ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

PENDAHULUAN. sub tropis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina)

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

WALIKOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di Kabupaten Banjarnegara dengan rata-rata turun sebesar 4,12 % per

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran).

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR,

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. karena sampai saat ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

PENGANTAR. Muhrizal Sarwani

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

Transkripsi:

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pembangunan pertanian di Indonesia antara lain potensi sumberdaya alam yang besar dan beragam, pangsa pendapatan nasional yang cukup besar, kebanyakan penduduk Indonesia menggantungkan hidup dengan bekerja di dalam sektor pertanian, berperan dalam penyediaan pangan masyarakat, dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pembangunan nasional. Pembangunan pertanian di masa yang akan datang tidak hanya dituntut untuk memecahkan masalah yang ada tetapi juga dihadapkan pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani (Badan Pengurus Pusat Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia, 2013). Kelompok tani sebagai bagian integral pembangunan pertanian memiliki peran dan fungsi penting dalam menggerakkan pembangunan pertanian di pedesaan. Kelompok tani pada dasarnya sebagai pelaku utama pembangunan pertanian di pedesaan. Dalam hal ini keberadaan kelompok tani dapat memainkan peran tunggal atau ganda, seperti penyediaan input usahatani (misalnya pupuk), penyediaan modal (misalnya simpan pinjam), penyediaan air irigasi (kerjasama dengan P3A), penyediaan informasi (penyuluhan melalui kelompok tani), serta pemasaran hasil secara kolektif (Hermanto dan Dewa, 2011). Tantangan pembangunan pertanian yang kompleks salah satunya mengarah kepada ketahanan pangan. Oleh karena itu kelompok tani yang sudah terbentuk perlu untuk dibenahi dan diberdayakan sehingga mempunyai keberdayaan dalam melaksanakan usahataninya. Program pemberdayaan kelompok tani harus dapat 1

meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam hal memahami kekuatan (potensi) dan kelemahan kelompok, memperhitungkan peluang dan tantangan yang dihadapi pada saat ini dan masa mendatang, memilih berbagai alternatif yang ada untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dan menyelenggarakan kehidupan berkelompok dan bermasyarakat yang serasi dengan lingkungannya secara berkesinambungan. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam akses sarana produksi pertanian. Mengingat sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, permodalan, alat dan mesin pertanian merupakan faktor (input) yang sangat menentukan hasil (output), maka keberpihakan pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang sarana produksi pertanian ini sangat diharapkan kelompok tani. Pupuk merupakan salah satu input yang sangat berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman yang diusahakan. Oleh karena itu, ketersediaan pupuk harus dipenuhi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kesulitan pemenuhan pupuk terkait dengan ketersediaan maupun harga akan menurunkan hasil produksi dan jika dibiarkan hal ini dapat menjadi ancaman dalam menciptakan ketahanan pangan. Kebutuhan pupuk baik organik maupuk anorganik di Indonesia terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya permintaan dari sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, kapas, tembakau, serta dari sektor tanaman pangan yaitu jagung, padi, dan masih banyak yang lain. Menurut survei yang dilakukan PT. Central Data Mediatama Indonesia (CDMI) pada tahun 2011 lalu, kebutuhan pupuk organik mencapai 12,3 juta ton, tahun 2012 meningkat mencapai 12,6 juta ton dan tahun 2013 diprediksi mencapai 12,9 juta ton. Hal yang sama juga terjadi dengan kebutuhan pupuk anorganik. Kebutuhan terbesar pada pupuk urea dengan tingkat konsumsi rata-rata di atas 70% sehingga pupuk urea menjadi sangat sensitif terhadap harga dan sering mengalami kelangkaan. Permintaan pupuk yang terus meningkat menuntut peningkatan volume produsi pupuk dan penyesuaian kebijakan perdagangan pupuk dalam upaya menjaga kontinuitas pasokan pupuk dalam negeri. Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di 2

tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik. Kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk di atas HET antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu program kebijakan distribusi yang dibangun pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sistem yang digunakan adalah sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Penyusunan RDKK yang rumit dan pemahaman yang kurang tentang sistem menjadikan sistem ini dianggap berjalan kurang optimal. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan pupuk bersubsidi ialah karena terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menetapkan anggaran terhadap subsidi pupuk urea (Nurekayanti dan Joko, 2012). Walaupun permintaan terhadap pupuk kimia terus meningkat, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian baik kepada petani ataupun lahan yang digunakan. Seperti yang paparkan oleh Udiyani dan Muhammad (2003), bahwa penggunaan pupuk kimia yang berjalan lama, dilakukan secara intensif, dan cenderung dalam jumlah yang berlebihan, mengakibatkan bahan-bahan kimia yang terdapat pada pupuk kimia tersebar dan menimbulkan dampak negatig terhadap lingkungan. Dampak yang timbul antara lain adalah adanya pencemaran tanah dan air, menurunkan tingkat kesuburan tanah, dan ketergantungan petani secara ekonomi dan sosial. Kandungan zat radioaktif pada batuan fosfat dan kalium yang digunakan sebagai bahan dasar pupuk kimia dapat digunakan sebagai indikator banyaknya pupuk kimia dan rentang waktu proses akumulasi pencemaran pupuk di lingkungan. Karena umumnya waktu paruh zat radioaktif tersebut sangat panjang, antara lain Torium 232 (1,41 x 10 10 tahun) dan Uranium 238 (4,52 x 10 9 tahun). Salah satu masalah dalam pembangunan pertanian adalah terus berlangsungnya proses degradasi sumberdaya lahan pertanian, terutama menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penerapan usahatani konservasi. Gejala terjadinya tanah miskin yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekedar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur- 3

unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik. Sejak tahun 2008, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi pupuk organik dan anorganik, yang pada waktu itu mencapai Rp 17,53 triliun. Kebutuhan pupuk organik mencapai 17 juta ton, yang dipenuhi dari empat industri pupuk utama (Sriwijaya, Kaltim, Petrokimia Gresik, dan Kujang) sebesar 450 ribu ton, sedangkan sisanya dipasok oleh produsen swasta dan petani sendiri. Untuk mengembangkan penggunaan pupuk organik di tingkat petani, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah memfasilitasi bantuan berupa Alat Pembuat Pupuk Organik (APPO), Rumah Percontohan Pembuatan Pupuk Organik (RP3O), dan bahan dekomposer kepada kelompok tani untuk mendorong pengembangan penggunaan pupuk organik di masing-masing wilayah dengan memanfaatkan sisa tanaman atau jerami sebagai bahan baku (Haryani dan Mewa, 2010). Peristiwa kelangkaan pupuk kimia serta dampak yang ditimbulkan dengan penggunaan yang berlebihan dalam jangka panjang menyebabkan pupuk organik menjadi alternatif dalam menggantikan kebutuhan pemenuhan sarana produksi yang penting dalam kegiatan on farm. Simanungkalit (2006), menyatakan bahwa data produksi pupuk organik di Indonesia sulit diperoleh. Kebanyakan produsen pupuk organik di Indonesia digolongkan sebagai Usaha kecil Menengah (UKM). Banyak merek-merek pupuk organik yang beredar (baik yang terdaftar maupun tidak) dapat didgunakan sebagai indikasi, maka potensi memproduksi pupuk organik cukup besar. Sudah saatnya pemerintah lebih mendorong pemakaian pupuk organik pada pertanian di Indonesia melalui kebijakan yang mendorong petani untuk menggunakan pupuk organik selain pupuk anorganik yang sudah digunakan selama ini. B. Perumusan Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak diusahakan sebagai lapangan pekerjaan utama oleh penduduk di kabupaten Bantul. Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa 25,56% dari total penduduk kabupaten Bantul yang berusia 10 tahun ke atas memiliki pekerjaan utama di sektor pertanian sehingga kegiatan di sektor tersebut masih menjadi salah satu sumber penghasilan utama penduduk 4

