BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV Analisis Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007

Trench. Indo- Australia. 5 cm/thn. 2 cm/thn

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

Analisis Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 dari Data GPS Kontinyu SuGAr

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng

Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera

BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005]

STUDI AWAL HUBUNGAN GEMPA LAUT DAN GEMPA DARAT SUMATERA DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua [Katili, 1995]

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

ANALISIS PERGESERAN AKIBAT GEMPA BUMI SUMATERA 11 APRIL 2012 MENGGUNAKAN METODE GPS CONTINUE

Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH

BAB IV ANALISIS Seismisitas sesar Cimandiri Ada beberapa definisi seismisitas, sebagai berikut :

LAPORAN GEMPABUMI Mentawai, 25 Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

Analisa Kecepatan Pergeseran di Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan Menggunakan GPS- CORS Tahun

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. tatanan tektonik terletak pada zona pertemuan lempeng lempeng tektonik. Indonesia

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Besarnya pergeseran pada masing masing titik pengamatan setelah dikurangi vektor pergeseran titik BAKO dapat dilihat pada Tabel 4.

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan diantara tiga lempeng besar, yaitu lempeng pasifik, lempeng Indo-

KAJIAN AWAL TENTANG b Value GEMPA BUMI DI SUMATRA TAHUN Madlazim Jurusan Fisika FMIPA UNESA

ENERGI POTENSIAL GEMPABUMI DI KAWASAN SEGMEN MUSI, KEPAHIANG-BENGKULU EARTHQUAKE POTENTIAL ENERGY IN THE MUSI SEGMENT, KEPAHIANG-BENGKULU AREA

LAPORAN GEMPABUMI Sungai Penuh - Jambi, 1 Oktober 2009 BMKG

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun

*

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

ENERGI POTENSIAL GEMPABUMI DI KAWASAN SEGMEN MENTAWAI-SUMATERA BARAT (0.5 LS 4.0 LS dan 100 BT 104 BT)

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

Analisis Karakteristik Prakiraan Berakhirnya Gempa Susulan pada Segmen Aceh dan Segmen Sianok (Studi Kasus Gempa 2 Juli 2013 dan 11 September 2014)

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

PERKUAT MITIGASI, SADAR EVAKUASI MANDIRI DALAM MENGHADAPI BENCANA TSUNAMI

Puslit Geoteknologi LIPI Jl. Sangkuriang Bandung Telepon

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMODELAN DEFORMASI CO-SEISMIC

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMODELAN MEKANISME GEMPA BUMI PADANG 2009 BERDASARKAN DATA SUGAR

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No 1, Gedong Meneng, Bandar Lampung, Lampung ABSTRACT

Estimasi Moment Tensor dan Pola Bidang Sesar pada Zona Subduksi di Wilayah Sumatera Utara Periode

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tiga Lempeng bumi (Bellier et al. 2001), yaitu Lempeng Eurasia (bergerak

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Cuplikan data kegempaan wilayah Sumatera bagian utara tahun 2011 (BMKG, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. tembok bangunan maupun atap bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.2

BAB 4 ANALISIS DATA TIME SERIES GPS KONTINU SUGAR

Analisis Vektor Pergeseran Postseismic Stasiun GPS SuGAr Akibat Gempa Mentawai 2008

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia mengalami serangkaian bencana

BAB I PENDAHULUAN. komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng aktif (triple junction) yang saling

BAB IV PENGOLAHAN DATA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

ANALISIS RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUBLE DIFFERENCE WILAYAH SULAWESI TENGAH (Periode Januari-April 2018)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. semakin kuat gempa yang terjadi. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN

ANALISIS PERUBAHAN POLA DEKLINASI PADA GEMPA BUMI SIGNIFIKAN (M 7.0) WILAYAH SUMATERA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI

REGANGAN TEKTONIK DAN ESTIMASI POTENSI BAHAYA GEMPA DI SELAT SUNDA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN GPS

Transkripsi:

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra 3.1 Data Catatan Sejarah Gempa Besar di Zona Subduksi Sumatra Data catatan sejarah gempa besar pada masa lalu yang pernah terjadi di suatu daerah dapat diperoleh dari cerita masyarakat serta penelitian-penelitian kebumian. Salah satu penelitian gempa bumi paling tua yang dikenal oleh manusia adalah penelitian pertumbuhan pada terumbu karang. Berdasarkan data penelitian pertumbuhan terumbu karang di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu yang dilakukan oleh LIPI bekerjasama dengan California Technology, gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar pernah terjadi di sekitar daerah tersebut, yaitu tahun 1381, 1608, 1797, 1833, dan terakhir tahun 1861 [Natawidjaja, 2004]. Gempa bumi yang terjadi di sekitar Sumatra sangat dipengaruhi oleh aktifitas tektonik zona subduksi Sumatra. Sebagian besar gempa bumi yang terjadi di sekitar Sumatra, baik gempa kecil maupun gempa besar, berasal dari zona subduksi tersebut. Sejarah mencatat gempa bumi berkekuatan cukup besar pernah terjadi di zona subduksi Sumatra, antara lain di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu tahun 1797 (8,3 Mw), 1833 (9 Mw), dan 1935 (7,7 Mw), di sekitar Nias-Simeuleu tahun 1861 (8,5 Mw) dan 1907 (8,5 Mw), hingga gempa Aceh-Andaman tahun 2004 (9,2 Mw) dan gempa Nias tahun 2005 (8,7 Mw), dengan bidang patah masing-masing gempa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. 20

Gambar 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra [Natawidjaja, 2004]. Berikut catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra, yang dirangkum dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra. Lokasi Tahun Kekuatan (Mw) Mentawai 1381? Mentawai 1608? Siberut 1797 8,3 Mentawai 1833 9 Nias-Simeuleu 1861 8,5 Aceh-Andaman 1881 7,9 Nias-Simeuleu 1907 8,5 Siberut-Kep. Batu 1935 7,7 Enggano 2000 7,9 Aceh-Andaman 2004 9,2 Nias-Simeuleu 2005 8,7 21

3.2 Tektonik Setting Zona Subduksi Sumatra Sejarah tektonik setting di sekitar pulau Sumatra erat kaitannya dengan peristiwa tumbukan antar lempeng yang terjadi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia pada masa lalu. Peristiwa tumbukan tersebut mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempeng, yang sebelumnya bergerak bebas. Manifestasi dari tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia tersebut membentuk zona subduksi di sepanjang pantai barat Sumatra serta patahan (sesar) yang membentang dari utara hingga selatan Sumatra, yang dinamakan dengan Sesar Semangko atau Sumatra Fault Zone (SFZ). Lempeng tektonik bergerak relatif terhadap lempeng tektonik lain secara tidak beraturan. Ketidak teraturan tersebut terutama dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik disekitarnya yang berlainan pula, dan tentunya konfigurasi material batuan lempeng yang tidak homogen itu sendiri. Suatu lempeng tektonik dapat terbagi lagi kedalam blok-blok lempeng regionalnya, yang bergerak relatif satu sama lain. Contohnya lempeng Eurasia yang terbagi lagi menjadi blok-blok lempeng regional, yang salah satunya untuk wilayah Sumatra dan Indonesia bagian barat dinamakan Sunda block. Dalam kaitannya dengan studi potensi gempa bumi, deformasi yang terjadi idealnya hanya dipengaruhi oleh fenomena yang diamati, tanpa pengaruh yang lain. Deformasi yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra tentu saja dipengaruhi pula oleh pergerakan lempeng regionalnya atau Sunda block. Sehingga untuk memperoleh fenomena deformasi interseismic yang terjadi si sekitar zona subduksi Sumatra, tentunya efek pergerakan Sunda block harus diekstrak terlebih dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan GPS yang terdapat di wilayah Sumatra dan sekitarnya, vektor pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke arah timur [Calais, 2006]. 22

Sunda block Gambar 3.2 Pergerakan blok-blok tektonik pada lempeng regional Eurasia di Asia Tenggara. Garis berwarna hijau menunjukkan lempeng regional Sunda block [Calais, 2006]. Tektonik setting di sekitar Sumatra menunjukkan bahwa aktifitas tektonik disekitarnya telah mengakibatkan kemiringan penunjaman terhadap pulau Sumatra telah terfragmentasi menjadi segmen-segmen akibat proses yang terjadi. Dari hasil data GPS, deformasi interseismic dari vektor pergerakan segmen Bengkulu-Mentawai cenderung searah dengan pergerakan lempengnya, sedangkan segmen Aceh-Nias cenderung sejajar dengan garis sesar Sumatra, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Hal ini menunjukkan bidang kontak (coupling zone) di segmen selatan relatif lebih kuat daripada segmen utara. Sehingga dihipotesa bahwa coupling zone segmen utara selain dipengaruhi aktifitas dari zona subduksi, dipengaruhi juga oleh aktifitas tektonik lainnya seperti sesar besar Sumatra [Prawirodirdjo, 1997]. 23

