I. PENDAHULUAN. perbedaan kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu.

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

Landasan Pendidikan Inklusif

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

PEND. ANAK LUAR BIASA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi setiap individu telah diatur di dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan

BAB I PENDAHULUAN. adalah salah satu unsur sosial yang paling awal mendapat dampak dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENJAS ADAPTIF. Yuyun Ari Wibowo

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks

SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN B TERPADU DI SEMARANG

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

2014 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL PADA KETERAMPILAN MEMBUAT SPAKBOR KAWASAKI KLX 150 MENGGUNAKAN FIBERGLASS DI SMALB-B

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA PADA ANAK TUNARUNGU KELAS VII SMPLB DI SLB-B PRIMA BHAKTI MULIA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

I. PENDAHULUAN. manusia yang ada di dalamnya. Apabila sumberdaya manusia tersebut diperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berhubungan dengan tema-tema kemanusiaan.artinya

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dunia baik itu pendidikan formal maupun non formal. Begitu

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN. Termasuk dalam bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran proses pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia kearah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

1.7 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Direktorat Jendral Managamen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI KANTOR PELAYANAN DAN PENGAWASAN BEA&CUKAI SURAKARTA 2009

I. PENDAHULUAN. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah populasi

NASKAH PUBLIKASI MOTIVASI KERJA GURU SEKOLAH LUAR BIASA

BAB I PENDAHULUAN. padat modal dan padat teknologi, disebut demikian karena rumah sakit memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam berbagai

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

I. PENDAHULUAN. pelayanan pasien rawat inap, dimana fungsi utamanya memberikan pelayanan

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

VISI, MISI, DAN PROGRAM PRIORITAS SEANDAINYA MENJADI MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filosofi Bhineka Tunggal Ika merupakan wujud kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. Bertolak dari filosofi tersebut, maka kecacatan maupun keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, agama, maupun budaya. Artinya dari individu yang cacat pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu. Dengan demikian setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama sebagaimana orang yang normal dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, keamanan maupun bidang lainnya (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2006). Dalam dunia pendidikan anak berkelainan, sedang gencar dikumandangkan pandangan tentang hidup yang berkualitas (Quality of Life). Bagi anak kecil hidup berkualitas berarti bahwa anak tersebut dapat hidup dalam lingkungan dimana dia merasakan dirinya aman secara emosional dan memiliki pilihan untuk mengenyam pendidikan yang sesuai serta kesempatan berekreasi. Sedangkan bagi orang dewasa kualitas hidup menyangkut tersedianya lapangan kerja, tempat tinggal, uang, pilihan aktivitas waktu luang dan perasaan aman secara emosional.

Dalam pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dinyatakan bahwa anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan atas hak asasi manusia. Saat ini jumlah penyandang cacat yang terlayani pendidikan luar biasa masih sangat kecil. Berdasarkan data Susenas tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 1,48 juta jiwa atau sekitar 0,7% dari populasi penduduk di Indonesia, dengan jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) 317.016 orang atau sekitar 21,42% dari seluruh penyandang cacat di Indonesia. Sementara jumlah penyandang cacat yang tercatat sebagai siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) baik negeri ataupun swasta pada tahun 2004/2005 sebesar 57.449 siswa yang berarti hanya 18,12% penyandang cacat usia sekolah yang mendapat layanan pendidikan. Secara keseluruhan, persentase penyandang cacat berumur lima tahun keatas hanya 5,24% yang masih sekolah, 44,31% tidak/belum pernah sekolah, dan 50,45% tidak sekolah lagi (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2005). Sedikitnya penyandang cacat yang mendapatkan fasilitas pendidikan, disebabkan antara lain oleh keterbatasan jumlah sekolah luar biasa. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan untuk menjangkau semua anak cacat sangat minim, karena 80% tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20%. Disamping itu lokasi SLB pada umumnya 2

