BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak akan lepas

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak terlepas dan bersifat sangat

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB 1 PENDAHULUAN. dinamis dalam diri (inner drive) yang mendorong seseorang. arti tidak memerlukan rangsangan (stimulus) dari luar dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. masayarakat dan organisasi dalam lingkungan pendidikan. Terdapat banyak

BAB I PENDAHULUAN. lebih mudah mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran, akhirnya akan berpengaruh pada hasil belajar.

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. nonformal (Pikiran Rakyat, 12 November 1998). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja untuk mendapatkan

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam UU No.20/2003

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. belajar diantaranya motivasi belajar dan tingkat kemampuan awal siswa.

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. ( ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi sangat penting pada saat ini, terutama untuk mencari

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan perilaku mengabaikan tugas di kelas pada anak ADHD. Peneliti memberikan intervensi berupa video

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan masyarakat ke arah yang lebih kompleks sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. kompleksitas zaman. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan SD adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan demi mencapai suatu keberhasilan. usaha, kemauan dan tekat yang sungguh-sungguh.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. belajar sesungguhnya tidak ada pendidikan. Demikian pentingnya arti belajar,

LAMPIRAN. PDF created with FinePrint pdffactory Pro trial version

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan menurut udang-undang No 20 tahun 2003 pasal 1 tentang sistem

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

VALIDITAS. Item Koefisien Korelasi. Item Koefisien Korelasi. Keterangan : Item diterima : 48 Item direvisi : - Item dibuang : -

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

Data Pribadi. Kelas/No. Absen. Alamat/Telp :... Pendidikan Ayah/Ibu. c. di bawah rata-rata kelas. Kegiatan yang diikuti di luar sekolah :.

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian pendidikan dijelaskan menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003

1 2

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meliputi perbedaan dalam aspek biologis, psikologis, intelegensi, bakat, dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. SMPN T Kota Bandung merupakan salah satu SMP Negeri yang. mendapat nilai akreditasi A dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota

I. PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga formal yang dapat meningkatkan kualitas belajar

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengambangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dan pelatihan dirancang agar anak didik mendapatkan pengetahuan dan dapat mengembangkan keterampilan. Mengingat pentingnya peran pendidikan, proses pembelajaran bagi peserta didik harus dapat diselenggarakan dengan optimal. Salah satu upaya untuk menyelenggarakan pendidikan secara optimal adalah melalui jenjang pendidikan formal yang diadakan secara bertahap dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Keberhasilan proses pendidikan khususnya di sekolah merupakan suatu sistem pendidikan sebagai bagian dari sistem yang dikelola oleh sekolah. Sekolah merupakan salah satu komunitas bagi siswa selain keluarga. Peran sekolah adalah untuk melengkapi dan memfasilitasi siswa dengan pengetahuan dan keterampilan akademik dan sosial yang diperlukan siswa untuk persiapan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan di sekolah, diperlukan hubungan kerjasama antara sekolah, guru dan siswa yang bersangkutan. Keterikatan hubungan antara sekolah dengan siswa menjadi hal yang penting. 1

2 Sejauh mana keterikatan siswa dengan sekolah merupakan faktor penting untuk meningkatkan proses pendidikan dan perilaku sosial yang positif. Keterlibatan yang positif dengan komunitas sekolah mendukung perkembangan siswa. Mengingat banyaknya situasi negatif yang dapat terjadi pada siswa seperti dropping out, deliquency, tingkat absensi tinggi, kegagalan proses belajar (Morrison, Robertson, Laurie & Kelly, 2002). Menurut Slameto (2003:54-71) faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar siswa digolongkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah daktor yang ada dalam diri siswa yang terdiri dari faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi proses belajar yang ada diluar individu yang terdiri dari faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor teman sebaya. Apabila faktor eksternal positif, misalnya peran orangua yang mendukung dan memberikan fasilitas yang memadai di rumah untuk menunjang proses belajar, guru yang berkompetensi, dan teman sebaya yang positif mendukung prose belajar namun tidak didukung kondisi internal dari siswa itu sendiri maka hal tersebut akan kurang dapat menghantarkan siswa menuju keberhasilan proses belajar. Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah salah satu jenjang pendidikan formal setelah Sekolah Dasar menuju Sekolah Menengah Atas. Sekolah Menengah Pertama terdiri dari tiga tingkatan yaitu kelas VII, VIII dan IX. SMP X merupakan salah satu SMP di Kabupaten Bandung yang memiliki jumlah siswa cukup banyak. Untuk tahun ajaran 2012-2013 kelas VII terdiri dari

