BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh pemaparan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan tolak ukur yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa putusan dengan Nomor Perkara 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. pada dasarnya memiliki kesesuaian pada hal susunan kelengkapannya, mulai dari kesesuaian susunan putusan, yang dimana didalam suatu putusan sudah tertera titel eksekutorial, identitas para pihak sudah jelas dan lengkap dituliskan, telah pula memuat dasar hukum dan duduk perkaranya, dan susunan amar putusan sudah baik dan tepat, putusan ini pada awalnya nyaris tidak ada kesalahan didalamnya namun setelah Penulis memperhatkan secara mendalam, terdapat satu kejanggalan didalamnya, yakni putusan ini menyimpangi ketentuan didalam Pasal 181 ayat (3) HIR. Setelah Penulis melakukan penelitian dengan cara wawancara dengan hakim yang menjadi anggota majelis pada kasus terkait, penulis menemui bahwa hal tersebut merupakan suatu terobosan yang dilakukan oleh hakim dikarenakan adanya kekosongan pengaturan (hukum) terkait akan fenomena tersebut yang dimana terobosan tersebut terpaksa
79 dilakukan sebab pada praktiknya sering sekali pada kasus yang diperiksa secara verstek tergugat sudah tidak peduli lagi dengan gugatan yang dilayangkan kepadanya, sehingga tergugat tidak datang kepersidangan dari awal proses hingga saat dibacakannya putusan. hal ini menjadi lebih pelik ketika pihak penggugat berniat meminta salinan putusannya, yang dimana salinan putusan tidak dapat diberikan selama biaya perkara belum dilunasi oleh pihak yang dijatuhi beban pembayaran biaya perkara oleh hakim (dalam hal ini tergugat), sehingga menyebabkan kekecewaan dipihak penggugat, sehingga demi mengakomodir kepentingan penggugat tersebut, dan demi terciptanya tertib administrasi pembayaran biaya perkara, maka hakim dalam hal ini melakukan terobosan yakni dengan dua cara yakni, terdapat hakim yang pada amar putusannya tetap menjatuhkan biaya perkara kepada pihak yang kalah (dalam hal ini tergugat) namun pembayaran dilakukan oleh pihak yang menang (dalam hal ini enggugat) namun ada pula yang seperti Penulis dapati pada putusan nomor 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. terobosan ini menuai laporan BPK yang menemui kejanggalan pada administrasi pembayaran biaya perkara ini, namun hal ini tidak ditindak lanjuti oleh BPK dikarenakan hal tersebut telah diantisipasi oleh pihak pengadilan terlebih dahulu, dengan cara pada saat hakim sekiranya akan menjatuhkan amar verstek yang memiliki kesamaan hal dengan Putusan Perdata nomor
80 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. ini, maka majelis menanyakan apakah pihak penggugat bersedia dan sepakat akan membayar biaya perkara dikarenakan kecilnya kemungkinan pihak tergugat untuk membayar. Atas dasar pernyataan kesepakatan dan ketersediaan pihak penggugat inilah yang membuat BPK tidak mempersoalkan lebih lanjut kejanggalan administrasi pembayaran tersebut. Terkait akan apakah melanggar ketentuan Pasal hanya dengan berdalih pertimbangan non-yuridis dapat dimungkinkan? Narasumber mengatakan bahwa hal tersebut dimungkinkan selama ditujukan untuk terciptanya keadilan masyarakat, dikarenakan tujuan dari diselenggarakannya suatu peradilan bukanlah semata-mata demi terciptanya kepastian sosial belaka, namun perlu pula terciptanya keadilan masyarakat (keadilan sosial) dan kemamfaatan sosial. 2. Terkait dengan apakah terdapat kekosongan hukum dibidang pembayaran biaya perkara verstek, Penulis melakukan pencarian dasar hukumnya mulai dari yurisprudensi, asas, peraturan yang terkait, maupun hukum adat. Saat penulis mencara diranah peraturan perundang-undangan yang ada, Penulis sempat terpikirkan akan bunyi Pasal 181 ayat (1) HIR, yang dimana selain menggariskan bahwa biaya perkara ditanggung oleh pihak yang kalah, pasal tersebut juga mengecualikan terhadap beberapa pihak yakni salah satunya adalah suami/isteri pihak yang bersengketa, pada awalnya Penulis merasa hal ini bisa digunakan didalam
81 permasalhan ini, mengingat penggugat sebelumnya adalah Suami dari tergugat, namun setelah mengingat bahwa putusan dengan nomor perkara 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. ini bersifat konstitutif, sehingga pada saat putusan ini dijatuhkan, pada saat itu pula putus hubungan suami-istri antara penggugat dan tergugat, sehingga pengecualian dalam Pasal 181 ayat (1) HIR tidak dapat diterapkan didalam kasus ini. Selanjutnya Penulis melakukan pencarian didalam yurisprudensi, asas, dan hukum kebiasaan, namun tidak menemukan hasil yang diharapkan. Kemudian Penulis mencoba mencari SEMA maupun PERMA yang mengatur hal ini, namun Penulis tidak menemukan SEMA maupun PERMA yang dimaksud, hal ini menurut keterangan narasumber dikarenakan masih belum terdapat kesepahaman didalam tubuh Mahkamah Agung terkait hal ini, sehingga Mahkamah Agung belum dapat memberikan instruksi kepada para hakim terkait jalan keluar dari masalah ini namun kemudian narasumber menambahkan menurut beliau pada dasarnya tidak ada kekosongan dikarenakan pengaturan biaya perkara telah diatur secara jelas didalam Pasal 181 ayat (1), (3) HIR, namun saja Pasal 181 ayat (3) khususnya tidak dapat mengakomodir peristiwa yang ada dilapangan, contohnya seperti apa yang terjadi didalam perkara dengan nomor registrasi perkara 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. ini.
82 B. Saran Terhadap hasil pembahasan maka dapat pula dikemukakan saran kepada pihak-pihak terkait sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penggalakan kegiatan KADARKUM atau Keluarga Sadar Hukum di Indonesia, khususnya di kawasan yuridis Pengadilan Negeri Wates, sadar hukum disini bukan semata-mata taat kepada ketentuan hukum materiilnya saja, tetapi taat pula terhadap hukum formil khususnya hukum formil perdata, agar kedepannya tidak ada masyarakat yang mengacuhkan panggilan pengadilan, hal ini dipandang perlu karena selain demi terciptanya tertib administrasi pemanggilan para pihak, namun pula demi menjaga kewibawaan suatu lembaga peradilan. 2. Perlu dilakukan pembaharuan hukum khususnya dibidang hukum acara perdata, mengingat produk hukum yang digunakan sudah sangat tua dan beberapa ketentuannya sudah tidak dapat mengakomodir peristiwa yang terjadi dilapangan, seperti contohnya saja peristiwa yang Penulis angkat menjadi studi kasus dalam penulisan hukum ini. 3. Perlu diadakannya pos anggaran negara tambahan guna mengakomodir pemenuhan pembayaran biaya perkara apabila terdapat kasus seperti yang terjadi dalam perkara dengan nomor registrasi perkara 22/Pdt.G/2012/PN.Wt. ini dengan kata lain,
83 Penulis menyarankan agar apabila kelak terjadi kasus ini maka pembayaran dapat dijatuhkan kepada negara. 4. Apabila negara tidak memungkinkan guna mengakomodir pembayaran perkara yang serupa dikarenakan banyaknya kasus serupa, maka Penulis menyarankan agar pengadilan dapat mengakses rekening perbankan pihak yang memiliki kewajiban membayar biaya perkara (dalam kasus ini tergugat) agar tidak terkendala dalam hal pembayaran, sehingga negara dapat langsung memotong tabungan tergugat demi pemenuhan kewajibannya dalam membayar biaya perkara. Tentu saja hal ini dilakukan dengan seperangkat peraturan yang rigid dan pengawasan yang ketat baik dari pihak bank, pengadilan, serta badan audit keuangan negara, agar hal ini dapat dipertanggungjawabkan apabila terdapat penyelewengan pelaksanaannya.