess Publishing Company Mineapoliss Devendra C, Fuller MF, 1979. Pig Production in the Tropics. London. Oxford University Press. Foxcroft GR and Town S. 2004. Prenatal programming of postnatal performance The unseen cause of variance. Adv Pork Prod 15:269 279. Manalu W dan Sumaryadi MY. 1999. Correlations between lamb birth weight and the concentrations of hormone and metabolites in the maternal serum during pregnancy. J Agric Sci 133:227-234 National Research Council. 1998. Nutrient Requirement of Swine. National Academy Press, Washington, D.C. Parrakasi A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit. Angkasa. Bandung. Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Cetakan II Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Alih bahasa Sumantri B. PT Gramedia. Jakarta. Whittemore C.T.1980. Pig Production. The Scientific and Practical Principles. Logman Handbooks in Agriculture. London and New York.

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Sebelum Pengawinan Abstrak Penelitian ini telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh ovulasi ganda pada induk babi dara sebelum dikawinkan terhadap kualitas karkas anaknya. Penelitian menggunakan 36 ekor babi pengakhiran yang kelompokkan ke dalam rancangan acak lengkap dengan pola faktorial ukuran 2 x 3. Faktor pertama ialah status ovulasi ganda induk sebelum pengawinan yang terdiri atas 2 level, yaitu 1) babi dara kontrol tanpa ovulasi ganda dan 2) babi dara dengan ovulasi ganda. Faktor kedua ialah litter size lahir yang terdiri atas tiga level, yaitu litter size rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor). Setiap unit percobaan menggunakan 3 ekor induk dan dari setiap induk dipilih dua ekor anak, satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina. Total sampel adalah 36 ekor babi periode pertumbuhan sampai pengakhiran. Selama perode pertumbuhan, ternak babi percobaan yang diberi makan pakan komersial. Babi percobaan dipotong pada kisaran bobot 92.5-94 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak babi yang dilahirkan oleh induk babi yang diovulasi ganda mencapai bobot potong yang lebih cepat sekitar 2 minggu, yaitu 185 hari, dibandingkan dengan 200 hari pada babi yang dilahirkan oleh induk babi tanpa ovulasi ganda. Anak babi yang lahir dari induk babi yang diovulasi ganda memiliki rataan bobot karkas (70.25 ± 2.70 kg) dan persentase karkas (74.73 ± 3.09%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak babi yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda sebelum pengawinan (bobot karkas 64.18 ± 3.58 kg dan persentase karkas 68.28 ± 3.90%). Panjang karkas dan tebal lemak punggung tidak dipengaruhi oleh ovulasi ganda induk sebelum pengawinan. Babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan memiliki panjang karkas 74.56 ± 4.72 cm dan tebal lemak punggung 3.07 ± 0.35 cm, sementara babi dari induk babi tanpa ovulasi ganda adalah 74.00 ± 2.81 cm dan 3.20 ± 0.35 cm. Babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan menghasilkan loin eye area yang lebih tinggi (44.81±3.55 cm²) dibandingkan dengan babi yang dilahirkan induk tanpa ovulasi ganda (39.97 ± 4.29 cm²). Disimpulkan bahwa ovulasi ganda induk babi sebelum pengawinan dapat menghasilkan anak dengan kualitas karkas yang lebih baik. Kata Kunci : Ovulasi ganda, Kualitas Karkas, Babi dara

92 Carcass Qualities of Finisher Pigs Born to Superovulated Sows with PMSG and hcg before Mating Abstract An experiment was conducted to study the effect of superovulation of the gilts before mating on the carcass quality of the finishing pigs. Thirty six piglets were assigned into a completely randomized design with 2 x 3 factorial arrangement. The first factor was the superovulation status of the gilts consisted of two levels i.e., 1) nonsuperovulate gilts prior to mating and 2) superovulate gilts prior to mating. The second factor was litter size at birth consisted of three levels i.e., low (6-8 pigs), medium (9-11 pigs), and high (12-14 pigs). Each experimental unit was replicated with three sows. From each sow, the offspring was represented by two piglets, one castrate male and one female. Therefore, the total samples were 36 piglets. During growing to finishing periods, the experimental piglets were fed commercial feed. The experimental piglets were slaughtered at average weight of 92,5-94 kg. The results showed that pigs born to superovulated sows reached the slaughter weight at 185 days as compared to 200 days in control piglets. Pigs born to superovulated sows had higher carcass weight (70,25 ± 2,70 kg) and carcass percentage (74,73 ± 3,09%) as compared to control pigs (64,18 ± 3,58 kg carcass weight and 68,28 ± 3,90% carcass percentage, respectively). Carcass length and backfat thickness were not affected by superovulation of the sows. Pigs born to superovulated sows had 74,56 ± 4,72 cm carcass length and 3,07 ± 0.35 cm backfat thickness, while control pigs had 74,00 ± 2,81 cm carcass length and 3.20 ± 0.35 cm backfat thickness. Piglets born to superovulated sows had higher loin eye area (44,81 ± 3,55 cm²) as compared to control (39,97 ± 4,29 cm²). It was concluded that superovulation of gilts prior to mating could produce faster growing piglets with better carcass qualities. Key Words : Superovulation, Carcass Quality, Gilt

