BAB I PENDAHULUAN. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING BERBASIS VIDEO TERHADAP METAKOGNISI DAN PEMAHAMAN KONSEP FISIKA

PENINGKATAN METAKOGNISI MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING BERBASIS VIDEO PADA MATAKULIAH FISIKA UMUM I T.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN, KETERAMPILAN, DAN PERILAKU METAKOGNISI MAHASISWA

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN PEMAHAMAN KONSEP MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. Praktikum di perguruan tinggi pada umumnya ditujukan untuk. mendukung perkuliahan yaitu dalam membangun konsep dan atau memvalidasi

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan institusi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN METAKOGNISI MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. ujung tombak dalam pendidikan dasar. Guru SD adalah orang yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Firmansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Listrik-magnet memiliki peran sangat penting dalam kehidupan manusia.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dibangun dari beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan masalah yang harus diselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan metode dan kerja ilmiah (Rustaman, dkk., 2003).

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan. Proses pembelajaran di dalam kelas harus dapat menyiapkan siswa

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pendidikan, baik dalam mengembangkan pemikiran kritis, kreatif,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL PRAKTIKUM RANGKAIAN LISTRIK BERBASIS MASALAH TERHADAP KETERAMPILAN SCIENTIFIC INQUIRY DAN KOGNISI MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada awalnya, kemampuan dasar yang dikembangkan untuk anak didik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN. menjadi persoalan ketika berbicara mengenai kualitas pendidikan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan. pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. nantinya ikut andil dalam pengembangan matematika lebih lanjut ataupun

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu untuk. mengembangkan potensi diri dan sebagai katalisator bagi terjadinya

2014 PEMBELAJARAN FISIOLOGI TUMBUHAN TERINTEGRASI STRUKTUR TUMBUHAN BERBASIS KERANGKA INSTRUKSIONAL MARZANO UNTUK MENURUNKAN BEBAN KOGNITIF MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

2014 PENGEMBANGAN PROGRAM PERKULIAHAN FISIKA SEKOLAH BERORIENTASI KEMAMPUAN BERARGUMENTASI CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN. yaitu krisis terhadap masalah, sehingga peserta didik (mahasiswa) mampu merasakan

BAB I PENDAHULUAN. lebih kearah penanaman pengetahuan tentang konsep-konsep dasar, sebagaimana para saintis merumuskan hukum-hukum dan prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang penting untuk dipelajari (Sirhan, 2007). Memahami kimia

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (sains) yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meliputi, tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas,

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mampu mengerjakan dan memahami matematika dengan benar. keadaan di dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia yang selalu berkembang

I. PENDAHULUAN. pesat. Manusia dituntut memiliki keterampilan berpikir kritis, sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mutu pendidikan yang baik dicerminkan oleh lulusan yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. batin, cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur. yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan

I. PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Oleh karena itu, dalam Permendiknas tahun

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan (how to know). Oleh karena itu kegiatan laboratorium atau kerja

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHUUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya dan dapat membangun pengetahuannya sendiri (student centered. digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran masih kurang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berada. Dalam proses pendidikan banyak sekali terjadi perubahan-perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Ahmadi Habibie Asmariana, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Annisa Setya Rini, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, termasuk dosen yang merupakan agen sentral pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dosen merupakan salah satu yang paling berperan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang dapat bersaing di jaman pesatnya perkembangan teknologi. Dosen hendaknya menggunakan berbagai pendekatan, strategi, metode dan model pembelajaran dalam setiap pembelajaran yang dapat memudahkan mahasiswa memahami materi yang diajarkan. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan dengan variasi pendekatan, strategi, metode, dan model pembelajaran bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan cerdas sehingga dapat menerapkan ilmu yang didapat dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Hal ini hanya dapat tercapai apabila mahasiswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran dan mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Variasi pendekatan, strategi, metode, dan model pembelajaran juga memberi kemudahan kepada dosen dalam menyajikan pengalaman belajar, sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hidup yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar dengan melakukan (learning to do), 1

