HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui kandungan yang ada di dalamnya. Hasil analisis POME sebagai bahan baku pembuatan biogas dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Bahan Baku POME Parameter Hasil Pemeriksaan ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% C organik 21.335 mg/l N total 489 mg/l C/N 43,63 Asetat 55,78 ppm Laktat 39,43 ppm Hasil analisis menunjukkan bahwa POME memiliki kandungan TVS sebesar 0,425% atau 4.250 mg/l, dimana nilai ini lebih rendah dari nilai TVS yang dikemukakan oleh Lang (2007) yaitu sebesar 34.000 mg/l. Selain itu, rasio C/N pada POME dinilai cukup tinggi yaitu sebesar 43,63. Rasio C/N yang tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada substrat, dimana hal ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang diperlukan mikroba untuk tumbuh (Deublein et al., 2008). Oleh karena itu diperlukan bahan organik lain yang mampu menurunkan rasio C/N pada POME, seperti kotoran sapi. Kotoran sapi potong merupakan bahan organik yang mengandung tiga komponen penting yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Ketiganya merupakan unsur penting dalam produksi biogas, karena dapat dikonversi menjadi volatile fatty acids (VFA) untuk dijadikan gas metana (CH 4 ). Selain itu, kotoran sapi memiliki mikroba pembentuk metan yang secara alami telah ada di rumen yang merupakan salah satu bagian dari organ pencernaan hewan ruminansia. Kotoran sapi juga memiliki rasio C/N yang lebih rendah dari POME, sehingga dapat menurunkan rasio 24
C/N pada POME yang terlalu tinggi. Kondisi inilah yang membuat kotoran sapi berpotensi dijadikan sebagai aktivator dalam pembuatan biogas. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa POME mengandung asam lemak berupa asetat dan laktat. Keduanya merupakan senyawa yang dapat dikonversi menjadi CH 4 (metana). Namun, lemak merupakan senyawa organik kompleks yang terhidrolisis dengan sangat lambat dan lemak menjadi pembatas laju keseluruhan hidrolisis. Lemak juga dapat menghambat proses perombakan anaerob. Senyawa ini memiliki asam lemak rantai panjang dalam jumlah berlebihan dan dapat menghambat kerja mikroba pembentuk biogas (Adrianto, et al., 2001). Analisis Bahan Masukan Biogas Bahan masukan biogas merupakan campuran yang terdiri atas POME dan aktivator dari kotoran sapi potong. Bahan ini kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai ph, TVS, C Organik, Nitrogen, dan rasio C/N. Hasil analisis campuran antara POME dan aktivator dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisis Campuran antara POME dan Aktivator Hasil Pemeriksaan Parameter Satuan P 90 S 10 P 80 S 20 P 70 S 30 ph - 5 6 5,67 Total Volatile Solids (TVS) % 2,56 3,77 3,62 C Organik mg/l 14.400 20.500 19.600 Nitogen mg/l 646,80 672,41 660,60 C/N - 22,26 30,48 29,67 Terlihat bahwa rasio C/N pada POME yang telah dicampur dengan aktivator mengalami penurunan, apabila dibandingkan dengan rasio C/N pada POME murni. Hal ini karena kotoran sapi potong memiliki C/N sebesar 18 (Stafford et al., 1980), sehingga mampu menurunkan kandungan C/N pada POME. Limbah peternakan umumnya memililiki kandungan nitrogen (N) lebih tinggi dibandingkan kadar karbon (C), sedangkan limbah pertanian memiliki kadar C lebih tinggi dari kadar N. Apabila kedua limbah tersebut dicampurkan maka dapat menghasilkan rasio C/N yang lebih baik untuk produksi biogas (Wellinger, 1999). 25