93 Pendahuluan Produksi ternak babi sangat bergantung pada keberhasilan reproduksi. Kemampuan reproduksi sangat ditentukan oleh keberhasilan induk untuk menghasilkan anak babi yang sehat dan kuat pada saat lahir sehingga periode hidup berikutnya lebih baik. Bobot anak pada saat lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal selama kebuntingan yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan dan perkembangan fetus yang baik sampai akhir kebuntingan diharapkan akan menghasilkan anak babi lahir yang lebih berat, walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi dan pada akhirnya menghasilkan penampilan produksi yang lebih baik pula. Pertumbuhan anak babi ditentukan oleh produksi air susu induk. Peningkatan produksi air susu induk sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan, yang dapat meningkatkan baik sel sekretoris kelenjar ambing yang terbentuk maupun peningkatan aktivitas sintesis susu (Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000; Adriani et al. 2005; Andriyanto dan Manalu 2011). Melalui peningkatan produksi air susu induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi dapat ditingkatkan, angka mortalitas ditekan, dan bobot sapihan dapat ditingkatkan. Penampilan anak babi lepas sapih yang baik selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas bakalan, dalam hal ini pertumbuhan dan kualitas karkas pada saat dipotong. Masalah rendahnya produksi tidak saja dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas selama kebuntingan dan rendahnya bobot anak lahir sampai lepas sapih, tetapi merupakan akumulasi dari rendahnya pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan dan jumlah anak yang dapat bertahan hidup selama prasapih, terutama pada minggu pertama setelah lahir (Bennett dan Leymaster 1989). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah ovulasi (Manalu dan Sumaryadi 1998; Manalu et al. 1999; Sumaryadi dan Manalu 2001), baik melalui perbaikan pakan maupun dengan penggunaan hormon, seperti follicle stimulating hormone

94 (FSH) dan luteinizing hormone (LH) atau melalui tiruannya, seperti pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hcg), serta kombinasi hormon gonadotropin lainnya. Kualitas karkas sangat dipengaruhi oleh bobot lahir ternak babi. Anak babi yang mempunyai bobot lahir rendah akan menghasilkan kualitas karkas yang rendah pula. Rehfeldt et al. (2008) melaporkan bahwa anak babi yang lahir dengan bobot tubuh rendah akan berdampak pada pertumbuhan sesudah lahir. Secara rinci dinyatakan bahwa anak babi yang dilahirkan dengan bobot rendah menyebabkan deposisi lemak tinggi dan loin eye area (LEA) yang rendah (Bee 2004). Rendahnya bobot lahir anak babi diketahui merupakan akibat dari terganggunya pertumbuhan selama periode kebuntingan (Rehfeldt et al. 2008). Pertumbuhan mulai dari fetus sampai jumlah anak lahir hidup dan peningkatan bobot sapih dapat dilakukan melalui ovulasi ganda menggunakan PMSG dan hcg. Penggunaan kedua hormon tersebut berfungsi untuk merangsang sekresi endogen hormon kebuntingan dalam darah induk yang berperan meningkatkan pertumbuhan uterus, embrio, fetus, plasenta, dan kelenjar ambing (Adriani et al. 2005; Mege et al. 2007). Secara keseluruhan, PMSG dan hcg menentukan keberhasilan induk dalam proses reproduksi dan produksi yang dalam hal ini faktor kualitas bakalan ternak. Hormon PMSG dan hcg atau dikenal sebagai hormon-hormon ovulasi ganda telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, yang berfungsi memperbaiki sistem reproduksi ternak dan diharapkan pula dapat memperbaiki produksi ternak melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi air susu induk selama laktasi. Dengan demikian, penampilan reproduksi akan meningkatkan produktivitas ternak dan, sebaliknya, penampilan reproduksi yang buruk akan menurunkan produktivitas ternak. Penampilan produksi anak babi erat hubungannya dengan produksi air susu induk selama laktasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ovulasi ganda pada induk babi sebelum pengawinan pada kualitas kaskas anak yang dihasilkannya.

