BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

PENGENALAN TEKNOLOGI RADAR UNTUK PEMETAAN SPASIAL DI KAWASAN TROPIS. Haniah, Yudo Prasetyo *)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAN SIMULASI PARAMETER RADAR TERHADAP PERFORMANSI SYNTHETIC APERTURE RADAR PADA TAHAP AWAL PENCITRAAN SENSOR RADAR PROPOSAL SKRIPSI

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

Radiasi Elektromagnetik

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

BAB 11 MICROWAVE ANTENNA. Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi super

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

TEORI MAXWELL Maxwell Maxwell Tahun 1864

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR ANTENA. Dilihat dari latar belakang telekomunikasi berupa komunikasi wireless,

JENIS CITRA

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Materi II TEORI DASAR ANTENNA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [

GROUND PENETRATING RADAR (GPR)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Radio dan Medan Elektromagnetik

Transmisi Signal Wireless. Pertemuan IV

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

Scientific Echosounders

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA

BAB 8 HIGH FREQUENCY ANTENNA. Mahasiswa mampu menjelaskan secara lisan/tertulis mengenai jenis-jenis frekuensi untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

DIKTAT KULIAH RADAR DAN NAVIGASI

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

Sistem Ground Penetrating Radar untuk Mendeteksi Benda-benda di Bawah Permukaan Tanah

BAB II LANDASAN TEORI

Pertemuan ke-6 Sensor : Bagian 2. Afif Rakhman, S.Si., M.T. Drs. Suparwoto, M.Si. Geofisika - UGM

DASAR TELEKOMUNIKASI. Kholistianingsih, S.T., M.Eng

Spektrum Gelombang Elektromagnetik

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

BAB IV HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS HASIL PENGUKURAN

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

Eko Yudha ( )

BAB I PENDAHULUAN. (near surface exploration). Ground Penetrating Radar (GPR) atau georadar secara

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Remote sensing dalam bahasa Indonesia yaitu penginderaan jauh, dapat diartikan suatu teknik pengumpulan data atau informasi objek permukaan bumi secara tidak langsung (instrumen tidak kontak langsung dengan objek) melalui analisis pengumpulan datanya, yang didapatkan dari perekaman sensor yang menerima pantulan sinyal gelombang dari objek, wahana dari instrumen ini dapat berupa satelit luar angkasa (spaceborne) dan dapat juga berupa wahana pesawat (airborne), ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini. Satelit Pesawat Gambar 2.1 Ilustrasi pengambilan data secara remote sensing melalui wahana terbang (airborne) dan angkasa (spaceborne) Airborne remote sensing atau penginderaan melalui wahana pesawat memiliki sensor yang mengarah kebawah ataupun kesamping, yang terpasang menjulang pada suatu pesawat untuk memperoleh citra dari permukaan bumi, keuntungan dari wahana pesawat penginderaan jauh ini dibandingkan satelit penginderaan jauh (spaceborne remote sensing) adalah kemampuan resolusi spasial yang sangat tinggi yaitu 20 cm sampai dibawahnya. Selain itu, terdapat kekurangan dari penggunaan wahana pesawat ini yaitu low coverage maksudnya cakupan objek yang didapat sangat kecil dan biaya 8

yang dibutuhkan sangat tinggi dalam satu cakupan pada area permukaan bumi serta tidak sangat efektif jika penggunaan wahana pesawat ini untuk memperoleh informasi permukaan bumi yang sangat luas. Sementara satelit penginderaan jauh menawarkan kemampuan memonitor secara kontinyu dari informasi permukaan bumi untuk banyak hal keperluan, walaupun kemampuan resolusi spasialnya lebih kecil dibandingkan teknik wahana pesawat [sumber : www.crisp.nus.edu.sg]. II.1.1 Penginderaan Jauh Optik (Optical Remote Sensing) Penginderaan jauh optik merupakan sensor optik untuk mendeteksi radiasi sinyal matahari dalam gelombang visible dan near infrared (disingkat menjadi VNIR) yang dipantulkan atau di hamburkan dari permukaan bumi, bentuk citranya seperti fotografi dengan kamera tinggi pada wahana luar angkasa. Perbedaan material permukaan seperti air, tanah, pepohonan, gedung dan jalan, pada pantulan gelombang tampak dan infrared nya akan menghasilkan berbeda pula. Mereka memiliki perbedaan warna dan kecerahanya hasil dari proses tersebut. Interpretasi citra optis membutuhkan pengetahuan dari spektral reflektansi untuk berbagai material baik alami ataupun buatan manusia yang mencakup seluruh permukaan di bumi. Biasanya sensor infrared mengukur radiasi suhu yang dipancarkan dari bumi, yang berasal baik dari daratan ataupun perairan. Ilustrasi penginderaan jauh optik ini dapat dilihat pada Gambar 2.2. Satelit Pancaran sinar Atmosfer Gelombang pantulan Bangunga Pepohonan perairan rerumputan Aspal Gambar 2.2 Prinsip penginderaan jauh optik 9