3 empat kelas. Menurut keluhan dari guru BP dan guru wali kelas, angkatan kelas VII ini berbeda dengan angkatan kelas VII sebelumnya. Guru-guru menggambarkan bahwa sebagian besar dari mereka kurang menunjukkan minat belajar, kurang memiliki kemauan belajar dan kurang mau terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Perilaku siswa/i di dalam kelas antara lain datang ke sekolah terlambat, mengobrol atau terlihat tidur di kelas saat guru menyampaikan materi, tidak membawa buku pelajaran, malas menyelesaikan tugas sampai tuntas, melihat atau mencontek hasil pekerjaan teman lainnya, dan terlambat mengumpulkan tugas. Guru mengeluhkan perilaku-perilaku siswa tersebut sehingga suasana pembelajaran di kelas tidak nyaman dan penyampaian materi pun tidak efektif dan tujuan pembelajaran pun tidak dapat tercapai dengan baik. Selain itu, guru pun khawatir siswa/i akan mendapatkan nilai prestasi akademik yang tidak optimal atau bahkan buruk. Berdasarkan hal ini, peneliti melakukan survei awal melalui wawancara terhadap 25 siswa/i kelas VII SMP X. Siswa/i menyatakan bahwa mereka sebenarnya menyukai dan senang mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di SMP X seperti kegiatan belajar dengan sistem moving class, kegiatan ekstrakulikuler yang cukup banyak dan menilai sebagian besar guru cukup baik dalam mengajar. Namun, sebanyak 19 (76%) siswa menyatakan kurang tertarik untuk belajar dengan serius di kelas. Siswa/i sering menunjukkan perilaku mengobrol dengan teman, sering tertidur atau mengerjakan hal lain ketika guru sedang menyampaikan materi dengan alasan mereka merasa bosan dengan metode pengajaran guru sehingga siswa/i tidak dapat menjawab pertanyaan dari guru.

4 Dengan perilaku ini, tidak sedikit siswa yang ditegur oleh guru namun mereka sering mengulanginya kembali. Sikap belajar siswa yang tidak serius dalam kegiatan belajar juga dapat dilihat dari tidak tuntasnya pengerjaan tugas dari guru, mencontek PR teman, bahkan sama sekali tidak mengerjakan PR. Mengingat materi pelajaran untuk tingkat SMP yang sangat banyak, siswa/i mengeluh dan menyatakan bahwa mereka malas belajar materi yang banyak sehingga mereka memilih untuk meninggalkan tugas belajar dan memilih kegiatan lain yang menyenangkan. Selain itu, mereka banyak bergantung dengan guru les private untuk belajar atau berlatih soal. Namun jika tidak ada kegiatan les, mereka menggunakan waktu mereka untuk bermain walaupun ada tugas atau ulangan. Selain itu, siswa/i sering belajar satu hari sebelum tugas/ ulangan diberikan. Dengan materi yang banyak, siswa/i cenderung asal-asalan dalam membaca atau menghafal dan mereka mengalami kesulitan mengerjakan tugas atau ulangan yang diberikan. Bukan hanya pada kegiatan akademik, siswa/i pun menunjukkan perilaku membolos pada kegiatan nonakademik atau ekstrakulikuler. Pada awalnya, siswa/i merasa senang akan banyaknya pilihan ekstrakulikuler sehingga mereka dapat memilih kegiatan yang sesuai dengan keinginannya. Namun sebanyak 19 (76%) siswa/i rajin mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dua bulan pertama kegiatan. Selanjutnya mereka merasa bosan dengan kegiatan tersebut dimana mereka menyatakan bahwa tidak ada variasi dari kegiatan tersebut. Dengan demikian, mereka memilih untuk meminta pindah atau membolos dari kegiatan ekstrakulikuler yang mereka pilih.