95 Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Potong Babi berlokasi di Sario, Kota Manado mulai dari September hingga Oktober 2011. Materi Penelitian Pada penelitian tahap III (Gambar 5) digunakan 36 ekor babi yang sudah mencapai bobot potong (hasil penelitian dari tahap II ) dari induk babi yang tanpa dan dengan ovulasi ganda, dengan jumlah anak sekelahiran atau litter size mulai dari rendah sampai tinggi dengan kisaran 6-8 ekor (rendah), 9-11 ekor (sedang), dan 12-14 ekor (tinggi). Ternak babi ditempatkan dalam kandang percobaan yang berukuran 1 x 1.25 x 1 meter masing-masing satu ekor babi per kandang yang merupakan satu satuan unit percobaan. Ransum yang digunakan dalam penelitian mulai disapih sampai dipotong terdiri atas tiga macam ransum, dan pada waktu anak babi dipindahkan ke kandang sapihan diberikan butiran selama satu bulan dan sesudahnya campuran butiran dengan jagung selama satu bulan, dan terakhir ransum untuk penggemukan sampai mencapai bobot potong. Komposisi bahan dan zat-zat makanan ransum yang digunakan selama percobaan dapat dilihat pada Tabel 4. Metode Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 2 x 3 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah status ovulasi ganda induk yang terdiri atas 2 level, yaitu kontrol tanpa ovulasi ganda dan induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan dengan hormon PMSG+ hcg. Faktor kedua adalah jumlah anak sekelahiran atau litter size yang terdiri atas tiga level, yaitu litter size rendah (6-8 ekor), sedang (9-11 ekor), dan tinggi (12-14 ekor). Masing-masing unit percobaan terdiri atas 3 induk, dan dari setiap induk dipilih dua ekor anak yang terdiri dari satu ekor jantan kastrasi dan satu ekor betina. Data dianalisis mengikuti prosedur model matematika (Steel dan Torrie, 1993) sebagai berikut: Y ij = µ + αi +βj + (αβ) ij + ε ijk

96 Semua data diolah dengan menggunakan analisa sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila pengaruh perlakuan nyata (P<0.050) atau sangat nyata (P<0.01), analisis dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan (Steel dan Torrie 1989). Prosedur Penelitian Babi yang digunakan pada penelitian ini adalah babi yang telah mencapai bobot potong 92,5-95 kg dan setelah dilakukan pemuasaan selama 24 jam, langsung dipotong kemudian dilakukan pengamatan pada peubah-peubah yang berkaitan dengan karkas. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Umur Potong (UP) (hari) adalah waktu yang diperlukan sejak babi lahir sampai dengan babi akan dipotong pada kisaran bobot 92.5 95.0 kg. 2. Bobot Potong (BP) (kg) adalah bobot yang ditargetkan dalam penelitian ini, yaitu 92.5 95 kg dan dilakukan penimbangan saat akan dipotong setelah dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam (Swatland 1984). 3. Bobot Karkas (BK) (kg/ekor), diperoleh setelah bulu dihilangkan, isi rongga dada dan perut, kepala, dan kedua kaki dikeluarkan (Lawrie 2003). Bobot karkas dalam hal ini adalah karkas yang belum mengalami pelayuan. 4. Persentase Karkas (PK) (%), dihitung dari bobot karkas (kg) dibagi dengan bobot potong (kg) dikalikan dengan 100%. 5. Panjang Karkas (PjK) (cm), diukur dari ujung depan tulang rusuk pertama sampai dengan bagian ujung depan pangkal tulang ekor (aitch bone) pada karkas yang sudah dibelah (Gambar 12) (Thrasher et al. 1970). Alat ukur yang digunakan adalah meteran biasa. 6. Tebal Lemak Punggung (TLP) (cm), diukur di tiga tempat di atas punggung babi, yaitu tepat di atas tulang rusuk pertama, di atas tulang rusuk terakhir, 7. dan di atas tulang belakang terakhir (Gambar 13). Alat yang digunakan adalah mistar biasa (Thrasher et al. 1970).

97 8. Loin eye area (LEA) (cm 2 ), diukur pada permukaan potongan melintang otot longisimus dorsii yang terletak antara tulang rusuk kesepuluh dan sebelas (Gambar 14), dipotong tegak lurus dengan tulang belakang (Fahey et al. 1977). Pengukuran luas penampang loin eye area dilakukan dengan menggunakan lembaran plastik transparan untuk menggambar dengan spidol bentuk dan ukuran dari loin eye area kemudian diukur dengan menggunakan alat planimeter. Gambar 12 Lokasi Pengukuran Panjang Karkas. Gambar 13 Lokasi Pengukuran Tebal Lemak Punggung.