Penginderaan jauh optik menggunakan sinar tampak yaitu near visible, near infrared dan short-wave infrared sensor dalam pencitraan permukaan bumi dengan mendeteksi pantulan sinar radiasi dari target. Perbedaan pantulan dan penyerapan dari material secara jelas berbeda pada setiap panjang gelombang (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Dengan demikian target dapat dibedakan oleh spektral reflektansinya pada citra penginderaan jauh ini. Terdapat 2 tipe pencitraan dengan sistem optik ini, secara umum [sumber : www.crisp.nus.edu.sg], diantaranya : Sistem pencitraan pankromatik : terdiri atas satu saluran pendeteksi (single channel detector) dan sensitif terhadap radiasi dengan sebuah panjang gelombang yang jelas. Jika jarak panjang gelombang yang diterima bertepatan dengan jarak tampak, maka akan menghasilkan fotografi hitam-putih diambil dari angkasa. Kuantitas fisiknya dapat dilihat dari tingkat kecerahan dari target, tetapi untuk informasi spektral atau warna dari targetnya tidak ada. Contohnya sistem pencitraan pankromatik adalah IKONOS PAN, SPOT, HRV-PAN. Sistem pencitraan multispektral : terdiri atas sensor multi saluran pendeteksi (multichannel detector), setiap salurannya sensitif terhadap radiasi pada sebuah batas band panjang gelombangnya. Hasil citra ini berupa multi layer dimana berisikan tingkat kecerahan dan informasi spektral dari target yang diamati. Contohnya sistem multispektral adalah LANDSAT MSS, LANDSAT TM, SPOTHRV-XS, IKONOS MS. II.1.1.1 Iradiasi sinar matahari Penginderaan jauh optis bergantung pada matahari yang menyinari permukaan bumi yang dicitrakan. Spektrum iradiasi matahari diatas atmosfer dapat dimodelkan oleh spektrum radiasi black body dengan memiliki temperatur sumber yaitu sekitar 5250 K dengan puncak iradiasinya pada panjang gelombang 500 nm. Pengukuran fisik dari iradiasi matahari dilakukan dengan sensor dipermukaan bumi dan wahana pesawat. Setelah melewati atmosfer, spektrum iradasi matahari pada permukaan dimodulasikan oleh atmospheric transmission windows, Sisa energi signifikan yaitu hanya pada jarak panjang gelombang 2.5 3 µm [sumber : www.crisp.nus.edu.sg]. 10

Sinar matahari diatas Atmosfer Radiasi Spektral Black Body, 5250 o C sinar w/m2/μ m Radiasi pada Permukaan laut Penyerapan Bands Panjang Gelombang μ m Gambar 2.3 Spektra Iradiasi Matahari diatas atmosfer dan permukaan laut [sumber : http://atmoz.org] Dapat dilihat pada Gambar 2.3 diatas, bahwa semakin besar panjang gelombang yang digunakan (visible infrared) maka radiasi yang diterima akan semakin kecil dan sebaliknya, jika panjang gelombang yang digunakan semakin kecil (infrared visible) maka radiasi yang diterima akan semakin besar, oleh karena itu penginderaan jauh dengan sistem optik ini sinar tampak atau visible light. II.1.1.2 Spektral reflektansi Ketika radiasi matahari menyentuh sebuah target permukaan, lalu dipancarkan, diserap ataupun dipantulkan. Perbedaan pantulan dan penyerapan dari suatu material dan perbedaan panjang gelombang yang digunakan akan menghasilkan reflektansi yang berbeda pula. Grafik spektral reflektansi dari sebuah material ialah plot radiasi pantulan yang merupakan fungsi dari incident wavelength dan sifat khusus dimiliki (yang direkam oleh sensor) pada material tersebut. Secara prinsip, sebuah material dapat di identifikasi dari spektral reflektansinya. 11

Contoh grafik dari spektral reflektansi dari 8 material diantaranya ; air, bersih, air keruh, tanah terbuka dan dua tipe vegetasi dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini. Vegetasi 2 Vegetasi 1 Reflektansi (%) Air Keruh Tanah Kosong Air Bersih Panjang gelombang μ m Gambar 2.4 Spektral reflektansi dari 8 jenis tutupan lahan [sumber: www.crisp.nus.edu.sg] Pada Gambar 2.4, dapat dilihat spektral reflektansi yang diterima dengan sensor sensitif pada panjang gelombang tersebut. Pada vegetasi, spektral reflektansinya bervariasi dikarenakan proses fotosintesis yang dilakukannya, sementara untuk air keruh dan air bersih cenderung menjadi sedikit spektral reflektansi ini diakibatkan kebutuhan akan radiasi matahari dari hewan dan tumbuhan air (plankton, dsb) dan proses fisik pada saat radiasi matahari masuk ke medium air, sementara untuk tanah kosong spektral reflektansinya cenderung meningkat, ini diakibatkan oleh radiasi mataharinya tidak mengalami proses apapun ketika saat mengenai objek tersebut (tanah kosong) dan langsung kembali dihamburkan. 12

