BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13]

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] LANJUTAN

BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13] Lanjutan

Kuliah ke 5 BAB V PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA LONGSOR[11,12] 5.1. Pengertian dan Istilah

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB VIII PENATAAN RUANG KAWASAN REKLAMASI PANTAI [15]

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14] Lanjutan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

PP 35/1991, SUNGAI... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 35 TAHUN 1991 (35/1991)

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (2006) menyebutkan

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah sistem polder Pluit yang pernah mengalami banjir pada tahun 2002.

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BANJIR (PENGERTIAN PENYEBAB, DAMPAK DAN USAHA PENANGGULANGANNYA)

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kejadian Bencana Alam di Asia Tahun (Anggraini, 2007)

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 Tentang : Sungai

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir

BAB I PENDAHULUAN. musim hujan, mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami banjir.

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL PENELITIAN. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANJIR Di KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BUPATI ACEH TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR. Cut Azizah Dosen Teknik Sipil Fakultas TekikUniversitas Almuslim ABSTRAK

Drainase Perkotaan. Pendahuluan

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk lahan perumahan, industri sehingga terjadi. penyimpangan guna lahan yang mengakibatkan meluapnya aliran aliran

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

RC TEKNIK IRIGASI DAN DRAINASE

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Transkripsi:

Kuliah ke 7 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB VI PENATAAN RUANG KAWASAN BENCANA BANJIR[13] Bencana banjir dapat dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dipicu oleh beberapa faktor penyebab seperti curah hujan, iklim, geomorfologi wilayah, dan aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak. Terkait dengan kawasan rawan bencana banjir (KRB), kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui upaya penanggulangan untuk meminimalkan dampak akibat bencana yang mungkin timbul. Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari pola pengendalian pemanfaatan ruang di bagian hulu, dalam lingkup satuan wilayah sungai (SWS). 6.1. Beberapa pengertian Area : bagian (sub-sistem) dari kawasan fungsional Banjir : aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia dan lingkungan. bantaran sungai: lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sungai sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. VII - 1

bencana alam: fenomena atau proses alamiah, yang sering dipengaruhi oleh aktivitas manusia, yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa atau kerugian pada manusia daerah manfaat sungai: mata air, palung sungai dan daerah sempadan sungai yang telah dibebaskan daerah aliran sungai (DAS): kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau mengalir ke permukaan tanah melalui sungai, anak sungai dalam wilayah tersebut. daerah penguasaan sungai: dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan daerah rawan banjir: kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulangkali) kawasan rawan bencana alam: kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam konservasi sumber daya air: semua upaya untuk mengawetkan, melindungi, mengamankan, mempertahankan, melestarikan, dan mengupayakan keberlanjutan keberadaan sumber daya air yang serasi, seimbang, selaras dan berguna sepanjang masa. pemerintah daerah: Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain, sebagai badan eksekutif daerah penataan ruang: proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. pendayagunaan sumber daya air: semua upaya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan, untuk kepentingan manusia dan mahluk hidup lainnya yang meliputi kegiatan peruntukan, pengembangan, pemanfaatan dan pengusahaan dari air, sumber-sumber air dan prasarana pengairan VII - 2

pengelolaan sumber daya air: semua upaya untuk merencanakan, melaksanakan, menyelenggarakan, mengendalikan, menggunakan, mengeksploitasi, memelihara, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air, serta mewujudkan ketersediaannya di setiap waktu, pada lokasi yang diperlukan, dengan jumlah yang memadai, dengan mutu yang memenuhi syarat, dan memberikan manfaat pada masyarakat peran masyarakat: berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan tata ruang pola pemanfaatan ruang: tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya. 6.2. Tipologi kawasan rawan banjir (KRB) Tipologi KRB ditentukan berdasarkan parameter : a) karakteristik kawasan b) tingkat resiko bahaya banjir Karakteristik KRB secara garis besar terbagi menjadi 4 (empat) tipe, yaitu : a) Daerah pesisir / pantai b) Daerah dataran banjir (floodplain) c) Daerah sempadan sungai d) Daerah cekungan Tingkat resiko KRB terbagi menjadi : a) KRB beresiko tinggi b) KRB beresiko sedang c) KRB beresiko rendah VII - 3