98 Gambar 14 Lokasi Pengukuran Loin Eye Area.

99 Hasil dan Pembahasan Karkas adalah bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut, dan rongga dada (Whittemore 1980). Lebih lanjut Lawrie (2003) menyatakan bahwa karkas terdiri atas urat daging dan jaringan lemak, tulang residu yang terdiri atas tendon dan jaringan pengikat lainnya, dan pembuluh darah besar. Hasil pengamatan umur potong, bobot potong, bobot karkas, perentase karkas, panjang karkas, tebal lemak pungggung, dan loin eye area selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Umur Potong Rataan umum umur potong adalah 192.56 ± 10.04 hari dengan kisaran 173 209 hari (25 30 minggu). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari pendapat Whittemore (1980) yang menyatakan pada umur 28 minggu bobot badan mencapai 95 kg. Secara rinci, rataan umur ternak babi untuk mencapai bobot potong menurut perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan ovulasi ganda, litter size, dan interaksi keduanya sangat nyata (P <0,01) mempersingkat umur potong ternak babi. Rataan umur potong babi dari hasil induk ovulasi ganda adalah 184.89 ± 5.70 hari (dengan KK=4.42%), sedangkan babi dari induk yang tidak diovulasi ganda adalah 200.22 ± 7.10 hari (dengan KK=4.92%). Ovulasi ganda babi dara sebelum pengawinan dapat mempersingkat umur atau waktu hari pencapaian bobot potong anaknya. Hal ini disebabkan ovulasi ganda dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan anak babi terutama karena perbaikan bobot lahir dan peingkatan produksi air susu induk. Peningkatan produksi air susu induk sampai akhir laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu yang merupakan efek dari peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan. Melalui peningkatan produksi air susu induk, pertumbuhan dan perkembangan anak babi, angka mortalitas ditekan, dan bobot sapihan lebih baik.

100 Tabel 6 Umur Potong, Bobot Potong, Bobot Karkas, Persentase Karkas, Tebal Lemak Punggung, dan Loin Eye Area Babi yang Dilahirkan oleh Induk Kontrol Tanpa Ovulasi Ganda dan yang Diovulasi Ganda Sebelum Pengawinan pada Litter Size Rendah, Sedang, dan Tinggi Parameter Perlakuan Rendah (6-8 ekor) Litter size Sedang (9-11 ekor) Tinggi (12-14 ekor) Rataan UMP (Hari) TSO 205.00±0.82 C 191.83±4.62 B 203.50±4.55 CD 200.22±7.10 B SO 185.00±8.60 A 184.33±5.05 A 185.33±3.20 A 184.89±5.70 A Rataan 195.17±2.11 B 188.08±6.05 A 194.42±10.20 B 192.56±10.04 BP (Kg) TSO 93.38±1.16 94.33±0.61 94.33±0.61 94.07±091 SO 94.08±0.74 94.47±0.70 93.50±0.55 94.02±0.75 Rataan 93.82±1.00 94.40±0.63 93.92±0.70 94.02±0.82 BK (Kg) TSO 64.57±3.09 69.98±0.97 62.13±0.85 64.19±3,5 A SO 69.68±3.34 65.88±3.21 71.10±1.41 70.25±2,70 B Rataan 67.27±4.17 65.91±5.61 66.48±2.95 67.22±4.38 PK (%) TSO 69.16±3.51 74.39±5.26 65.87±0.94 68.28±3.90 A SO 73.77±3.75 69.83±3.63 76.04±1.36 74.73±3.08 B Rataan 71.77±4.41 69.82±5.97 72.93±3.43 71.51±4.77 Pj K (Cm) TSO 74.67±2.34 72.83±2.64 74.83±3.21 74.00±2.81 SO 73.83±5.64 72.50±3.55 77.00±4.47 74.56±4.72 Rataan 73.75±4.22 74.33±3.03 74.75±4.39 74.28±3.84 TLP (Cm) TSO 3.22±0.23 3.17±0.41 3.04±0.38 3.20±0.35 SO 2.97±0.45 3.33±0.34 3.04±0.29 3.07±0.35 Rataan 3.20±0.34 3.01±0.36 3.21±0.35 3.14±0.35 LEA (Cm²) TSO 43.09±4.33 38.11±1.94 36.71±4.73 39.97±4.29 A SO 45.40±4.98 45.15±3.89 43.87±1.95 44.81±3.55 B Rataan 44.24±4.61 41.63±4.70 41.29±4.38 42.39±4.63 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), UMP = umur potong, BP= bobot potong, BK = bobot karkas, PK = persentase karkas, PjK = panjang karkas, TLP = tebal lemak punggung, LEA = loin eye area