II.1.2 Pencitraan Radar (microwave remote sensing) Penginderaan jauh dengan radar ini ialah pencitraan dengan memancarkan radiasi gelombang radar ke suatu permukaan bumi yang akan dicitrakan. Citra dari permukaan bumi dibentuk oleh pantulan atau hamburan energi gelombang radar dari permukaan baik daratan ataupun lautan dan sinyal gelombangnya dikembalikan lagi ke sensor. Kelebihan dengan menggunakan pencitraan ini adalah dapat dilakukan pada kondisi siang hari ataupun malam hari, serta penetrasi gelombangnya dapat menembus awan, pepohonan serta perairan dangkal tergantung dari jenis band yang digunakan. Penetrasi gelombang radar dalam medium udara dipengaruhi oleh spektrum gelombang elektromagnetik yang digunakan, nilainya diantara frekuensi 300 Mhz hingga 30 Ghz atau pada panjang gelombang 1 cm sampai 1 m dengan polarisasi gelombang satu bidang vertikal atau horizontal. Spektrum gelombang elektromagnetik itu sendiri dikelompokan menjadi band band, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut, [Sabins, 1978] : Tabel 2.1 Klasifikasi Band dari panjang gelombang dan frekuensinya Band Panjang Gelombang (cm) Frekuensi (MHz) Ka K Ku X C S L P 0,8 1,1 1,1 1,7 1,7 2,4 2,4-3,8 3,8 7,5 7,5 15,0 15,0 30,0 30,0 100,0 40.000 26.500 26.500 18.000 18.000 12.500 12.500 8.000 8.000 4.000 4.000 2.000 2.000 1.000 1.000-300 Citra radar yang diperoleh merepresentasikan jumlah energi pantul yang diterima oleh sensor. Besar kecilnya panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh, semakin besar panjang maka semakin kuat daya tembus medium perantaranya (kanopi, perairan, salju, dsb) gelombangnya (dengan menganggap bahwa konstanta dielektrik medium atmosfer sama). 13

Pada permukaan bumi, pulsa gelombang radar dipancarkan ke segala arah, sebagian pantulannya diterima kembali oleh sensor. Intensitas dari gelombang pantulan ini sangat lemah dibandingkan ketika dipancarkan, dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 2.5 dibawah ini. Satelit (T1) Satelit (T2) Sinyal Hamburan Gambar 2.5 Iustrasi gelombang hamburan dari permukaan bumi Ketika wahana memancarkan sinyal radar, memiliki bentuk geometri pencitraan tersendiri. Berikut ini adalah faktor-faktor geometri pada pencitraan radar, yaitu : Incidence Angle Merupakan sudut yang dibentuk antara pancaran gelombang radar dengan garis yang tegak lurus terhadap permukaan objek Depression Angle Adalah sudut yang dibentuk dari arah horisontal ke arah garis pancaran gelombang radar Look Angle Merupakan sudut antara utara geografis dan arah pancaran gelombang radar atau dengan garis yang tegak lurus arah terbang wahana. Look Direction Merupakan arah antena pada saat melakukan pencintraan 14

Sistem pencitraan gelombang mikro atau radar dapat menghasilkan gambar resolusi tinggi dari permukaan bumi ialah synthetic aperture radar (SAR). Intensitas dalam SAR bergantung jumlah dari hamburan kembalian dari target dan diterima kembali oleh SAR antena. Mekanisme fisik untuk hamburan kembali berbeda untuk gelombang radar dibandingkan dengan radiasi visible atau infrared. Interpretasi dari citra SAR membutuhkan pengetahuan sinyal ketika berinteraksi dengan target. Ketika gelombang radar mengenai permukaan bumi, energi yang dihamburkan kembali ke sensor bergantung dalam pada beberapa faktor sebagai berikut [sumber : www.crisp.nus.edu.sg]: Faktor fisik seperti konstanta dielektrik dari material permukaan dimana bergantung pada konten uapnya, Gelombang radar yang dikirimkan dari sensor dan kembali diterima oleh sensor tersebut, penjalaran gelombang tersebut melewati medium atmosfer yang konten didalamnya salah satunya adalah uap air, kandungan dari uap air (yang berisikan konstanta dielektrik) tersebut yang memperanguhi kualitas gelombang kembalian dari dari pantulan objek (semakin sedikit kandungan uap airnya semakin baik). Faktor geometrik seperti kekasaran permukaan, beda tinggi, orientasi dari objek yang relatif kepada arah sinyal radar. faktor geometrik tersebut terkait dengan sinyal datang dari sensor lalu di pantulkan kembali oleh objek dari permukaan bumi, geometri pengamatan dan objeknya akan mempengaruhi geometri sinyal kembalian ke sensor, semakin cocok (match) antara keduanya (geometri pengamatan dan objek) maka sinyal kembaliannya semakin banyak, sehingga kualitas dari informasinya semakin baik pula. Jenis dari tutupan lahan (tanah, vegetasi, atau buatan manusia objek), informasi dari objek yang akan dicitrakan ini, berkaitan dengan informasi apa yang ingin kita dapatkan dan penggunaan dari karakteristik gelombang yang harus digunakan, contohnya untuk mendapatkan informasi topografi permukaan tanah dari suatu area berkanopi atau pepohonan sangat cocok menggunakan gelombang band L, karena dapat menembus kanopi tersebut. 15