Gambar 3.3 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan pola deformasi interseismic, yang membagi zona subduksi Sumatra menjadi segmen utara-selatan. Panah berwarna biru diperoleh dari data hasil pengamatan GPS, sedangkan panah berwarna coklat diperoleh dari hasil pemodelan [Prawirodirdjo, 1997]. Perbedaan kecepatan pergerakan lempeng di masing-masing lokasinya mengakibatkan perbedaan pula terhadap kecepatan penunjaman yang terjadi di zona subduksi Sumatra. Dimana velocity rate per tahunnya yang diperoleh dari data GPS, menunjukkan bahwa kecepatan penunjaman semakin besar menuju selatan di sepanjang zona subduksi Sumatra bahkan hingga selatan Jawa. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4, bahwa velocity rate di segmen Bengkulu-Mentawai dari utara ke selatan adalah sekitar 57 mm/tahun hingga 60 mm/tahun. 24

Gambar 3.4 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan velocity rate penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Semakin ke selatan, velocity rate penunjamannya semakin besar [Lasitha, 2006]. Selain itu, kemiringan (dip slip) penunjaman zona subduksi Sumatra juga berbeda-beda. Dip slip dapat diketahui dari trend linier kedalaman sebaran gempanya, dimana kedalaman sebaran gempa menunjukkan kedalaman dari coupling zone antar kedua lempeng yang bersubduksi. Berdasarkan data sebaran gempa yang pernah terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra, bahwa dip slip penunjaman menunjukkan semakin ke selatan semakin besar atau dalam. Dari data kedalaman sebaran gempa baik akibat gempa Aceh 2004 maupun gempa Nias 2005 menunjukkan dip slip segmen Aceh-Nias ± 8 o. Sedangkan dari data kedalaman sebaran gempa baik akibat gempa maupun gempa susulan (aftershock) menunjukkan dip slip segmen Bengkulu- Mentawai ± 12 o. Gambar 3.5 Menentukan dip slip dari data kedalaman sebaran gempa [Chlieh, 2008]. 25

3.3 Gempa Bengkulu 2007 Wilayah Bengkulu-Mentawai telah sejak lama diketahui memiliki potensi gempa bumi dengan skala besar. Data catatan sejarah gempa terbesar yang pernah terjadi yaitu tahun 1797,1833, dan 1861. Berdasarkan penelitian pertumbuhan terumbu karang yang telah dilakukan di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya [Natawidjaja, 2004], siklus gempa didaerah tersebut menunjukkan periode gempa sekitar 200 tahun. Sebelum gempa 1797, 1833, dan 1861, dari hasil penelitian pertumbuhan terumbu karang tersebut, diketahui bahwa gempa besar juga pernah terjadi pada 1381 dan 1608. Gempa Bengkulu 2007 yang terjadi sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya, bahwa siklus gempa wilayah Bengkulu-Mentawai akan berulang sekitar tahun 2000. Bahkan kemungkinan gempa akan terjadi lebih awal diperkuat oleh fakta bahwa gempa Aceh 2004 dan Nias 2005 semakin menambah tingkat ketegangan di daerah coupling zone. Namun perihal kapan dan dimana tepatnya gempa akan terjadi, hingga kini teknologi yang ada belum sampai disitu. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, gempa Bengkulu-Mentawai akhirnya terjadi juga. Pada September 2007, serangkaian gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar terjadi di sekitar pantai barat Bengkulu. Gempa bumi berkekuatan 8,4 Mw terjadi pada 12 September 2007. Tak hanya sampai disitu, sehari kemudian gempa bumi dengan kekuatan yang tak kalah hebatnya kembali terjadi, kali ini bahkan hingga dua kali yaitu gempa berkekuatan 7,8 Mw di sekitar pulau Pagai yang memecah keheningan pagi dan gempa berkekuatan 7,1 Mw di sekitar pulau Sipora yang terjadi beberapa jam kemudian. Kedua gempa yang terjadi sehari kemudian tersebut, sulit untuk diklasifikasikan sebagai gempa susulan karena skalanya terlalu besar. Oleh karena itu, kedua gempa tersebut lebih cocok untuk disebut sebagai sumber gempa baru yang terpicu oleh hentakan gempa yang pertama [Meilano, 2007]. 26