101 Berdasarkan hasil pada Tabel 6 disimpulkan bahwa babi yang paling singkat mencapai umur potong adalah babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan dengan liter size lahir sedang (184.33 ± 5.05 h) diikuti dengan litter size lahir rendah (185±8.60 h) dan tinggi (185.33±3.20 h), namun ketiganya tidak berbeda nyata. Sebaliknya, umur mencapai bobot potong yang paling lambat ditemukan pada babi yang dilahirkan oleh induk tanpa ovulasi ganda sebelum pengawinan baik pada litter size rendah (205 ± 0.82 hari), sedang (191.83 ± 4.62 hari), dan tinggi (203.50 ± 4.55 hari). Perlakuan ovulasi ganda tanpa memperhitungkan litter size lahir menghasilkan anak yang mencapai umur bobot potong yang lebih singkat waktunya dibanding dengan perlakuan tanpa ovulasi ganda dengan taraf semua litter size lahir. Hal ini dapat dijelaskan karena akibat dari induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan, secara fisiologis kebuntingan sudah dipersiapkan, dimana dengan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang lebih baik akan memperbaiki integrasi fungsi-fungsi uterus dan plasenta sehingga proses yang terjadi pada waktu pertumbuhan dan perkembangan mulai dari zigot, embrio, festus, sampai lahir menjadi optimal. Estradiol dan progesteron yang dihasilkan pada awal kebuntingan merupakan sinyal pembuka kunci bagi proses diferensiasi embrio dalam kandungan, yang mempunyai efek pada program pertumbuhan dan perkembangan prenatal dalam kandungan (Ashworth 1992; Mege et al. 2007), yang akhirnya permanen sebagai sifat yang diwarisi pada anak sampai periode berikutnya (dewasa) (Dziuk 1992; Gill et al. 1998). Bobot Potong Rataan umum bobot potong yang diperoleh adalah 94.02 ± 0.82 kg/ekor. Rataan umum bobot potong ini masih dalam kisaran bobot potong optimal 90-100 kg (Whittemore 1980). Secara rinci, rataan bobot potong babi hasil penelitian menurut perlakuan tertera pada Tabel 6. Bobot potong untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan adalah 94.07 ± 0.75 kg/ekor dan yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda sebelum pengawinan adalah 94.07 ± 0.91 kg/ekor, namun dengan umur potong yang sangat berbeda masing-masing 200.22 ± 7.10 dan 184.89 ± 5.70 hari. Hasil analisis

102 keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan dan taraf litter size serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi bobot potong karena bobot potong pada babi penelitian sudah ditetapkan 92.5 95.0 kg. Penentuan bobot potong babi pada penelitian ini adalah kisaran 92.5 95 kg, mengikuti menajemen perusahan peternakan tempat penelitian ini dilakukan. Bobot potong lebih daripada 90 kg akan menyebabkan penampilan lemak yang berlebihan, yang mengakibatkan menurunnya kualitas karkas (Figueroa 2001). Bobot dan Persentase Karkas Rataan umum bobot dan persentase karkas yang diperoleh masing-masing adalah 67.22 ± 4.38 kg dan 71.51 ± 4.77%. Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong ternak tersebut, akan tetapi dengan bobot potong yang tinggi tidak selalu menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula (Whittemore 1980). Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan bobot kepala, darah, bulu, isi rongga perut, dan isi rongga dada. Rataan umum persentase karkas berada pada kelas satu berdasarkan patokan karkas menurut USDA berkisar 68-72% dan termasuk kelas satu menurut Forrest et al. (1975). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat nyata (P< 0,01) memperbaiki bobot dan persentase karkas sedangkan taraf litter size dan interaksi keduanya tidak mepengaruhi bobot karkas maupun persentase karkas. Tabel 6. memperlihatkan bahwa perlakuan ovulasi ganda menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas yang lebih tinggi (P<0.01) (masing-masing 70.25 ± 2.70 kg dan 74.73± 3.09%) dibandingkan dengan babi yang dilahirkan oleh induk kontrol yang tidak diovulasi ganda (masing-masing 64.19 ± 3.58 kg dan 68.28±3.90%). Bobot karkas bergantung pada bobot potong dan persentase karkas pada bobot karkas. Apabila bobot potong tinggi maka bobot dan persentase karkas akan meningkat. Tidak demikian halnya dengan hasil penelitian ini, walaupun bobot potong babi sama, bobot dan persentase karkas berbeda. Hal ini membuktikan bahwa bobot karkas dan persentase karkas ternak babi yang dilahirkan oleh yang diovulasi ganda sebelum pengawinan lebih tinggi daripada babi dari induk yang tidak diovulasi ganda, meskipun dengan bobot potong yang relatif sama. Dapat disimpulkan bahwa ovulasi ganda dapat meningkatkan bobot dan persentase karkas. Bobot karkas dari hasil induk babi yang

