BAB 1 PENDAHULUAN. dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

2013, No.71 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 T

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. V SDN 02 Jatiharjo, Jatipuro, Karanganyar. 1. Nilai ulangan Formatif banyak yang kurang memenuhi KKM.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang dapat bersaing secara nasional dan internasional.

BAB I A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAHAN AJAR (MINGGU KE 1) MATA KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN FISIKA STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan anak bangsa. Pendidikan yang bermutu atau berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. perubahan, di mulai sejak tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang diprioritaskan, dalam pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 Tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting sebagai sarana yang tepat untuk

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

BAB I PENDAHULUAN. diprioritaskan adalah sektor pendidikan. Menyadari betapa pentingnya. tentang pendidikan harus selalu ditingkatkan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hasim Bisri, 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

I. PENDAHULUAN. Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dunia pendidikan matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Indikator paling nyata

Standar kopetensi Pendidikan oleh Fauzan AlghiFari / / TP-B

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inquiri ilmiah (Scientific

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat telah membawa konsekuensi bagi dunia pendidikan agar segera

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fauzi Yuberta, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatkan kualitas pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting bagi setiap manusia, karena dengan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Muhamad Nurachim, 2015

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. norma-norma yang berlaku. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana secara etis,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. sekolah sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu wahana untuk mengembangkan semua

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No 20 tahun 2003 pasal 1 menegaskan bahwa pendidikan. dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan masyarakat dalam suatu negara sangat dipengaruhi

IMPLEMENTASI STANDAR PROSES PADA PEMBUATAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAGI PARA GURU DI GUGUS III CAKRANEGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

tanya jawab, pemberian tugas, atau diskusi kelompok) dan kemudian siswa merespon/memberi tanggapan terhadap stimulus tersebut. Pembelajaran harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penjelasan dari peneliti saja. Pembelajaran tidak berhasil dengan baik,

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa: Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Wiyoto (PPPPTK-BMTI Bandung) ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

Lamp 1. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

Almiati SMK Negeri 8 Semarang. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Atamik B, 2013

BAB I PENDAHULUAN. karena belajar merupakan kunci untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Tanpa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. di sekolah. Mata pelajaran matematika memiliki tujuan umum yaitu memberikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menjadi mandiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

I. PENDAHULUAN. berperan penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

sendiri dari hasil pengalaman belajarnya.

BAB I PENDAHULUAN. taraf pemikiran yang tinggi dan telah melaksanakan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

BAB I PENDAHULUAN. ongkos angkot, berbelanja, berjalan, dan lain-lain. Bahkan Niss (Hadi, 2005)

BAB I PENDAHULUAN. saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data, perkembangan pendidikan Indonesia masih tertinggal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN MERENCANAKAN EKSPERIMEN DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI SISWA KELAS X-3 SMA NEGERI 1 SIMO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 51 menyatakan bahwa Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah adalah model pengelolaan sekolah berdasarkan kekhasan, kebolehan, kemampuan dan kebutuhan sekolah. Dengan batasan seperti ini, maka manajemen berbasis sekolah menjamin adanya keberagaman dalam pengelolaan sekolah, tetapi harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional. Tidak ada lagi penekanan pada keseragaman dan dijamin adanya keberagaman. Dalam manajemen berbasis sekolah, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab lebih besar dalam menyelenggarakan urusan-urusan sekolah, misalnya (proses belajar mengajar, kurikulum, ketenagaan, kesiswaan, sarana dan prasarana, dsb.) akan tetapi harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional. Manajemen berbasis sekolah harus memfasilitasi/mendukung proses belajar mengajar yang memberdayakan siswa, dengan model-model sebagai berikut: PAIKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran secara kooperatif, dan pembelajaran berbasis pengalaman. Manajemen berbasis sekolah harus mampu 1

menggerakkan warga sekolah dan masyarakat sekitar agar mendukung dan memberi kontribusi, baik dalam bentuk dana, pemikiran, moral, material, tenaga, dan sebagainya. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi delapan standar minimal, yaitu : (1) standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (2) standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. (3) standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. (5) standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. (6) standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, 2

provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. (7) standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun; dan (8) standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal 19, dinyatakan bahwa : 1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. 3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Dan sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, 3

baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester. Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, bahwa standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran. Proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi dan memenuhi standar. Berdasarkan pengamatan menurut Aini Indriasih (2009), guru di lapangan kurang memanfaatkan model pembelajaran secara optimal. Kondisi ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai perancang pembelajaran sangat sulit, karena berhadapan dengan dua masalah yang berada di luar kewenangannya, yaitu cakupan isi pembelajaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan siswa yang memiliki sejumlah sifat, kemampuan, sikap dan karakteristik individual lainnya ke dalam situasi pembelajaran. Pada proses kegiatan pembelajaran, pada umumnya guru masih banyak menggunakan metode konvensional. Penggunaan metode konvensional tidak berdasarkan analisis kesesuaian antara tipe isi pelajaran dengan tipe kinerja yang menjadi sasaran belajar, padahal keefektifan suatu metode pembelajaran sangat menentukan. Dalam mengajarkan matematika, guru secara aktif mengajarkan matematika kemudian memberikan contoh dan latihan. Di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin. Mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan 4

latihan yang diberikan guru. Pembelajaran yang disampaikan guru kepada sejumlah siswa tertentu secara serentak pada waktu dan tempat yang sama. Dalam sistem pembelajaran klasikal, siswa cenderung pasif, kurang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif, karena proses pembelajaran lebih banyak didominasi oleh guru. Pada awal pembelajaran menggunakan metode ceramah untuk menjelaskan materi, dilanjutkan metode tanya jawab dan pada akhir pembelajaran, guru memberi tugas untuk diselesaikan siswa, dengan metode ini guru mendominasi kegiatan belajar mengajar. Strategi pembelajaran kepada peserta didik cenderung bersifat sekedar memindahkan ilmu pengetahuan saja. Strategi ini harus diubah, yaitu diarahkan kepada kegiatan yang dapat merangsang kreativitas peserta didik yang nantinya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu model yang menarik minat belajar siswa dalam belajar adalah dengan menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok. Slavin (1994) menyatakan bahwa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila siswa dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya. Pada kenyataannya beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan matematika masih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Utari (Nurardiyati, 2006) terhadap siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Bandung, secara umum kemampuan siswa kelas XI masih belum memuaskan sekitar 30% - 50% dari skor ideal. Begitu juga hasil penelitian Animan (Zamzamudin, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam mengubah soal matematika berbentuk soal cerita ke bentuk kalimat matematika tergolong rendah, yaitu dengan rata-rata 44,67%. Sedangkan hasil penelitian, Loviana 5

(Zamzamudin, 2006) mengungkapkan bahwa persentase kesalahan sistematis siswa dalam menyelesaikan soal masih sangat tinggi yaitu 90,48%. Rendahnya kemampuan matematika ini boleh jadi ada kaitannya dengan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru. Hasil penjajakan yang dilakukan Slamet (2006:13) menunjukkan bahwa umumnya proses pembelajaran matematika yang ditemuinya masih dilakukan secara konvensional, drill, bahkan ceramah. Proses pembelajaran seperti ini hanya menekankan pada tuntutan pencapaian kurikulum ketimbang mengembangkan kemampuan belajar siswa. Oleh sebab itu, perlu dicari model maupun pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan matematika siswa. Pada penelitian yang dilakukan Yuliani Indrawati (2006), Berdasarkan data Institute of Education (2003), hasil penelitian statistik yang dilakukan secara internasional dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukan bahwa Indonesia pada peringkat ke-34 dari 45 negara untuk penguasaan pelajaran di bidang matematika. Score Indonesia (411) masih berada di bawah Singapura (605) dan Malaysia (508), tetapi tetap berada di atas Filipina (378). Menurut Zulkardi (2003:2), dua masalah utama dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi siswa (rendahnya daya saing siswa diajang Internasional dan rendahnya nilai rata-rata EBTANAS murni nasional khususnya matematika) serta kurangnya minat mereka dalam belajar matematika (matematika dianggap sulit dan diajarkan dengan metode yang tidak menarik karena guru menerangkan, sedangkan siswa hanya mencatat). Diduga pendekatan pembelajaran matematika di Indonesia masih menggunakan 6