II.2 Pencitraan Radar Kesamping (Side Looking) II.2.1 Real - Aperture Radar (RAR) Real aperture Aperture (RAR) merupakan sistem pencitraan radar dengan mengarah kesamping (side looking) dengan geometri pengamatannya seperti tinggi terbang, sudut pengamatan, panjang gelombang yang digunakan dan lain sebagainya tergantung dari satelit yang digunakan (dapat dilihat pada Gambar 2.6). Dalam sistem RAR ini hanya informasi amplitudo (dan bukan fase) dari setiap sinyal kembalian yang dilakukan pengambilan datanya serta dilakukan prosesnya. Gambar 2.6 Ilustriasi geometri observasi dari sistem Real - Aperture Radar Resolusi spasial dari sistem RAR ini ditentukan terutama oleh ukuran antena yang digunakan, semakin besar ukuran antenanya maka semakin baik resolusi spasialnya. faktor lain yang menentukan antara lain, durasi pulsa dan beamwidth dari antenanya. Dalam sistem Real Aperture Radar (RAR) resolusi spasial dibagi atas 2 hal, yaitu sebagai berikut : 16

Resolusi range Resolusi range didefinisikan merupakan jarak terkecil antara dua titik dalam permukaan (ground), dengan memproyeksikan resolusi slant range ke dalam permukaan di formulasikan sebagai berikut [Usai, 2001] : Dimana : R gr = Resolusi ground range τ = panjang pulsa R gr = c.τ (2.2.1.1) 2.sinθ c = Kecepatan cahaya θ = Look angle Resolusi azimuth Resolusi azimuth dipengaruhi oleh beamwidth antena tersebut. Sinyal radar dari antena menyebar dan lalu meningkatkan jaraknya ke permukaan bumi lalu dipantulkan kembali dan beberapa sinyal hamburan yang diterima kembali oleh platform dengan membawa informasi melalui pulsa yang dipancarkan dan diterima tersebut, akibatnya resolusi azimuth memburuk, tapi pada intinya beamwidth antena dikontrol dengan : 1. Dikontrol oleh panjang fisik dari antena 2. Dikontrol keefektifan sintesis panjang dari antena Sementara untuk azimuth resolusi dalam sistem RAR ini diformulasikan sebagai berikut [Usai, 2001]: Dimana : R a = Resolusi Azimuth R a = λ. r (2.2.1.2) L a λ = Panjang gelombang r = Jarak dari sensor ke permukaan L a =Panjang antena Sistem ini dimana beamwidthnya dikontrol oleh fisik dari panjang antena, contohnya untuk resolusi spasial sampai 10 km, dengan mengumpamakan pengamatan jarak sebesar 1000 km. 17

II.2.2 Synthetic - Aperture Radar (SAR) SAR mengambil keuntungan dari sistem Doppler terutama dari gema radar yang dihasilkan dari perputaran suatu benda di depan satelit untuk mensintesis sebuah antena besar. Ini memberikan hasil ketelitian tinggi dari resolusi azimuth pada citranya, dengan ukuran antena secara fisik adalah kecil. Ketika satelit radar ini bergerak pada posisinya dan memancarkan setiap pulsanya, pengembalian terobosan gema ke receiver dan direkam dalam tempat penyimpanan gema (signal storage) [ESA, 2007]. Dalam SAR ini menggunakan sistem Doppler, dimana prinsip Doppler itu sendiri yaitu frekuensi suatu sumber bunyi akan terdengar berubah apabila sumber bunyi tersebut berubah posisinya relatif terhadap sensor (pendengar). Prinsip doppler ini berlaku pula untuk gelombang elektromagnetik. Dengan adanya prinsip doppler ini maka akan terjadi perubahan frekuensi yang memenuhi persamaan 2.2.2.1 dibawah ini [Merril,1980]. berikut yang kemudian dinamakan Perubahan Frekuensi Doppler (The Doppler Frequency Shift) dengan : f = Perubahan Frekeunsi Doppler d v r = Kecepatan target bergerak relatif terhadap sensor (2.2.2.1) f 0 = Frekuensi Transmisi λ = Panjang Gelombang c = Cepat rambat cahaya (3.10 8 m/s) Focusing merupakan rekontruksi dari kontribusi setiap 5 m sel (pixel), dimana untuk meningkatkan ketelitian diperkirakan membutuhkan waktu ribuan kali RAR, oleh karena itu pemprosesannya yang dilakukan secara antena buatan (sintesis aperture) sama dengan 20 km panjang antena RAR, oleh karena itu kenapa dinamakan Synthetic Aperture Radar [ESA, 2007], dapat dilihat ilustrasi pada Gambar 2.7 berikut : 18