103 diovulasi ganda sesuai dengan pernyataan Whittemore (1980) bahwa kisaran bobot karkas babi sekitar 75% dari bobot potong. Walaupun hasil analisis ragam untuk litter size lahir tidak berbeda nyata, dapat dilihat bahwa bobot karkas yang tertinggi terjadi pada perlakuan litter size yang rendah dengan rataan (67.27 ± 4,17 kg) dan diikuti oleh litter size tinggi (66.48 ± 2.95 kg) dan yang paling rendah bobot karkasnya adalah pada litter size sedang dengan rataan (65.91 ± 5.61 kg). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa litter size lahir rendah dapat memberikan bobot karkas yang tinggi. Hal ini disebabkan pada litter size lahir rendah secara fisiologis persaingan kurang terjadi mulai dari embrio sampai fetus dan lahir. Induk yang baru pertama kali beranak atau sering disebut paritas satu menghasilkan litter size yang lebih rendah daripada induk babi yang sudah beberapa kali beranak. Menurut Marois et al. (2000), induk yang pertama kali beranak memperoleh litter size lahir berkisar 9.59 sampai 9.81 ekor anak, yang mana hasil penelitian ini hampir sama litter size lahirnya, yaitu 9.69 ekor. Hal ini yang menyebabkan pada litter size lahir rendah dapat memberikan bobot karkas yang tinggi, namun tidak selalu diikuti dengan persentase karkas yang tinggi. Rataan umum persentase karkas yang diperoleh adalah 71.51 ± 4.77%. Rataan persentase karkas ini berada pada kelas satu berdasarkan patokan karkas menurut USDA bahwa kelas satu adalah 68 72% (Forrest et al. 1975). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan sangat nyata (P< 0,01) meningkatkan persentase karkas, sedangkan taraf litter size dan interaksinya tidak mempengaruhi persentase karkas. Persentase karkas adalah 74.73 ± 3.09% untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda, sedangkan pada babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda adalah 68.28 ± 3.90%. Perbedaan persentase karkas yang sangat nyata (P<0.01) ini dapat dipahami karena terdapat hubungan yang erat dengan bobot karkas. Persentase karkas yang tinggi untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda disebabkan bobot karkas yang tinggi juga. Panjang Karkas Rataan umum panjang karkas yang diperoleh adalah 74.28 ± 3.84 cm. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan,

104 litter size lahir, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi panjang karkas. Tabel 6. memperlihatkan bahwa panjang karkas babi yang berasal dari induk yang diovulasi ganda adalah 74.56 ± 4.72 cm dan pada babi yang berasal dari induk yang tidak diovulasi ganda adalah 74.00 ± 2.81 cm. Panjang karkas berhubungan erat dengan bobot potong (Soeparno 2009). Penelitian ini juga sejalan dengan hasil bobot potong yang diperoleh, yaitu bobot potong ternak babi hasil penelitian adalah sama. Dengan demikian, panjang karkas yang dihasilkan juga relatif hampir sama. Panjang karkas dipengaruhi oleh pertumbuhan ruas-ruas tulang belakang (columna vertebralis) yang berada pada batas-batas depan (tulang rusuk pertama) dan belakang (os coxae) dari pengukuran panjang karkas yang terdiri atas vertebrae thoracalis dan vertebrae lumbalis. Jaringan ini tumbuh dan berkembang dini sehingga ukuran linearnya lebih sulit untuk dipengaruhi oleh sesuatu perlakuan apapun selama pertumbuhan postnatal hewan (Tony et al. 2000). Tebal Lemak Punggung Rataan umum tebal lemak punggung (TLP) hasil pengamatan adalah 3.14 ± 0.35 cm. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda induk sebelum pengawinan, litter size lahir, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi tebal lemak punggung (Tabel 6). Rataan tebal lemak punggung pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda adalah 3.07 ± 0.35 cm dan untuk babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda ialah 3.20 ± 0.35 cm. Rataan TLP dari yang paling tipis hingga tebal menurut litter size berturut-turut adalah litter size sedang (3.01 ± 0.36 cm ), litter size rendah (3.20 ± 0.34 cm), dan litter size tinggi (3.21 ± 0.35 cm). Ukuran litter size tidak mempengaruhi TLP. Tebal lemak punggung karkas sangat mempengaruhi grade karkas. Hasil TLP yang didapat pada penelitian ini adalah termasuk grade satu sesuai dengan yang direkomendasikan oleh USDA (1985). Untuk babi dengan bobot badan 90 kg, TLP < 3.56 cm termasuk US nomor satu, 3.56 4.32 cm US nomor dua, 4.32 5.08 cm adalah US nomor tiga, dan > 5.08 cm adalah US nomor empat.

