BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

SUSUNAN KEANGGOTAAN KELOMPOK KERJA PUSAT PENDIDIKAN PEMILIH PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA DENPASAR 2015

LAPORAN PENELITIAN PERILAKU MEMILIH PEMILU 2014 DAN PEMILUKADA 2015

PEDOMAN RISET TENTANG PARTISIPASI DALAM PEMILU KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA 2015

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

LAPORAN HASIL PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

MASYARAKAT MUSI BANYUASIN : KECENDERUNGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMILIH PADA PEMILU PRESIDEN SERTA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014.

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

LAPORAN HASIL PENELITIAN

SUSUNAN KEANGGOTAAN KELOMPOK KERJA PUSAT PENDIDIKAN PEMILIH PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA DENPASAR 2015

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut ( Dalam prakteknya secara teknis yang

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon

PENDAHULUAN. LAPORAN SURVEI PILKADA KAB. Sumedang Temuan Survei : Agustus 2017

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan

LAPORAN SURVEY PERILAKU PEMILIH MENJELANG PILKADA KABUPATEN LAMONGAN

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya

SUSUNAN KEANGGOTAAN KELOMPOK KERJA PUSAT PENDIDIKAN PEMILIH PADA KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA DENPASAR 2015

Blunder Politik Demokrat???? Kasus Nazaruddin dan Perubahan Dukungan Partai. Analisis Survei Nasional Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Juni 2011

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

MATERI TES TERTULIS DAN WAWANCARA PPK Materi test tulis : Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD. sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA DALAM PEMILUKADA KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2015 DI KECAMATAN SAMBOJA

Laporan Survei PREFERENSI POLITIK MASYARAKAT Menuju Pemilihan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2017

KAMPANYE DAN PERILAKU PEMILIH DALAM PILKADA GUBERNUR DKI JAKARTA. Temuan Survei Juli 2007

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

IMAGOLOGI POLITIK SKRIPSI. Oleh : WAHYUDI AULIA SIREGAR NIM : : Drs. P. Anthonius Sitepu, MSi

BAB III DATA RESPONDEN

Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR,

I. PENDAHULUAN. Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat

BAB I Pastikan Pilihan Anda Adalah Peserta Pemilu dan Calon Yang Memiliki Rekam Jejak Yang Baik

PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Faktor Penyabab Masyarakat Yang Tidak Menggunakan Hak Pilihnya

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BEREBUT DUKUNGAN DI 5 KANTONG SUARA TERBESAR. Lingkaran Survei Indonesia Mei 2014

QUICK COUNT PILPRES & PILKADA PALING PRESISI PROPOSAL SURVEI PILKADA SERENTAK 2018

LAPORAN EKSEKUTIF SURVEI NASIONAL MEI 2014

HASIL SURVEI NASIONAL PROGRAM PARTAI POLITIK DAN KOMPETENSI CALON PRESIDEN 2014 SURVEI DAN POLING INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. kandidat presiden juga memanfaatkan media online termasuk di dalamnya

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Rilis Survei PREFERENSI POLITIK MASYARAKAT Menuju Pemilihan Langsung Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur 2018

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. rakyat indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang undang dasar negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Pekon Kediri berumur 17

Peran Pemerintah Minimal Saja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian juta 66,9 juta (67 juta) Golput atau suara penduduk

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemilihan umum. Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara. Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed

FINAL REPORT RISET PERILAKU POLITIK PEMILIH PADA PEMILU KEPALA DAERAH, PEMILU LEGISLATIF DAN PEMILU PRESIDEN DI WILAYAH KABUPATEN MADIUN

BAB II DESKRIPSI LOKASI. demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan

BAB V PENUTUP. Penelitian hubungan antara karakteristik pemilih, konsumsi media, interaksi peergroup dan

No.849, 2014 BAWASLU. Kampanye. Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden. Pengawasan.

ETNISITAS DAN PERILAKU PEMILIH

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

DUKUNGAN TERHADAP CALON INDEPENDEN

LAPORAN TELESURVEI PERSEPSI PUBLIK TERHADAP PILKADA DKI JAKARTA JULI 2016

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

BAB 1 PENDAHULUAN. pesat, dibuktikan semenjak paska reformasi terdapat pergeseran yang sangat

LAPORAN SURVEI NASIONAL MEMBACA PETA DUKUNGAN & ELEKTABILITAS CAPRES-CAWAPRES 2014

LAPORAN SURVEI PROVINSI JAWA BARAT PERSEPSI DAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM PILKADA PROVINSI JAWA BARAT 2018

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

C. Tujuan Penulisan. Berikut adalah tujuan penulisan makalah pemilukada (Pemilihan Umum Kepala. Daerah).

II. TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURVEI DASAR TERHADAP PEMAHAMAN, PERSEPSI DAN PRAKTIK PEMILIH TERKAIT DENGAN ASPEK PEMILU DI ENAM TARGET PROPINSI

METODE PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.

Transkripsi:

1: BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10 persen konsisten terjadi sampai pada Pemilu 2009. Sementara pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana dan apa yang menyebabkan angka partisipasi pemilu cenderung fluktuaatif. Oleh karena itu diperlukan sebuah riset pemilu. Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan. Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik. Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan

2: dalam manajemen pemilu. Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali, pusat pemerintahan yang menyebabkan masyarakatnya dapat memperoleh informasi dengan mudah, aksesbilitas yang sangat memadai, semua daerah dapat dijangkau dengan baik transportasi maupun informasi. Tetapi sayangnya dalam Pemilu 2014 angka partisipasi pemilih di Kota Denpasar tergolong rendah, di mana saat pemilu Legislatif angka partisipasi pemilih hanya sebesar 70,39 persen. Hal ini memicu kekhawatiran terhadap tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015 mendatang di 6 kabupaten/kota di Bali, termasuk Denpasar. B. Permasalahan Adapun pertanyaan permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana prediksi tingkat partisipasi dalam pilkada di Kota Denpasar pada Desember 2015? 2. Bagaimana pola sosialisasi yang tepat agar partisipasi dalam pilkada 2015 di kota Denpasar dapat meningkat? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan politik pemilih di kota Denpasar dalam pilkada 2015 mendatang? C. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui prediksi tingkat partisipasi dalam pilkada di Kota Denpasar pada Desember 2015? 2. Mengetahui pola sosialisasi yang tepat agar partisipasi dalam pilkada 2015 di kota Denpasar dapat meningkat? 3. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik pemilih di kota Denpasar dalam pilkada 2015 mendatang? D. Manfaat Penelitian: 1. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu. 2. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi warga dalam pilkada dan setelahnya

3. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pilkada 4. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pilkada kota Denpasar tahun 2015. 3:

4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Studi Literatur Studi perilaku memilih memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarahnya berkaitan dengan keberhasilan gerakan demokrasi pada abad ke-19. Menyebarnya demokrasi juga berati menyebarnya pemilu ke berbagai negara. Sejak itu juga hasil pemilu dapat dilihat dalam statistik resmi. Statistik resmi hasil pemilu inilah yang menjadi dasar analisa studi pemilu pertama. Beberapa kajian di Jerman yang dianggap sebagai tonggak awal dari studi perilaku memilih, antara lain hasil studi Eugen Wuzburger (1907) yang meneliti secara mendalam alasan-alasan golput (Roth,2008:11). Ia menemukan bahwa penyebab utama golput yaitu pemegang hak suara yang berhalangan hadir pada saat hari pemilu. Selain itu, ada pula studi Alois Klockner (1913) yang berusaha melihat hubungan antara agama dan kepercayaan dengan para pemilih Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pemeluk agama non-katolik jauh lebih sering memilih SPD dibandingkan mereka yang beragama Katolik. Di luar Jerman, studi perilaku memilih juga berkembang. Beberapa ahli mencoba untuk memadukan studi ini dengan menggunakan pendekatan ilmu lain seperti ekonomi dan geografi. Contohnya adalah Andre Sigfried (1949) berusaha untuk mengaitkan antara perilaku pemilu dengan keadaan geografis di Prancis Barat. Menurutnya ada zona geografis yang berkaitan dengan zona politik. Misalnya dataran rendah dan pegunungan membentuk dua ekstrim yang berbeda baik secara geografis maupun politis. Di daerah pegunungan, masyarakatnya terpencar, lebih religius dan hanya sedikit terpengaruh perubahan sosial ekonomi. Karena itu mereka cenderung memilih parta-partai kanan. Sebaliknya, di dataran rendah, kepadatan penduduk lebih tinggi, jalur lalu lintas dan komunikasi lebih berkembang, perubahan sosial ekonomi lebih banyak terjadi, sehingga mereka cenderung memilih partaipartai kiri. Perkembangan studi ini terus terjadi karena adanya ketertarikan banyak ahli terhadap kajian ini. Di Amerika pada dekade 1920-an analisis statistik korelasi yang biasa digunakan sebagai alat dalam studi ekonomi mulai digunakan dalam studi perilaku memilih

(Roth,2008:16). Stuart A Rice tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan analisis korelasi dalam studi pemilu. Ia melakukan penelitian di 102 conties di negara bagian Illinois dengan memisahkan perhitungan suara laki-laki dan perempuan. Hasil dari studi ini adalah pemilih perempuan lebih sering memilih kandidat dari partai Republik dibandingkan lakilaki, dimana selisih yang diamati hampir identis di semua daerah. Di Jerman, studi pemilu masih terus berkembang. Heberle disebut sebagai peneliti yang meneliti pemilu di Jerman dengan menggunakan analisis statistik yang disempurnakan pada masanya. Ia menemukan ada korelasi antara lapisan sosial dengan pilihan partai. Data yang diperolehnya menunjukan bahwa pemilih NADP kebanyakan berasal dari kelas menengah desa ataupun kota, sedangkan pemilih SPD dan KPD mayoritas berasal dari golongan buruh industri. Itulah masa awal munculnya studi pemilu dan beberapa ilmuan yang mengawalinya. Pada masa berikutnya, studi pemilu yang menggunakan data-data statistik resmi hasil pemilu itu dirasa tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai perilaku individu, maka muncul terobosan baru dalam studi pemilu yang mulai berkembang pesat pada tahun 1940an sampai 1950-an, yaitu jajak pendapat individu yang masih sering digunakan hingga sekarang. Beberapa studi mengenai perilaku memilih juga dilakukan banyak ilmuan politik di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh ada penelitian mengenai perilaku memilih pada pemilihan presiden langsung di Brazil tahun 1989. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa partai politik bukanlah prediktor yang baik untuk melihat kemenangan kandidat. Dalam pemilihan presiden langsung, faktor figur menjadi sangat sentral(kinzo,1993:321). Pada dekade 1990an dilakukan sebuah penelitian di Jepang dan New Zeland mengenai perilaku memilih di dua negara yang pada saat itu sedang mengalami perubahan politik tersebut. hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa identifikasi partai politik dan lingkungan politik interpersonal saling mempengaruhi dan berkontribusi pada konsistensi pilihan para pemilih di dua negara itu (Ikeda,2005:521). Sementara perilaku memilih partai politik di Inggris dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor kepemimpinan parpol, perubahan ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap isu (Clarke,2004:315). Di Indonesia, tonggak awal studi perilaku memilih dilakukan oleh Cliford Gertz yang melihat pola orientasi sosio religius individu (Gaffar,1992:4). Studi politik aliran yang dikemukakan Geertz itu kemudian menjadi landasan penting bagi studi-studi perilaku memilih berikutnya di Indonesia seperti studi Afan Gaffar yang mengulas tentang perilaku 5:

memilih masyarakat pedalaman Jawa pada masa Orde Baru. Gaffar menggunakan hasil penelitian Geertz sebagai kerangka dalam penelitiannya. Hasil penelitian Gaffar menjelaskan perilaku memilih masyarakat Jawa. Berbeda dengan hasil studi perilaku memilih pada masa Orde Baru, studi-studi sejenis pasca Orde Baru yang dilakukan oleh Saiful Mujani dan Liddle memperlihatkan besarnya pengaruh Leadership dan identifikasi partai politik terhadap perilaku memilih masyarakat Indonesia pada tahun 1999 dan 2004 (Liddle dan Mujani,2010:37). Tinjauan lain atas perilaku memilih di Indonesia pada pemilu 1999 menemukan bahwa faktor agama dan etnisitas tidak mempengaruhi perilaku memilih di Indonesia (Ananta,2004:376). Perkembangan berikutnya dari studi perilaku memilih di Indonesia cukup menggembirakan, beberapa hasil penelitian mengenai perilaku memilih di luar Jawa kian bermunculan terutama ketika fenomena pilkada atau pilkada mulai hadir pada tahun 2005 di berbagai wilayah di Indonesia. Fenomena tersebut memang dapat digolongkan baru di Indonesia. Topik ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan termasuk akademisi. Hasil dari perhatian para akademisi atau ilmuan politik terhadap fenomena itu adalah lahirnya beberapa studi yang terkait dengan pilkada dan perilaku memilih di beberapa wilayah Indonesia. Misalnya, hasil penelitian Ambo Upe (2008:257) di kabupaten Bombana Sulawesi Utara. Pada kesimpulan penelitiannya Upe menyebutkan bahwa perilaku memilih sangat berkaitan dengan stimulus dan pertimbangan subjektif dalam merespon faktor stimulus yang diperolehnya. Studi lainnya adalah hasil penelitian Jhonsar L. Toruan (2006:155) mengenai perilaku politik pemilih di Sumatra Utara menyertakan faktor primordial, marga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan politik masyarakat Sumatra Utara, namun di kesimpulannya disebutkan bahwa marga bukanlah faktor yang paling dominan dalam menentukan pilihan politik masyarakat.penelitian yang juga terkait dengan tema pilkada dan perilaku memilih adalah karya Yudistira Adnyana (2006:104) yang mengkaji perilaku memilih masyarakat Badung saat pilkada Badung tahun 2005. Penelitian Adnyana menyebutkan faktor kasta sebagai salah satu variabel bebas, namun hasil penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat Badung memilih Anak Agung Gede Agung sebagai bupati bukan karena beliau berasal dari kasta ksatria, melainkan karena faktor kepemimpinan yang dimilikinya. 6:

Hasil penelitian lainnya yang dipublikasikan pada tahun 2008 mengenai pilkada langsung adalah hasil penelitian dari Lingkaran Survei Indonesia melalui kajian bulanan yang dikeluarkan lembaga tersebut. Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan itu, diperbandingkan dua pilkada provinsi, yaitu pemilihan gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara pada tahun 2008. Hasil dari penelitian itu melihat bahwa dua wilayah itu tergolong unik jika dibandingkan dengan wilayah lain yang telah melakukan pilkada yang pada umumnya mengedepankan figur dibandingkan partai. Di dua provinsi tersebut terbukti bahwa mesin partai justru berhasil mengangkat figur yang tidak terlalu populer hingga berhasil memenangkan pilkada di daerah itu. Di luar pilkada, studi terbaru mengenai perilaku memilih juga dilakukan dalam konteks masyarakat adat ternate saat pemilu 2009. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa faktor sosiologis sangat mempengaruhi perilaku memilih di wilayah itu saat pemilu 2009 dilaksanakan (Agusmawanda,2011:28). Selain studi perilaku memilih dalam pilkada di Indonesia, studi mengenai pemilu dan perilaku memilih di berbagai negara juga harus di lihat karena topik utama dalam penelitian ini adalah perilaku memilih. Perilaku memilih masyarakat di negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi tidak sepenuhnya dapat dianalisis dengan teori-teori yang dilahirkan di negara-negara maju. Ada kekhasan sosial masyarakat di negara yang sedang mengalami transisi yang harus diperhatikan dalam menganalisis perilaku pemilih di negara yang bersangkutan (Kaspin,1995:595). Penelitian tentang perilaku memilih di negara yang mengalami transisi dilakukan di Philipina, dan di salah satu negara di kawasan Afrika, yaitu Malawi. Dari hasil penelitian yang berbeda tersebut dapat ditarik satu kesimpulan yang memiliki kemiripan. Perilaku memilih di negara yang sedang mengalami transisi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh isu kebijakan dan orientasi partai, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor isu yang berhubungan dengan kandidat dan juga ikatan-ikatan seperti etnis, daerah asal dan hubungan clientalistik dalam struktur sosial masyarakatnya. Dalam pemilihan kandidat perorangan di Philipina, seperti pemilihan presiden, faktor yang paling kuat mempengaruhi pilihan politik warganya adalah faktor kandidat. Faktor lain yang harus dilihat adalah etnis dari kandidat yang bersangkutan dan struktur patron klien yang masih kental dalam masyarakatnya. Masyarakat lebih suka memilih kandidat yang 7:

berasal dari etnis yang sama dengan mereka dan dapat berkomunikasi dengan bahasa etnis yang bersangkutan (Rood,1991:105). Sedangkan di Malawi ditemukan fakta bahwa masyarakat menentukan pilihan politiknya berdasarkan faktor etnis dan daerah asal mereka karena masyarakat mengidentifikasi diri mereka sesuai dengan kekuatan politik masa lalu yang mereka hadirkan kembali dalam perebutan kekuasaan melalui Pemilu (Kaspin,1995:617). Dengan begitu dapat dikatakan bahwa di negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi ada faktorfaktor yang dominan mempengaruhi perilaku memilih dalam masyarakat, yaitu faktor ikatan sosial seperti etnis dan daerah asal, serta faktor kandidat. B. Teori dan Konsep 8: Sebelum membahas mengenai perilaku memilih, terlebih dahulu harus dipahami mengenai voting itu sendiri.kegiatan votingpada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan memilih yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya memilih barang(evans,2004:3). Tetapi ada satu hal yang harus dicatat dari pilihan tersebut, Ia tidak hanya berimbas pada individu, melainkan memiliki efek kolektif. Inilah menjadi pembeda dasar antara voting dan choice. Jika kita memilih barang di pasar untuk kita beli dan bawa pulang, lalu kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan, maka efeknya akan kita nikmati sendiri. Hal yang demikian tidak terjadi dalam voting. Di dalam teori perilaku memilih terdapat tiga pendekatanyaitu pendekatan sosiologis atau sosial struktural; pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional. Penjelasan mengenai masing-masing faktor tersebut akan dijabarkan berikut ini. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis dalam perilaku memilihmenyebutkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu adalah karakteristik dan pengelompokan sosial. Perilaku pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu itu berasal (Roth,2008:25). Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan kecenderungan politik seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompok-kelompok sosial ini dipandang berpengaruh besar dalam keputusan memilih karena kelompok-kelompok tersebut berperan

dalam pembentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Penerapan pendekatan sosiologis dalam perilaku memilih di Indonesia pernah dilakukan oleh Afan Gaffar. Hasil studinya menekankan pentingnya karakteristik sosial, khususnya orientasi sosio-religius dalam melihat perilaku pemilih di pulau Jawa (Gaffar,1992:120-121). Penelitian lainnya mengenai perilaku memilih di Indonesia dilakukan dengan melihat pemilu 1999. Hasilnya menyebutkan bahwa ikatan sosial terutama faktor etnis penting untuk diperhatikan saat kita ingin mengamati perilaku memilih masyarakat Indonesia (King,2003:149). Pentingnya ikatan sosial seperti etnis dalam mempengaruhi pilihan politik rakyat juga dikemukakan oleh Benny Subianto yang meneliti Pilkada di enam kabupaten di Kalimantan Barat. Faktor ini berpengaruh karena loyalitas masyarakat terhadap etnisnya masih tinggi, dan mereka memandang bahwa etnis yang sama berarti memiliki nilai budaya yang sama, karenanya perilaku sosial politik dipandang sebagai cermin identitas (Erb dan Sulistiono,2009:335). Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis dalam teori perilaku memilih dipelopori oleh August Campbell dari Universitas Michigan Amerika Serikat. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya identifikasi partai dalam mempengaruhi keputusan memilih masyarakat (Cambell,1966:133). Dengan adanya teori identifikasi partai ini seolah-olah perilaku memilih itu tetap. Pemilih dianggap akan selalu memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali pemilu dilaksanakan. Dengan kata lain pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi oleh sosialisasi dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambahkan, konsep identifikasi partai ini mirip dengan loyalitas partai atau kesetiaan seorang pemilih terhadap partai tertentu (Kavagh,1983:88). Seiring bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi bertambah stabil dan intensif. Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen dan tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Identifikasi partai hanya dapat berubah jika seseorang mengalami perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa (Roth,2008:38). Dari hasil penelitiannya itu, Campbell menemukan bahwa ada hubungan yang erat antara identifikasi partai dengan kehendak untuk memilih kandidat dari partai dimana sang individu mengidentifikasi dirinya. Misalnya kaum Demokrat yang memiliki identifikasi partai yang kuat cenderung memilih calon presiden AS yang diusung partai Demokrat. Demikian juga dengan kaum Republik. 9:

10: Mengenai orientasi isu dan kandidat, logika yang digunakan hampir mirip. Pada orientasi isu, semakin sang pemilih menganggap penting isu-isu tertentu, maka kemungkinan ia akan berpartisipasi dalam pemilu akan lebih besar. Apabila solusi yang diberikan oleh sebuah partai lebih mendekati cara pandang pemilih tersebut, semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih partai yang bersangkutan. Dalam orientasi kandidat berlaku hal yang serupa. Semakin sering pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, semakin besar pula kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila pandangan pemilih semakin dekat dengan kandidat dari partai tertentu, maka semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih kandidat tersebut. Kesimpulan dari pendekatan psikologi ini adalah preferensi kandidat dan orientasi isu lebih tergantung pada perubahan dan fluktuasi dibandingkan identifikasi partai. Oleh karena itu, peneliti Michigan (Campbell dkk) sejak tahun 1960 memandang identifikasi partai sebagai ikatan partai psikologis dan stabil, yang tidak lagi dipengaruhi oleh faktor pengaruh jangka pendek. Oleh sebab itu, banyak peneliti berikutnya yang mengidentikan pendekatan psikologis dengan identifikasi partai, padahal pada mulanya pendekatan psikologis memuat tiga faktor yaitu identifikasi partai, orientasi kandidat dan isu. Belakangan oleh beberapa penulis dan peneliti, orientasi isu dan kandidat dimasukan ke dalam pendekatan pilihan rasional. Pendekatan Pilihan Rasional Terakhir adalah pendekatan pilihan rasional. Pendekatan pilihan rasional seperti yang telah disinggung di atas, menurut sekelompok ilmuan, pendekatan ini terutama berkaitan dengan dua orientasi utama yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat (Nursal,2004:64). Orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partai. Pendekatan rasional berorientasi kandidat bisa didasarkan pada kedudukan, informasi, prestasi, dan popularitas pribadi bersangkutan dalam berbagai bidang kehidupan. Bone dan Ranney mengatakan bahwa orientasi kandidat berarti orang memilih calon pemimpin bedasarkan kualitas instrumental dan kualitas simbolik dari calon yang bersangkutan. Kualitas instrumental adalah keyakinan pemilih terhadap kemampuan pribadi kandidat dalam mewujudkan kebaikan bagi masyarakat yang akan dipimpin. Sedangkan kualitas simbolik mengacu pada kepribadian kandidat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin (Bone dan Ranney,1981:9). Nursal menegaskan, kualitas figur sering kali

11: menentukan keputusan pilihan dibanding isu karena orang lebih mudah terinformasi oleh fakta mengenai manusia dibandingkan fakta tentang isu. Sementara sebagian lagi memandang bahwa dua orientasi tersebut dapat dimasukan kependekatan psikologis. Kelompok ini lebih setuju bahwa titik tekan dalam pendekatan pilihan rasional adalah pada pertimbangan untung rugi dari individu pemilih (Evans,2004:69). Terkait dengan itu, Evans menyebutkan adanya beberapa kriteria seorang pemilih untuk dapat dikatakan sebagai pemilih rasional. Setidaknya ada lima kriteria yang ia kemukakan, seperti di bawah ini: 1. Membuat keputusan jika disodorkan beberapa alternatif 2. Mampu membuat urutan preferensi 3. Urutan preferensi individu tidak selalu sama antara individu satu dengan yang lainnya 4. Menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang berada di urutan pertama preferensinya 5. Ketika dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama atau seimbang sehingga ia tak mungkin membuat urutan preferensi, maka individu itu akan cenderung menjatuhkan pilihan pada alternatif yang pernah ia pilih sebelumnya. Berdasarkan paparan di atas, orientasi isu dan orientasi kandidat dapat dilihat sebagai bagian dari dua pendekatan berbeda dalam perilaku memilih. Jika pemilih memilih berdasarkan orientasi isu atau kandidat berdasarkan informasi-informasi yang diperolehnya dan kemudian mempertimbangkan untung rugi dari pilihannya maka dalam hal ini orientasi isu dan kandidat dapat dimasukan ke dalam pendekatan pilihan rasional. Jadi perbedaan utama dari pemilih rasional dan yang bukan terletak pada informasi yang dikumpulkan oleh pemilih untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetukan pilihan. Di akhir dari rangkaian itu, pemilih rasional biasanya mempertimbangkan untung rugi dari pilihannya itu. Dari kriteria tersebut, ada juga penulis yang mengatakan bahwa pemilih rasional itu sejatinya tidak pernah ada karena pemilih cenderung menerima informasi secara pasif dan lebih mudah mencerna informasi mengenai personal kandidat dibandingkan fakta mengenai isu tertentu (Shenkman,2008:43). Sehingga informasi yang dikumpulkan pemilih tidak ada yang sepenuhnya lengkap. Secara singkat, pendekatan-pendekatan dalam teori perilaku memilih dapat digambarkan dengan bagan berikut ini:

12: Gambar 1.1 Pendekatan-Pendekatan dalam Teori Perilaku Memilih

13: BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini akan menggunakan metode kuantitatif karena tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui, bagaimana tingkat partisipasi pemilih dan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pilihan politik pemilih di kota Denpasar. Seperti yang telah dijelaskan di bagian terdahulu, bahwa penelitian tentang perilaku memilih umumnya merupakan riset kuantitatif. Riset politik kuantitatif yang dimaksud adalah penggunaan pengukuran dalam analisis perilaku atau sikap. (Harison, 2009: 15) Pengumpulan data utama dilakukan dengan wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian ini akan dijelaskan bagaimana hubungan antar tiga variabel yang penulis buat, anatara faktor sosiologis, faktor kandidat, dan faktor program dengan perilaku memilih masyarakat. A. Lokasi penelitian Lokasi penelitian mencakup empat kecamatan yang ada di Kota Denpasar, yakni: Denpasar Utara, Timur, Selatan dan Barat. B. Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan efektif selama tiga bulan dari mulai persiapan, proses pengumpulan data, proses pengolahan data, hingga analisa dan persiapan pembuatan laporan dan seminar hasil penelitian. C. Populasi dan Sampel Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. (Bungin, 2008: 99)Dalam penelitian ini, populasinya adalah pemilih di Kota Denpasar yang terdaftar dalam daftar pemilih. Dari populasi tersebut akan diambil sampel untuk mewakili populasi dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik penarikan sampel yang dijelaskan di bawah ini. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 200 responden dengan tingkat kepercayaannya 95% dan Margin of Errornya 7%. (De Vaus, 2006: 81)

14: D. Teknik Penarikan Sampel Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pencuplikanmultistage Random Sampling, karena populasi yang akan diteliti tidak memiliki sifat homogen. Kerangka sampelnya sangat heterogen, sehingga perbedaan sifat dari populasi menjadi penting untuk diperhatikan. Populasi Pemilih Terdaftar Denut Densel... Denbar Dentim Kelur ahan Kelur ahan Kelur ahan Kelur ahan Sampel Sampel Kota Denpasar memiliki empat kecamatan, dimana masing-masing kecamatan tersebut memiliki jumlah pemilih terdaftar yang beragam. karena itu sampel akan diambil di semua kecamatan, lalu di tiap-tiap kecamatan akan diambil responden sesuai dengan proporsi jumlah pemilih di kecamatan tersebut, dengan cara acak sederhana (SRS), sehingga total akan ada 200 responden terpilih. Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan-tahapan dalam Multistage Random Sampling dalam penelitian dapat dilihat dalam gambar berikut Gambar di atas menjelaskan teknik pengambilan sampel hingga sampai ke responden. Diperlihatkan bahwa semua fakultas diambil sebagai daerah sampel, lalu dari Kecamatan