(a) Real Aperture Radar (b) Synthetic Aperture Radar (c) Sama dengan antena besar RAR Gambar 2.7 Ilustrasi pemanfaatan prinsip doppler dalam sistem pencitraan kesamping [Sumber: sang ho yun (disertation)] Pada dasarnya, pengembalian sinyal dari bagian pusat beamwidth dapat dibedakan dengan mendeteksi perubahan frekuensi doppler, dimana perubahan gelombang frekuensinya hasil dari kecepatan relatif antara pengirim and pemantulnya (objek). dengan sinar wide antenna, unsur kembalian sinyal dari depan area platform akan dinaikkan atau lebih tinggi hasil frekuensi dari efek Doppler, dan sebaliknya pengembalian unsur dari belakang platform akan diturunkan atau frekuensi rendah, sementara pengembalian dari dekat garis pusat beamwidth (sering disebut zero Doppler line) akan secara langsung tidak ada perubahan pada frekuensinya. Amplitudo dan fase dari sinyal pengembalian dari objek akan direkam oleh tempat penyimpanan gema (echo store), secara keseluruhan dalam periode waktu penyinaran objeknya melalui perubahan antena tersebut. Dengan pengolahan sinyal sesuai dengan prinsip doppler tadi, sangat kecil keefektifan beamwidth antena dapat tercapai, dalam range yang jauh, tanpa membutuhkan sebuah fisik antena baik yaitu dengan ukuran panjang ataupun pendek pada operasi panjang gelombangnya. Catatan bahwa dengan panjang antena sintetik ini tak hanya resolusi azimuth yang peningkatannya besar (kaitannya dengan pembatasan keefektifitasan dari beamwidth). juga pada resolusi azimuth, pada dasarnya terbebas dari range (jarak), karena panjang range objek sinar atau gelombang lebih panjang, maka kembalinya itu 19

direkam dengan sebuah jarak yang lebih panjang [ESA, 2007]. Dalam SAR resolusinya dibagi atas 2 hal, yaitu sebagai berikut : Resolusi range Resolusi dari pulsa sistem radar adalah secara mendasar dibatasi oleh bandwidth (B) dari pancaran pulsa gelombang (c), dengan semakin lebar pada bandwidthnya maka range resolusinya akan semakin lebih baik, lebar bandwidth tersebut dapat dicapai dengan pulsa berdurasi pendek. secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut, [ESA, 2007] : Slant range = c / (2.B) (2.2.2.2) Resolusi Azimuth Prinsip pengukuran dari SAR bergantung dari penggunaan radiasi koherennya, bersama dengan informasi yang diterima dari suatu titik dari pulsa radar tersebut. Untuk sebuah pengamat yang berplatform dan berpindah pindah, sehingga jarak dari radar ke target juga secara kontinyu berubah, menyebabkan fase dari pantulan sinyal berubah sesuai dengan hukum diberikan oleh observasi geometri, (formula ini adalah formula deterministik), karena itu kemungkinan untuk mengkoreksi fase dari sinyal kembali dari satu sama lainnya, sehingga batas efeknya sebanding dengan sinyal yang diterima secara terus menerus oleh antena dengan panjangnya tidak lebih dari panjang dari sinyal radar yang direkam. Dengan cara ini, antena sintesis dapat mengatasi tingkat elemen radiasi bebas, dimana dipisahkan sejak pengulangan pulsa frekuensi dan kecepatan platform. Perubahan fase berhubungan dengan waktu frekuensi angular doppler, serta resolusi azimuth ditentukan oleh bandwidth Doppler dari sinyal yang diterima [ESA, 2007]. Dengan menggunakan antena seperti ini, sehingga rumus resolusi azimuthnya menjadi [Usai, 2001] : R a = L a (2.2.2.3) 2 20

Dimana : R a = Resolusi azimuth L a = Panjang antena Beberapa hal perlu diperhatikan dalam sistem SAR ini [ESA, 2007], diantaranya: Frekeunsi dalam SAR Gelombang radio merupakan bagian spektrum elektromagnetik dimana memiliki panjang gelombang lebih dari sinar tampak (visible light) dalam sub sentimeter. Penetrasi merupakan faktor kunci dalam pemilihan frekuensi, untuk wavelength yang lebih panjang (untuk frekuensinya lebih pendek) kekuatan penetrasi masuk menembus vegetasi hingga mencapai tanah. Informasi frekuensi atau panjang panjang gelombangnya pada Tabel 2.2, sebagai berikut : Tabel 2.2 Klasifikasi Band dan pemanfaatannya No Jenis Band Panjang Gelombang (λ) Wahana Pemanfaatan 1 Band - P 65 cm pesawat AIRSAR 2 Band - L 23 cm pesawat & satelit JERS-1, ALOS 3 Band - S 10 cm pesawat & satelit Almaz-1 4 Band - C 5 cm pesawat & satelit ERS-1/2, RADARSAT, ENVISAT 5 Band - X 3 cm pesawat & satelit TerraSAR-X, Cosmos Skymed 6 Band - K 1.2 cm pesawat militer Polarisasi Tanpa bergantung pada panjang gelombang, sinyal radar dapat di kirimkan secara horizontal (H) maupun vertikal (V) dari bidang vektor, dan sinyal kembali diterima juga secara horizontal atau vertikal, dan ataupun kedua duanya (ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2.8). Dasar proses fisik dilakukan untuk polarisasi (HH atau W) kembali yaitu quasispecular pantulan permukaan dan permukaan atau volume hamburan. Cross-polarised (HV atau VH) kembali adalah biasanya lemahnya serta seringnya menyatu dengan banyak hamburan yang kaitannya dengan kekasaran dan 21