Rasio C/N dari bahan organik menentukan aktivitas mikroorganisme dalam memproduksi biogas. Hal ini karena rasio C/N terkait pada kebutuhan nutrisi mikroba. Rasio C/N yang optimal adalah antara 20:1 dan 30:1 (Stafford et al., 1980). Apabila rasio C/N lebih besar dari 30, maka unsur C berlebih, sedangkan unsur N sedikit, maka saat fermentasi berlangsung N telah habis untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan akan diikuti dengan menurunnya produksi biogas. Rasio C/N dari yang paling optimal ke kurang optimal, yaitu P 90 S 10 (22,26), P 70 S 30 (29,67), dan P 80 S 20 (30,48). Hasil tersebut mengindikasi bahwa P 90 S 10 memiliki potensi paling besar untuk menghasilkan biogas dengan volume terbanyak bila dibandingkan dengan perlakuan P 80 S 10 dan P 70 S 30. Analisis kandungan TVS awal pada bahan masukan biogas menunjukkan bahwa kandungan TVS mengalami peningkatan. Kandungan TVS pada bahan baku POME sebesar 0,425%, sedangkan setelah dilakukan pencampuran dengan kotoran sapi potong maka kandungan TVS meningkat. P 80 S 20 memiliki kandungan TVS tertinggi yaitu sebesar 3,77%, diikuti dengan P 70 S 30 sebesar 3,62% dan P 90 S 10 sebesar 2,56%. Lumpur kotoran sapi memiliki kandungan volatile solids (VS) sebesar 75-85% (Harikishan, 2008). Hal inilah yang membuat kandungan TVS mengalami peningkatan. Kandungan TVS dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan masukan. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi pula VFA yang diproduksi. VFA yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai ph. Apabila ph terganggu, maka dapat menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Ketercapaian Suhu di Dalam Digester Suhu memiliki pengaruh penting terhadap laju perombakan bahan organik menjadi biogas. Pengaruh ini terutama berkaitan dengan aktivitas dan laju pertumbuhan mikroba di dalam digester. Pengukuran suhu penting dilakukan setiap hari untuk mengetahui kondisi di dalam digester. Suhu yang berhasil dicatat selama 40 hari penelitian ditampilkan pada Gambar 12. 26
Suhu ( o C) 28 27,5 27 26,5 26 25,5 25 24,5 24 P90S10 P80S20 P70S30 Gambar 12. Grafik Suhu di dalam Digester Selama Penelitian Kisaran suhu di dalam digester yang dicapai digester dengan komposisi P 90 S 10 berada di antara 25,83-27,5 o C. Digester dengan perlakuan P 80 S 20 memiliki suhu berkisar antara 26-27,5 o C, seperti halnya pada P 70 S 30. Besarnya kisaran suhu yang dicapai dipengaruhi oleh suhu ruang, dimana selama penelitian berlangsung tercatat suhu maksimal adalah 27,5 o C. Suhu yang dicapai selama penelitian berada di bawah suhu mesophilik (30-40 o C), hal ini tidak berpengaruh pada terjadinya proses metanogenesis karena proses metanogenesis masih dapat terjadi bahkan pada suhu 4 o C (Price et al., 1981). Nilai ph Hubungan antara waktu perombakan bahan organik dan nilai ph pada setiap perlakuan memiliki persamaan regresi linear yang berbeda-beda. Grafik nilai ph pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, dan 15. 7,00 6,50 ph 6,00 5,50 5,00 Gambar 13. Grafik Nilai ph pada P 90 S 10 27
Gambar 13 memperlihatkan bahwa kisaran nilai ph pada perlakuan ini adalah 5,0-7,0. Nilai ph yang mencapai optimal ini sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh bakteri pembentuk metana. Selama penelitian terlihat bahwa ph mengalami penurunan dari hari ke hari. Penurunan ph ini menunjukkan tingginya konsentrasi asetat yang dapat menghambat perombakan (Mahajoeno, 2008). 7,00 6,50 ph 6,00 5,50 5,00 Gambar 14. Grafik Nilai ph pada P 80 S 20 Kisaran nilai ph pada P 80 S 20 adalah 5,0-6,7. Kisaran ph yang rendah menunjukkan bahwa pada perlakuan ini proses pembentukan asam masih terjadi. Selama penelitian berlangsung terlihat bahwa terjadi penurunan nilai ph yang drastis pada hari ke-25. Penurunan ph secara tiba-tiba menandakan terjadinya gangguan pada proses fermentasi (Deublein et al., 2008). 7,00 6,50 ph 6,00 5,50 5,00 Gambar 15. Grafik Nilai ph pada P 70 S 30 28