15: tersebut diambil beberapa Kelurahan secara acak sederhana (SRS). Kemudian di tiap Kelurahan diambil sejumlah responden secara acak sederhana juga. E. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan statistik deskriptif yaitu tabel frekuensi dan tabel silang. Tabel frekuensi digunakan untuk mempelajari distribusi frekuensi dari variabel-variabel penelitian.tabel silang berfungsi untuk mencari tahu apakan satu variabel menentukan atau berhubungan dengan variabel lainnya. (Mars dan Stoker, 2010: 269) Analisis ini ditujukan untuk melihat hubungan antar variabel yang telah ditetapkan sebelumnya dalam model analisis. Untuk melihat hubungan antar variabel tersebut digunakan uji SPSS. F. Sumber Data Pada penelitian ini, peneliti menggunakan data primer yaitu data yang langsung berasal dari sumber pertama (responden) di lokasi penelitian atau objek penelitian. Secara teknis, peneliti akan menggunakan metode survei. Untuk melaksanakan metode ini, penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam sebuah kuesioner dijawab oleh responden dengan bantuan pewawancara (face to face interview). Di luar dua sumber data tersebut, dilakukan juga studi literatur dengan mencari sumber skunder berupa buku, jurnal, laporan penelitian, dokumen, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Studi literatur ini diperlukan untuk memperkuat konsep dan teori yang menunjang penelitian ini. Studi literatur dilakukan sebelum penelitian lapangan dilaksanakan.

16: A. Profil Responden BAB IV PEMBAHASAN Responden dalam penelitian ini sebanyak 200 responden yang tersebar secara proporsional di empat kecamatan di Denpasar, yakni Denpasar Timur, Denpaasar Selatan, Denpasar Barat, dan Denpasar Utara. Denpasar Selatan sebagai kecamatan terpadat di Denpasar mendapat proporsi responden yang lebih banyak dibanding kecamatan lain yang ada di Kota Denpasar. Jumlah responden di Denpasar Utara dan Barat seimbang yakni 25 persen dari 200 responden, sedangkan Denpasar Timur hanya 20 persen dari 200 responden. Hal ini tertuang dalam grafik di bawah ini: Gambar 4.1. Sebaran Responden Berdasarkan Kecamatan Denpasar sebagai ibu kota Provinsi tentu saja memiliki tipe masyarakat yang majemuk di mana penduduk yang bermukim di Denpasar dapat berasal dari daerah mana pun namun telah menjadi penduduk Kota Denpasar. Dari 200 responden dalam penelitian ini, 66,5 persen responden telah bermukim atau menjadi penduduk Kota Denpasar lebih dari 20 tahun. Kemudian 17 persen responden mengaku telah bermukim di Denpasar selama 16-20 tahun dan hanya lima persen dari 200 responden yang tinggal di Denpasar selama kurang dari 5 tahun. Hal ini terlihat dalam gambar ini bawah ini.

17: Gambar 4.2. Tabel Lama Tinggal di Denpasar Responden pun tersebar secara merata berdasarkan jenis kelamin, di mana 50 persen responden adalah laki-laki dan 50 persen responden lainnya adalah perempuan. Usia responden pun beragam, mulai dari rentang 17 tahun hingga di atas 66 tahun lebih. Namun sebagian besar responden berada dalam kisaran usia 36-45 tahun yakni sebesar 33 persen responden dari 200 responden. Hal ini dapat dilihat dalam grafik berikut ini: Gambar 4.3 Usia Responden Tingkat pendidikan responden pun beragam, namun sebagian besar responden yakni 54 persen responden memiliki tingkat pendidikan tamat SLTA/sederajat. 19,5 persen responden dari 200 responden memiliki tingkat pendidikan S1/D4. Data yang cukup menarik adalah terdapat 1 persen responden di Kota Denpasar yang tidak sekolah. Hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini.

18: Gambar 4.4. Tingkat Pendidikan Responden Denpasar adalah ibu kota Provinsi Bali di mana memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi di bandingkan Kabupaten lainnya di Bali. Data di lapangan menunjukkan angka yang cukup berbeda di bandingkan data yang selama ini diperkirakan. Di mana masyarakat Denpasar yang beragama Hindu berdasarkan data responden yang di dapat yakni sebesar 77 persen saja. Walau masih mendominasi namun angka ini cenderung lebih menurun dibandingkan angka yang selama ini beredar. Prosentase responden yang beragama Islam sebesar 18 persen, Kristen 2,5 persen, Katolik 1,5 persen, dan Budha 1 persen. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: Gambar 4.5 Tabel Agama Responden

19: Data berikutnya adalah suku responden. Suku Bali masih mendominasi suku responden yakni 78 persen, disusul Suku Jawa yakni 17,5 persen, Tionghoa 1,5 persen. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.6. Suku Responden Profil pekerjaan responden pun beragam, yakni karyawan swasta, wiraswasta, ibu rumah tangga, bersekolah, Pegawai Negeri Sipil, Petani hingga guru. Namun sebagian besar responden yakni 27,5 persen responden adalah Karyawan Swasta. Hal ini terlihat dalam diagram di bawah ini: Gambar 4.7. Pekerjaan Responden Penghasilan dari responden pun beragam. Hal yang cukup menarik adalah responden yang memiliki penghasilan kurang dari 500 ribu rupiah dalam sebulan menjadi prosentase yang terbesar yakni sebesar 31 persen dari seluruh responden. Hal ini cukup menarik berarti

20: sebagian besar penghasilan responden masih cukup rendah yakni hanya kurang dari 500 ribu rupiah. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: Gambar 4.8 Penghasilan Responden B. Pengetahuan Masyarakat Denpasar Tentang Pilkada Denpasar 2015 Pemilihan walikota dan wakil walikota Denpasar akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Beberapa pemberitaan mengenai tahapan pilkada pun sudah ramai di media massa lokal. Karenanya penting untuk diketahui, kepedulian warga Denpasar tentang pemilihan pemimpin di kota ini. Temuan survei lapangan yang dilaksanakan pada bulan Juni 2015 memperlihatkan bahwa jumlah warga Denpasar yang mengetahui akan diselenggarakannya pilkada pada Desember 2015 mendatang masih cukup rendah. Hingga H-6 bulan pemilihan, baru 50 persen responden menyatakan mengetahui bahwa pilkada akan dilaksanakan pada Desember 2015. Sisanya, 48 persen responden mengaku tidak mengetahuinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden akan diselenggarakannya Pilkada 2015 masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini:

21: Gambar 4.9 Pengetahuan Responden akan Pilkada 2015 Responden sebagian besar menggunakan media sebagai sumber informasi mengenai politik khususnya pilkada Denpasar. Media massa bahkan digunakan oleh 74,6 persen responden sebagai sumber informasi. Hal yang cukup menarik adalah ternyata tokoh masyarakat atau klian banjar adalah sumber informasi yang menjadi pilihan responden untuk mencari informasi mengenai politik khususnya pilkada. Selain dua media di atas, ternyata peran dari sosialisasi pihak penyelenggara atau KPUD pun memiliki peran, walau rendah. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.10 Sumber Informasi yang Digunakan Responden mengenai Pilkada Dua data di atas menyebabkan peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa peningkatan sosialisasi pada pemilih melalui media massa dan tokoh lokal seperti kelihan banjar sangat strategis untu dilakukan mengingat masih tersisa waktu selama lima bulan untuk melakukan sosialisasi efektif. Harapan dari maksimalnya sosialisasi tersebut adalah optimalnya jumlah pemilih yang datang ke TPS pada hari pemilihan.