banyak volume hamburan. Mekanisme hamburan atau kembalinya dari perbedaan permukaan mungkin biasanya sering bertukar tukar dengan jelas pada sudut pandang radar. Gambar 2.8 Ilustrasi polarisasi H dan V [sumber : www.ccrs.nrcan.gc.ca] Radar Look Angle Sudut pandang atau look angle (θ) radar merupakan sudut yang dibentuk oleh sinar pancaran radar dan sebuah garis tegak lurus dengan permukaan. Interaksi gelombang radar dengan permukaan ialah sangat kompleks dan perbedaan mekanisme hamburan mungkin diakibatkan perbedaan sudut arah yang datang, kembalinya tersebut terkait dengan permukaan hamburannya, biasanya kuat untuk penurunan sudut pandang atau look angle radar dan lemah dengan kenaikan look angle radar. Kembalinya volume hamburan dari bermacam macam perantara cenderung menjadi lebih seragam untuk semua look angle radar, jadi pantulan hamburan sangat bergantung pada sudut dan ini potensial untuk memilih konfigurasi yang optimal dalam aplikasi yang berbeda. 22

II.3 Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) II.3.1 Prinsip SAR Interferometri Sistem SAR interferometri (Synthetic Aperture Radar) menyinari bumi dengan sinar dari radiasi koherensi gelombang radar, dengan mempertahankan informasi fase dan amplitudo dalam gema radar selama akuisisi data (pengambilan data) dan pengolahannya. Radiasi ini dapat di gambarkan melalui 3 properti utama, sebagai berikut : 1. Panjang gelombang, jarak antar puncak dalam gelombang. 2. Amplitudo, pergeseran dari puncak dari gelombang. 3. Fase, gambaran pergeseran dari gelombang (baik degree maupun shift) dari beberapa gelombang lain. Gambar 2.9 Ilustrasi pengamatan perubahan fase Dapat dilihat pada Gambar 2.9, SAR Interferometri (InSAR) memanfaatkan koheren dalam pengukuran fase untuk mendapatkan beda jarak dan perubahan jarak dari dua atau lebih citra SAR yang memiliki nilai compleks dari permukaan yang sama, ini cara untuk mendapatkan informasi lebih tentang objek dibanding hanya mendapatkan satu citra saja. Hasil perbedaan dari fase menghasilkan jenis citra baru yang disebut inteferogram, dimana pola fringes mengisikan semua informasi geometri relatif. 23

Agar diperoleh topografi dari citra, harus dipenuhi dua buah syarat, yaitu objek di permukaan bumi yang akan dicitrakan dapat terlihat dengan jelas, dan bentuk geometri pengamatan citra tersebut memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya. Kedua hal tersebut hanya dapat dipenuhi oleh teknik InSAR. Teknik interferometri mencitrakan suatu objek di permukaan bumi dengan cara melakukan pengamatan terhadap beda fase dua gelombang pendar yang berasal dari satu objek. Gambar 2.10 Ilustrasi 2 satelit dalama pengambilan data SAR Interferometri Pada Gambar 2.10 diatas tampak bahwa S dan S merupakan 2 buah sensor 1 2 yang berbeda, memancarkan gelombang radar pada suatu objek dengan tinggi objek tersebut sebesar Z dari bidang referensi. R dan R adalah jarak geometris objek terhadap 1 2 sensor radar, disebut juga Slant Range. Fase kedua sinyal tersebut memenuhi persamaan [Gens, dkk, 1995] : 24

φ = 4.π.R1 1 φ = 4.π.R2 2 (2.3.1.1) λ λ Sehingga beda fase (φ) antara kedua sinyal yang diterima dari elemen permukaan yang sama pada kedua posisi antena dapat dituliskan sebagai persamaan 2.3.1.2 [Gens, dkk, 1995] φ = 4.π.dR (2.3.1.2) λ Dengan φ = Beda fase λ = Panjang gelombang dr = Selisih jarak dari titik ke sensor r dan r ialah jarak antara masing-masing antena dengan objek yang sama. maka 1 2 dapat dihitung tinggi titik Z dengan persamaan 2.3.1.3 [Gens, dkk, 1995] : z (x, y) = H R cos θ 1 (2.3.1.3) Dengan : H = tinggi terbang θ = incidence angle II.3.2 Teknik SAR Interferometri Citra kedua SAR untuk menyediakan informasi tambahan, itu harus diperoleh melalui mengabaikan perbedaan posisi sensor. Perbedaan antara akuisisi dari citra pertama dan kedua menentukan hasil interferometer atau interferogramnya. Beberapa bentuk umum dari interferometri, diantaranya : a. Across Track (range), Dalam kasus yang sama (single-pass InSAR) pencitraan dari 2 antena yang terpisah, kedua antena tersebut memiliki fungsi memancarkan dan menerima sinyal radar. Dalam kasus dimana satu antena melakukan pencitraan kembali pada posisi yang sama dan area yang sama pada permukaan bumi setelah beberapa hari atau minggu, metode ini disebut dengan repeat-pass Interferometry, dimana metode dimana setiap antena dari keduanya itu sebagai pemancar dan penerima. Perbedaan r1 dan r2 (Δr) dapat diukur oleh fase yang berbeda diantara 2 citra kompleks SAR. Ini dilakukan oleh perbanyakan satu citra melalui konjugasi kompleks dari citra lain, dimana interferogram dibentuk dari kepemilikan fase pada 25