105 Loin Eye Area Rataan umum loin eye area (LEA) adalah 42.39 ± 4.63 cm² (Tabel 6). Hasil penelitian ini didukung oleh Figueroa (2001) yang meneliti tentang pengaruh performans babi pertumbuhan sampai finisher yang diberikan pakan rendah protein, rendah energi, tepung biji sorghum-kedelai memperoleh nilai rataan luas urat daging mata rusuk sebesar 42.97 cm 2. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ovulasi ganda babi dara sebelum pengawinan sangat nyata (P < 0.01) meningkatkan LEA, sedangkan litter size dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi LEA. Loin eye area babi yang berasal dari induk yang diovulasi ganda adalah 44.81 ± 3.55 cm² dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LEA babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda, yaitu 39.97 ± 4.29 cm². Loin eye area yang diperoleh untuk induk yang diovulasi ganda lebih luas 4.84 cm². Loin eye area sering dipakai untuk memprediksi perdagingan karkas. Semakin luas LEA semakin besar juga proporsi daging pada karkas (Figueroa 2001). Lebih lanjut dinyatakan oleh Johnson (1996) LEA mempengaruhi perdagingan, tapi tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal, tapi sebagai indikator pelengkap. Ovulasi ganda induk babi sebelum pengawinan ternyata dapat meningkatkan LEA babi hasil turunannya, karena bobot karkas anak babi yang lahir dari induk yang diovulasi ganda sebelum pengawinan lebih berat dari bobot karkas babi yang dilahirkan oleh induk yang tidak diovulasi ganda, masingmasing 70.25 ± 3.08 dan 64.19 ± 3.58 kg. Ovulasi ganda menstimulus sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan sehingga menyebabkan peningkatan estrogen merangsang hiperplasia dan hipertropi endometrium dan miometrium akibat dari bertambahnya uterus. Juga terjadi peningkatan jumlah sel akibat hiperplasia sehingga induk yang diovulasi ganda mempunyai LEA yang lebih luas. Dengan penampilan anak sapihan yang lebih baik maka akan menyebabkan penampilan bakalan, dalam hal ini LEA, yang lebih baik juga. Soeparno (1998) menyatakan bahwa LEA dipengaruhi juga oleh bobot potong. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan daging mata rusuk yang lebih luas. Tidak demikian

106 halnya dengan hasil penelitian ini, walaupun bobot potong sama, LEA yang dihasilkan tetap lebih tinggi pada babi yang dilahirkan oleh induk yang diovulasi ganda.

107 Simpulan Kualitas karkas babi potong yang dilahirkan oleh induk babi yang diovulasi ganda sebelum pengawinan lebih baik yang digambarkan dengan waktu pencapaian bobot potong yang lebih singkat, bobot karkas, persentase karkas, dan loin eye area yang meningkat, sedangkan panjang karkas dan tebal lemak punggung dapat dipertahankan.

108 Daftar Pustaka Adriani IK, Sutama K, Sudono A, Sutardi dan Manalu W. 2005. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan etawa. J Anim Prod 6:86-94. Andriyanto, Manalu W. 2011. Increasing goat productivity through the improvement of endogenous secretion of pregnant hormones using follicle stimulating hormone. J Anim Prod 13:89-93. Ashworth CJ. 1992. Synchrony embryo-uterus. Anim Reprod Sci 28:259-267 Bee G. 2004. Effect of early gestation feeding, birth weight, and gender of progeny on muscle fiber characteristics of pigs at slaughter. J Anim Sci 82:826-836. Bennett GL, Leymaster A. 1989. Integration of ovulation rate, potential embryonic viability and uterine capacity into a model of litter size in swine. J Anim Science 67:1230-1241. Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci 28:299-308. Fahey TJ, Sehaefer DM, Kaukkman RG, Epley RJ, Gould PF, Romas JR, Smith GL and Topel DG. 1977. A comparison of practical methods to estimate pork carcass composition. J Anim Sci 30 (3):197-202. Figueroa JL. 2001. Growth performance of growing finishing pig fed low-protein low-energy, Ggrain sorghum-soybean meal diets. J Anim Sci 81, Suppl.1. Forrest CJ, Elton DA, Harold BA, Robert AM. 1975. Priciple of meat Science. San Fransisco, W.H. Freeman and Company. Gill JW, Hosking BJ, Egan AR. 1998. Prenatal programming of mammalian growth. A review of the role of steroid. Livestock Prod Science 54:251-267. Johnson BJ, Anderson PT, Meiske JC, Dayton WR. 1996. Effect of combined trebolen acetate and estradiol Implantation of feedlot performance, carcass characteristics and carcass composition of feedlot steers. J Anim Sci 74:363-371. Lawrie RA. 2003. Meat Science. Second edition. Pergamon Press. Oxford, New York, Toronto, Sydney, Braunschweig.

109 Manalu W, Sumaryadi MY. 1998. Correlations of litter size and maternal serum progesterone concentration during pregnancy with mammary gland growth and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep. Asian- Austr. J Anim Sci 11:300-306. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res.33:279-284. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J Dairy Sci 83:477-483. Marois D, Brisbane JR, Laforest JP.2000. Acounting for lactation length on weaning to conception interval in genetic evaluation for litter size in swine. J Anim Sci 78:1796-1810. Mege RA, Manalu W, Nasution SH, Kusumorini N, 2007. Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. J Hayati 14:1-6. Rehfeldt, C.A, Tuchscherer, M. Hartung, and G. Kuhn. 2008. A second look at the influence of birth weight on carcass and meat quality of pigs. Meat Science 78:170-175. Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan 5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sumaryadi MY and W Manalu. 2001. The profiles of weeky progesterone and estradiol of ewes during luteal phase of estrous cycle and pregnancy. Bulletin of Anim Sci Ed :231-235. Steel RGD, Torrie JH, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B, Sumantri, Cetakan ke-2 Jakarta. PT Gramedia. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs New Yersey. Thrasher GW, Shively JE, Askelon CE, WE Babcock and RR Chaquest. 1970. Effects of carbadox on performance and carcass traits of growing swine. J Anim Sci 1:333-338. Tony S, Todd M, Bill D, Pete, Larry H. 2000. The Effect of Virginiamicin on Performance and Carcass Characteristics of Finishing Cattle Fed Corn and Corn By-product Finishing Diets. University of Nebraska Cooperative Extention.