22: C. Voters Turn Out Dari 200 responden, hanya 52 persen responden saja yang memastikan diri telah terdaftar sebagai pemilih, sedangkan sisanya yakni 46 persen responden menyatakan tidak tahu, dan 2 persen menyatakan tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada Desember 2015 mendatang. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini. Gambar 4.11 Responden yang Terdaftar sebagai Pemilih Angka yang rendah ini didorong pula oleh rendahnya kesadaran responden dalam mencari tahu/informasi mengenai apakah dirinya terdaftar atau tidak. Dari 200 responden, hanya 27 persen responden menyatakan mencari tahu apakah dirinya terdaftar atau tidak, sedangkan sebagian besar responden yakni 67 persen responden menyatakan tidak mencari tahu apakah dirinya terdaftar atau tidak sebagai pemilih. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini. Gambar 4.12 Apakah Responden Mencari Tahu Dirinya Terdaftar sebagai Pemilih?

23: Dari 27 persen responden yang menyatakan mencari tahu apakah dirinya terdaftar sebagai pemilih atau tidak, klian banjar menjadi pilihan utama mereka untuk memperoleh informasi tersebut. 76,7 persen responden menyatakan mencari tahu hal ini kepada klian banjar. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini. Gambar 4.13 Kemana/Kepada Siapa Responden Mencari Informasi DPT Bagi responden yang tidak terdaftar, ternyata peran dari klian banjar kembali menjadi titik penting, di mana 71,5 persen responden menyatakan akan mencari klian banjar mereka untuk mendaftarkan diri. Namun terdapat 21,8 persen responden yang tidak terdaftar menyatakan tidak melakukan apapun untuk mendaftarkan diri alias diam saja. Kelompok ini adalah kelompok yang pasif sehingga diperlukan pendekatan yang intensif agar kelompok ini tetap tidak kehilangan hak pilihnya. Selengkapnya pada gambar di bawah ini. Gambar 4.14 Hal yang akan Dilakukan Bila Tidak Terdaftar sebagai Pemilih Memiliki data pemilih yang valid adalah salah satu kunci dari kesuksesan sebuah pemilu. Namun dari 200 responden, hanya 19 persen responden saja yang menyatakan pernah

24: didatangi oleh petugas pendata pemilih, sedangkan 74 persen responden lainnya menyatakan tidak pernah didatangi oleh petugas pemuktahiran data. Data selengkapnya dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.15 Apakah Responden Pernah Didatangi Petugas Pemuktahiran Data Dari data penelitian ini, perkiraan tingkat partisipasi pemilih akan tinggi, di mana dari 200 responden, 98 persennya menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dalam pilkada Desember 2015 mendatang jika tidak ada hal-hal mendesak yang harus dilakukan pada hari H, seperti bekerja, sakit atau berada di luar kota. Artinya kemungkinan golput ideologis di Denpasar hanya 2%. Artinya mereka yang tidak mau menggunakan hak pilih secara tegas hanya di level 2%. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.16 Apakah Responden akan Menggunakan Hak Pilihnya dalam Pilkada 2015? Tingginya tingkat partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator dari kesadaran responden akan makna dari pemilu itu sendiri. Sebesar 48,5 persen responden yang memilih menyatakan bahwa memilih itu adalah sebuah kewajiban. Kemudian 45,5 persen responden yang memilih menyatakan bahwa memilih itu penting. Namun masih terdapat responden

25: yang ternyata memilih bukan berdasarkan kesadaran namun karena diajak dan mengikuti trend saja. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.17 Alasan Responden Menggunakan Hak Pilihnya Terdapat beragam alasan bagi responden yang tidak menggunakan hak pilihnya, sebagian besar atau 26,8 persen responden yang tidak memilih mengatakan karena pada hari pemilihan mereka harus bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat perusahaan yang kurang mendukung agar warga Negara menggunakan hak pilihnya. Data yang menarik adalah terdapat 25,6 persen responden yang menyatakan tidak memilih karena tidak ada calon yang sesuai. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.18 Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih Kepedulian responden akan Pilkada 2015 dapat dilihat dari intensitas responden dalam mengikuti pemberitaan mengenai pilkada oleh responden. Dari 200 responden, 41 persen responden menyatakan mengikuti pemberitaan mengenai pilkada, 51 persen responden

26: menyatakan tidak pernah mengikuti pemberitaan mengenai pilkada, dan sisanya 8 persen responden menyatakan tidak tahu/tidak jawab. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: Gambar 4.19 Apakah responden mengikuti pemberitaan mengenai Pilkada kota Denpasar tahun 2015? Adapun media yang digunakan sebagian besar responden dalam mengikuti pemberitaan mengenai pilkada 2015 adalah melalui media televisi. Media lainnya yang digunakan antara lain media cetak, informasi di banjar, internet, dan media radio. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini: Gambar 4.20 Media/Sarana yang Digunakan Responden Perilaku pemilih pun dapat dilihat dengan indikator yang lainnya pula seperti kapan pemilih menentukan pilihannya. Dari 200 responden yang menjadi sampel dari populasi pemilih di Kota Denpasar, 34,7 persen responden ternyata baru menentukan pilihannya pada masa kampanye, 28,1 persen responden menentukan pilihannya jauh sebelum hari pemilihan.

27: Bahkan ada 18,6 persen responden yang menyatakan menentukan pilihannya pada hari pemilihan dan 8 persen responden menyatakan menentukan pilihannya pada saat di bilik suara. Data selengkapnya terdapat dalam diagram di bawah ini: Gambar 4.21 Waktu Pemilih Menentukan Pilihannya Tingginya pemilih yang menentukan pilihan sebelum hari pemilihan dikarenakan banyak hal. Salah satunya adalah dari 200 responden, 67 persen responden menyatakan mereka mencari informasi terlebih dahulu akan siapa yang akan mereka pilih atau siapa yang mencalonkan diri. Angka ini tergolong tinggi sebagai indikator bahwa responden sudah mulai memiliki kesadaran politiknya. Selengkapnya pada diagram di bawah ini: Gambar 4.22 Apakah Pemilih Mencari Informasi Mengenai Calon Setelah responden mencari informasi mengenai calon, ternyata terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan tidak mempengaruhi pilihan responden. Faktor yang mempengaruhi pilihan responden di antaranya adalah faktor profesi, pendidikan, program

28: kerja dan loyalitas kandidat. Sedangkan faktor yang menurut responden tidak mempengaruhi pilihan mereka adalah usia, wilayah asal, latar belakang puri, partai pengusung dan soroh/dadia. Angka-angka ini mengungkapkan bahwa pemilih di Kota Denpasar termasuk pemiih yang rasional. Selengkapnya pada data dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pemilih UNSUR BERIKUT MEMPENGARUHI PILIHAN POLITIK YA TIDAK RESPONDEN Usia kandidat 46.0 54.0 Profesi kandidat 53.0 47.0 Kecamatan asal kandidat 28.5 71.5 Jenis kelamin kandidat 20.0 80.0 Pendidikan kandidat 68.5 31.5 Latar belakang puri 11.0 89.0 Partai pengusung 36.5 63.5 Program kerja 89.0 11.0 Loyalitas kader/kandidat 68.5 31.5 Soroh kandidat 8.0 92.0 Calon bagaimana pun berangkat dari sebuah partai kecuali calon independen untuk pemilihan walikota dan wakil walikota Denpasar. Namun dari 200 responden, 80 persen responden menyatakan bahwa responden lebih mengutamakan sosok figur dibandingkan partai pengusungnya. Hanya tiga persen responden yang menyatakan mementingkan partai bukan figur calon yang diusungnya. Namun terdapat 15,5% responden yang menyatakan bahwa keduanya baik partai dan figur adalah hal yang penting untuk dipertimbangkan. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini.

