BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 4 MATERI METODE PENELITIAN. Surakarta / Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. 1. Populasisasaran:Pasien DM tipe 2.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga akan meningkat. 2 Menurut Badan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian non eksperimental dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup disiplin Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, dan Ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB 1 PENDAHULUAN. mengandung kelenjar sebasea seperti: muka, dada dan punggung ( kelenjar/cm). 1,2 Acne

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. B. Tempat Penelitian dilakukan di ICVCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta

BAB IV METODE PENELITIAN. Semarang. Waktu penelitian selama 15 bulan sejak usulan penelitian proposal,

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian dengan mengukur variabel

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. control untuk menganalisis hipertensi dengan kejadian presbiakusis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB III METODE PENELITIAN

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis

BAB I PENDAHULUAN diperkirakan lansia menjapai 11,4% dari total jumlah penduduk atau

BAB I PENDAHULUAN. terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana sebagian besar pasien yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian secara observasional analitik dengan rancangan cross sectional.

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

PADA ANAK YANG SKRIPSI

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.

BAB III METODE PENELITIAN. dikendalikan sepenuhnya seperti aktivitas fisik sehari-hari.

HUBUNGAN ANTARA STATUS GLASSGOW COMA SCALE DENGAN ANGKA LEUKOSIT PADA PASIEN TRAUMA KEPALA YANG DIRAWAT INAP DI RSUD Dr MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tidak menular puskesmas menunjukkan angka yang selalu meningkat ditiap tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Rinosinusitis Kronik

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitis kategorik-numerik tidak berpasangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB III METODE PENELITIAN. untuk membandingkan adakah perbedaan Visual Analog Scale (VAS)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta.

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini mengambil lokasi/ tempat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB I PENDAHULUAN. perdarahan, pereklamsi/eklamsi, dan infeksi ( Saifuddin, 2001 ).

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi sangat penting artinya, kesehatan reproduksi

O 1 X 1 O 2 O 1 X 2 O 2

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah sistem kardiovaskuler. Masalah kesehatan akibat dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengganggu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik

Transkripsi:

77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik kemudian dibandingkan tingkat sumbatan hidung sebelum dan setelah diberikan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara penggunaan cuci hidung dengan larutan salin isotonik dan hipertonik terhadap tingkat sumbatan hidung pada penderita rinosinusitis kronik sehingga pendekatan yang dilakukan adalah denan penelitian eksperimental murni dengan desain Randomized Control Trial double blind. Penelitian ini dilaksanakan pada penderita rinosinusitis kronik di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali. Sampel penelitian dipilih dengan cara nonprobability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling: setiap subjek yang memenuhi kriteria penelitian dilibatkan dalam kegiatan penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah subjek penelitian yang diperlukan terpenuhi. Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien pada kedua kelompok memperlihatkan homogenitas umur dan jenis kelamin. Rata-rata umur pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik adalah 36,67 tahun sedangkan rata-rata umur pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan

78 larutan hipertonik adalah 37,00 tahun. Secara statistik perbedaan yang relatif kecil tersebut dinyatakan tidak signifikan (p = 0,899 > 0,05). Perbandingan proporsi lakilaki dan perempuan pada pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik adalah 40,5% dan 59,5% sedangkan pada pasien kelompok yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik adalah 38,1% dan 61,9%. Secara statistik perbedaan yang juga relatif kecil tersebut dinyatakan tidak signifikan (p = 0,823 > 0,05). Ottaviano (2006) telah melakukan pengukuran patensi hidung dengan menggunakan nasal inspiratory peak flow meter pada populasi orang dewasa sehat berdasarkan umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dengan umur atau tinggi badan. Ditemukan variasi nilai PNIF pada setiap individu yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan setiap variable pada penelitian tersebut (Ottaviano, 2006). Kedua kelompok kontrol dan perlakuan mendapat terapi medikamentosa yang sama, sehingga perbedaan hanya terdapat pada perlakuan pemberian larutan salin isotonik dengan larutan salin hipertonik. Tingkat sumbatan hidung ditentukan berdasarkan nilai PNIF (peak nasal inspiratory flow) dan dinyatakan secara kategorik dalam 4 tingkatan yaitu berat, sedang, ringan, dan tidak ada. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa secara pasti tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik dan hipertonik mengalami penurunan dari sebelum terapi hingga akhir minggu kedua selama terapi. Perbandingan tingkat sumbatan hidung antara kedua kelompok