Berdasarkan bidang yang pecah saat gempa 1833, sebenarnya segmen Bengkulu-Mentawai dikhawatirkan akan terjadi gempa besar dengan kekuatan hingga 9 Mw jika bidang tersebut pecah kembali secara bersamaan. Namun setelah rentetan kejadian gempa 12 dan 13 September 2007 tersebut, kekhawatiran akan terjadi gempa dengan kekuatan hingga 9 Mw menjadi lebih kecil. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.1, bahwa bidang gempa 1833 telah terpecah menjadi bidang-bidang yang lebih kecil. Mekanisme ini disebut dengan stress transfer, yang juga dapat mempercepat kemungkinan terjadinya gempa di wilayah sekitarnya yang belum terjadi gempa. Sehingga rangkaian gempa tanggal 12 dan 13 September 2007 diperkirakan tidak berhenti sampai disitu, gempa tersebut juga akan mempercepat terjadinya gempa di bidang gempa sekitar pulau Siberut yang belum pecah, seperti pada Gambar 3.3 yang ditunjukkan dengan arsir berwarna merah. Gambar 3.6 Bidang gempa 1833 dan 1861 yang sudah patah, yang ditunjukkan dengan garis putus-putus kecil, dan bidang gempa yang belum patah, yag ditunjukkan dengan arsir berwarna merah [Meilano, 2007]. 27

Faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya suatu bidang potensi gempa akan pecah sangat tergantung dari banyak faktor. Salah satu faktornya adalah tingkat kuncian coupling zone bidang potensi gempa tersebut. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagian selatan Sumatra tingkat kunciannya lebih kuat dibandingkan bagian utara yang lebih rapuh [Prawirodirdjo, 1997]. Sehingga semakin rendah tingkat kunciannya batas lempeng tersebut akan semakin mudah pecah. Hal ini diperkuat juga dengan peristiwa pecahnya bidang gempa Bengkulu 2007 yang tersegmen-segmen menjadi lebih kecil. Sedangkan segmen sekitar pulau Siberut yang belum pecah mengindikasikan kembali bahwa tingkat kuncian didaerah tersebut lebih kuat dibangkankan dengan bidang yang lain. Faktor yang mempengaruhi tingkat kuncian juga sangat kompleks, kaitannya dengan struktur material batuan lempeng itu sendiri yang heterogen. Dari hipotesa awal data seismik dan geologi, gempa berskala 8.4 tersebut diperkirakan meluluh lantakkan zona batas lempeng di bawah wilayah antara pulau Enggano dan Pagai seluas ~300 x 100 km 2 dan menggerakkan bumi di atasnya beberapa meter, lebih kecil dibandingkan dengan gempa Aceh-Andaman yang luas lempeng pecahnya mencapai 1600 km dan pergerakannya mencapai 30 meter. Bidang batas lempeng di sekitar Bengkulu-Mentawai memiliki kemiringan yang landai sekitar 12 ke arah timur sehingga pergerakan beberapa meter ke arah barat ini hanya mengangkat dasar laut beberapa puluh sentimeter saja. Inilah penjelasan logis mengapa tsunami yang terjadi tidak besar [Natawidjaja, 2007]. 3.4 Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 dari Data GPS Kontinyu SuGAr Data GPS yang digunakan dalam analisis pola deformasi interseismic sebelum gempa Bengkulu 2007 adalah data hasil pengolahan stasiun GPS kontinyu SuGAr. Banyaknya data yang digunakan adalah selama ±120 hari sejak 1 Januari 2007. Karena alasan ketersediaan data, maka stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan berjumlah 22 stasiun dari 29 stasiun yang ada hingga tahun 2006. Adapun deskripsi dari 22 stasiun tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.2, dengan sebaran lokasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4. 28