pendekatan tradisional atau mekanistik. Yang menekankan pada latihan mengerjakan soal atau drill and practice, prosedur serta penggunaan rumus. Siswa kurang terbiasa memecahkan masalah atau aplikasi yang banyak di sekeliling mereka. Sementara itu banyak negara telah mereformasi sistim pendidikan matematika dari pendekatan tradisional ke arah aplication based curricular, yaitu mendekatkan matematika ke alam nyata bagi siswa melalui aplikasi atau masalah kontekstual yang bermakna serta proses yang membangun sikap siswa ke arah yang positif tentang matematika. Sebagai contoh: Jepang menggunakan open indeed approach pendekatan yang menekankan pada soal aplikasi yang memungkinkan banyak solusi dan strategi. United State of America (USA) dengan standar yang dibuat National Council of Teacher Mathematics (NCTM), yakni standar yang terkenal dengan lima keterampilan prosesnya yaitu matematika adalah communication, reasoning, connection, problem solving, dan understanding ; Belanda mengembangkan RealisticMathematics Education (RME) sejak 1970. Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga negara tersebut relatif hampir sama seperti: penekanan pada materi aplikasi atau kehidupan sehari-hari, fokus pada keaktifan siswa (student-centered), serta penekanan pada soal yang mempunyai variasi strategi dan solusi. Atas pertimbangan berhasilnya negaranegara lain dalam meningkatkan mutu pembelajaran matematika, maka pemerintahan Indonesia sejak tahun 1998 mulai mempersiapkan perubahan Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Secara konseptual, Kurikulum 1994 berbasis pencapaian tujuan (Objective Based Curriculum) dan Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (Competency Based Curriculum) 7

Maksudnya, pendidikan diarahkan untuk membentuk pribadi anak sebagai individu yang mempunyai potensi dan bakat. Hasil penelitian Setiawan (2006), Sampai dengan saat ini belum ada sesuatu data atau fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa hasil pembelajaran matematika di Indonesia sudah berhasil baik. Beberapa indikator mulai dari rataan nilai UAN, batas kelulusan secara nasional, lebih-lebih hasil diforum internasional. International Mathematical Olympiad (IMO) misalnya masih menunjukkan hasil yang jauh dari menggembirakan. Wacana untuk menyelaraskan model pembelajaran yang tepat, sebenarnya sudah direkomendasikan oleh Great Britain Departement Education and Science (1982) yang merupakan laporan dari Commettee of Inquairy into the Teaching of Mathematics in School, yang biasa kita kenal dengan istilah The Cocroft Report ini, pada paragraph 243, direkomendasikan bahwa: Pembelajaran matematika pada semua level pendidikan, seharusnya meliputi kesempatan berlangsungnya kegiatan: eksposisi dari guru, diskusi antara guru dengan siswa dan diskusi antar siswa. adanya kerja praktek (practical work) yang serasi konsolidasi dan latihan ketrampilan fundamental dan rutin pemecahan masalah (problem solving) yang berisi juga mengenai penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Mengacu pada Cocroft Report di atas maka porsi pembelajaran matematika yang menggunakan model investigasi perlu ditingkatkan. Demikian juga kalau kita simak Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) ditegaskan bahwa: Model pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika 8

yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Dengan demikian model investigasi yang merupakan salah satu dari model dalam strategi pemecahan masalah, perlu mendapat porsi yang cukup. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah dilakukan melalui proses belajar mengajar. Di dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan dengan baik, karena sering terdapat hambatan. Namun hambatan itu masih dapat diatasi apabila dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan disiplin. Tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran dinyatakan dengan prestasi belajarnya. Prestasi belajar dimaksudkan sebagai tingkat keberhasilan belajar yang dinyatakan dalam bentuk skor, setelah seseorang melakukan proses belajar. Prestasi yang dicapai siswa memberikan gambaran tentang posisi tingkat keberhasilan dirinya dibandingkan dengan siswa lain. Hasil analisis konseptual dan kondisi pendidikan matematika mengungkapkan ternyata tidak sedikit siswa kesulitan dalam mengikuti mata pelajaran matematika, karena model yang digunakan guru kurang tepat. Pelajaran matematika di SMK Negeri 10 Malang pada awalnya diberikan 4 jam pelajaran setiap minggunya, kemudian pada tahun pelajaran berikutnya ditambah menjadi 6 jam pelajaran dan 2 jam pelajaran diberikan pada saat pulang sekolah sebagai jam tambahan, dengan demikian setiap minggunya siswa mendapat 8 jam pelajaran, dengan 1 jam pelajaran sama dengan 45 menit. Lokasi SMK Negeri 10 Malang yang berada di pinggiran Kota Malang mengakibatkan siswa-siswinya juga kebanyakan berasal dari wilayah pinggiran Kota Malang yang sebagian besar masuk wilayah Kabupaten Malang. Peran guru 9

semakin berat karena guru merasakan adanya kesenjangan prestasi belajar siswa kota Malang dengan prestasi belajar siswa Kabupaten Malang. Dengan demikian, guru dituntut untuk kreatif dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Penggunaan model-model seperti : Jigsaw dan model pembelajaran dengan system multilevel dilakukan guru dalam upaya meningkatkan prestasi belajar matematika siswa SMK Negeri 10 Malang agar suasana dalam pembelajaran tidak membuat siswa tertekan dan bisa mengikuti pembelajaran dengan suasana yang nyaman dalam kelompokkelompok yang dibentuk. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dianalisis mengenai pembelajaran model Jigsaw dan model multilevel pada materi trigonometri di SMK Negeri Malang dengan uraian masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keaktifan siswa pada proses pelaksanaan pembelajaran model Jigsaw dan model multilevel? 2. Adakah perbedaan hasil belajar antara siswa yang diberi pembelajaran model Jigsaw dan model multilevel? 3. Model manakah yang lebih efektif antara pembelajaran model Jigsaw dengan model multilevel? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menggambarkan keaktifan siswa pada proses pembelajaran matematika dengan model Jigsaw dan model Multilevel 10

