Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

SANKSI PIDANA TERHADAP PEMALSUAN KETERANGAN DAN SURAT ATAU DOKUMEN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh. Devianti Tjoanto 2

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA. Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam. Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

DAFTAR PUSTAKA. (jilid 1), Penerbit PT.Prestasi pustakaraya, Jakarta, Ismu Gunadi W, Jonaedi Efendi, Yahman, Cepat & mudah memahami Hukum

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis

DAFTAR PUSTAKA. Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. SANKSI PIDANA DALAM PERKARA PENYELANGGARAAN TRANSFER DANA 1 Oleh: Fani Alvionita Sapii 2

SANKSI PIDANA PELANGGARAN KEWAJIBAN OLEH APARATUR HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Wailan N. Ransun 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni,

P R E S I D E N REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB III PENUTUP. tidak masuk akal atau tidak logika, sehingga tidak dapat. maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. Kata kunci: Tindak pidana, Pemalsuan, kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

DIPONEGORO LAW REVIEW, Volume 1, Nomor 4, Tahun 2012 di

DAFTAR PUSTAKA. Hukum Lingkungan), Bestari, Bandung, Anthon Freddy Susanto, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris,

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

DAFTAR PUSTAKA. Buku:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

V. PENUTUP. 1. Penyebab timbulnya kejahatan penistaan agama didasari oleh faktor; Pertama,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013. SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN DANA BAGI PENANGANAN FAKIR MISKIN 1 Oleh : Yeremia B.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern,

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

DAFTAR PUSTAKA. Adjie, Habib, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika Aditama, 2011.

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB III PENUTUP. terdahulu, maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

DAFTAR PUSTAKA. A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

DAFTAR PUSTAKA. Asikin, Zainal & Amiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Mataram: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT.

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN 1 Oleh : Christy Prisilia Constansia Tuwo 2

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB II LANDASAN TEORI

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya dilaksanakan secara

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penulisan hukum ini sebagai berikut: menggunakan telepon seluler pada saat berkendara adalah langsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

Transkripsi:

SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEWARGANEGARAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 1 Oleh : Mona Maria Mondong 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tindak pidana di bidang kewarganegaraan dan bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang kewarganegaraan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk tindak pidana di bidang kewarganegaraan yaitu Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu,. 2. Pemberlakuan sanksi pidana terhadap kewarganegaraan yaitu pidana penjara, pidana denda. Pejabat yang karena kelalaiannya dan kesengajaan melaksanakan tugas dan kewajibannya dipidana dengan pidana penjara. Setiap orang maupun korporasi yang dengan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Engelien R. Palandeng,SH.,MH; Ronny Luntungan,SH, MH; Alsam Polontalo, SH. MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat. NIM. 100711219 dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. Korporasi sebagaimana dimaksud dipidana dicabut izin usahanya dan pengurus korporasi dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. Kata kunci: Pelaku, tindak pidana, kewarganegaraan. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berbagai bentuk tindak pidana kewarganegaraan yang dapat terjadi dan dilakukan oleh perorangan maupun pejabat Tindak pidana yang dimaksud dapat mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan. Hal ini dapat dilakukan karena unsur kelalaian. Tindak pidana kewarganegaraan juga dapat terjadi akibat adanya perbuatan secara. Penjelasan Atas Undang-Undang bagian I. Umum menegaskan Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan 14

timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, ihwal kewarganegaraan diatur dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara. Undang-Undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. Selanjutnya, ihwal kewarganegaraan terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Talun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang- Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tersebut secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. 3 3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana tindak pidana di bidang kewarganegaraan? 2. Bagaimana sanksi pidana terhadap kewarganegaraan? C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan karya ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri dari; kamus hukum. Bahan hukum yang telah, diinventarisasi dan diidentifikasi selanjutnya dianalisis secara kualitatif. PEMBAHASAN A. TINDAK PIDANA DI BIDANG KEWARGANEGARAAN Tindak pidana kewarganegaraan dapat terjadi akibat adanya kelalaian dari pejabat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, sehingga menyebabkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Bab VI, yang mengatur mengenai Ketentuan Pidana, menyatakan dalam Pasal 36 ayat (1): Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan. 15

