II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perkembangan Domba Asia merupakan pusat domestikasi domba. Diperkirakan domba merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi oleh manusia kira-kira pada 10.000-6.000 SM. Pusat peternakan domba pertama kali berada di daerah stepa Arab-Caspia, kemudian berkembang ke Iran, sub kontinen India, Asia Tenggara, Asia Barat, Eropa, dan Afrika, baru kemudian ke Amerika, Australia, dan pulau tropik Oceania (Williamson dan Payne, 1978). Domba-domba yang ada sekarang ini diturunkan dari tiga jenis bangsa domba liar, yaitu: (1) Mouflon (Ovis musimon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil. (2) Argali (Ovis ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia Tengah. (3) Urial (Ovis vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia (Zeuner, 1963). Beberapa bangsa domba yang ada di Indonesia saat ini antara lain Domba Ekor Gemuk, Domba Priangan, Domba Garut, dan domba lainnya yang tersebar luas di seluruh nusantara, hal ini memberikan petunjuk bahwa nenek moyang pertama bangsa Indonesia telah melakukan domestikasi terhadap domba. Penyebaran domba ke seluruh nusantara juga dapat diartikan bahwa domba memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik dengan lingkungan. Domba dapat dijadikan ternak bibit dan penghasil daging yang baik.
9 2.2 Asal Usul Domba Garut Asal-usul perkembangan Domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai sumber daya genetik ternak (SDGT) asli dari Jawa Barat, yaitu dari Daerah Cibuluh dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Keyakinan tersebut dilandasi oleh teori bahwa seluruh bangsa domba yang ada di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok domba bermuka putih (white face) dan domba bermuka hitam (black face). Dombadomba muka putih secara genetik membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna pada domba muka hitam, sedangkan domba-domba yang diimpor masuk ke Indonesia sejak Jaman Belanda sampai sekarang kebanyakan dari kelompok domba muka putih (termasuk Domba Merino, Texel, dan Domba Ekor Gemuk), sehingga warna hitam yang banyak terdapat pada Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja (Heriyadi, 2005). Atas dasar tersebut Domba Garut merupakan domba asli yang telah ada di Kabupaten Garut sesuai dengan keyakinan para kalangan Domba Garut khususnya dari daerah Cibuluh, Cikeris, dan Cikandang di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja yang memang dikenal sebagai daerah penyedia domba unggul (Heriyadi, 2011). Taksonomi Domba Garut menurut Heriyadi, dkk., (2002) adalah sebagai berikut : Kingdom Phylum Sub Phylum Class Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata (bertulang belakang) : Mammalia (hewan menyusui) : Artiodactyla (hewan berkuku genap)
10 Sub Ordo Family Sub Family Genus Species : Ruminansia (hewan yang memiliki rumen) : Bovidae (hewan pemamah biak) : Caprinae : Ovis : Ovis aries 2.3 Karakteristik Domba Garut Domba Garut adalah rumpun domba asli Jawa Barat, dengan ciri khas memiliki kuping rumpung (< 4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm) dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong (Heriyadi, dkk., 2001). Karakteristik yaitu sifat yang khas atau memberi ciri pada suatu populasi. Beberapa sifat yang dapat menjadi ukuran dasar karakteristik suatu ternak antara lain ukuran tubuh seperti panjang badan, lingkar dada, bobot badan pada berbagai periode, tinggi badan, tinggi pinggul, lebar pinggul dan lingkar kaki untuk kepentingan produksi dan reproduksi (Budinuryanto, 1991). Secara keseluruhan karakteristik Domba Garut yaitu memiliki kombinasi antara ekor ngabuntut beurit dan ngabuntut bagong dengan telinga rumpung <4 cm dan ngadaun hiris 4-8 cm (Heriyadi, dkk., 2001). Warna tubuh Domba Garut bermacam-macam dari putih, hitam, coklat (kondang) atau warna campuran seperti belang sapi dan sambung, sedangkan bentuk tanduk bermacam-macam seperti gayor, golong tambang, leang, ngabendo, dan masih banyak bentuk tanduk lainnya. Domba Garut jantan mempunyai bobot badan tinggi berkisar antara 60-80 kg untuk jantan dan 30-40 kg untuk betina, tanduk yang relatif besar, serta mempunyai sifat agresifitas tinggi sehingga sering dimanfaatkan sebagai ternak aduan (Budinurnyanto, 1991). Domba Garut yang terbentuk sekarang akibat dari
11 adanya seleksi dengan waktu yang lama dan hasil adaptasi dengan lingkungan setempat. Pemeliharaan Domba Garut di wilayah Jawa Barat mengarah pada dua sasaran utama, yaitu domba dipelihara sebagai penghasil daging (sering disebut tipe daging) dan sebagai fancy (untuk kesenangan atau hobi). Sasaran yang terakhir ini kemudian dikenal dengan Domba Garut tipe tangkas atau domba laga/domba aben (Heriyadi, dkk., 2001). Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang memadai, merupakan pilar utama dalam menyokong pengembangan ternak di tanah air. Penyediaan domba yang berkualitas harus diawali melalui seleksi bibit ternak secara ketat, terencana, dan memiliki arah yang jelas (Heriyadi, dkk., 2006). 2.4 Sifat Kuantitatif Domba Garut Sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur, misalnya produksi susu, produksi telur, pertambahan berat harian atau sebagainya. Sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif yang diekspresikan oleh ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Lasley, 1978 disitasi oleh Heriyadi, dkk 2002). Faktor lingkungan dapat berupa lingkungan internal, seperti umur dan seks dan lingkungan eksternal di antaranya pakan. Sifat kuantitatif dapat juga digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menyeleksi ternak untuk memperoleh bibit unggul. Mean (nilai rataan) merupakan parameter yang penting karena dapat menggambarkan parameter mengenai sifat-sifat kuantitatifnya. Ukuran-ukuran tubuh perlu diketahui untuk menentukan bentuk fisik seekor domba (Djagra, 1994). Domba yang mempunyai tubuh besar akan mempunyai tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada yang lebih besar, dengan demikian dapat dinyatakan ukuran-ukuran tubuh dan berat badan merupakan ukuran penting dalam menilai sifat kuantitatif ternak yang akan