berada di ibukota kabupaten/kota, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebut tersebar tidak hanya di ibukota kabupaten/kota, namun juga di pelosok kecamatan/desa. Akibatnya, sebagian anak berkebutuhan khusus tidak bersekolah karena lokasi SLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya. Sampai dengan tahun 2005 tercatat 274 SLB Negeri dan 970 SLB Swasta untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan yang tersebar di seluruh Indonesia (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2005). Hal tersebut di atas diperburuk dengan kondisi sosial ekonomi dan pandangan masyarakat yang kurang menguntungkan. Pola pikir masyarakat Indonesia pada umumnya sering kali mengabaikan potensi anak cacat, memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang untuk berbuat sesuatu, kurang memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk membuktikan kemampuannya. Bahkan ada sebagian orang tua merasa alergi jika ada anaknya yang harus duduk di kelas yang sama dengan penyandang cacat. Selain itu banyak orang tua yang malu memiliki anak cacat dengan menyembunyikannya di rumah dan tidak membawanya ke sekolah. Selama ini pendidikan bagi anak berkelainan lebih banyak diselenggarakan secara segregasi di SLB. Maka sudah seharusnya lembaga ini memberikan pelayanan pendidikan dan pembinaan yang layak bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar siap menghadapi berbagai tantangan dan siap hidup mandiri di masyarakat. Namun untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal diperlukan dukungan dan partispasi penuh dari para orang tua, organisasi sosial, pemerintah dan masyarakat untuk berperan secara aktif dalam meningkatkan usaha nyata membangun masa depan anak-anak cacat. 3

Yayasan Santi Rama (YSR) sebagai institusi pendidikan tuna rungu (SLB-B) merupakan salah satu dari sekian ribu institusi yang memberikan pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan bagi penyandang tuna rungu sehingga berkembang menjadi manusia seutuhnya, berguna bagi diri sendiri, masyarakat, nusa dan bangsa. Sejalan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi penyandang tuna rungu dalam kehidupan sosial serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, maka YSR terus berupaya meningkatkan kualitas dan profesionalitas dibidang ketunarunguan. Berbagai penelitian dan pengembangan dalam bidang kurikulum dan sarana pendidikan tuna rungu serta pengembangan SDM tenaga pendidik anak tuna rungu tak kunjung henti dilakukan YSR. Sebagai organisasi sosial berskala nasional, YSR mengelola satuan pendidikan lengkap dari pra sekolah sampai jenjang sekolah menengah ditambah satu unit observasi. Dengan demikian dapat dibayangkan seberapa luas dan bervariasinya jenis dan materi pembinaan yang perlu dirancang. Kenyataan bahwa luasnya unit pelayanan, bertambahnya sarana fisik serta pengadaan tenaga guru atau instruktor yang diberikan YSR mengandung konsekuensi dalam bidang keuangan. Sehingga untuk kebutuhan biaya operasional YSR seringkali terbentur dalam masalah dana. Sumber dana untuk kegiatan operasional sekolah YSR sebagian besar berasal dari uang pangkal dan uang sekolah sekolah siswa, kemudian dari hasil usaha, bantuan tidak tetap dari masyarakat atau instansi, serta orang tua asuh. Namun dana yang diperoleh masih belum cukup untuk biaya pendidikan dan pembinaan anak tuna rungu. 4

Keterbatasan dalam hal pendanaan ini kemudian menimbulkan permasalahan, seperti yang kini tengah dialami antara lain untuk pengadaan dan pemeliharaan alat elektronik, pengembangan kurikulum dan ekstrakurikuler, serta penggajian dan pembinaan guru yang sebagian besar berstatus pegawai yayasan (bukan PNS). Pada akhirnya kondisi ini dapat menimbulkan ketidakpuasan bagi konsumen jasa pendidikan tuna rungu YSR. Indikasi ketidakpuasan konsumen misalnya dapat dilihat dari penurunan jumlah siswa. Sejumlah orang tua murid memindahkan anaknya dari sekolah YSR ke SLB lain dengan alasan jumlah jam belajar di SLB tersebut lebih panjang. Penurunan jumlah siswa juga terlihat di unit pendidikan SMALB. Di Indonesia, jumlah SLB yang menyelenggarakan pendidikan pada jenjang SMA relatif sedikit, sehingga terlihat kecenderungan banyaknya siswa tuna rungu SMALB Santi Rama yang bukan berasal dari SMPLB Santi Rama. Namun demikian justru terlihat gejala penurunan jumlah siswa unit pendidikan SMALB Santi Rama, baik yang berasal dari SMPLB Santi Rama maupun yang berasal dari luar Santi Rama. Penurunan ini mengindikasikan adanya kemungkinan ketidakpuasan konsumen terhadap satu atau berbagai aspek pelayanan yang diberikan oleh YSR. Data sekolah asal siswa SMALB Santi Rama tahun pelajaran 2000/2001-2004/2005 dapat dilihat pada Tabel 1. Lebih jauh, perlu disadari bahwa pelayanan yang diberikan YSR ini diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Suatu kebutuhan yang tidak biasa dan tidak sesederhana pendidikan umum untuk anak-anak normal. Ada berbagai aspek pelayanan yang dianggap penting dalam pendidikan dan pembinaan anak-anak tuna rungu. Hal ini membuka potensi terjadinya perbedaan 5