Tabel 3.2 Deskripsi 22 stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan dalam analisis pola deformasi interseismic sebelum gempa Bengkulu 2007. No Nama Lokasi Bujur Lintang Instalasi 1 ABGS Air Bangis E 99 23' 14'' N 0 13' 14'' 03-09-2004 2 ACEH Banda Aceh E 95 22' 6'' N 5 34' 9" 3 BITI Biouti, Nias E 97 48' 40'' N 1 4' 43'' 22-08-2005 4 BSAT Bulasat, Pulau Pagai E 100 17' 4'' S 3 4' 36'' 21-09-2002 Selatan 5 BSIM Bandara Simeuleu E 96 19' 34'' N 2 24' 33'' 01-02-2004 6 BTET Betaet E 98 38' 38'' S 1 16' 53'' 09-08-2005 7 BTHL Botohilithano E 97 42' 38'' N 0 34' 9'' 15-08-2005 8 JMBI Universitas Jambi E 103 31' 13'' S 1 36' 56'' 26-08-2004 9 LAIS Lais, Bengkulu E 102 2' 1'' S 3 31' 44'' 04-02-2006 10 LHWA Lahewa, Pulau Nias E 97 10' 18'' N 1 23' 48'' 14-02-2005 11 LNNG Lunang, Indonesia E 101 9' 23'' S 2 17' 7'' 22-08-2004 12 MKMK Bandara Muko-muko E 101 5' 29'' S 2 32' 33'' 23-08-2004 13 MLKN Malakoni, Pulau E 102 16' 35'' S 5 21' 9'' 02-08-2005 Enggano 14 MNNA Manna, Bengkulu E 102 53' 24'' S 4 27' 1'' 28-02-2006 Selatan 15 PBLI Pulau Balai E 97 24' 19'' N 2 18' 30'' 18-08-2005 16 PPNJ Pulau Panjang, E 99 36' 13'' S 1 59' 38'' 13-08-2004 Tuapejat 17 PRKB Parak Batu, Pulau E 100 23' 58'' S 2 57' 59'' 07-08-2004 Pagai Selatan 18 PSKI Pulau Sikuai E 100 21' 12'' S 1 7' 29'' 05-08-2002 19 PSMK Pulau Simuk E 97 51' 39'' S 0 5' 21'' 19-08-2002 20 SAMP Sampali, Sumatera E 100 0' 34'' S 2 45' 58'' 09-08-2004 Utara 21 TIKU Tiku E 99 56' 39'' S 0 23' 56'' 07-03-2006 22 UMLH Ujung Muloh, Banda Aceh E 95 20' 20'' N 5 3' 11" 09-02-2005 29

aceh samp tiku lais Gambar 3.7 Sebaran stasiun GPS kontinyu SuGAr [http://sopac.ucsd.edu, 2007]. Strategi pengolahan datanya menggunakan data, baik data kode atau pseudorange maupun data beda fase. Selain itu mengestimasi pula efek atmosfer, kesalahan orbit satelit, kesalahan jam receiver, dan ambiguitas fase per harinya, yang dalam software ilmiah Bernesse telah dijadikan satu paket, yang disebut Bernesse Proccessing Engine (BPE). Setelah itu titik-titik tersebut juga diikatkan ke titik permanen atau referensi International GNSS Service (IGS), yang tersebar sekitar Sumatra. Titik-titik IGS yang digunakan adalah titik-titik yang telah dikoreksi terhadap efek geodinamika, yang direalisasikan dalam kerangka referensi sistem koordinat International Terrestrial Reference Frame 2005 (ITRF 2005). 30

Pola deformasi interseismic gempa Bengkulu 2007 diperoleh dengan melakukan langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut : Transformasi koordinat geosentrik hasil pengolahan data GPS ke koordinat toposentrik, dengan titik pertama pengamatan dijadikan sebagai acuan. Plotting timeseries pada masing-masing komponen northing dan easting. Estimasi komponen non-linier yang masih terdapat dalam data hasil pengolahan GPS dengan menggunakan Fourier transform. Proses linear fitting untuk memperoleh fungsi liniernya. Menghitung velocity rate per tahun dari fungsi liniernya. Menghilangkan efek pergerakan lempeng regional Sunda block, dengan mengkoreksi velocity rate. Plotting vektor pergeseran untuk melihat pola deformasi interseismic dari vektor pergeserannya. Berikut diagram alur pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 3.8 : Transformasi koordinat Plotting timeseries Fourier transform Linear fitting Menghitung velocity rate per tahun Koreksi Pergerakan Sunda block Plotting vektor pergeseran Pemodelan deformasi interseismic Plotting model deformasi interseismic Plotting perbandingan vektor pergeseran data GPS dan model Gambar 3.8 Diagram alur pengolahan data. 31

3.4.1 Timeseries Sebelum Gempa Bengkulu 2007 Dari data hasil pengolahan harian stasiun GPS kontinyu SuGAr, lalu dilakukan transformasi koordinat dari geosentrik ke toposenstrik, yang hasilnya dapat dilihat pada bagian Lampiran 1. Koordinat toposentrik digunakan karena fenomena yang akan diamati adalah pergerakan titik di permukaan bumi relatif terhadap titik di permukaan bumi lainnya sebagai acuan. Sehingga perlu dilakukan transformasi pusat sistem koordinatnya dari pusat bumi ke permukaan bumi. Hasil plotting koordinat toposentrik tersebut akan membentuk timeseries per stasiun, dengan sumbu-x sebagai fungsi waktu dan sumbu-y sebagai fungsi dari komponen baik northing maupun easting. Setelah itu dilakukan linear fitting untuk memperoleh trend linier pergeserannya. Linear fitting diperoleh dari hasil estimasi dengan menggunakan Least Square Equation. Alasan penggunaan linear fitting adalah dikarenakan fenomena deformasi interseismic merupakan fungsi yang linier. Sehingga faktor-faktor yang non-linier yang terdapat dalam data harus dihilangkan. Data hasil pengolahan GPS ternyata masih memiliki faktor non-linier. Faktor non-linier tersebut dapat terlihat pada hasil plotting berupa pola sinusoidal, yang merupakan variasi musiman yang belum tereduksi ketika pengolahan data GPS. Sehingga sebelum dilakukan linear fitting dilakukan terleih dahulu estimasi terhadap pola sinusiodal tersebut dengan menggunakan Fourier transform. Dalam tugas akhir ini, linear fitting dan Fourier transform diperoleh secara langsung dengan menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran 2. Proses yang dilakukan untuk 8 titik di segmen Aceh-Nias, yaitu ACEH, BITI, BSIM, BTHL, LHWA, PBLI, SAMP, dan UMLH hanya linear fitting saja. Gambar 3.9 dan 3.10 menunjukkan linear fitting titik-titik ACEH dan SAMP untuk masingmasing komponen northing dan easting. Sedangkan proses linear fitting, untuk komponen northing, pada 14 titik di segmen Bengkulu-Mentawai diperoleh dari hasil Fourier transform. Data yang digunakan pada Masing-masing komponen hingga hari ke-62 saja, karena faktor noise setelah hari ke-62 yang cukup tinggi, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11, 3.12, 3.13, dan 3.14. Hasil linier fitting dari timeseries titik yang lain beserta residunya secara lengkap dapat dilihat pada bagian Lampiran 3. 32

Gambar 3.9 Hasil linear fitting dari timeseries titik ACEH, yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Gambar 3.10 Hasil linear fitting dari timeseries titik SAMP, yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. 33

Gambar 3.11 Hasil linear fitting dari timeseries titik JMBI, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah). Gambar 3.12 Hasil linear fitting dari timeseries titik ABGS, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah). 34

Gambar 3.13 Hasil linear fitting dari timeseries titik MKMK, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah). Gambar 3.14 Hasil linear fitting dari timeseries titik PRKB, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah). 35

3.4.2 Reduksi Efek Pergerakan Sunda Block Dari hasil linear fitting yang telah dilakukan, diperoleh koefisien liniernya yang digunakan untuk menghitung velocity rate per tahunnya. Dari perhitungan koefisien hasil linear fitting, dengan cara memasukkan faktor pengali waktu menjadi satu tahun (365 hari), maka diperoleh velocity rate per tahunnya dari 22 stasiun GPS kontinyu SuGAr. Namun hasil perhitungan velocity rate tersebut masih dipengaruhi pergerakan lempeng regionalnya yang dinamakan Sunda block. Sehingga untuk memperoleh deformasi interseismic-nya saja, tanpa dipengaruhi deformasi yang lain, perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda block tersebut, yaitu dengan cara mereduksi velocity rate tersebut dengan model velocity rate Sunda block. Model velocity rate Sunda block yang digunakan pada tugas akhir ini adalah model yang dibuat oleh Bock (2000) dengan menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran 4. Tabel 3.3 menunjukkan hasil perhitungan velocity rate dari linear fitting, sebelum dan setelah diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya, beserta residunya pada masing-masing komponen easting dan northing. Dari hasil reduksi yang dilakukan dapat dilihat bahwa efek pergerakan Sunda block mempengaruhi nilai pergerakan titik-titik sebesar ±2 cm/tahun relatif ke arah timur. Baris yang ditandai dengan arsir warna kuning menunjukkan 8 buah stasiun SuGAr segmen Aceh-Nias. 36