5 Perilaku-perilaku siswa/i di atas mengacu pada rendahnya usaha yang dikerahkan siswa/i dalam proses pembelajaran di sekolah baik secara akademik maupun nonakademik. Secara teoritis, tingkah laku yang menunjukkan effort untuk menghasilkan prestasi ini dikenal sebagai school engagement. School engagement dapat didefinisikan melalui 3 cara yaitu menunjukkan perilaku positif dan siswa terlibat akademik dan nonakademik (behavioral engagement), pengolahan reaksi emosi positif dan negatif terhadap guru, teman, akademik dan sekolah untuk menciptakan keterikatan dengan sekolah dan keinginan untuk belajar (emotional engagement), dan kemauan untuk menunjukkan usaha memahami kompleksitas materi dan menguasai keterampilan yang sulit menggunakan strategi belajar (cognitive engagement). School engagement dipandang sebagai bagian dari proses keuletan siswa secara akademik dan sumber energi yang membantu siswa untuk dapat menanggulangi stres sehari-hari, tantangan dan kemunduran di sekolah. Dengan cara menanggulangi yang efektif, siswa dapat mengembangkan motivasi seperti belajar mandiri, menguasai materi, meregulasi diri dan berkembang di sekolah. Untuk itu, school engagement dapat dilihat sebagai salah satu kunci dari perkembangan akademik sepanjang sekolah dan pendidikan siswa. Siswa yang menunjukkan engagement tinggi akan mampu mencapai prestasi yang lebih baik pula (Fredricks, Blumenfeld, Paris, 2004). Behavioral engagement yang tinggi ditunjukkan dengan sering hadir ke sekolah setiap hari dan tepat waktu, sering mengerjakan tugas sesuai yang diperintahkan guru sampai tuntas, sering aktif dalam kegiatan belajar di kelas dengan bertanya kepada mengenai materi yang kurang dipahami, dan rajin mengikuti kegiatan

6 ekstrakulikuler. Siswa/i dengan emotional engagement yang tinggi menunjukkan keterikatan emosinya dengan senang dan bersemangat datang ke sekolah untuk belajar banyak hal di sekolah dengan teman-teman dan guru-guru. Siswa/i dengan cognitive engagement yang tinggi menggunakan strategi belajar dalam usaha memahami materi pelajaran yang komplek dan sulit. Sebaliknya, siswa yang tidak menunjukkan engagement dengan sekolah biasanya siswa lebih pasif, tidak berusaha, mudah menyerah dan sering menunjukkan emosi yang negatif seperti kemarahan dan rasa bersalah (Skinner dan Belmont, 1993). Siswa/i dengan behavioral engagement yang rendah jarang terlibat aktif dalam kegiatan belajar secara akademik dan nonakademik. Siswa/i dengan derajat emotional engagement yang rendah menunjukkan reaksi emosi kebosanan, kecemasan atau ketakutan kurang antusiasme dalam kegiatan di sekolah. Siswa/i dengan cognitive engagement yang rendah menunjukkan kemauan belajar yang rendah dan kurang mengembangkan strategi belajar yang tepat. Di samping wawancara, peneliti juga melakukan survey awal terhadap 105 (100%) siswa/i kelas VII SMP X melalui kuesioner mengenai school engagement. Kuesioner ini dibangun atas dasar teori School Engagement dari Fredricks et.al. (2005) yang terdiri dari tiga dimensi yaitu behavioral engagement, emotional engagement dan cognitive engagement. Hasil survey awal pada 105 (100%) siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung didapatkan hanya 7 (7%) siswa/i yang menunjukkan engagement tinggi pada ketiga dimensinya. Siswa/i dengan behavioral engagement tinggi menunjukkan perilaku positif dengan sering hadir ke sekolah setiap hari dan tepat waktu, sering mengerjakan tugas sesuai