6.3. Karakteristik KRB KRB Daerah Pantai : Daerah pantai menjadi rawan banjir disebabkan daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi muka tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (Mean Sea Level / MSL). Potensi banjir berasal dari aliran sungai yang bermuara di pantai dan terjadinya pasang air laut. KRB sempadan sungai & daerah dataran banjir (floodplain): Daerah sempadan sungai merupakan daerah rawan bencana banjir yang berada sekitar 100 m di kiri - kanan sungai besar, dan 50 m di kiri - kanan anak sungai atau sungai kecil. Daerah dataran banjir (floodplain area) adalah daerah dataran rendah di kiri dan kanan alur sungai, yang elevasi muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat, yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal di daerah tersebut. KRB daerah cekungan Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi (hulu sungai) dapat menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai. Daerah cekungan yang dilalui sungai, pengelolaan bantaran sungai harus benar-benar dibudidayakan secara optimal, sehingga bencana dan masalah banjir dapat dihindarkan. Karakteristik KRB dapat dilihat dalam Gambar 1 sampai Gambar 3. VII - 4

Gambar 1 Tipologi banjir daerah pesisir Daerah pantai menjadi rawan banjir disebabkan daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi muka tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (Mean Sea Level / MSL). Potensi banjir berasal dari aliran sungai yang bermuara di pantai dan terjadinya pasang air laut. VII - 5

Gambar 2 KRB sempadan sungai & daerah dataran banjir (floodplain) Daerah sempadan sungai merupakan daerah rawan bencana banjir yang berada sekitar 100 m di kiri - kanan sungai besar, dan 50 m di kiri - kanan anak sungai atau sungai kecil. Daerah dataran banjir (floodplain area) adalah daerah dataran rendah di kiri dan kanan alur sungai, yang elevasi muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat, yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal di daerah tersebut. VII - 6

Gambar 3 KRB daerah cekungan Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi (hulu sungai) dapat menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai. Daerah cekungan yang dilalui sungai, pengelolaan bantaran sungai harus benar-benar dibudidayakan secara optimal, sehingga bencana dan masalah banjir dapat dihindarkan. Sebagai contoh daerah cekungan di dataran tinggi yang sering bermasalah dengan bencana banjir apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan waktu yang lama, adalah Cekungan Bandung di Kabupaten Bandung. VII - 7

Tipologi KRB dapat diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Tipologi KRB Resiko Karakter Pantai Dataran Banjir Sempadan Sungai Tinggi A.1 B.1 C.1 D.1 Sedang A.2 B.2 C.2 D.2 Rendah A.3 B.3 C.3 D.3 Keterangan : a) Pantai (Tipologi A) Daerah pantai resiko tinggi ( A1) Daerah pantai resiko sedang ( A2) Daerah pantai resiko rendah ( A3) b) Datararan Banjir (Tipologi B) Daerah dataran banjir/ floodplain resiko tinggi (B1) Daerah dataran banjir/ floodplain resiko sedang (B2) Daerah dataran banjir/ floodplain resiko rendah (B3) c) Sempadan sungai (Tipologi C) Daerah sempadan sungai resiko tinggi (C1) Daerah sempadan sungai resiko sedang (C2) Daerah sempadan sungai resiko rendah (C3) d) Cekungan (Tipologi D) Cekungan resiko tinggi (D1) Cekungan resiko sedang (D2) Cekungan resiko rendah (D3) Cekungan 6.4. Faktor penyebab ka Faktor penyebab kawasan rawan bencana banjir VII - 8

Faktor penyebab terjadinya KRB adalah : a) Faktor kondisi alam b) Faktor peristiwa alam c) Faktor aktivitas manusia Faktor penyebab terjadinya KRB, ditinjau dari tipologinya dapat diuraikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Faktor penyebab terjadinya KRB Karakteristik KRB Daerah pantai Kondisi alam Topografi merupakan daerah dataran rendah, landai; Dilalui sungai besar dengan debit > 50 m3/det; Memiliki DPS yang besar; Tingkat permeabilitas tanah rendah, infiltrasi kecil dan limpasan besar; Muka air tanah tinggi, resapan air kecil; Daerah retensi air dan rawa. Faktor penyebab Peristiwa alam Intensitas curah hujan tinggi dan lamanya hujan; Air laut pasang; air balik (back water) dari sungai akibat pasang laut; badai dan angin ribut dari laut. Aktifitas manusia Penurunan muka tanah (land subsidance) akibat penyedotan air tanah dan aktifitas pembanguan; Sistem drainase tidak memadai; Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran pesisir. Daerah dataran banjir Topografi merupakan daerah dataran Lama dan intensitas hujan tinggi, baik Belum adanya pola budidaya dan VII - 9