Gambar 15 memperlihatkan bahwa kisaran nilai ph pada perlakuan ini selama penelitian berlangsung yaitu 5,0-6,7. Seperti halnya P 80 S 20, perlakuan ini juga mengalami penurunan ph yang drastis. Hal ini menandakan bahwa jumlah bahan masukan yang diumpankan ke dalam digester terlalu banyak, sehingga produksi asam akan berlimpah. Kondisi ini menyebabkan mikroba tidak mampu mendegradasi asam yang terlalu banyak menjadi metana. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, antara lain menghentikan pengumpanan bahan masukan, sehingga bakteri metanogenik dapat mendegradasi asam, menambahkan substansi penetral (buffer), menambah waktu tinggal, melakukan penambahan air, dan mengosongkan serta mengulangi proses dari awal (Deublein et al., 2008). Kandungan Total Volatile Solids (TVS) Akhir Total Volatile Solids (TVS) dapat diartikan sebagai jumlah padatan organik yang berpotensi untuk dikonversi menjadi biogas. Semakin banyak jumlah TVS yang tereduksi maka semakin banyak pula biogas yang dihasilkan. Oleh karena itu, dilakukan analisis kembali untuk mengetahui kandungan TVS pada ke-40, sehingga dapat diketahui perubahan kandungan yang terjadi. Hasil analisis kandungan TVS pada hari ke-40 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Kandungan TVS pada 40 Perlakuan Nilai TVS P 90 S 10 3,89 ± 0,49 P 80 S 20 4,46 ± 0,38 P 70 S 30 5,18 ± 0,29 Kandungan TVS pada hari ke-40 ini ternyata berpengaruh nyata (P<0,05). Perbedaan kandungan TVS ini disebabkan oleh perbedaan komposisi campuran pada setiap perlakuan, sehingga jumlah bahan organik yang di dalamnya akan berbeda juga. Selain itu, terdapat perubahan kandungan TVS pada awal dan akhir penelitian. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 16. 29
60 50 Kenaikan TVS (%) 40 30 20 10 0 P 90 S 10 P 80 S 20 P 70 S 30 Gambar 16. Diagram Batang Peningkatan Kandungan TVS Li et al. (2009) menyatakan bahwa biogas diproduksi dari hasil konversi bahan organik dengan bantuan mikroorganisme anaerobik, dengan adanya konversi ini maka jumlah bahan organik akan mengalami penurunan. Akan tetapi apabila dilihat berdasarkan analisis laboratorium, kandungan TVS pada penelitian ini justru mengalami peningkatan. Perlakuan P 90 S 10 mengalami peningkatan TVS sebesar 51,95%, P 80 S 20 mengalami peningkatan sebesar 18,21%, dan P 70 S 30 mengalami peningkatan TVS sebesar 43,18%. Peningkatan ini terjadi karena selama penelitian dilakukan pengisian bahan masukan secara kontinu, sehingga kadar bahan organik selalu bertambah setiap harinya. Produksi Biogas Produksi biogas merupakan hasil dari proses perombakan bahan organik secara anaerob. Produksi gas dari POME dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Pengukuran Produksi Biogas pada Setiap Perlakuan Perlakuan (POME : Aktivator) Waktu Produksi (Hari) Volume Gas (Liter) 90 : 10 40 3,99 ± 3,52 80 : 20 40 1,08 ± 0,55 70 : 30 40 1,77 ± 2,02 30