7 yang diperintahkan guru sampai tuntas, sering aktif dalam kegiatan belajar di kelas dengan bertanya kepada mengenai materi yang kurang dipahami, dan rajin mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Siswa/i dengan emotional engagement yang tinggi menunjukkan keterikatan emosinya dengan senang dan bersemangat datang ke sekolah untuk belajar banyak hal di sekolah dengan teman-teman dan guruguru. Ditambah dengan rasa puas dari siswa/i akan fasilitas belajar yang disediakan oleh sekolah mampu meningkatkan keinginan mereka untuk belajar di sekolah. Selain itu, siswa/i dengan cognitive engagement yang tinggi menunjukkan kemauan untuk berusaha memahami materi pelajaran yang komplek dan sulit dengan sering menyimak penjelasan guru di kelas, sering membaca banyak buku, berusaha memahami apa yang dibaca, sering membaca ulang materi agar lebih paham, dan menghafalkan materi. Didapatkan data sebanyak 42 (40%) siswa/i yang menunjukkan derajat school engagement yang rendah dimana siswa/i kurang mengarahkan usaha dan potensinya pada proses pembelajaran di sekolah pada kegiatan akademik dan nonakademik. Siswa/i dengan behavioral engagement yang rendah menunjukkan jarang berpartisipasi atau aktif dalam kegiatan belajar di kelas seperti mengajukan pertanyaan mengenai materi yang tidak dipahami, siswa/i jarang mengerjakan tugas sampai tuntas dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Pada kegiatan nonakademik, siswa/i jarang terlibat dalam kegiatan sekolah (OSIS, kegiatan keagamaan), dan siswa jarang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang mereka pilih. Siswa/i dengan derajat emotional engagement yang rendah menunjukkan rasa kurang nyaman untuk memulai pembicaraan dengan guru atau meminta

8 bantuan kepada guru mengenai pelajaran. Jikalau siswa senang dengan guru tertentu maka siswa akan terpacu untuk belajar. Sebaliknya jikalau siswa merasa kurang tertarik memperhatikan guru yang menerangkan maka siswa cenderung cuek atau tidak peduli akan kegiatan belajar. Didapatkan pula 19 (30%) siswa jarang menunjukkan antusias untuk mempelajari banyak hal di sekolah dan mengerjakan tugas sekolah dengan baik sehingga mereka pun tidak takut bila mendapatkan nilai rendah. Di samping itu, siswa/i dengan cognitive engagement yang rendah menunjukkan kemauan belajar yang rendah dan kurang mengembangkan strategi belajar yang lebih tepat untuk mata pelajaran tertentu dengan kesulitannya masing-masing sehingga mereka kurang engage secara kognitif. Mereka kurang memiliki usaha untuk dapat memahami materi pelajaran di sekolah dimana sikap belajar yang mereka tunjukkan di sekolah ialah jarang menyimak penjelasan guru mengenai materi pelajaran, siswa jarang berlatih soalsoal untuk membantu memahami materi pelajaran. Hal ini terjadi karena siswa/i masih dipengaruhi oleh metode pengajaran guru atau rasa malas belajar. Mengingat materi pelajaran yang banyak untuk mereka pelajari, siswa/i kurang menunjukkan strategi belajar, misalnya siswa jarang mempelajari kembali materi pelajaran yang mereka pelajari dari sekolah di rumah, jarang membaca banyak buku untuk mendapatkan pengetahuan dan mempelajari hal-hal yang mereka lakukan di sekolah, sangat jarang membuat rangkuman sendiri, sangat jarang menandai materi yang penting secara mandiri yang sebenarnya memudahkan mereka untuk paham, dan siswa jarang membaca ulang materi pelajaran di rumah agar lebih paham. Mereka hanya membaca asal atau sekali saja tanpa aktif