29: Gambar 4.23 Apakah yang Terpenting dalam Dikotomi Partai vs Figur? Serangkaian data di atas memperlihatkan bahwa pemilih di kota Denpasar sebagian besar merupakan pemilih yang relatif rasional karena menggunakan media massa sebagai sumber informasi politik, mencari tahu mengenai para calon yang ada, mengedepankan program kerja kandidat, dan lebih mementingkan figur diabnding partai pengusung. Namun demikian hal unik yang menjadi titik tekan pada temuan survei lapangan adalah adanya kecenderungan pemilih menentukan pilihan saat menit terakhir, bahkan di bilik suara. Hal ini harus diwaspadai karena pemilih jenis ini cukup rawan terhadap praktik politik uang atau yang kerap disebut serangan fajar. D. Vote Buying/Money Politics Kesadaran pemilih di Kota Denpasar tercatat cukup tinggi terhadap praktik-praktik vote buying, di mana 56 persen responden menyatakan tidak menerima dan tidak akan memilih calon yang menawarkan uang/bantuan. Terdapat 24,5 persen responden yang menyatakan menerima bantuan/uang namun tidak memilih calon tersebut. Namun masih terdapat 2,5 persen responden yang menyatakan menerima uang/bantuan tersebut dan memilihnya. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini.

30: Gambar 4.24 Tanggapan Responden terhadap Money Politics Meki jumlah mereka yang menyatakan menerima uang dan memilih kandidat yang memberikan uang hanya 2,5%, bukan berarti potensi politik uang di Denpasar hanya 2,5%. Masih ada yang menyatakan menerima pemberian dari kandidat namun tidak memilihnya. Di level ini, penyelenggara, pengawas, dan kontestan harus waspada. E. Political Voluntary Tolak ukur dalam pemilu yang demokratis adalah adanya tingkat political voluntary atau kesediaan diri untuk terlibat dalam politik yang tinggi. Beberapa indikator yang dapat mellihat tingkat kesediaan diri dalam berpolitik adalah apakah responden bersedia berperan langsung dalam proses pemilu dan kritis selama proses pemilihan umum berlangsung. Sebagian besar responden menyatakan tidak bersedia untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan Pilkada. Namun dari ragam keterlibatan politik, responden paling banyak menyatakan bersedia menjadi anggota PPS yakni 17 persen, menjadi saksi calon/partai 18 persen dan ikut berkampanye yakni 7 persen responden. Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

31: Tabel 4.2 Kesediaan Responden Terlibat dalam Pemilu Pernah Terlibat Sebagai Pernah Tidak Saksi calon/partai 18.0 82.0 KPPS 8.5 91.5 PPS 17.0 83.0 PPK 6.5 93.5 Tim sukses 7.5 92.5 Berkampanye 7.0 93.0 Relawan 11.5 88.5 Tim Pemantau Independen 11.5 88.5 Kesukarelaan pemilih pun dapat dilihat dari kesediaan responden dalam melaporkan pelanggaran pilkada. Dari 200 responden, hanya sekitar kurang lebih 30 persen responden yang bersedia untuk melaporkan kecurangan/pelanggaran pemilu seperti politik uang, perobekan baliho, intimidasi hingga penyebaran berita bohong. Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Kesediaan Responden Melaporkan Kecurangan Aktif Melaporkan Hal-Hal Berikut Ya Tidak Politik uang 32.5 67.5 Perobekan baliho 31.5 68.5 Intimidasi 30.5 69.5 Penyebaran berita bohong 31.0 69.0 Kesukarelaan pemilih untuk terlibat dalam proses pemilihan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan transformasi demokrasi prosedural ke demokrasi substansial. Hal inilah yang masih sangat perlu untuk mendapatkan perhatian dari seluruh pihak terkait karena kesukarelaan politik di kota Denpasar yang diduga memiliki pemilih rasional paling banyak ternyata masih rendah.

32: F. Peta Perilaku Pemilih Bedasarkan Kecamatan Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pilkada kota Denpasar yang lebih baik, efisien, tepat sasaran, maka penting untuk melakukan pemetaan perilaku memilih berdasarkan kecamatan. Perlu diketahui kecamatan mana yang pemilihnya paling sadar politik, kecamatan mana yang petugas lapangannya menjalankan tugas dengan maksimal, dan kecamatan mana yang pemilihnya sudah rasional, serta kecamatan yang memiliki pemilih tradisional yang besar. Berikut ini adalah tiga tabel silang yang menunjukkan peta perilaku pemilih di Denpasar. Tabel 4.5 Pemetaan Awareness Responden terhadap Pilkada Denpasar per Kecamatan Kecamatan Responden mengetahui adanya pemilukada pada akhir tahun 2015 Tahu Tidak tahu Tidak jawab Denpasar Barat 56,7% 43,3%,0% Denpasar Selatan 50,0% 44,0% 6,0% Denpasar Timur 40,0% 60,0%,0% Denpasar Utara 50,0% 50,0%,0% Tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah pemilih yang belum mengetahui wakt pelaksanaan pemilukada paling banyak terdapat di kecamatan Denpasar Timur. Lalu disusul dengan kecamatan Denpasar Utara. Jika terdapat program sosialisasi, titik berat pelaksanaan ada di dua kecamatan tersebut. Tabel 4.6 Pemetaan kinerja petugas pendata pemilih per kecamatan di Kota Denpasar Kecamatan Rumah responden pernah didatangi petugas pendata pemilih jelang pemilihan walikota 2015 Ya Tidak Tidak tahu/ tidak jawab Denpasar Barat 51,7% 38,3% 10,0% Denpasar Selatan,0% 96,0% 4,0% Denpasar Timur 10,3% 76,9% 12,8% Denpasar Utara 4,0% 92,0% 4,0%

33: Tabel di atas memperlihatkan fakta lapangan mengenai kegiatan pendataan pemilih di lapangan. Denpasar Barat merupakan kecamatan yang petugas lapangannya cukup aktif mendatangi pemilih secara langsung, sedangkan Denpasar Selatan dan Utara sebagian besar warga mengaku tidak pernah didatangi petugas pendataan pemilih. Penting bagi penyelenggara untuk melakukan monitoring terhadap petugas pendata lapangan agar DPT menjadi lebih berkualitas. Berikutnya terkait dengan perilaku memilih. Penting untuk melihat kecenderungan pemilih di tiap kecamatan. Tabel di bawah ini dapat menjelaskan bagaimana pemilih di tiap kecamatan kota Denpasar dalam pemilukada mendatang. Tabel IV.7 Tipologi Pemilih Per Kecamatan Kecamatan Sebelum memilih apa responden mencari tahu mengenai rekam jejak, visi misi kandidat Ya Tidak Tidak jawab Denpasar Barat 83,3% 15,0% 1,7% Denpasar Selatan 61,2% 26,5% 12,2% Denpasar Timur 67,5% 32,5%,0% Denpasar Utara 54,0% 46,0%,0% Data di atas menjelaskan bahwa jumlah pemilih tradisional paling banyak terdapat di kecamatan Denpasar Utara. Hampir setengah dari pemilih di wilayah kecamatan ini menyatakan tidak mencari tahu tentang rekam jejak atau visi misi kandidat. Sebaliknya, di Denpasar Barat, jumlah pemilih yang menganggap penting visi misi dan rekam jejak kandidat sekitar 83,3%. Pemilih rasional di Denpasar Selatan dan Timur berada dalam persentase yang hampir sama.