pandangan diantara pihak-pihak terkait, misalnya antara orang tua siswa dan pihak manajemen YSR, terhadap hal-hal apa yang menjadi prioritas utama yang perlu dirancang untuk kebutuhan peserta didik. Tabel 1. Data Sekolah Asal Siswa SMALB Santi Rama Tahun Pelajaran 2000/2001 Sampai Dengan 2004/2005 Asal Siswa Tahun Pelajaran 00/01 01/02 02/03 03/04 04/05 Jumlah Dari luar Santi Rama 19 27 28 18 19 111 Dari SMPLB Santi Rama 35 50 49 46 43 223 Jumlah 54 77 77 64 62 334 Sumber : Lustrum VII Yayasan Santi Rama (2005) Belum tentu hal yang dianggap penting oleh orang tua siswa untuk pendidikan sang anak juga dianggap penting oleh pihak manajemen YSR. Kondisi ini tentu saja dapat menyulitkan dalam penyusunan program pendidikan dan pembinaan bagi penyandang tuna rungu. Terlebih tidak semua hal yang dianggap prioritas oleh orang tua siswa atau pun pihak manajemen dapat dituangkan seluruhnya karena keterbatasan dana. Sebuah organisasi yang merencanakan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, barangkali akan dihadapkan pada lebih dari 100 hal yang harus diperbaiki. Mulai dari hal-hal yang bersifat fisik hingga masalah yang berhubungan dengan manusia, misalnya apakah knowledge, skill, atau attitude yang harus diperbaiki. Cara yang paling baik untuk menentukan prioritas perbaikan adalah dengan melakukan survei kepada konsumen. Tanpa aktivitas ini sangat mungkin bagi suatu organisasi melakukan perbaikan yang tidak penting bagi konsumen. Biaya karena alokasi investasi yang tidak tepat pada akhirnya 6

menyebabkan penurunan efisiensi yang signifikan. Survei ini pun perlu dilakukan secara berkala untuk melihat pergeseran trend dari hasil survei-survei sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah Pengalaman YSR menunjukkan bahwa penyandang tuna rungu yang memperoleh pembinaan dan pendidikan bermutu akan mampu menunjukkan kebolehannya diberbagai bidang dan mampu meningkatkan kualitas hidup penyandang cacat tersebut. Dengan demikian YSR terus berupaya mengembangkan dan memajukan sistem dan metode pendidikan dan pembinaan bagi penyandang tuna rungu. Namun proses pengembangan pendidikan dan pembinaan anak tuna rungu di YSR dihadapkan pada suatu kenyataan adanya potensi perbedaan pandangan diantara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hal-hal yang menjadi prioritas dalam pengembangan program pendidikan dan pembinaan tersebut, serta adanya keterbatasan sumber daya. Sementara bagi organisasi apapun, biaya dan investasi untuk melakukan peningkatan kepuasaan konsumen selalu terbatas. Bukan hanya terbatas, organisasi juga dituntut untuk menciptakan program kepuasan pelanggan yang efisien dan efektif. Oleh karena itu diperlukan informasi yang akurat mengenai hal-hal yang menjadi prioritas untuk diperbaiki. Fakta dan uraian tersebut di atas selanjutnya memotivasi dilakukannya penelitian untuk menganalisa tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan YSR. Penelitian ini juga menganalisa perbedaan persepsi konsumen dengan pihak manajemen YSR terhadap atribut-atribut pelayanan yang dianggap penting. Hal ini penting untuk memperkirakan keinginan dan harapan 7

konsumen agar pelayanan yang disediakan bisa memberikan kepuasan optimal bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan : 1. Bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan pendidikan tuna rungu YSR? 2. Bagaimana persepsi manajemen YSR terhadap pelayanan yang telah diberikan? 3. Bagaimana perbandingan antara persepsi dari manajemen YSR dengan persepsi konsumen jasa pendidikan tuna rungu YSR? 4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan YSR untuk meningkatkan kualitas pelayanannya? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisa tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan pendidikan tuna rungu YSR. 2. Menganalisa persepsi manajemen YSR terhadap pelayanan yang telah diberikan. 3. Menganalisa perbandingan antara persepsi dari manajemen YSR dengan persepsi konsumen pengguna jasa pendidikan tuna rungu. 4. Merumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan YSR untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. 8

UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI PERPUSTAKAAN MB IPB 9