Produksi gas diukur menggunakan alat gas flowmeter dan stopwatch. Gas flowmeter merupakan alat untuk mengetahui laju alir gas dengan satuan liter/menit, sedangkan untuk mengetahui produksi gas per hari dilakukan pengalian antara hasil pengukuran gas flowmeter dan waktu yang tercatat oleh stopwatch. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18. Gambar 17. Proses Pengukuran Produksi Biogas Gambar 18. Uji Bakar Biogas Korelasi antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi biogas pada masing-masing perlakuan dapat dijelaskan menggunakan grafik produksi biogas dan analisis data menggunakan ANOVA. Grafik produksi biogas pada substrat yang terbuat dari 90% POME dan 10% aktivator dapat dilihat pada Gambar 19. Gas Menyala 0,3 0,25 Produksi Gas (Liter) 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0,05 Y = 0,005X 0,018 R = 0,696 Gambar 19. Grafik Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P 90 S 10 31
Seperti yang tampak pada Gambar 19, pada 10 hari pertama belum tampak adanya produksi gas. Adanya gas mulai terlihat pada hari ke-11 yang secara perlahan jumlahnya meningkat hingga hari ke-23. Namun, setelah dilakukan uji bakar pada gas yang dihasilkan, api yang diujikan mengalami pemadaman, kecuali pada hari ke- 15. Hal ini membuktikan bahwa gas yang dihasilkan hingga hari ke-23 belum memiliki cukup metana untuk melakukan pembakaran. Jumlah gas yang diproduksi ini mengalami penurunan pada hari ke-23 hingga hari ke-30 dan belum menunjukkan adanya biogas yang diproduksi. Penelitian hari ke-31 menunjukkan penurunan jumlah gas yang dihasilkan kemudian pada hari ke-32, volume gas kembali mengalami peningkatan. Setelah dilakukan uji bakar, terlihat bahwa pada pengamatan hari ke-32, salah satu ulangan dari digester dengan perlakuan P 90 S 10 telah menghasilkan nyala api berwarna biru. Adanya nyala api ini menunjukkan adanya biogas yang terbentuk di dalam digester. Biogas setidaknya mengandung 45% metana agar dapat menghasilkan nyala api (Deublein et al., 2008). Nilai ph pada P 90 S 10 berkisar antar 5,0-7,0. Total produksi biogas pada perlakuan ini sebesar 3,99 liter, dimana produksi ini adalah yang paling besar dibanding kedua perlakuan lain. Hal ini dapat dimengerti, karena P 90 S 10 dapat mencapai ph netral. Mahajoeno (2008), menyatakan bahwa ph netral dapat mempercepat proses perombakan bahan organik, sehingga dapat mempercepat terjadinya perombakan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi biogas. Selain ph, rasio C/N juga mempengaruhi produksi biogas. Rasio C/N dari bahan organik menentukan aktivitas mikroorganisme dalam memproduksi biogas. Rasio C/N yang optimal adalah antara 20:1 dan 30:1 (Stafford et al., 1980). Nilai rasio C/N pada P 90 S 10 yaitu 22,26 dan ini merupakan nilai yang paling optimal di antara ketiganya. Grafik hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi gas (Y) menunjukkan persamaan regresi linear Y = 0,005X 0,018 dan berkorelasi positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,696. Analisis ragam menunjukkan bahwa Hubungan keduanya berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa waktu perombakan bahan organik berpengaruh pada produksi gas sebesar 48,4%, sedangkan sisanya yaitu 51,6% dipengaruhi oleh faktor lain. 32
Selain pada perlakuan P 90 S 10, pengukuran produksi biogas juga dilakukan pada perlakuan P 80 S 20. Grafik produksi gas pada substrat yang terbuat dari 80% POME dan 20% aktivator dapat dilihat pada Gambar 20. Produksi Gas (Liter) 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 Y = 0,0003X + 0,0329 R = 0,088 Gas Menyala 0 Gambar 20. Grafik Hubungan Antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P 80 S 20 Gambar 20 memperlihatkan bahwa digester dengan perlakuan P 80 S 20 mulai menghasilkan gas pada hari ke-3. Namun, setelah dilakukan uji bakar, belum tampak keberadaan gas metana pada hari tersebut. Ketiadaan gas metana pada perlakuan ini berlangsung hingga hari ke-22. Saat dilakukan uji