suatu titik yang didapat melalui perbedaan range secara proporsional. Fase yang merupakan contain interferogram adalah suatu deskripsi topografi permukaan bumi yang dicitrakan dalam hal ini sama seperti garis countur. b. Along track (azimuth), menggunakan 2 antena yaitu master sebagai pemancar dan receiver serta slave hanya sebagai penerima saja. Seperti sebuah sistem mendapatkan 2 citra dari target yang sama, dengan keterlambatan waktu itu hasil dari perubahan posisi dari along-track ini. Secara khusus waktu keterlambatan ini diantara 10 microseconds sampai 100 ms. Jika sisa keperluan target diantara akuisisi, 2 data set yang identik dan ideal dari suatu area dan fase interferometrik sama dengan nol Walaupun, beberapa pergeseran relatif range dari target diantara dua citra yang akan dihasilkan dari sebuah fase non-zero interferometric, metode ini paling sering digunakan adalah ketika sering sekali digunakan untuk pendeteksian relatif dari polar motion dan arus samudra. c. Differential, metode ini menggunakan sebuah perbedaan waktu, dalam data ada yaitu data satu hari untuk satu tahun, dan utamannya digunakan untuk observasi glacier atau aliran es, jika perbedaan waktunya hanya dalam hari, serta jika perbedaan waktu itu di ukur dalam hari untuk satu tahun, itu dapat digunakan untuk observasi pengamatan penurunan muka tanah (subsidence), aktivitas seismik, aktivitas gunung api, atau pergeseran lempeng II.3.3 Dekorelasi Interferometri Interferometrik dekorelasi ialah ketidaksesuaian antara citra utama dengan citra kedua akibat selisih fase yang terlalu jauh. Nilai perbedaan ini dinyatakan koherensi yang nilainya memiliki rentang antara 0 hingga 1. untuk nilai koherensi 1 maka pada pasangan citra tersebut memiliki kesesuaian maksimum, sedangkan nilai koherensi 1 maka pada pasangan citra terdapat dekorelasi. Nilai koherensinya (γ) tersebut merupakan total dari korelasi yang mempengaruhinya, secara mudah diformulasikan sebagai berikut [Hanssen, 2000] : γ total = γ geom x γ suhu x γ waktu x γ PD x γ pengolahan (2.3.3.1) 26

Dekorelasi suhu (Thermal Decorrelation) Pengaruh dari gangguan panas terhadap nilai fase didapatkan dengan memperhatikan nilai Signal Noise to Ratio (SNR) yang ada. SNR merupakan ukuran kekuatan sinyal yang berhubungan dengan ukuran panas, dimana ukuran panas tersebut terjadi antara lain karena proses penguatan (amplification) dari sinyal radar yang di terima oleh antena. Gangguan ini merupakan hal yang terjadi di luar sistem radar. Dekorelasi digambarkan dalam persamaan 2.3.3.2 berikut : dengan : ρ = Dekorelasi thermal th SNR = Signal Noise to Ratio (2.3.3.2) Dekorelasi Geometrik (Geometric Decorrelation) Jika baseline terlalu panjang, penjumlahan koheren radiasi dari gelombang pantul akan sangat berbeda. Koherensi akan hilang sama sekali apabila panjang baseline nya tidak melebihi dari panjang baseline kritisnya ( B), dimana panjang baseline kritis m. Dekorelasi baseline dinyatakan dengan persamaan 2.3.3.3, 1100 B dengan : ρ spatial = dekorelasi baseline r = slant range Rr = Resolusi ground range B = baseline (2.3.3.3) Dekorelasi waktu (Temporal Decorrelation) Pencitraan dengan proses interferometri dengan wahana satelit menggunakan metode repeat pass (pengulangan lintasan) maka akan terjadi perbedaan waktu. Berbeda dengan wahana yang menggunakan pesawat udara dengan 2 antena, penginderaan 27

dilakukan pada saat yang sama tanpa pengaruh beda waktu. Contoh dekorelasi yang disebabkan oleh perbedaan waktu: o Permukaan air. Akibat permukaan air yang selalu bergerak maka posisi objek pencitraan pertama tidak sama dengan pencitraan kedua o Tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan juga selalu bergerak akibat adanya angin, sehingga kondisi tumbuhan disaat pencitraan pertama tidak selalu sama dengan kondisi tumbuhan disaat pecitraan berikutnya. o Erosi. Perubahan bentuk permukaan tanah yang diakibatkan oleh erosi akan menyebabkan dekorelasi pada citra utama dan kedua. o Aktifitas manusia. Aktifitas manusia yang menyebabkan perubahan kondisi bentuk permukaan bumi dapat menyebabkan dekorelasi citra utama dengan citra kedua. Dekorelasi Orbit (Orbit Decorrelation) Satelit bergerak pada lintasannya yang disebut orbit. Perubahan orbit pada waktu melakukan pencitraan pertama dengan orbit pada pencitraan kedua menyebabkan ketidaksesuaian diantaranya. Hal-hal yang mempengaruhi gerakan satelit diantaranya medan gravitasi bumi, matahari, bulan, dan planet-planet lainnya. Dekorelasi pusat doppler (Centroid Doppler Decorrelation) Perbedaan frekuensi pusat Doppler diantara kedua pencitraan (ΔF ) akan d mengakibatkan terjadinya dekorelasi pada arah azimut. Peningkatan perbedaan frekuensi Doppler tersebut akan mengakibatkan menurunnya koherensi (dγ), dengan Br adalah lebar pita dalam arah azimuth. (2.3.3.4) 28