Tindak pidana kewarganegaraan juga dapat terjadi akibat adanya unsur kesengajaan dari peorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yaitu setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau. Ayat (2): Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Para pelaku tindak pidana kewarganegaraan selain pejabat dan perorangan dapat pula dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1): Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Untuk mengklasifikasikan sebagai tindak pidana kewarganegaraan, maka unsur tersebut harus melekat dalam tindak pidana yang dilakukan, yaitu melawan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian, yang pertama dalam artian melawan hukum secara formal yaitu, melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang. 4 Kedua, melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis. 5 4 J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Hasan. Bina Cipta.tanpa tempat. 1984, hal. 102-103. 5 P.A.F Lamintang, op. cit., hal. 184-185. Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu Pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka Penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. Unsur kesalahan (schuld), yaitu kesalahan dipersamakan artinya dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voornawen). Geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengadung dua pengertian. Dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan hendak dan maksud (atau dengan menghendaki dan mengetahui: willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa. 6 Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan. 7 6 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. 2003, hal. 173. 7 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni Ahaem- Petehaem.Jakarta. 1989, hal. 192. 16

B. SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEWARGANEGARAAN Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Bab VI, yang mengatur mengenai Ketentuan Pidana, menyatakan dalam Pasal 36 ayat (1): Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan lama 1 (satu) tahun. Ayat (2): Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, lama 3 (tiga) tahun. Pasal 37 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu, singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (2): Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 38 ayat (1): Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Ayat (2): Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan dicabut izin usahanya. Ayat (3): Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk tindak pidana di bidang kewarganegaraan yaitu Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Setiap orang yang dengan memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. 1. Pemberlakuan sanksi pidana terhadap 17

kewarganegaraan yaitu pidana penjara, pidana denda. Pejabat yang karena kelalaiannya dan kesengajaan melaksanakan tugas dan kewajibannya dipidana dengan pidana penjara. Setiap orang maupun korporasi yang dengan memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. Korporasi sebagaimana dimaksud dipidana dicabut izin usahanya dan pengurus korporasi dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda. B. SARAN 1. Untuk mencegah bentuk-bentuk tindak pidana di bidang kewarganegaraan diperlukan pegawasan dan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia khususnya berkaitan dengan siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia; syarat dan tata cara Indonesia; kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia; syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, perlu dilaksanakan oleh pejabat sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah perlu mengawasi dan melakukan penindakan terhadap pejabat, perorangan termasuk korporasi yang karena kelalaian dan kesengajaan melakukan tindak pidana kewarganegaraan dan menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada warga negara mengenai syarat dan prosedur berkaitan dengan syarat dan tata cara Indonesia; kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia; syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. 2. Pemberlakuan sanksi pidana terhadap kewarganegaraan, khususnya terhadap pejabat yang melakukan kelalaian atau kesengajaan perlu dilakukan secara tegas untuk memberikan efek jera bagi pejabat tersebut dan agar perbuatannya tidak ditiru oleh pejabat yang lain. Bagi setiap orang termasuk korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang kewarganegaraan perlu dikenakan sanksi pidana penjara dan pidana denda, termasuk kepada pengurus korporasi. DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita Romli. Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997. Bakry Noor MS. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Liberty. Yogyakarta, 1994. Baehr Pieter, Pieter V.D, A.B., Nasution dan Z. Leo,. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Mayor International Human Rights Unstrumen, Copy Rights 1995) Ed. II. Penerjemah Burhan Tsany dan S. Maimoen, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001. Honderich Ted, Punishment: The Supposed Justications, resived edition, Penguin Books, Harmondsworth, 1976, hal. 14-18, dalam: Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. Iksan Muchamad. Hukum Perlindungan Saksi (Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia). Surakarta: Fakultas Hukum UMS. 2008. Kotijah Siti, tindak pidana korporasi. Diterbitkan Maret 5, 2009. http:// 18

gagasanhukum. wordpress.com/2009/03/05/tindakpidana-korporasi-2/ Lamintang P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Sinar Baru. Bandung, 1990. Mahfud MD Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007. Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 2005. Marzuki Mahmud Peter, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX Agustus, 1997. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1984. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Sinar Baru Bandung, 1990, Poespoprojo W.. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Pustaka Grafika. Bandung, 1998. Priyatno Dwidja, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004. Prodjodikoro W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua, Eresco, Jakarta-Bandung. 1979. Radbruch Gustav, Legal Philosophy, in The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts. 1950. Raharjo Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Reksodipoetro Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994. Remmelink Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. 2003. Rosyada D. A.,, Ubaidillah, A. Razak, W. Sayuti dan M.A., Salim GP, 2003, Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003. Sholehuddin M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. Soekanto Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Edisi 1. Cet.4, Jakarta. S, 2002. Soetoprawiro K., Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Sinar Baru, Bandung. 1983. Sianturi S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni Ahaem- Petehaem.Jakarta. 1989. Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, PT. Karya Nusantara, Bandung. 1976. Suseno Magniz Frans, Kuasa & Moral, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2001. van J. M., Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Hasan. Bina Cipta.tanpa tempat. 1984. Widjaja H.A.W., Penerapan Nilai-nilai pancasila & HAM Di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 2000. Wisnubroto Al., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. 19