setempat. Pertanian dalam arti luas meliputi sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Kegiatan usahatani di sektor pertanian meliputi kegiatan hulu, on farm, dan kegiatan hilir. Penduduk yang bekerja sebagai petani yang membudidayakan serta mengusahakan komoditas tertentu menjadikan kebutuhan akan sarana produksi meningkat. Salah satunya adalah kebutuhan akan pemenuhan unsur hara yang membantu pertumbuhan serta perkembangan komoditas yang diusahakan. Pupuk merupakan sarana produksi yang membantu pemenuhan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pupuk organik dan anorganik merupakan jenis pupuk yang biasa digunakan petani. Tabel 1.1 Persentase Penduduk Kabupaten Bantul Usia 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Lapangan Pekerjaan Utama Persentase Pertanian 25,56 Pertambangan dan penggalian 1,98 Industri 18,95 Listrik, gas, dan air 0,07 Konstruksi 8,88 Perdagangan 21,16 Komunikasi/transportasi 4,64 Keuangan 1,61 Jasa 16,89 Lainnya 0,27 Jumlah 100,00 Sumber: BPS Kab. Bantul, 2013 Pupuk anorganik yang selama ini digunakan oleh petani digunakan dalam jangka panjang serta dosis yang terkadang melebihi anjuran. Hal tersebut terjadi karena petani lebih mengutamakan hasil panen yang tinggi (kuantitas) dibandingkan dengan kualitas produk yang dihasilkan. Kondisi tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap lahan pertanian, salah satunya tanah menjadi keras dan sulit diolah. Tanah yang keras dan sulit diolah membuat tanah tidak bisa dengan baik menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pertanian organik yang mendukung pengurangan pemakaian pupuk anorganik menjadikan pupuk organik menjadi pilihan alternatif yang dilirik oleh petani. Alasan lain adalah terjadinya kelangkaan pupuk di saat waktu pemupukan tiba. 5

Jika unsur hara tidak terpenuhi dengan baik karena tanah sudah tidak bisa memberikan unsur hara yang dibutuhkan serta kelangkaan pupuk sering terjadi dan menyebabkan petani terlambat memberikan pupuk dikhawatirkan dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal tersebut akan berdampak pada hasil produksi yang semakin menurun dan menyebabkan pendapatan petani juga akan menurun. Untuk mendukung perluasan pertanian organik tersebut, Pemerintah Kabupaten Bantul mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan pupuk organik bagi lahan pertanian yang ditanami. Kebijakan tersebut diterbitkan melalui Perbup No 16 tahun 2011 tentang Agrobisnis. Kebijakan penggunaan pupuk organik dalam menyuburkan lahan dan tanaman di lahan pertanian bukan sebagai bentuk penolakan terhadap pupuk anorganik. Kebijakan tersebut menjadi salah satu cara peningkatan hasil panen petani menggunakan potensi alami. Penggunaan pupuk organik juga bisa membantu mengurangi biaya sarana produksi dalam mengusahakan lahan pertanian. Departemen Pertanian melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan membantu berkembangnya pengadaan pupuk organik salah satunya dengan memberikan kredit penguatan modal usaha kepada kelompok tani dan kelompok ternak di wilayah kabupaten Bantul. Dengan bantuan tersebut diharapkan petani dalam kelompok bisa memproduksi pupuk organik secara mandiri sehingga dapat membantu pengurangan pemakaian pupuk anorganik. Adanya bantuan penguatan modal usaha untuk kelompok tani/ternak, diharapkan dapat menjadi salah satu cara kelompok mendapatkan modal untuk menjalankan usaha pupuk organik. Jika usaha pupuk organik dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan maka diharapkan usaha tersebut mampu membantu dalam mengatasi kelangkaan pupuk anorganik. Dari pemaparan mengenai usaha pupuk organik kelompok tani, maka muncul pertanyaan : 1. Apakah usaha pupuk organik kelompok tani di kabupaten Bantul layak untuk dikembangakan? 2. Apa saja faktor faktor yang mempengaruhi produksi pupuk organik? 6

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan penelitian dengan judul Analisis Finansial Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani di kabupaten Bantul. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis kelayakan usaha pupuk organik kelompok tani di kabupaten Bantul. 2. Mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi produksi pupuk organik. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan serta masukan untuk peningkatan usaha. 2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu dan informasi. 3. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk penelitian lebih lanjut. 4. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan analisis dan penerapan teori-teori yang telah diperoleh serta merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana (S1) di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 7