Tabel 3.3 Velocity rate per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr, sebelum dan setelah diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya. Ve Vn Vektor No Titik Sebelum diekstrak (m/thn) Setelah diekstrak (m/thn) SdE / residu Sebelum diekstrak (m/thn) Setelah diekstrak (m/thn) SdN / residu Pergeseran Setelah diekstrak (m/th) 1 abgs 0.02973 0.00999 0.04768 0.00687 0.00753 0.02649 0.01251 2 aceh -0.13662-0.15596 0.06375-0.13980-0.14024 0.03168 0.20974 3 biti -0.06272-0.08224 0.07401-0.04088-0.04045 0.03930 0.09165 4 bsat 0.04414 0.02442 0.04855 0.01400 0.01526 0.02817 0.02880 5 bsim -0.07384-0.09318 0.06853-0.06112-0.06098 0.04242 0.11136 6 btet 0.03364 0.01410 0.04952-0.01040-0.00953 0.02876 0.01702 7 bthl -0.06009-0.07957 0.07097-0.03893-0.03841 0.04849 0.08836 8 jmbi 0.04626 0.02592 0.04631-0.00285-0.00168 0.02937 0.02597 9 lais 0.03587 0.01588 0.04860 0.00420 0.00562 0.03048 0.01685 10 lhwa -0.07822-0.09764 0.06931-0.08577-0.08542 0.04656 0.12973 11 lnng 0.04399 0.02408 0.06182 0.00454 0.00571 0.02501 0.02475 12 mkmk 0.04765 0.02777 0.04470 0.00937 0.01058 0.02630 0.02971 13 mlkn 0.04133 0.02139 0.04416 0.00840 0.01014 0.02667 0.02367 14 mnna 0.03357 0.01348 0.05180 0.00102 0.00264 0.02775 0.01374 15 pbli -0.05158-0.07110 0.06576-0.05116-0.05095 0.04134 0.08747 16 ppnj 0.03859 0.01892 0.04503 0.01010 0.01114 0.02729 0.02196 17 prkb 0.03581 0.01607 0.04882 0.01535 0.01660 0.03027 0.02310 18 pski 0.03623 0.01640 0.04689-0.00019 0.00075 0.02636 0.01641 19 psmk 0.00584-0.01362 0.04466-0.00443-0.00380 0.02512 0.01414 20 samp -0.04046-0.06026 0.06405-0.04976-0.04970 0.03578 0.07811 21 tiku 0.02436 0.00455 0.04475 0.00016 0.00095 0.02738 0.00465 22 umlh -0.14583-0.16515 0.06570-0.14584-0.14619 0.04263 0.22055 37

3.4.3 Vektor Pergeseran Sebelum Gempa Bengkulu 2007 Nilai velocity rate per tahun yang telah diperoleh kemudian diplot dengan menggunakan software GMT. Gambar 3.15 menunjukkan hasil plotting velocity rate per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum gempa Bengkulu 2007. Namun vektor pergeseran tersebut masih dipengaruhi efek pergerakan lempeng regionalnya atau Sunda block. Sehingga perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda block-nya, untuk memperoleh aktifitas deformasi interseismic-nya saja. Trench Indo- Australia 5 cm/thn 2 cm/thn Gambar 3.15 Hasil plotting vektor pergeseran stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya. 38

Velocity rate pergerakan Sunda block salah satunya diperoleh dari hasil pengamatan GPS. Titik-titik pengamatan GPS, sedapat mungkin tersebar secara merata si seluruh bloknya, sehingga model yang didapat merepresentasikan keadaan sebenarnya. Model pergerakan Sunda block yang dibuat, menggunakan prinsip interpolasi untuk dapat mengetahui efek pergerakan Sunda block di lokasi yang diinginkan. Nilai pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke arah timur. Efek pergerakan Sunda block di titik-titik GPS kontinyu SuGAr dapat dilihat pada Gambar 3.16. Trench Indo- Australia 5 cm/thn 2 cm/thn Gambar 3.16 Hasil plotting efek pergerakan Sunda block di titik-titik stasiun GPS kontinyu SuGAr. 39