9 berpikir untuk menyerap informasi yang mereka baca. Selain itu, siswa/i jarang membuat catatan mengenai penjelasan guru agar lebih paham. Berkaitan dengan permasalahan yang terjadi pada siswa/i kelas VII SMP X ini yaitu kurangnya frekuensi siswa/i mengarahkan usaha dan waktunya pada proses pembelajaran di sekolah baik pada kegiatan akademik dan maka diberi suatu intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan school engagement siswa yang rendah. Konsep engagement mengacu pada perilaku (action) dan bukan sekedar pemahaman melalui konseling atau psikoedukasi sehingga akan diberikan pelatihan yang menyangkut ketiga komponen dari school engagement. Setelah mengikuti pelatihan diharapkan mahasiswa selain paham dapat pula menerapkan secara aplikasi pemahaman tersebut sehingga dapat meningkatkan derajat school engegament mereka. Melalui pelatihan, siswa/i akan mendapatkan pengalaman langsung dari kegiatan (games, diskusi, tugas pribadi dan tugas kelompok) yang diikutinya. Asumsinya ketika siswa/i belajar dari pengalaman yang ia dapatkan, mengartikan pengalaman tersebut sesuai dengan tujuan, arah, ambisi dan harapan yang telah ditetapkan maka siswa/i akan mendapatkan insight, penemuan dan pengertian baru. (Weight, Albert, 1970). Perlunya menyusun uji coba pelatihan school engagement ini karena belum ditemukannya modul pelatihan school engagement dalam upaya menolong siswa/i dengan school engagement yang rendah. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah penelitian mengenai intervensi yang tidak secara langsung dilakukan terhadap siswa/i melainkan melalui pendekatan intervensi dengan melakukan perubahan struktur sekolah dan perubahan iklim kurikulum belajar

10 terutama pada metode mengajar (Wigfield dan Guthrie, 2000). Namun bentuk intervensi ini pun membutuhkan pakar pendidikan dan kesediaan dari pihak sekolah untuk melakukan perubahan besar serta waktu yang tidak singkat untuk mengubah suatu organisasi sekolah. Dengan demikian, peneliti mempertimbangkan bentuk intervensi ini tidak cukup efektif dilakukan terhadap SMP X. Di samping itu, ditemukan pula penelitian intervensi lain pada siswa dengan karakteristik khusus yaitu siswa yang beresiko berat dropping out. Pada siswa/i tersebut diberikan intervensi konseling personal yang melibatkan anggota keluarga dan mentor sekolah (Check dan Connect, 2006). Namun, intervensi ini membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pelaksanaannya yaitu selama 1-2 tahun. Dengan pertimbangan karakteristik siswa/i SMP X yang bukan termasuk siswa beresiko berat dan pertimbangan waktu yang dibutuhkan cukup lama dalam pelaksanaannya maka peneliti mencari alternatif lain sebagai intervensi yang lebih memungkinkan. Selain itu, dengan pertimbangan jumlah siswa/i SMP X dengan school engagement yang rendah sebanyak 42 siswa maka intervensi melalui metode konseling dirasakan kurang efisien. Berangkat dari pemikiran yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk merancang dan menguji coba modul pelatihan school engagement

11 1.2. Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini, peneliti menguji coba rancangan modul pelatihan school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung. Hal ini ditujukan untuk mengetahui apakah rancangan modul pelatihan school engagement yang disusun tersebut dapat meningkatkan derajat school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk merancang dan menguji coba rancangan modul pelatihan school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan alat intervensi yaitu modul pelatihan school engagement yang teruji untuk dapat meningkatkan derajat school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan masukan bagi ilmu Psikologi Pendidikan mengenai suatu program pelatihan school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung.

12 b. Sebagai landasan informatif bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan suatu intervensi yaitu modul pelatihan school engagement pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung. 1.4.2. Kegunaan Praktis a. Bagi siswa/i, pelatihan school engagement ini diharapkan dapat mengarahkan usahanya pada proses pembelajaran di sekolah pada kegiatan akademik dan nonakademik b. Bagi guru walikelas dan bidang studi, pemahaman mengenai school engagement diharapkan dapat membantu siswa/i untuk terlibat dalam proses pembelajaran baik secara akademik maupun nonakademik. c. Bagi guru BK, pemahaman mengenai school engagement diharapkan dapat memberikan masukan guna membantu siswa/i agar lebih memahami mengenai diri mereka sebagai pelajar untuk memotivasi diri mencapai prestasi akademik yang optimal. 1.5. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menyusun rancangan modul pelatihan school engagement dan melihat pengaruhnya terhadap peningkatan derajat school engagement siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung sebelum dan sesudah pelatihan. Penelitian ini dilakukan pada siswa/i kelas VII SMP X Kabupaten Bandung. Adapun rancangan penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut :

13 Bagan 1.1 Bagan Rancangan Penelitian Siswa/i kelas VII SMP dengan derajat school engagement rendah Kuesioner School engagement Pelatihan School Engagement Kuesioner School engagement Hasil pre-test School engagement Hasil post-test School engagement Dibandingkan