rendah, landai dengan elevasi muka tanah relatif datar dari muka air normal sungai terdekat, sehingga aliran air di daerah tersebut lambat, dan atau tidak dapat mengalir secara gravitasi ke sungai/laut; Dilalui sungai besar dengan debit > 50 m3/detik; Memiliki DPS yang besar; Tingkat permeabilitas tanah rendah, infiltrasi kecil dan limpasan besar, muka air tanah tinggi, resapan air kecil; Daerah belokan sungai (meandering). hujan lokal di daerah tersebut maupun hujan di daerah hulu sungai; Meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran sungai tidak rnemadai; Sedimentasi, pendangkalan dan penyempitan sungai. pengembangan dataran rawan banjir; Peruntukan tata ruang kawasan belum memadai dan tidak sesuai; Sistem drainase tidak memadai; Prasarana pengendali banjir yang terbatas; Peruntukan tata ruang di DPS hulu; Permukinan di bantaran sungai. Sempadan sungai Elevasi muka tanah relatif datar terhadap muka air normal sungai. Dilalui sungai besar dengan debit > 50 Lama dan intensitas hujan tinggi, baik hujan lokal di daerah tersebut maupun hujan di daerah hulu sungai; Belum adanya pola budidaya dan pengembangan daerah sempadan sungai Peruntukan tata ruang kawasan belum memadai VII - 10

Cekungan m3/detik; Memiliki DPS yang besar; Tingkat permeabilitas tanah rendah, infiltrasi kecil dan limpasan besar, muka air tanah tinggi, resapan air kecil; Daerah belokan sungai (meandering). Elevasi muka tanah relalif datar terhadap muka air normal sungai /saluran terdekat; Kecepatan aliran sungai rendah karena kemiringan dasar saluran yang relatif kecil. Meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran sungai tidak rnemadai; Sedimentasi, pendangkalan dan penyempitan sungai. Lama dan intensitas hujan tinggi, baik hujan lokal di daerah tersebut maupun hujan di daerah hulu sungai; Meluapnya air sungai karena kemiringan dasar saluran kecil dan kapasitas aliran sungai tidak memadai; Sedimentasi, dan tidak sesuai; Sistem drainase tidak memadai; Prasarana pengendali banjir yang terbatas; Peruntukan tata ruang di DPS hulu; Permukiman di bantaran sungai; Untuk budidaya pertanian masyarakat Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan; Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon, dan pipa air minum. Belum ada pola budidaya dan pengembangan daerah cekungan; Peruntukan tata ruang kawasan belum rnemadai dan tidak sesuai; Sistem drainase tidak memadai; Prasarana pengendali banjir yang terbatas; Peruntukan tata ruang di DPS hulu. VII - 11

pendangkalan dan penyempitan sungai. DAFTAR PUSTAKA [1] UU-RI no 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana [2] BNPB : BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA [3] International federation of Red Cross and Red Cresent Societies, http://www.jhsph.edu/research/centers-and-institutes/center-for-refugeeand-disasterresponse/publications_tools/publications/_crdr_icrc_public_health_ Guide_Book/Chapter_1_Disaster_Definitions.pdf [4] International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/aboutdisasters/what-is-a-disaster/ [5] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyususnan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota [6] Endro Sambodo, 1984, Apakah Ring of Fire? https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/19/ring-of-fireapakah-itu/ [7] Disaster Management Notes and Questions, file:///c:/users/ken%20martina/documents/data/diktat%20mitig ASI%20BENCANA/Disaster_Management_Notes_and_Questions.pdf [8] Safer homes, stronger communities: a Handbook for reconstructing after natural disaster: Disaster Type and Impact, http://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/files/disaster_types_and- Impacts.pdf [9] F. Batuk, B Sengezer, O Emem, Relation between disaster management, urban planning and NSDI, http://www.isprs.org/proceedings/xxxvii/congress/8_pdf/2_wg- VIII-2/53.pdf [10] Hilman Sawargana. Kearifan Lokal SMONG Penyelamat bencana tsunami di Pulau Simeueu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. http://www.pusdiklat-geologi.esdm.go.id/ [11] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. VII - 12

[12] Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/ 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. [11] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor [12] Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PR/M/ 2007 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. [13] Pedoman Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://www.pen ataanruang.net/taru/upload/nspk/pedoman/pengendalian_pr_kaw_rbb anjir.pdf VII - 13