II.4 Differensial Interferometri Informasi fase yang dimiliki oleh suatu interferogram dari hasil pengamatan 2 SAR pada waktu yang berbeda, sebenarnya memiliki unsur sebagai berikut : φ = φ topografi + φ deformasi + φ atmosfer + φ noise (2.4.1) dimana : φ = Beda fase (Topografi n+1) ` φ topografi = Fase topografi (sebagai reference) φ atmosfer = Fase pengaruh atmosfer φ deformasi = Fase Deformasi φ noise = Fase pengaruh noise Sehingga untuk mendapatkan sinyal deformasi harus dilakukan metode differensial interferometri atau mendifferensialkan 2 interferogram dan lalu menghilangkan pengaruh noise dan atmosfer, pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan teknik repeat-pass interferometry. Artinya satelit InSAR melakukan pencitraan kembali pada daerah yang sama dengan temporal tertentu. Beberapa metode yang digunakan dalam membuat differensial interferogram [Hanssen, 2000], sebagai berikut : Metode Two-pass interferometri Metode ini menggunakan eksternal model elevasi (DEM) yang di konversi kedalam koordinat radar, diskalakan menggunakan baseline, dan disubtrak dari interferogram. [Massonnet et al..1993] dengan metode seperti ini tentu kesalahan yang dimiliki oleh DEM akan mempengaruhi hasil deformasi yang diperoleh, bergantung pada karakteristik baselinenya. 29

Gambar 2.11 Alur pengolahan SAR metode two-pass [ESA, 2007] Metode Three-pass interferometri Metode ini menggunakan pasangan topografi yang diperoleh dari citra SAR 1 dan 2 dimana selisih temporal kedua pengamatan tersebut saling berdekatan, sehingga tidak ada unsur deformasi di dalam model topografi itu atau kita anggap tidak memiliki kesalahan deformasi. Yang kedua pasangan topografi yang masih dipengaruhi oleh deformasi diperoleh dari citra SAR 1 dan 3 dimana memiliki selisih temporal yang cukup berjauhan. Dari kedua pasangan topografi tersebut, untuk menentukan besarnya deformasi atau pasangan differensialnya pada area pengamatan kita tinggal menyelisihkan antara pasangan topografi 1 dan 3 dengan pasangan topografi 1 dan 2. Gambar 2.12 Alur pengolahan SAR metode three-pass [ESA, 2007] Metode Four-pass interferometri Untuk metode four-pass ini, dimana menggunakan pasangan topografi dan pasangan deformasi hasil dari kombinasi temporal citra apapun, tetapi pada intinya untuk mendapatkan pasangan differensialnya sama dengan three-pass method, kita tinggal menyelisihkan kedua pasangan interferogram tersebut, dengan metode seperti ini pengaruh perbedaan baseline akan masuk. 30

II.5 Perbandingan Kinerja InSAR dengan GPS untuk pengamatan Deformasi Selain menggunakan teknologi InSAR (Intereferometric Synthetic Aperture Radar) untuk memantau fenomena deformasi, dapat juga memanfaatkan teknologi GPS (GNSS) melalui pengamatan titik titik di area kajian deformasi. Prinsip dari teknologi GPS ini untuk pemantauan deformasi atau pergeseran (displacement) adalah dengan menenentukan vektor pergeseran melalui penyelisihan hasil koordinat 3D dimensi pada kala sesudah atau kala kedua dengan kala sebelumnya atau kala pertama, hasilnya semakin baik atau benar merepresentasi deformasi apabila titik yang diamati semakin banyak (optimal) dan waktu pengamatan GPS yang dilakukan relatif lama. Tabel 2.3 berikut ini beberapa perbedaan InSAR dengan GPS yang dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengamatan deformasi suatu objek dipermukaan bumi, sebagai berikut : Tabel 2.3 Beberapa perbedaan antara InSAR dengan GPS No Perbedaan InSAR GPS 1 Pengambilan data Tidak langsung Langsung 2 Data Area (piksel) Titik 2 Ketelitian vertikal Level milimeter Level centimeter 3 Ketelitian horizontal Level Meter Level Millimeter 4 Hasil Model 3D Vektor 3D 5 Keterlibatan SDM Sedikit Cukup banyak 6 Biaya (Minimal data) 5 10 juta rupiah per scene 1 juta rupiah per titik [sumber biaya citra SAR : http://www.ga.gov.au] Untuk memilih teknologi mana yang murah dengan menggunakan InSAR atau GPS itu adalah relatif, tergantung dari area pengamatannya atau jumlah titik pengamatan dan keperluan pemantauan fenomena deformasinya. 31