110 [USDA]. 1985. United States Standards for Grades of Pork Carcasses. United States Department of Agriculture. Whittemore CT. 1980. Pig Production. The Scientific and Practical Priciples. New York. Logman Handbooks in Agriculture

KEADAAN UMUM Penelitian ini dilakukan di perusahaan peternakan milik L. Liando, PT Wailan yang berlokasi di Kelurahan Kayawu, Kecamatan Tomohon Barat, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi ini terletak pada ketinggian kira-kira 700-800 meter di atas permukaan laut (dpl), diapit oleh dua gunung berapi aktif, yaitu Gunung Lokon (1.689 m) dan Gunung Mahawu (1.311 m). Suhu di Kota Tomohon pada waktu siang hari dapat mencapai 30⁰C dan 23-24⁰C pada malam hari. Luas lahan yang dimiliki oleh peternakan babi PT Wailan adalah enam hektar dengan penggunaan dua hektar untuk perkandangan babi dengan jumlah ternak ± 6000 ekor yang terdiri atas induk, pejantan, anak babi, babi dara, dan babi penggemukan. Fasilitas pendukung lainnya adalah kantor, gudang makanan dan mesin pengolah bahan makanan, mes tamu, tempat pengolahan limbah, dan lain-lain. Peternakan ini merupakan peternakan komersial yang mendistribusikan ternak babi ke Minahasa, Manado, dan Bitung. Manajemen Pemeliharaan Ternak Babi di PT Wailan Kandang pada peternakan ini terdiri atas kandang induk (kering dan bunting), kandang beranak, kandang pejantan, kandang anak babi sapihan, kandang untuk penggemukan yang di dalamnya terletak kandang yang digunakan untuk penelitian. Kandang untuk induk babi bunting merupakan kandang kelompok yang berukuran 3 x 6 m, yaitu pada setiap kandang ditempatkan 15 ekor induk, baik yang akan dikawinkan maupun induk kering. Kandang untuk induk babi beranak masing-masing adalah kandang individu. Kandang induk kering, induk babi bunting, dan induk beranak beralas lantai semen, seperti diperlihatkan pada (Gambar 15 dan 16). Kandang induk babi bunting, kering, dan calon induk berukuran 3 x 6 m, sedangkan untuk induk babi beranak dan menyusui berukuran 3 x 3 m yang di dalamnya dilengkapi dengan tempat anak babi berukuran 2 x 0.8 m dan diberi alat penghangat. Induk babi bunting dipindahkan ke kandang induk beranak sekitar 7 10 hari sebelum tanggal prediksi induk babi akan beranak. Anak babi dipindahkan ke kandang anak babi

112 penyapihan, namun anak babi untuk penelitian pada tahap selanjutnya segera dipindahkan ke kandang individu saat sapih sampai bertumbuh pengakhiran (Gambar 17 dan 18) berukuran 1 x 1.25 x 1 meter yang telah disiapkan untuk penelitian tahap berikutnya. Gambar 15 Kandang Induk Kering dan Induk Bunting Gambar 16 Kandang Induk Beranak

113 Gambar 17 Kandang Penelitian Tahap II (Grower Hingga Finisher) Gambar 18 Kandang Pemeliharaan Babi Fase Grower Hingga Finisher Manajemen Pakan Manajemen rutin yang dilakukan pada periode induk babi bunting dan menyusui adalah pemberian ransum dua kali sehari, yaitu pada pagi (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Induk babi bunting diberi ransum 2.0-2.5 kg/ekor/hari, sedangkan induk babi beranak dan menyusui disesuaikan dengan jumlah anaknya atau berkisar 4-7 kg/ekor/hari. Setelah jam pemberian ransum selesai dan ransumnya habis, maka dilanjutkan dengan pembersihan kandang dan tempat ransum baik pagi maupun siang hari. Pembersihan kandang dilakukan dengan cara menyemprotkan air dari selang dengan tekanan tinggi. Ransum yang Digunakan dalam Penelitian Ransum yang diberikan pada setiap kelas ternak babi dibuat sendiri di perusahan. Penyusunan ransum dilakukan dengan mencampur bahan-bahan pakan