bakar pada hari ke-23, api yang diujikan tidak padam, namun juga tidak mengalami pembakaran. Hal ini menunjukkan bahwa telah terbentuk gas metana namun jumlahnya belum mencukupi untuk melakukan pembakaran. Setelah hari ke-23, aktivitas metana kembali tidak terlihat hingga hari ke-26. Hari ke-27 dan ke-28 metana mulai ada meskipun belum terjadi pembakaran. Proses pembakaran mulai terlihat pada hari ke-35 hingga hari ke-40. Apabila dibandingkan dengan perlakuan P 90 S 10, P 80 S 20 lebih lambat dalam memproduksi gas. Selain itu, P 80 S 20 menghasilkan total biogas dalam jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan P 90 S 10 dan P 70 S 30, yaitu sebesar 1,08 liter. Hal ini karena rasio C/N pada P 80 S 20 merupakan yang paling tinggi yaitu 30,34. Apabila rasio C/N lebih besar dari 30, maka unsur C berlebih, sedangkan unsur N sedikit, maka saat fermentasi berlangsung N telah habis untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan akan diikuti dengan menurunnya produksi biogas. 33
Selama penelitian berlangsung tercatat bahwa P 80 S 20 memiliki kisaran ph 5,0-6,7. Rendahnya nilai ph pada perlakuan P 80 S 20 karena fase asidogenesis yang masih berlangsung. Fase asidogenesis menghasilkan asam lemak terbang yang dapat menurunkan nilai ph (Gerardi, 2003). Nilai ph pada fase asidogenesis dapat mengalami penurunan hingga hanya bernilai 3,2, sedangkan ph pada fase metanogenesis berada di kondisi stabil yaitu antara 7,2-7,4, dimana hal ini normal terjadi pada proses anaerobik (Li et al., 2009). Persamaan regresi linear pada hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi biogas (Y) pada P 80 S 20 yaitu Y = -0,0003X + 0,0329. Hubungan ini berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,088. Analisis keragaman menunjukkan bahwa hubungan kedua faktor ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Pengukuran produksi gas menggunakan alat gas flowmeter juga dilakukan untuk mengetahui jumlah produksi biogas pada perlakuan P 70 S 30. Grafik produksi biogas pada substrat yang terbuat dari 70% POME dan 30% aktivator dapat dilihat pada Gambar 21. 0,35 Produksi Gas (Liter) 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Y = 0,0004X + 0,0525 R = 0,100 Gas Menyala Gambar 21. Grafik Hubungan Antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P 70 S 30 Gambar 21 memperlihatkan bahwa gas pada P 70 S 30 mulai diproduksi pada hari ke-3, namun pada saat dilakukan uji bakar maka api padam. Hal ini menunjukkan masih tingginya kadar CO 2 pada digester. Pengamatan hari ke-5 terjadi letupan kecil pada saat dilakukan uji bakar, mungkin telah terdapat kandungan 34
metana pada digester ini walaupun dalam jumlah kecil. Sedangkan produksi gas pada hari tersebut sebesar 0,06 liter. Adanya letupan kecil membuktikan bahwa perlakuan dengan jumlah aktivator paling banyak dapat memproduksi gas metan lebih awal dibandingkan kedua perlakuan lain. Setelah itu, tercatat tidak ada aktivitas gas metana, hingga pada hari ke-23 api yang diujikan tidak padam dan ada sedikit pergerakan. Hal ini menunjukkan adanya metana walaupun jumlahnya belum cukup untuk melakukan pembakaran. Aktivitas metana pada biogas mulai terlihat kembali pada hari ke-33, dimana salah satu ulangan menghasilkan api yang menyala dan berwarna biru. Meskipun tidak berlangsung setiap hari, namun tercatat pada hari ke- 33 hingga 40 apabila terdapat gas pada pengukuran maka gas tersebut jika dibakar akan menghasilkan nyala api berwarna biru. Meskipun P 70 S 30 tercatat lebih awal dalam menghasilkan metana, namun total produksi biogas yang dihasilkan oleh perlakuan ini menempati kedudukan kedua setelah P 90 S 10 yaitu sebesar 1,77 liter. ph yang maksimal dicapai oleh perlakuan ini sebesar 6,7, seperti halnya dengan P 80 S 20, nilai ph yang rendah pada perlakuan ini disebabkan oleh masih terjadinya proses asidogenesis. Proses ini masih berlangsung karena digester yang digunakan bersifat kontinyu, dimana dilakukan pengisian setiap hari selama pengamatan berlangsung. Selain itu, rasio C/N pada P 70 S 30 berada di urutan kedua setelah P 90 S 10. Persamaan regresi linear pada hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi gas (Y) pada P 70 S 30 yaitu Y = -0,0004X + 0,0525. Hubungan ini berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,100. Analisis keragaman menunjukkan bahwa hubungan kedua faktor ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Produksi biogas pada penelitian ini dinilai masih sedikit. Produksi yang belum optimal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan yang terjadi pada proses anaerobik. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh beban hidraulik yang berlebihan. Kondisi ini terjadi jika waktu tinggal dalam perombak anaerob lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Selain itu, pada kondisi ini terjadi penumpukan bahan organik berlebihan yang menyebabkan bakteri tidak mampu memecah senyawa organik, sehingga proses perombakan anaerob akan terganggu (Mahajoeno, 2008). Hal ini terjadi pada proses pengumpanan bahan masukan biogas 35
yang dilakukan selama 40 hari penelitian. POME merupakan limbah cair organik tinggi kandungan lemak yang membutuhkan waktu lama untuk terhidrolisis (Adrianto et al., 2001). Kotoran sapi mengandung sejumlah komponen yang sulit terdegradasi, seperti selulosa dan lignin, maka membutuhkan waktu lama untuk terhidrolisis pada fase pertama (Li et al., 2009). Apabila keduanya dijadikan sebagai bahan masukan maka diperlukan waktu tinggal lebih lama agar bahan-bahan tersebut dapat terhidrolisis, sehingga waktu tinggal selama 40 hari dinilai belum cukup untuk memproduksi biogas. Penelitian Mahajoeno (2008) menghasilkan bahwa biogas yang terbuat dari POME dengan penambahan inokulum kotoran sapi sebesar 10% memproduksi 64,5 liter biogas selama 12 minggu percobaan (84 hari) di kondisi suhu dan tekanan rumah kaca. Digester yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan digester sistem batch berkapasitas 15 liter. Selain itu, pengumpanan kotoran sapi potong setiap hari ke dalam digester memberikan hasil yang kurang optimal pada produksi biogas. Hal ini karena kotoran sapi memiliki mikroorganisme yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan dengan konsentrasi lemak tinggi. Ketidakseimbangan juga terjadi karena bahan beracun yang telah ada dalam biomasa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Fermentasi dapat menjadi lambat jika biomas mengandung konsentrasi lemak yang tinggi. Hal ini karena lemak dapat didegradasi menjadi senyawa beracun, yaitu asam lemak rantai panjang (Mahajoeno, 2008). Salah satu faktor yang berpengaruh pada perombakan anaerob, yaitu pengadukan. Selama penelitian berlangsung, proses pengadukan dilakukan secara manual dengan pengaduk yang telah tersedia di dalam digester. Teknik ini kurang efektif karena pengadukan secara manual akan menghasilkan frekuensi pengadukan yang tidak konsisten. Bahan masukan biogas sebaiknya diaduk untuk menghindari terbentuknya endapan dan skum. Apabila bahan masukan lebih homogen maka perombakan akan berlangsung lebih sempurnna (Mahajoeno, 2008). 36