BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN ARBITRASE. dari istilah failliet.istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu failliet

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

PERDAMAIAN ANTARA DEBITOR DAN KREDITOR KONKUREN DALAM KEPAILITAN PEACEFUL SETTLEMENT BETWEEN DEBTORS AND CREDITORS CONCURENT IN BANKRUPTCY

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN ARBITRASE 2.1 Kepailitan Secara Umum 2.1.1 Pengertian Kepailitan Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata pailit, yang berasal dari istilah failliet.istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu failliet yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut Le faill. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti yang sama, dan dalam bahasa Latin disebut failure. Kemudian pada Negara Negara yang berbahasa inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah istilah bankrupt dan bankruptcy. 10 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang undang Nomor 37 Tahun 2004, yang selanjutnya disebutb UUKPKPU disebutkan bahwa, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. 10. Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 18 15

16 Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 11 Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa, Segala kebendaan si debitur, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUHPerdata dinyatakan pula bahwa, Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama sama bagi semua krediturnya, pendapatan penjualan benda benda itu dibagi bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan alasan yang sah untuk didahulukan. Asas yang terkandung dalam kedua Pasal tersebut adalah : 12 1. Setiap kreditur berhak atas setiap bagian kekayaan debitur untuk pembayaran piutangnya. Apabila debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya untuk melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untukmembayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi 11. Zainal Asikin, 2001, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,h. 25 12. Kartono, 1985, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Cet. III, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h.9

17 bagikan antara semua krediturnya menurut perimbangan besar kecilnya piutang masing masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur ada alasan alasan yang sah untuk didahulukan. 2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama tanpa memperhatikan siapa yang lebih dahulu menjadi kreditur bagi debitur yang bersangkutan. Dalam rangka memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka perlu kiranya disimak beberapa pendapat dari para sarjana. Menurut Munir Fuady, pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi bagi secara adil diantara para kreditur 13. Kepailitan menurut Subekti dalam bukunya Pokok Pokok Hukum Perdata, berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang secara adil. Kemudian oleh R. Soekardono dalam bukunya yang berjudul Hukum Dagang Jilid I, menyatakan bahwa kepailitan adalah penyitaan umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalannya yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit. Selanjutnya pengertian kepailitan menurut Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, yakni suatu sitaan dan eksekusi atas 13. Munir Fuady, 2002, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Cet. II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.8

18 seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya secara bersama sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumblah piutang masing- masing kreditor miliki pada saat itu. 14 Selanjutnya menurut Retnowulan Sutantio, Kepailitan adalah eksekusi yang ditetapkan dengan keputusan Hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua Kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. 15 Menurut J. Djohhansyah, Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga, dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. 16 Menurut H.M.N. Purwosutjipto, SH., Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit, atau pailit tersebut 14. Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, op.cit, h.20 15. Retno Wulan Sutantio, 1996, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, Jakarta, h.85 16. Imran Nating, 2004, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2

19 merupakan keadaan berhenti membayar (utang utangnya). 17 Menurut M. Isa Arief, SH., Kepailitan merupakan perintah menarik kekayaan seseorang dan menaruh di bawah kekuasaan balai harta peninggalan yang bertugas menguangkan barang itu, membagi hasilnya diantara krediturnya menurut pertimbangan atau perbandingan piutang mereka dengan mengindahkan piutang piutang utama yang ada pada mereka. 18 Berdasarkan pemaparan diatas, kepailitan pada dasarnya merupakan suatu keadaan dimana kekayaan debitor tidak mencukupi untuk membayar keseluruhan utangnya, sehingga diadakan sita umum untuk memberikan pelunasan utang yang memberikan pelunasan utang yang adil kepada seluruh kreditor. 2.1.2 Syarat Syarat Dapat Dinyatakan Pailit Di dalam Undang Undang Kepailitan, persyaratan untuk dapat dikatakan pailit sangat sederhana. Dinyatakan dalam Pasal 2 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa syarat syarat agar suatu perusahaan dapat dikatakan pailit yaitu sebagai berikut : a. Adanya utang, b. Minimal satu dari hutang tersebut sudah jatuh tempo, c. Minimal satu dari hutang dapat ditagih, 28. 17. Purwosutjipto H.M.N, 1988, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Cet. II, Djambatan, h. 18. M. Isa Arief, 1983, Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Alumni Bandung, Bandung, h. 179.

20 d. Adanya debitur, e. Adanya kreditur, f. Kreditur yang lebih dari satu, g. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Niaga, h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu : 1. Pihak debitur, 2. Satu atau lebih kreditur, 3. Jaksa untuk kepentingan umum, 4. Bank Indonesia jika debiturnya bank, 5. BAPEPAM jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian. 19 6. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, dana pensiun, BUMN, yang bergerak dibidang kepentingan pubik. 7. Dan syarat syarat lainnya yang dinyatakan didlam Undang Undang Kepailitan. Persyaratan dapat dikabulkannya suatu pernyataan pailit yaitu sebagai berikut : 19. Bernadette Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV Mandar Maju, Bandung, h.

21 a. Adanya minimal 2 kreditur, logika dibalik persyaratan ini yaitu karena pada intinya kepailitan merupakan proses pembagian harta debitur kepada para krediturnya. Sehingga apabila hanya ada 1 kreditur maka tidak sesuai dengan tujuan proses kepailitan dan si kreditur dapat menempuh jalur perdata biasa untuk mendapatkan pelunasan utangnya. b. Adanya minimal satu utang yang dimana sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, yaitu seorang debitur dapat dijatuhkan pailit hanya dengan fakta bahwa ia belum membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, terlepas dari apakah ia hanya membayar bunganya saja atau hutang pokoknya dan terlepas apakah si debitur tidak mampu membayar atau tidak mau membayar utangnya. c. Kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, dimana menyangkut mengenai pembuktian dalam perkara kepailitan, hakim dituntut untuk menguasai hukum pembuktian dan hukum perdata dalam mengurangi hubungan hukum yang ada antara para pihak. Dan hasil dari pembuktian tersebut yang akan mendasari putusan hakim untuk menolak atau menerima putusan hakim.

22 2.1.3 Para Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Sebelum berlakunya Undang - Undang No. 37 Tahun 2004, maka pihak- pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Negeri ada tiga yakni : 1. Debitor sendiri 2. Seorang kreditur atau lebih 3. Jaksa penuntut umum (Pasal 1 ayat 2 Peraturan Kepailitan) Sejak berlakunya Undang Undang No. 37 Tahun 2004, ketentuan ini telah mengalami perubahan atau perubahan menjadi enam pihak yaitu : 1. Debitor sendiri, 2. Seorang atau lebih krediturnya, 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum, 4. Bank Indonesia (BI), dan 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), 6. Menteri Keuangan. Selengkapnya mengenai pihak pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ke pengadilan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) (5) UUKPKPU yaitu sebagai berikut :

23 Ayat (1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonnya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Ayat (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum Ayat (3) Dalam hal Debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia Ayat (4) Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliringdan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal Ayat (5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

24 1. Debitur sendiri, Pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Debitor merupakan orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Yang dimaksud dengan pengadilan disini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus dalam bidang perniagaan yang telah dibentuk dalam Pengadilan Umum, telah diatur secara khusus di dalam Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Dan di dalam arti luasnya, Debitor tersebut diartikan bahwa pihak yang memiliki kewajiban membayar uang yang ditimbulkan karena perjanjian utang piutang maupun perjanjian lainnya maupun juga karena Undang Undang. 20 Mengenai utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat (1) adalah utang pokok atau bunganya. Dengan demikian debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur yang tidak membayar sedikitnya satu utang (pokok atau bunganya), dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Niaga untuk dinyatakan pailit. Di dalam prakteknya ternyata masih banyak ditemui kendala antara lain karena timbulnya berbagai penafsiran mengenai arti utang dalam kepailitan sehingga aturan ini dirumuskan kembali atau dipertegas dalam UUKPKPU, 20. Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, h. 115.

25 dimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitase. 2. Seorang atau lebih krediturnya Dijelaskan jika seorang kreditur atau lebih mengajukan permohonan kepailitan harus memenuhi syarat bahwa hak menuntutnya terbukti. Bagaimana hak menuntut ini harus dibuktikan tidak dapat disimpulkan dari undang undang. Meskipun sistem pembuktian menurut peraturan kepailitan bersifat sumir atau sederhana yaitu sistem pembuktian yang tidak terikat kepada Pasal 1866 BW yaitu bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Akan tetapi tidak tertutup jalan bagi hukum untuk memanggil para pihak untuk didengar keterangannya di depan hakim mengenai ada atau tidaknya kreditur mempunyai piutang pada debitur. 21 Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU bahwa yang dimaksud dengan kreditur adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis, maupun kreditur preferen. Mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan 21. Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, op.cit, h.44.

26 atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya didahulukan. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2), jaksa penuntut umum dapat mengajukan permohonan kepailitan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum dapat diartikan sebagai kepentingan yang bukan merupakan kepentingan kreditur ataupun pemegang saham.yang dimaksud kepentingan umum adalah masyarakat umum sebagai pengguna jasa. Pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan seorang debitur bilamana dipenuhi syarat syarat adanya keadaan berhenti membayar dari yang bersangkutan dan berdasarkan alasan kepentingan umum. Apa yang dimaksud dalam kategori kepentingan umum itu diserahkan kepada pendapat hakim atau pengadilan yang bersangkutan. Menurut M. H Tirtaamidjaja, bahwa pailit itu juga dinyatakan atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan alasan untuk dengan tidak menyelesaikan urusan urusannya, atau ia sedang berusaha menggelapkan harta kekayaannya dengan merugikan kreditur krediturnya. Dalam Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tidak menyebutkan penjelasan tentang Kepentingan Umum, maka dalam UUKPKPU Pasal 2 ayat (2) diaturlah mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan umum,

27 dimana dapat dilihat pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) bahwa. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan kepentingan masyarakat luas. 4. Bank Indonesia Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 2 ayat (3) UUKPKPU). Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan tarif hidup rakyat banyak, sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan selanjutnya yang dimaksud dengan bank menurut peraturan perundang undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karenanya tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohoan kepailitan, tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai dengan peraturan perundang undangan.

28 5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) Dalam hal debitur merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (ayat) 4 UUKPKPU, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bdan Pengawasan Pasar Modal, Badan Pengawas Pasar Modal memiliki kewenngan lain yang penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi instansi yang berada dibawah pengawasan, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank, yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUKPKPU. 6. Menteri Keuangan Dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang kepentingan publik, maka menurut ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri keuangan. 2.1.4 Akibat Hukum Kepailitan Akibat hukum kepailitan secara teoritis diatur dalam Bab II Bagian Kedua UUKPKPU yang terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 64, akan tetapi apabila diteliti secara mendalam ternyata akibat hukum tersebut tidak hanya terbatas pada pasal pasal tersebut, melainkan tersebut hampir pada seluruh pasal dalam UUKPKPU. Tidak mudah merinci seluruh akibat hukum pernyataan pailit, karena itu hanya yang umum terjadi dalam praktek yang akan dikemukakan lebih lanjut.

29 Secara umum Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan akan membawa akibat debitur demi hukum kehilangan haknyan untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, debitur pailit demi hukum tidak berhak lagi bertindak keras, termasuk untuk mengurus harta pailitnya. Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan Pasal 21 tersebut, jelas menerangkan bahwa seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit dan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan termasuk dalam harta pailit, dimana debitur tidak berhak lagi untuk melakukan pengawasan terhadap hartanya. Keputusan pernyataan pailit akan berakibat segala hak dan kewajibannya yang dimiliki oleh debitur pailit akan diwakili atau beralih kepada Kreditor yang ditunjuk oleh pengadilan niaga dalam putusannya. Perlu juga diketahui bahwa dengan pailitnya debitur, akan menimbulkan banyak akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh undang undang.

30 Akibat akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitur dengan dua mode pemberlakuan, yaitu sebagai berikut : 22 1. Berlaku Demi Hukum Ada beberapa akibat yutidis yang berlaku demi hukum, segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal yang seperti ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. 2. Berlaku Secara Rule of Reason Akibat akibat hukum sementara dari kepailitan yang berlaku secara Rule of Reason, maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar diberlakukan. Pihak pihak yang harus mempertimbangkan berlakunya akibat akibat hukum tertentu tersebut. 22. Munir Fuady, op.cit, h. 61

31 2.2 Arbitrase Secara Umum 2.2.1 Pengertian Arbitrase Dalam UU 30 No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terdapat berbagai macam cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang diantaranya itu Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsultasi dan Penilaian Ahli. Cara cara tersebut merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum, tetapi selain kelima cara tersebut masih terdapat satu cara untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan yang cukup popular di kalangan pelaku bisnis, yaitu jalur arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin), arbitrage (bahasa Belanda/Perancis), arbitration (bahasa Inggris), scidspruch (bahasa Jerman), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter atau wasit. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Selain pengertian tersebut, terdapat beberapa definisi arbitrase lainnya yaitu : 1. Subekti Arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak

32 akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. 23 2. Asikin Kusumah Atmaja : Arbitrase merupakan suatu prosedur diluar pengadilan yang ditentukan berdasarkan suatu perjajian, dimana para pihak dalam hal timbulnya sengketa mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut menyetujui penyerahan penyelesaian sengketa tersebut pada wasit yang telah dipilih oleh para pihak itu sendiri. 3. Sudikno Mertokusumo : Arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang berdasarkan suatu persetujuan pihak pihak yg bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit atau lebih. 24 4. Frank Elkoury dan Edna Elkuory : Arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan piulihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil dalil dalam perkara tersebut. 5. Riskin dan Westbrook : 23. Subekti, 2000, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, h.1. 24. Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 144.

33 Arbitrase adalah suatu bentuk pengadilan yang mana pembuat keputusan administratif. Dalam memberikan pengertian mengenai arbitrase, tidak terdapat satu pun pengertian yang komprehensif dan akurat yang menggambarkan seluruh sistem arbitrase. Selain beberapa pengertian arbitrase diatas, di Indonesia juga diatur tentang pengertian arbitrase, yang pengaturannya terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ; Arbitrase adalah cara peneyelesaian satu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari beberapa pengertian mengenai arbitrase yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian arbitrase itu adalah : 1. Arbitrase merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis berdasarkan kesepakatan para puhak ; 2. Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar peradilan umum ; 3. Arbitrase merupakan suatu penyelesaiakan sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bersifat netral dan professional di bidangnya serta dipilih oleh para pihak yang bersengketa ;

34 4. Pihak ketiga tersebut atau yang lebih dikenal sebagai arbiter atau majelis arbitrase bertindak sebagai pembuat keputusan yang harus dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa ; 5. Arbitrase berfungsi untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi ; 6. Keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa ciri dari arbitrase bahwa arbitrase itu merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang diajukan secara tertulis oleh para pihak yang diselesaikan oleh pihak ketiga atau arbiter yang bersifat netral.kewenangan arbiter diperoleh berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh para pihak. Berbagai pengertian arbitrase yang diberikan di atas terdapat beberapa unsur kesamaan, yaitu : 1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan ; 2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya didalam bidang perdagangan industry dan keuangan ; dan 3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat

35 Sehubungan dengan pengertian arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, terlihat bahwa dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terdapat pihak pihak yang berselisih sebagai akibat terjadinya sengketa dalam bidang bisnis. Di dalam bidang tersebut, mereka sepakat untuk menyelesaiakan perselisihan dengan satu atau orang arbiter. 2.2.2 Dasar Hukum Arbitrase Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 625 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui (arbitrase) diperbolehkan. Dan selanjutnya, keentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglement Acara Perdata untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dam lalu lintas di bidang perdagangan, baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Dimisalkan dalam Rv tidak

36 diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan dalam kegatan bisnis internasional. Masalahmasalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv misalnya ; perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 1). Larangan bagi wanita menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain lainnya. Semua itu bertentangan dengan kecemderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini. Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Maka oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBg, telah dinyatakan tidak berlaku lagi (dimuat dalam Pasal 81 UU No. 30 Tahun 1999). Dan dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999. 2.2.3 Keuntungan Arbitrase Dikarenakan kelemahan kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah tersebut sebelumnya, saat ini pelaku bisnis lebih cenderung menyelesaikan sengketanya melalui jalur non litigasi,

37 seperti arbitrase yang telah dianggap memiliki kelebihan daripada penyelesaian sengketa secara litigasi (melalui pengadilan). Menurut Prof. Subekti bagi di dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat oleh para ahli dan secara rahasia. Sementara H.M.N Purwosutjipto mengemukakan arti penting dari arbitrase yaitu : a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. b. Para wasit terdiri dari orang orang ahli dalam bidang yang disengketakan, diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. d. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sebagai perbandingan dapat dilihat dalam UU No. 30 Tahun 1999, yang dimana menyebutkan pada umumnya lembaga arbitrase tersebut mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Telah jelas bahwa kelebihan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan itu sifat kerahasiaanya karena putusannya tidak dipublikasikan.

38 Selanjutnya dalam penjelasan diusebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih banyak diminati daripada litigasi, dikarenakan arbitrase lebih efektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan. Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi asumsi sebagai berikut : a. Lebih cepat, dikarenakan ptusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga ; b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase tersebut menyediakan para pakar di dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga putusan arbitrase tersebut dapat lebih dipertanggungjawabkan ; dan c. Kerahasiaanya bisa terjamin karena proses pemeriksannya dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga usahanya tidak terpengaruh. 2.2.4 Kelemahan Arbitrase Disamping arbitrase memiliki beberapa kelebihan, arbitrase juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan penasehat hukumnya, para praktisi hukum mlainnya, dan dan kalangan akademisi, maka dari hal ini dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya kegunaannya maupun hasil kegunaanya.

39 Selain memeiliki kelebihan, arbitrase juga memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut : a. Hanya untuk para pihak bonafide Arbitrase tersebut hanya bermanfaat bagi para pihak atau pengusaha yang bonafide atau jujur dan bisa dipercaya. Para pihak yang bonafide itu mereka yang memiki kepatuhan terhadap kesepakatan. 25 Pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Dan sebaliknya ia selalu mencari cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakai biaya yang lebih banyak lagi bahkan bisa lebih banyak daripada proses di pengadilan. b. Tidak ada preseden putusan terdahulu Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan.yang berakibat putusan itu bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya sehingga menyebabkan tidak adanya keterikatan terhadap putusan putusan arbitrase sebelumnya. Hal itu akan menyebabkan kurangnya kepastian hukum. c. Belum dikenal secara luas 25. Huala Adolf, 1993, Arbitrase Komersial Internasional, Cet ke II, Rajawali Press, Jakarta, h.16

40 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum dikenal secara luas oleh masyarakat awam begitu pula oleh masyarakat bisnis.seperti misalnya masyarakat masih banyak belum mengetahui keberadaan lembaga lembaga, seperti lembaga BANI. d. Masyarakat belum dapat menaruh kepercayaan yang memadai Dimana masyarakat belum menaruh rasa kepercayaan yang memadai terhadap lembaga arbitrase.dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan kemudian diaselesaikan pada lembaga arbitrase yang ada. Selain mempunyai kelemahan tersebut terdapat pula kelemahan yang lain seperti kurangnya kepatuhan bagi para pihak terhadap hasil hasil penyelesaiannya yang dicapai dalam arbirase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara dengan mengulur ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan lain lainya lagi. Tetapi apabila para pihak berlaku sportif dan jujur, tidak akan menjadi masalah. 2.3 Jenis Jenis Arbitrase Jenis arbitrase adalah macam macam arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Jenis arbitrase tersebut diatur dan disebut dalam peraturan dan berbagai konvensi. Pada dasarnya jenis arbitrase ada 2 jenis, yaitu arbitrase institusional (permanent) dan arbitrase ad hoc (volunteer).

41 1. Lembaga Arbitrase Institusional Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan yang bersifat tetap atau permanen, yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan aturan yang mereka tentukan.arbitrase institusional didirikan oleh organisasi tertentu dengan maksud untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian yang bersifat permanen dan pendiriannya tersebut sengaja didirikan yang sengaja untuk menjadikan pembeda dengan arbitrase ad hoc 26. Selain itu arbitrase institusional sudah ada dari sebelum sengketa timbul dan tidak bubar meskipin perselisihan yang ditangani telah selesai, yang dimana berbeda dengan arbitrase ad hoc yang dimana baru dibentuk setelah perselisihan timbul. 2. Lembaga Arbitrase Ad Hoc Dilihat di dalam Undang Undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase ad hocmerupakan arbitrase yang diadakan dalam hal terdapat kesepakatan para pihak dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian para pihak. 26. Moch Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Secara Nasional dan Internasional, Cet ke I, CV Mandar Maju, Bandung, h. 154

42 Dalam arbitrase ad hoc, yang dimana para pihak bisa dapat mengatur cara cara bagaimana pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administrasi dari arbitrase. Dikarenakan proses pemeriksaan arbitrasenya berlangsung tanpa adanya pengawasan atau peninjauan yang bersifat lembaga, persetujuan para pihak terhadap metode metode pengangkatan arbiter yang cakap atau kompeten dan berpengalaman merupakan hal yang penting. Arbitrase ad hoc ini bersifat insidesial dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Namun dalam arbitrase ad hoc ini dalam pelaksanaannya memiliki kesulitan, akibat dari kesulitan kesulitannya tersebut yang telah dialami oleh para pihak yang melakukan negosiasi dan menetapkan aturan aturan dari arbitrase serta dalam merencanakan metode metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak sering kali memilih penyelesaiannya melalui abitrase institusional.