12 digunakan untuk program seleksi. Ukuran-ukuran tubuh memiliki banyak kegunaan, karena dapat digunakan untuk menaksir bobot hidup maupun bobot karkasnya, serta dapat dijadikan dasar seleksi. Penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, digunakan pula dalam memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas bangsa ternak tertentu (Diwyanto dan Inounu 2001). Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada domba, yaitu sebagai sifat kuantitatif untuk mengetahui perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan untuk melakukan seleksi (Mulliadi, 1996). Ukuran-ukuran tubuh yang umum digunakan adalah bobot badan, panjang badan, tinggi pundak, lebar dada, dalam dada dan lingkar pinggang. Data standar ukuran-ukuran tubuh yang dapat digunakan sebagai identitas pada Domba Garut Jantan meliputi bobot badan, panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, lebar dada, dalam dada, dan lingkar pinggang, dengan minimal ukuran : BB (bobot badan) 57,74 ± 11,96 kg, PB (panjang badan) 63,41 ± 5,72 cm, LD (lingkar dada) 88,73 ± 7.58 cm, TP (tinggi pundak) 74,34 ± 5,84 cm dan LeD (lebar dada) 22,08 ± 8,21 cm (Heriyadi, 2009) Panjang badan menunjukkan kapasitas, kekuatan dan kemampuan konsumsi pakan, badan harus berbentuk kotak, lurus berisi, seimbang, rusuk yang dalam dan lebar serta ukuran yang panjang sesuai umur (Ensminger, 2002). Menurut Diwyanto, dkk (1984) semakin besar panjang badan akan menyebabkan bobot badan meningkat Bertambahnya panjang badan diduga menyebabkan otototot akan menimbun tulang kearah panjang dan semakin meluas sehingga akan menambah berat badan. Bertambahnya bobot badan akan menimbun otot-otot daging dan lemak, mempengaruhi pada ukuran tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada,
13 namun penelitian Gunawan dan Noor (2008) mengindikasikan bahwa lingkar dada tidak selalu mempunyai korelasi tertinggi dengan bobot badan domba. Hal ini disebabkan oleh perbedaan genetik ternak dan lingkungan pemeliharaannya, apabila genetik ternaknya kurang baik diberikan perlakuan lingkungan (pemeliharaan) yang baik pertumbuhan domba tidak akan baik. 2.5 Sertifikasi I, II, dan Domba Garut Jantan Hasil Sertifikasi Pengembangan dan peningkatan produktivitas domba tidak terlepas dari ketersediaan bibit jantan maupun bibit betina. Pemilihan Domba Garut jantan dan betina untuk bibit sebaiknya dipilih dari domba yang telah tersertifikasi agar beberapa sifat kuantitatif dan kualitatif sudah sesuai dengan standar Domba Garut. Domba yang tersertifikasi telah terjamin memenuhi kriteria standar ukuran bobot badan, panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada. Standardisasi sifat-sifat kuantitatif Domba Garut Jantan dan betina dibakukan dan disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat mutu genetik, kesehatan hewan dan masyarakat veteriner, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, dan perkembangan masa kini dan yang akan datang untuk memberi kepastian manfaat yang akan diperoleh (Heriyadi, 2012). Adanya Sertifikasi I dan II yang dilaksananakan oleh Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia bekerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Fakultas Peternakan Unpad, merupakan penelitian yang memberikan manfaat terhadap keberlangsungan penyediaan bibit Domba Garut di masa yang akan datang. Domba Garut yang lolos sertifikasi, akan mendapatkan sertifikat sebagai bentuk penghargaan terhadap peternak Domba Garut yang memiliki domba dengan tingkat produktivitas yang tinggi, sehingga dapat menambah motivasi peternak dalam memelihara Domba Garut untuk
14 meningkatkan produktivitasnya. Sertifikasi I dan II dilakukan oleh Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran pada tahun 2003 dan 2004. 2.6 Perkembangan Domba Garut di Wilayah Jawa Barat Menurut sejarahnya Domba Garut berasal dari Kabupaten Garut, di Kecamatan Cikajang (Desa Cibuluh, Cikandang, dan Cikeris), dan Kecamatan Wanaraja sehingga keberadaan Kabupaten Garut sebagai sumber pejantan unggul sangat penting untuk dipertahankan agar kualitas Domba Garut tetap terjaga, sementara perkembangan Domba Garut di Kabupaten Bandung pemeliharaannya lebih difokuskan untuk tangkas, seperti di wilayah Majalaya, Ciparay sampai kecamatan Ciwidey. Populasi domba di Kota Bandung tercatat hanya 23.493 ekor (Dinas Peternakan Jawa Barat, 2011) tetapi mempunyai kualitas yang baik sebagai pedaging maupun tangkas. Pamidangan di Kota Bandung yang rutin menggelar kontes Domba Garut menjadikan faktor kualitas domba di Kota Bandung tetap terjaga. Atas dasar hal tersebut perkembangan Domba Garut di Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kota Bandung lebih maju dibandingkan daerah-daerah lainnya yang ada di Jawa Barat.