2. Menentukan ada tidaknya perbedaan hasil belajar antara siswa yang diberi pembelajaran dengan model Jigsaw dengan siswa yang diberi pembelajaran dengan model Multilevel 3. Menentukan model pembelajaran yang lebih efektif antara pembelajaran dengan model Jigsaw dengan pembelajaran dengan model Multilevel 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan prinsipprinsip dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa, dapat memperkaya teori mengenai model pembelajaran yang telah ada, serta memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi tambahan khasanah referensi khususnya bagi peneliti berikutnya dan masyarakat luas pada umumnya. 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan dan penerapan strategi pembelajaran yang tepat dan makin beragam sesuai dengan keadaan dan lingkungan anak didik, memberi masukan kepada pihak terkait untuk selanjutnya dapat dikembangkan dalam rangka pembangunan sumber daya manusia serta demi kesejahteraan bangsa. 1.5 Penegasan Istilah 1. Model adalah suatu pola dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan 2. Model pembelajaran adalah rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dan terlihat kegiatan guru-siswa di dalam mewujudkan 11

kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar proses pada siswa. 3. Model pembelajaran multilevel adalah pola pembelajaran yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Memilih 3 orang siswa yang dianggap cepat menerima dan memahami pelajaran b. Ketiga siswa dilatih materi yang sudah disiapkan hingga faham dan siap mentransfer ke teman-temannya. Ketiga siswa yang pertama dipilih oleh guru ini dikategorikan sebagai level pertama c. Ketiga siswa yang sudah siap mentransfer materi yang sudah dikuasainya, melakukan langkah 1 seperti yang dilakukan guru, yaitu mencari dan memilih 3 orang temannya untuk dilatih materi yang sama dengan materi yang diberikan guru pada saat siswa tersebut dilatih guru. Langkah ini peneliti kategorikan sebagai level kedua, dan siswa yang terlibat sebanyak 9 orang. d. Setelah ke-9 siswa (level kedua) menguasai materi yang diberikan kemudian akan melakukan langkah 1 seperti yang dilakukan guru dan 3 orang temannya, yaitu mencari dan memilih 3 orang temannya untuk dilatih materi yang sama dengan materi yang diberikan 3 orang temannya (level pertama). Pada langkah ini siswa yang terlibat sebanyak 27 orang, pada langkah ini peneliti kategorikan sebagai level ketiga. e. Setelah ke-27 siswa (level ketiga) menguasai materi yang diberikan, kemudian akan melakukan langkah 1 seperti yang dilakukan 27 orang temannya, yaitu mencari dan memilih 3 orang temannya untuk dilatih 12

sebagaimana langkah 1-4 diatas. Setelah langkah ini dan karena jumlah siswa rata-rata 35 per kelas, maka siswa yang tidak mendapat anggota dianggap langkahnya terhenti pada langkah ke-4 dan pada langkah terakhir ini dikategorikan sebagai level keempat. 4. Model Jigsaw adalah model pembelajaran kooperaif, yaitu dengan mengelompokkan siswa ke dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa dan setiap siswa dalam tim diberi materi yang berbeda. Anggota dari tim yang berbeda akan bertemu dalam kelompok baru untuk mendiskusikan sub bab mereka, kemudian setelah selesai tiap anggota tim kembali ke kelompok masing-masing dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai, berikutnya tim akan mempresentasikan hasil diskusi 1.6 Batasan Masalah Dalam penelitian ini sebagai bahan atau materi pembelajaran, peneliti mengambil materi dengan kompetensi dasar Trigonometri kelas X semester II yang mempunyai enam standar kelulusan, yaitu 1) perbandingan trigonometri 2) konversi koordinat kutub ke koordinat kartesius dan sebaliknya 3) Aturan sinus dan kosinus 4) menghitung luas segitiga 5) rumus jumlah dan selisih dua sudut 6) persamaan trigonometri. Materi ini diambil karena materi trigonometri pada sekolah lanjutan tingkat pertama tidak diberikan, baru di sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat materi tersebut diberikan. 13