34: BAB V PENUTUP A. Simpulan Survei yang dilaksanakan pada H-6 bulan pilkada kota Denpasar menghasilkan beberapa temuan menarik untuk menjawab permasalahan penelitian yang diajukan, antara lain terkait dengan sosialisasi, awareness, kesukarelaan pemilih, dan tipologi pemilih kota Denpasar. Adapun temuan tersebut adalah sebagai berikut. Pemilih Denpasar merupakan pemilih yang mempertimbangkan faktor-faktor rasional dan tradisional dalam menentukan pilihan politiknya sebagian besar warga Denpasar mempertimbangkan program kerja dan latar belakang pendidikan kandidat. Di lain sisi mereka akan melakukan cara tradisional seperti menghubungi kelihan banjar jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Awareness pemilih di kota Denpasar terhadap pilkada tahn 2015 masih dikatakan rendah. Hanya setengah dari pemilih yang mengetahui bahwa pilkada akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015. Karena rendahnya kesadaran tersebut, maka semua pihak yang terlibat dalam pilkada wajib ikut serta dalam usaha peningkatan kesadaran pemilih melalui sosialisasi. Sosialisasi akan maksimal di Denpasar jika memadukan dua sumber informasi yakni media massa dan kelihan banjar. Kesukarelaan warga untuk terlibat dalam proses politik masih perlu mendapat perhatian khusus karena sebagian besar responden menyatakan enggan untuk menjadi saksi, petugas pemilihan atau pemantau dalam proses pemilihan. Partisipasi mereka hanya sebatas menggunakan hak pilih saja. Itupun jika tidak ada hal lain yang mereka anggap lebih penting pada hari pemilihan. Fakta lain yang cukup mengejutkan adalah adanya pemilih di kota Denpasar dengan kuantitas yang cukup tinggi masih menentukan pilihan pada saat di bilik suara, padahal sebagian besar dari mereka menyatakan mencari tahu mengenai latar belakang kandidat dan mempertimbangkan program kerja sebagai salah satu pertimbangan pengambilan keputusan memilihnya. Pemilih model ini relatif lebih mudah terpengaruh dengan iming-iming jangka pendek seperti politik uang.

35: Sosialisasi perlu digalakkan di kecamatan Denpasar Timur. Maksimalisasi kerja petugas lapangan dengan cara pemantauan intensif perlu dilakukan di Denpasar Selatan dan Denpasar Utara. Melalui penelitian juga diketahui bahwa kecamatan dengan jumlah pemilih tradisional terbanyak ada di Denpasar Utara. Hal yang harus diwaspadai adalah adanya mobilisasi pemilih di kecamatan ini. B. Saran/Rekomendasi Kebijakan Adapun beberapa hal yang dapat menjadi masukan bagi pihak penyelenggara agar angka partisipasi pemilih dalam pilkada meningkat adalah sebagai berikut. 1. Maksimalisasi sosialisasi dengan melibatkan media massa dan tokoh lokal utamanya kelihan banjar 2. Sosialisasi dilangsungkan di semua kecamatan dengan prioritas di Denpasar Timur 3. Melakukan pemutahiran data secara serius dan menyeluruh 4. Melakukan pemantauan langsung terhadap kinerja petugas pendata di lapangan utamanya di kecamatan Denpasar Utara dan Selatan 5. Memastikan bahwa seluruh instansi di kota Denpasar memberi kesempatan pada pekerjanya untuk menggunakan hak pilih

36: DAFTAR PUSTAKA Buku Ananta, Aris et.al., 2004 Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective, Singapore: ISEAS Bone, Hugh A dan Austin Ranney, 1981, Politics and Voters, USA: McGraw-Hill Cambell, Angus et. al., 1966 The American Voter USA: Jhon Wiley and Sons, Inc Clarke, Harold D. et.al., 2004Political Choice in Britain, New York: Oxford University Press Evans, Jocelyn A. J., 2004, Voting and Voters: An Introduction, London: SAGE Publications Gaffar, Afan, 1992 Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press Harison, Lisa, 2009, Metode Penelitian Politik, terj. Jakarta: Kencana Kavanagh, Denis, 1983, Political Science and Political Behaviour, London: George Allen & Unwin King, Dwight Y., 2003, Half Harted Reform: Electoral Institution and Strugle for Democracy in Indonesia, USA: Praeger Publishers Henk Schulte Nordholt, 2010,Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (terj.), Jakarta: KITLV Nursal, Adman, 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta Gramedia Nuryanti, Sri, 2006, Pilkada Langsung Memperkuat Demokrasi Lokal?, Pusat Penelitian Politik: Year Book 2006 Roth, Dieter, 2008, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, terj. Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung fur die Freiheit Shenkman, Rick, 2008, Just How Stupid Are We?: Facing the Truth about American Voter, New Yosrk: Basic Book Upe, Ambo, 2008, Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalitas Perilaku Politik Pemilih diera Otondomi Daerah, Jakarta: Prestasi Pustaka

37: Jurnal Eriyanto et.al., Mesin Partai atau Popularitas Kandidat?, dalam Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, No 12, (April 2008) Ikeda, Ken ichi et.al, Dynamics of interpersonal Political Environment and Party Identificatin: Longitudinal Studies of Voting in Japan and New Zeland, dalam Political Psycology, Vol 26 No 4, (Aug. 2005) Kaspin, Deborah, The Politics of Ethnicity in Malawi s Democratic Transition, dalam Journal of Modern Afrikan Studies, Vol. 33 No. 4 (Desember, 1995) Kinzo,Maria D Alva Gin, The 1989 Presidential Election: Electoral Behaviour in Brazilian City, dalam Journal of Latin American Studies, Vol. 25 No. 3 (May, 1993) Liddle, R.William dan Saiful Mujani, Leaderships, Party,and Religion: Explaining Voting Behavior In Indonesia dalam Journal Of Democrcy,Vol. 21 No. 2 (April 2010) Rood, Steven, Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philipines) Voters in Tesis Transition Era, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 22 No. 1, (Maret 1991) Agusmawanda, Perilaku Memilih Masyarakat Adat Ternate dalam Pemilihan Legislatif Kota Ternate 2009, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2011) Adnyana, Yudistira, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memilih dalam Pilkada Badung 2005, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006) Toruan, Jhonsar L., Perilaku Memilih Pada Pemilihan Kepala Daerah 2005: Studi Kasus Kemenangan Mardin Sihombing/Marganti Manullang Sebagai Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatra Utara, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)

38: LAMPIRAN FOTO KEGIATAN SURVEI

39: