PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM REDUKSI ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Hukum Laut Indonesia

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

Curriculum Vitae DR. MAS ACHMAD SANTOSA, S.H., LL.M.

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

II. TinjauanPustaka A. Definisi Sasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ILLEGAL FISHING KORPORASI DALAM CITA-CITA INDONESIA POROS MARITIM DUNIA

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. Pencegahan Illegal Fishing di Provinsi Kepulauan Riau. fishing terdapat pada IPOA-IUU. Dimana dalam ketentuan IPOA-IUU

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

II. TINJAUAN PUSTAKA. integral dari upaya perlindungan masyarakat ( social defence) dan upaya mencapai kesejahtraan

Transkripsi:

PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM REDUKSI ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING MELALUI PENGHAPUSAN DOMINASI RASIO-INSTRUMENTAL DAN KOMUNIKASI HUKUM BERJENJANG Oleh: Nuzulia Yuaniva, S.Pi Penyuluh Perikanan Ahli Pertama Kabupaten Klaten Tingginya permintaan akan protein yang terkandung dalam ikan mendorong pelaku usaha negara-negara di dunia untuk memenuhi kebutuhan penyediaannya secara optimal. Akan tetapi keterbatasan sumberdaya alam, baik kemampuan akan pengembalian kelestarian ikan yang membutuhkan beberapa waktu serta letak geografis yang tidak menguntungkan menjadikan pelaku usaha berpikir lebih mendalam, bagaimana dapat memenuhi permintaan pasar ditengah permasalahan yang dihadapi. Nampaknya, pelaku usaha tidak kehilangan asa, mereka melihat peluang atau kemungkinan sumberdaya ikan yang dapat diambil dalam jumlah yang besar diwilayah yang memiliki potensi perikanan. Galibnya, potensi sumberdaya ikan melimpah pada negara-negara yang mempunyai wilayah territorial laut yang cukup luas terutama pada negara berkembang. Ironisnya, regulasi dan keseriusan dalam penanganan tindak kejahatan dan pelanggaran dilaut masih lemah pada negara tersebut, sehingga menjadikan hal ini momentum tepat untuk melakukan eksploitasi tanpa memandang kelestarian sumberdaya yang ada. Adanya celah dalam hukum laut internasional yang mengusung semangat kebebasan dilaut lepas (high seas) yakni bahwa laut lepas yang tidak dibatasi dan bukan merupakan yurisdiksi suatu negara adalah warisan bersama umat manusia, tanpa memandang letak geografisnya, memiliki implikasi laut lepas dapat dimasuki oleh semua kapal perikanan yang dimiliki oleh setiap negara. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan setiap negara, baik berpantai atau tak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya pada kedaulatannya 1. 1 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Internasional, Departemen Luar Negeri- Direktorat Perjanjian Internasional, halaman 87

Celah selanjutnya adalah Pasal 91 sebagai berikut 2 : Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal didalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara Negara dan kapal itu. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu. Kebijakan internasional tersebut pada hakikatnya baik, guna membuka peluang keadilan bagi seluruh umat manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam di laut, namun ternyata hal tersebut melahirkan praktik yang secara signifikan merugikan negara-negara tertentu. Derivasi dari diperbolehkannya tiap negara melakukan penangkapan ikan adalah kebijakan open register, yaitu registrasi kapal oleh negara tertentu tanpa adanya kewajiban kebangsaan atau kewarganegaraan bagi kapal yang menggunakan benderanya. Bendera Negara yang memberlakukan open register ini dikenal dengan nama flag of convenience (FOC). Asset kapal dan perusahaan berbendera FOC mungkin saja tidak dimiliki sama sekali oleh negara pemberi bendera. Seratus persen aset kapal bisa dimiliki oleh pihak asing. Semua ABK adalah warga negara asing. Demikian pula dimungkinkan kapal yang didaftarkan belum sama sekali singgah di negara pemilik bendera. Struktur kepemilikan dan identitas nama kapal, serta nama perusahaan dapat diubah untuk menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Jika terdapat nama perusahaannya, dapat dimungkinkan itu hanya komuflase. Dengan demikian, kapal berbendera FOC sedianya memiliki kebebasan dan kesempatan untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas, namun dalam prktiknya seringkali diselewengkan, hal ini yang memicu bertambahnya tingkat pencurian ikan dilaut territorial suatu negara. Indonesia sebagai negara yang dikaruniai Tuhan dengan berkah alam dan sumber daya hayati yang melimpah, selama ini menjadi sasaran empuk praktek perikanan IUU yang secara nyata merugikan negara dari nilai ekonomis dan menggadaikan kesejahteraan anak bangsa. 2 Loc Cit

Kuperan dan Sutinen pada tahun 1998 mulai pertama kali menggunakan istilah Blue Water Crime untuk menunjukkan praktik perikanan IUU. Istilah ini mengindikasikan bahwa perikanan IUU adalah perbuatan kriminal atau tindakan kejahatan. 3 Sebenarnya blue water crime tidak hanya dilakukan oleh mereka yang blue collar, sebab mereka yang tertangkap oleh aparat penegak hukum sedianya memang mereka yang blue collar atau nelayan buruh, namun nelayan tersebut bukanlah tokoh utama dalam kegiatan tersebut. Mereka berada dibawah kendali white collar yakni manajer, direksi, dan komisaris perusahaan yang memiliki jaringan lintas negara rapi, serta tinggi tingkat kerahasiaan struktur korporasinya. Nama ilmiahnya adalah perikanan ilegal (tidak sah), unreported (tidak dilaporkan), dan unregulated (tidak diatur) atau disingkat IUU fishing (perikanan IUU). 4 Dengan kata lain, secara sarkasme perikanan IUU adalah pencurian ikan. Pada beberapa referensi perikanan IUU disebut juga Pirate Fishing. Munculnya istilah tersebut merupakan indikasi bahwa perbuatan penangkapan ikan adalah pelaku pembajakan atas sumberdaya ikan. Batasan atau definisi perikanan IUU secara internasional merujuk pada IPOA-IUU yang diprakarsai dan disponsori oleh FAO dalam konteks implementasi FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries. 5 hal tersebut dilakukan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia agar dapat dilakukan secara bertanggungjawab, artinya eksploitasi sumberdaya perikanan tetap mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, masyarakat internasional memandang perlu untuk menentukan beberapa rencana aksi. Salah satu rencana aksi (plan of action) tersebut berkaitan dengan upaya mencegah, mengatasi dan mengurangi perikanan IUU (IPOA-IUU). Dokumen IPOA-IUU tersebut telah diterima secara konsensus oleh seluruh peserta sidang Commite of Fisheries (COFA) ke-24 yang dilakukan di Roma, Italia pada 23 Juni 2001. 3 Ibid, halaman 2 4 Victor Nikijuluw,Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water Crime, (Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo,2008), halaman 1 5 Victor Nikijuluw, Op Cit, halaman 13

Definisi perikanan IUU secara internasional menurut alinea 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA_IUU berbunyi sebagai berikut : Penangkapan secara tidak sah (Illegal Fishing) adalah : 1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing diperairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentanagan dengan hukum dan peraturan negara itu. (Activities conducted by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, without permission of the state, or in contravention of its law an regulation) 2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan tindakan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. negara anggota RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional. (Activities conducted by vessels flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries management (RFMO) but operate in contravention of the conservation and management measures adopted by organization and by which states are bound, or relevant provisions of the applicable international law). 3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO. (Activities in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating states to a relevant regional fisheries management organization (RFMO). Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (Unreported) yaitu : 1.Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara salah kepada otoritas pemerintahan tertentu atau bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. (Activities which have been reported, or have been

misreported to the relevant national authority, in contravention of national laws and regulation) 2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan yang merupakan kompetensi suatu RFMO tertentu yang mana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan atau bertentangan dengan prosedur pelaporan yang berlaku di RFMO tersebut. (Activities undertaken in the are of competence of a relevant regional fisheries management organization (RFMO) which have not been reported or have been misreported, in contraventioan of the reporting procedures of that organization) Kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur ( Unregulated Fishing) adalah : 1.Kegiatan penangkapan ikan pada kawasan yang merupakan tanggunjawab RFMO tertentu yang bertentangan dengan tinfakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO tersebut dilakukan oleh kapal yang tidak memiliki identitas suatu negara, atau oleh kapal berbendera yang bukan merupakan anggota RFMO itu, atau oleh suatu organisasi atau perusahaan perikanan tertentu. (Activities in the area of application of a relevant regional fisheries management organization (RFMO) that are conducted by vessels without nationality, or by those fliying the flag of state not party to that organization, or by fihing entity, in a manner that is not consistent with or contravenes the conservation and management measures of that organization). 2.Kegiatan penangkapan ikan atas jenis ikan tertentu atau di daerah perairan tertentu yang telah diatur oleh suatu tindakan konservasi dan pengelolaan oleh negara tertentu atau hukum internasional. (Activities in areas or for fish stocks in relation to which there are applicable conservation measures or management measures and where such fishing activities are conducted in a manner inconsistent with state responsibilities for the conservation of living marine resources under international law). Berdasarkan batasan perikanan IUU secara internasional dapat disimpulkan bahwa menurut kawasan penangkapan ikan (fishing Ground), perikanan IUU dapat terjadi di perairan-perairan sebagai berikut :

1. Perairan yang dimiliki atau yurisdiksi negara tertentu, baik itu perairan ZEE, perairan territorial, perairan kepulauan, atau perairan pedalaman 2. Perairan yang dikelola secara bersama oleh negara-negara dalam satu kawasan melalui organisasi perikanan regional (RFMO) 3. Perairan internasional atau laut lepas yang tidak dikelola oleh suatu negara atau suatu RFMO. Mengikuti perkembangan perikanan dunia saat ini, boleh dikatakan bahwa tidak ditemukan lagi perairan internasional atau laut lepas yang tidak dikelola oleh suatu RFMO. Praktik perikanan ini sebenarnya telah menjadi permasalahan global semenjak awal tahun 1970-an, namun dengan meningkatnya intensitas dan volume kegiatan tersebut diberbagai belahan dunia, menjadikan komunitas global menyatakan perang terhadap eksistensinya. Sejauh ini, Indonesia telah berusaha menjalankan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktek-praktek yang tumbuh dan dikembangkan dalam masyarakat asli (indigenous people and local community) sebagai kunci keberhasilan konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Tunduk pada konvensi keanekaragaman hayati selain juga pada UNCLOS 1982. Pasal 8 (j) Konvensi Keanekaragaman hayati menyatakan bahwa pengetahuan tradisional (misalnya pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek masyarakat pribumi, serta masyarakat setempat, yang terwujud dalam gaya hidup tradisional) memiliki peran yang sangat tinggi. Pengetahuan dan inovasi tercermin dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang terus menerus, sebagai contoh adanya larangan pencarian ikan pada waktu tertentu di Ambon yang dinamakan sasi lompa. Masyarakat Negeri Haruku Sameth, Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku, memiliki tradisi unik untuk menjaga kelestarian hasil alamnya. Pulau Haruku adalah salah satu pulau kecil yang berada pada gugusan Pulau pulau Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Pombo dan Molana), yang terletak di sebelah Timur Kota / Pulau Ambon. Para pemimpin adat di Negeri Haruku Sameth memberlakukan masa larangan dan masa diperbolehkan bagi warga untuk

menangkap ikan di laut atau sungai. Masyarakat setempat menyebutnya dengan tradisi sasi lompa. Sasi Lompa atau Sasi Laut adalah sebuah tradisi tahunan yg diselenggarakan oleh masyarakat di pulau Haruku. Sasi berasal dari dua suku kata yaitu Sasi dan Lompa. Sasi adalah sebuah larangan di maluku yg bertujuan untuk menjaga kelestarian alam, sedangkan Lompa adalah jenis ikan Sardin kecil yg hidup di air payau. Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturanperaturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya adalah norma hukum adat yang berlaku di pulau Haruku, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga / penduduk setempat. Disamping itu menurut Pasal 8 (j) Konvensi, pemerintah juga mempromosikan pemanfaatan pengetahuan tradisional yang lebih luas mencakup : (a) persetujuan dan keterlibatan masyarakat setempat dan (b) pembagian keuntungan yang sama, yang timbul dari pemanfaatan pengetahuan tradisional tersebut. Negara peserta konvensi diminta untuk menghormati, melindungi, dan memelihara elemen-elemen kunci bagi konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Lebih dari itu bahkan (sesuai Pasal 10 huruf c) negara peserta konvensi harus melindungi dan mengembangkan customary use of biological resources sesuai dengan praktek-praktek tradisional dalam rangka konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati secara berkelanjutan. Untuk itu negara peserta konvesni diberikan mandate membuat peraturan dalam rangka pengakuan sistem-sistem dan pengetahuan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat asli/tradisional.

Koheren dengan hal tersebut, seharusnya ditingkat internasional juga ditumbuhkan ketentuan-ketentuan untuk melindungi kreativitas masyarakat asli/tradisional dalam melindungi kekayaan sumberdaya alam sebagai contoh ikan. Akan tetapi logika yang terbangun dari Konvensi keanekaragaman hayati tersebut sulit untuk diaplikasikan karena adanya perbedaan persepsi antara negara-negara utara dan negara-negara berkembang yang umumnya adalah negara pemilik sumberdaya hayati. Perbedaannya adalah tentang bagaimana melihat peran indigenous people and local community yang dapat terlihat dari ketentuan konvensi keanekaragaman hayati dengan ketentuan TRIPs di sisi lain. Pasal 8 huruf j konvensi keanekaragaman hayati menyatakan negara peserta konvensi harus menghormati dan melindungi serta memelihara pengetahuan, inovasi dan praktek masyarakat asli/ tradisional dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, namun dalam Statement yang diterbitkan oleh Third World Net (TWN) sebuah jaringan LSM dari negara-negara dunia ketiga menyatakan bahwa kontribusi dan pengetahuan yang sudah ada dalam masyarakat tradisonal tidak dilindungi dalam TRIPs Agreement. Didalamnya sistem paten yang diatur dalam TRIPs tetap memberikan kesempatan untuk memperoleh hak paten atas produk atau pengetahuan, meskipun pengembangannya berasal dari komunitas lokal. Menurut pernyataan diatas, dalam pandangan negara-negara maju, kreativitas yang ada pada masyarakat tradisional tidak bisa mendapatkan proteksi dari ketentuan TRIPs, hanya produk-produk yang dikembangkan oleh negaranegara maju saja yang dapat dilindungi oleh peraturan TRIPs. Muncul isu penting tentang ketidak ilmiahan pengetahuan tradisional dihadapkan dengan pengetahuan modern yang dinilai ilmiah oleh barat. Vandana Shiva berpendapat, sebenarnya tidak ada dasar epsitemologisnya untuk menyatakan bahwa non-western traditional knowledge bersifat tidak ilmiah dan dan western knowledge bersifat ilmiah. 6 sistem pengetahuan tradisonal sebenarnya juga memiliki landasan epistemologi sendiri yang berbeda dengan sistem reduksionis dan model Cartesian yang ada pada model dunia barat. Ide 6 Vandana Shiva, Politics of Knowledge at the CBD (Sumber website: http://www.twnside.org/title/cbd.cn.htm)

pemikiran bahwa modern reductionist science adalah suatu deskripsi tentang realitas objektif dan bersifat impersonal telah ditolak berdasarkan alasan sejarah dan filsafat. Secara historis sebenarnya telah disepakati bahwa semua pengetahuan, termasuk modern scientific knowledge dibangun dengan menggunakan metodologi yang bersifat plural. Perkembangan rasionalitas menurut Adorno dan Horkmeier tidak lagi mengabdi kepada kepentingan psikis moral, melainkan menjadi suatu dominasi rasio-instrumental, dengan kata lain, keuanggulan rasional dijadikan sebagai instrumen untuk melakukan penindasan atau dominasi terhadap pihak lain. Dalam hal ini rasio-instrumental melihat atau mengartikan realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, dikuasai dan ditundukkan secara total. Inilah yang sesungguhnya terjadi dalam dunia perikanan Indonesia, pada satu sisi negara harus mengupayakan kelestarian keanekaragaman hayati sebagaimana di tetapkan melalui konvensi internasional, serta adanya kewajiban membuka ALKI sebagaimana tunduk pada konvensi hukum laut internasional. Namun disisi lain inferior terhadap kepentingan negara-negara maju yang menegasikan eksistensi sustainable development yang didengungkan dengan lantang. Beberapa negara lebih berorientasi pada keuntungan finansial kendati merongrong kedaulatan bangsa Indonesia, mengacuhkan pengetahuan tradisional indigenous people and local community terhadap upaya pelestarian ikan diwilayahnya. Keberadaan perikanan IUU dari kajian hukum kritis, menjadi implikasi yuridis inferioritas pengetahuan tradisional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Perikanan IUU tidak dilakukan secara kebetulan, perencanaannya dilakukan dengan baik, ditata dari awal hingga akhir dan melibatkan lebih dari satu orang. Bahkan sebelum aktivitas dimulai tempat penangkapan serta penjualan hasil tangkapan telah dikoordinasikan. Pasar hasil pencurian memang tertentu dan terstruktur dengan baik, dengan demikian dapat ditarik konklusi bahwa pencurian ikan ini adalah kejahatan yang terorganisasi atau organized crime.

Dalam banyak kasus perbuatan kriminal ini dilakukan lintas negara 7. Sebagai contoh manajer berasal dari Thailand, nelayan pelaksananya warga Vietnam dan Myanmar, surat-surat untuk komuflase perikanan IUU dikeluarkan negara Panama atau Belize, kegiatan pencurian ikan dilakukan di perairan Indonesia, dan hasil pencuriannya dijual ke Spanyol. Sehingga kejahatan tersebut tidak salah apabila disebut dengan transnational crime. Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadi salah satu sasaran perikanan IUU, hal tersebut menjadi representasi logis karena sumberdaya perikanan memang potensial pada salah satu negara kepulauan terbesar di dunia ini. Indonesia memiliki 17.480 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut mencakup 70 persen dari total luas wilayah Indonesia. Secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat strategis yakni di daerah tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Pasifik dan India), serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya kelautan yang berlimpah, baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati, maupun jasa-jasa lingkungan. 8 Penyuluh perikanan sebagai bagian dari elemen pembangunan bangsa, harus mengambil peran sentral dalam penghapusan praktek perikanan IUU ini. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah memenangkan opini dunia dengan penghapusan dominasi rasio-instrumental negara manapun terhadap kekayaan sumberdaya alam negara Indonesia. Dibutuhkan kampanye massif bahwa apa yang telah Indonesia perjuangkan berkaitan dengan sustainability development juga dipatuhi oleh semua negara di dunia. Apabila tidak di indahkan perlu adanya law enforcement yang tegas dan kaku sesuai ketentuan perundangan Indonesia yang berkaitan dengan sanksi dari yang teringan sampai tindakan khusus penenggelaman kapal pencuri ikan. Kedua Penyuluh Perikanan harus dapat mendorong komunikasi hukum yang efektif secara berjenjang terhadap masyarakat pelaku perikanan di Indonesia. 7 Ibid, halaman 3 8 Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan, Lokakarya Nasional Pengelolaan Jasa Kelautan dan Kemaritiman, Hotel Bumikarsa Bidakara, Jakarta, 19 Juni 2007, Hal: 1

Karena bisa saja praktik perikanan IUU juga dipandegani oleh anak bangsa yang bekerjasama dengan pelaku pencurian ikan negara lain. Diperlukan strategi pencegahan pencurian ikan melalui komunikasi hukum berjenjang yang efektif. Berkenaan dengan hal ini, Carll I. Howard menyatakan bahwa komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Oleh karena itu, komunikasi bukan saja penyampaian informasi melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion), sehingga merupakan proses merubah perilaku orang atau kelompok masyarakat tertentu. Lon L. Fuller berpendapat bahwa peraturan hukum yang tidak disampaikan dengan baik kepada masyarakat menjadi system hukum yang tidak bermoral. Jeremy Bentham menghendaki lebih jauh lagi bahwa isi selengkapnya suatu peraturan harus diberitahukan kepada masyarakat, yang artinya rakyat harus dapat menerima berlakunya hukum tersebut. Dengan demikian adanya asas fictie hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum perlu diperhatikan kembali. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan betapa pentingnya peran penyuluh perikanan sebagai komunikator dalam proses komunikasi hukum berjenjang ini. Penyuluh perikanan sebagai Komunikator lanjutan dari komunikator pertama, yakni penegak hukum (TNI, Polairut, Petugas Pengawas SDKP, dll) berkewajiban membuat social stigma bahwa perikanan IUU merupakan praktik yang merugikan negara Indonesia kepada simpul persepsi pelaku utama dan pelaku usaha nasional. Upaya demikian diharapkan menimbulkan kesadaran hukum yang akan berimplikasi pada penurunan pencurian ikan dilaut (Perikanan IUU). Efektifitas dan efisiensi penegakan hukum terhadap praktik perikanan IUU dapat terlihat dari umpan balik pelaku utama dan pelaku usaha perikanan terhadap intepretasi hukum, ketaatan terhadap regulasi perikanan serta kebijaan internasional yang telah teratifikasi dalam praktik hukum di Indonesia. Komunikasi hukum berjenjang menjadi model komunikasi yang meninggalkan upaya penghapusan perikanan IUU yang terkesan setengah hati. Melalui komunikasi hukum berjenjang ini diupayakan dapat tercipta kultur hukum yang

sama pada setiap jenjang. Dengan kultur yang sama dapat dibentuk opini yang sama sehingga dapat dihindari adanya gap (kesenjangan) pemahaman Perikanan IUU antara komunikan dalam hal ini pelaku utama dan pelaku usaha dengan komunikator dalam hal ini penyuluh perikanan. Ekspektasi dari keberadaan penyuluh perikanan terhadap upaya reduksi perikanan IUU adalah campaign stop Illegal, Unreported and unregulated fishing melalui pendekatan konservasi dan keberlangsungan sumberdaya hayati ikan. Selain itu penyuluh dapat melakukan rekayasa sosial dengan penciptaan komunikasi hukum berjenjang secara efektif untuk memberangus perikanan IUU di Indonesia. Bravo, semoga sukses Penyuluh Perikanan!!!!.