79 eksperimen dilakukan untuk mengetahui jenis larutan dalam terapi cuci hidung yang mana di antara isotonik dan hipertonik yang memberikan pengaruh lebih baik. Pengamatan pada akhir minggu pertama terapi menunjukkan bahwa tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik sedikit lebih ringan dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik. Meskipun begitu perbedaan ini secara statistik dinyatakan tidak signifikan (p = 0,645 > 0,05). Pengamatan pada akhir minggu kedua terapi menunjukkan bahwa tingkat sumbatan hidung pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan hipertonik semakin lebih ringan (dari minggu pertama) dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan isotonik. Meskipun begitu perbedaan ini secara statistik tetap dinyatakan tidak signifikan (p = 0,244 > 0,05). Larutan salin telah banyak digunakan sebagai larutan cuci hidung dalam pengobatan rinosinusitis kronik. Larutan salin hipertonik dikatakan sebagai agen yang dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar dan meningkatkan patensi hidung akibat dari pengurangan udem pada mukosa hidung. Penelitian yang dilakukan Baraniuk dkk (2002) menunjukkan penurunan yang minimal pada permukaan hidung yang dihubungkan dengan efek sumbatan pada subjek normal yang diterapi dengan larutan hipertonik. Hal ini berbeda dengan hipotesis yang banyak dikemukakan adalah adanya perbedaan tekanan osmotik dan gradient konsentrasi antara larutan isotonik

80 dan hipertonik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi respon yang terjadi pada penggunaan larutan hipertonik (Baraniuk et al, 2002) Penelitian yang dilakukan Keojampa et al (2004) dan Hauptman dan Ryan (2007) menjelaskan penggunaan larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik secara jelas meningkatkan pemberihan mukosiliar dan memperbaiki patensi hidung. Namun larutan hipertonik tidak memberikan hasil yang signifikan berbeda dengan larutan isotonik terhadap pemeriksaan sumbatan hidung (Keojampa et al, 2004; Hauptman dan Ryan, 2007) Pemberian larutan hipertonik menyebabkan rasa tidak nyaman pada hidung yang diasumsikan sebagai rasa tersumbat. Sekuele rasa tersumbat ini dijelaskan sebagai efek dari adanya rinore dan meningkatnya kerja sekresi kelenjar. Larutan hipertonik diketahui lebih iritatif daripada larutan isotonik. Pada level biokimia, iritasi pada mukosa hidung meningkatkan sementara mediator inflamasi diantaranya leukotrien peptide, Prostaglandin E2 dan tromboxan B2. Selain itu, induksi dari rasa nyeri dan pelepasan neurotransmitter substansi P menunjukkan bahwa mekanisme neurogenik diaktifkan (Mohammadian, 1999; Hauptman dan Ryan, 2007) Hal ini menjelaskan pemberian larutan hipertonik menginduksi respon neuran dan akan memicu terjadinya perubahan pada pembuluh darah yang menyebabkann pembengkakan dan keluhan tersumbat. Perubahan volume nasal di jelaskan sebagai akibat dari 1) penebalan meningkat mukosa yang disebabkan oleh pembengkakan vena sinusoid, atau ekstravasasi plasma dan edema mukosa superficial. 2)

81 peningkatan volume lendir karena eksudasi plasma atau eksositosis kelenjar dari serosa dan mukosa (Greift, 2003, Hauptman dan Ryan, 2007). Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukannya penilaian secara subjektif derajat beratnya penyakit yang dapat dihitung menggunakan skor SNOT- 20.