belajar untuk hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Untuk itu dosen perlu meningkatkan mutu pembelajarannya, dimulai dengan rancangan pembelajaran yang baik dengan memperhatikan tujuan, karakteristik materi yang diajarkan, dan sumber belajar yang tersedia. Kenyataannya, masih banyak ditemui proses pembelajaran yang kurang bermakna, tidak efisien dan kurang mempunyai daya tarik sehingga hasil belajar yang dicapai tidak optimal. Hal ini juga terjadi di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Utara, khususnya dalam perkuliahan Fisika Dasar. Fisika Dasar merupakan salah satu matakuliah wajib bagi mahasiswa calon guru fisika di LPTK dan matakuliah yang diberikan di semester pertama karena matakuliah tersebut merupakan syarat untuk matakuliah selanjutnya, seperti Mekanika, Gelombang, Fisika Modern, Fisika Statistik, Fisika Kuantum, Fisika Inti, Elektronika. Matakuliah ini juga mendasari pengembangan rekayasa, desain, perencanaan, teknologi dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin serta mengembangkan daya pikir manusia. Namun demikian, Fisika Dasar merupakan salah satu matakuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa. Hal ini dikarenakan Fisika Dasar membutuhkan matematika yang rumit (Nashon, dalam Campbell, 2007); materi yang terlalu banyak, bergantung pada buku teks, abstrak dan kompleks (Sheppard dan Robin, dalam Campbell, 2007); membutuhkan kegiatan laboratorium (Heller dan Heller, 1999); dan sering terjadi miskonsepsi (Anderson dan Nashon, 2006). Hal ini juga dialami oleh mahasiswa pada salah satu universitas di Sumatera Utara. 2

Berdasarkan studi pendahuluan, hasil belajar mahasiswa ditinjau dari kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep pada matakuliah Fisika Dasar masih rendah. Rendahnya pemahaman konsep mahasiswa sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya (Saleh 2011; Gaigher, et al., 2007; dan Baser, 2006). Rendahnya perolehan hasil belajar menunjukkan adanya indikasi terhadap rendahnya kinerja belajar mahasiswa dan kurangnya kemampuan dosen dalam mengelola pembelajaran yang bermakna. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, proses belajar mengajar di kelas cenderung bersifat analitis dengan menitik-beratkan pada penurunan rumusrumus fisika melalui analisis matematis. Mahasiswa berusaha menghafal rumus namun kurang memaknai untuk apa dan bagaimana rumus itu digunakan. Metode ceramah dan tanya jawab merupakan metode yang biasa digunakan oleh dosen dengan urutan menjelaskan, memberi contoh, bertanya, latihan, dan memberikan tugas. Dosen kurang memvariasikan metode pembelajaran yang dilakukan berdasarkan karakteristik materi pelajaran yang diajarkannya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap mahasiswa, metode ceramah yang digunakan dalam perkuliahan Fisika Dasar menyebabkan mahasiswa terpaku mendengarkan dan situasi pembelajaran diarahkan pada learning to know. Dosen lebih berorientasi menuntaskan materi perkuliahan yang terlalu banyak berdasarkan buku teks (diktat). Dosen biasanya mengacu pada satu buku tertentu (diktat) dalam penyampaian materi, dimana urutan materi yang disajikan oleh dosen dalam pembelajaran sesuai dengan urutan materi yang terdapat dalam diktat yang menjadi pegangan dosen dan mahasiswa. Dosen-dosen, selanjutnya 3

memberikan latihan soal-soal yang diambil dari buku tersebut. Soal-soal yang dilatihkan umumnya berupa soal-soal yang lebih menekankan manipulasi secara matematis bukan pemahaman dan kemampuan berpikir sehingga mahasiswa yang kurang mampu dalam matematika akan merasa sulit untuk belajar fisika dan soalsoal yang dilatihkan sangat jauh dari dunia nyata mahasiswa sehingga pembelajaran Fisika Dasar menjadi kurang bermakna bagi mahasiswa itu sendiri. Hasil analisis terhadap silabus dan RPP yang digunakan dosen-dosen pengajar Fisika Dasar menunjukkan bahwa sangat sedikit indikator kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep yang muncul dalam indikator hasil belajar. Indikator kemampuan metakognisi ini dibuat secara tidak direncanakan dengan sengaja, sedangkan indikator pemahaman konsep yang paling sering digunakan adalah merepresentasikan soal-soal fisika ke dalam angka dan menjelaskan konsep fisika tertentu. Temuan-temuan lainnya yang berkaitan dengan praktikum, Fisika Dasar, pelaksanaan praktikum selama ini bersifat verifikasi. Mahasiswa hanya dituntut untuk tertib mengikuti langkah-langkah yang ada di lembar kegiatan mahasiswa (LKM) dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran prinsip atau teori melalui fakta-fakta tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk merancang praktikum sendiri. Fakta berdasarkan hasil studi pendahuluan menunjukkan masih perlu diupayakan pembenahan perkuliahan Fisika Dasar. Hendaknya pembelajaran dirancang dengan memperhatikan tujuan, karakteristik materi yang diajarkan, kemampuan mahasiswa, dan sumber belajar yang tersedia. Mahasiswa seharusnya 4

diberi kesempatan untuk menggali pemahaman, mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan proses sains termasuk penyelidikan ilmiah. Hal ini sesuai dengan National Science Teacher Association (NSTA) yang menyatakan bahwa guru fisika harus memiliki pengetahuan yang luas dan kuat untuk: (1) Memahami hakekat dan peran inkuiri ilmiah dalam fisika serta menggunakan keterampilan-keterampilan dan proses-proses inkuiri; (2) Memahami fakta-fakta fundamental dan konsep-konsep utama dalam fisika; (3) dapat membuat jalinan konseptual dalam disiplin fisika sendiri maupun antar disiplin sains, dan (4) Mampu menggunakan pemahaman dan kemampuan ilmiah bila berhadapan dengan isu-isu personal dan sosial (National Research Council, 2000). Dosen LPTK merupakan salah satu komponen yang berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan calon guru. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan di lapangan, bahwa apa yang dipelajari mahasiswa sangat dipengaruhi oleh cara mereka diajar oleh dosennya (National Research Council, NRC, 1996). Lebih lanjut NRC menyatakan bahwa dosen yang efektif akan menciptakan lingkungan yang memungkinkan dosen dan mahasiswa bekerja bersama sebagai pebelajar yang aktif. Mahasiswa belajar dengan pengalaman langsung dengan sumber belajar, dosen belajar memahami bagaimana mahasiswa yang berbeda dalam minat, kemampuan, dan pengalaman menjadi senang belajar sains dan belajar bagaimana dosen memberikan dukungan dan bimbingan yang efektif pada mahasiswanya. 5

Cara mengajar atau pengetahuan pedagogis dosen tidak bisa dipisahkan dari konten materi yang diajarkan karena apa yang dipelajari mahasiswa sangat dipengaruhi oleh cara mereka diajar oleh dosennya. Shulman (dalam Garritz, 2010) menyatakan bahwa pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogis harus dipadukan dalam pembelajaran untuk menciptakan pengetahuan baru (pedagogical content knowledge, PCK). Oleh karena itu, PCK sangat penting dalam proses pembelajaran di kelas karena mahasiswa akan lebih mudah belajar dan mencontoh apa yang dialaminya daripada membuat sendiri. Pengalaman langsung yang diperoleh mahasiswa akan diterapkan dan dikembangkan di lapangan ketika mereka sudah menjadi guru sehingga mereka menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan ilmunya. Hal ini sesuai dengan Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kompetensi profesional, salah satunya guru harus kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu fisika dan ilmu-ilmu terkait. Kompetensi ini dielaborasi lebih lanjut dalam Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses, bahwa dalam kegiatan elaborasi, dosen memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat memahami, merancang, memecahkan masalah, mengetahui bagaimana cara dan mengapa melakukan, menganalisis, memonitor, mengevaluasi, dan mengembangkan pemahaman konsepnya. Standar tersebut menunjukkan pentingnya kemampuan metakognisi dikembangkan kepada peserta didik. Metakognisi adalah pengetahuan, kesadaran, dan kendali atas proses kognisi (Matlin, 2003; 2009; Baird, et al., dalam Thomas et al., 2008; Flavel, 6

dalam Malone, 2007a; Simon dan Brown, dalam Desoete et al., 2001; Anderson et al., 2001; Marzano et al., 1988). Simon dan Brown (dalam Desoete et al., 2001) membagi kemampuan metakognisi menjadi dua komponen, yaitu: pengetahuan metakognisi dan keterampilan metakognisi. Pengetahuan metakognisi didefinisikan sebagai pengetahuan dan pemahaman pada proses berpikir. Keterampilan metakognisi didefinisikan sebagai pengendalian pada proses berpikir. Tiga komponen pengetahuan metakognisi: pengetahuan deklarasi, prosedural, dan kondisional. Empat komponen keterampilan metakognisi: memprediksi, merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Pengembangan kemampuan metakognisi dalam pembelajaran merupakan suatu upaya yang sangat penting dilakukan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari pendidikan tinggi, yaitu mentransformasikan dan mengembangkan kemampuan mahasiswa, termasuk untuk merancang apa yang akan dilakukan, melaksanakan apa yang sudah direncanakan, memonitor dan mengevaluasi apa yang sedang dan sudah dilakukan, sehingga mereka menjadi kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab (Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan). Pentingnya pengembangan kemampuan metakognisi dalam pembelajaran telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Kipnis dan Hofstein, 2007; Facione et al., dalam Tan, 2004; Hollingworth dan McLoughlin, 2002; dan Flavell, dalam Winert dan Kluwe, 1987). Menurut Kipnis dan Hofstein (2007), bahwa metakognisi merupakan suatu komponen penting dalam pembelajaran sains karena proses-proses metakognisi memberikan pelajaran yang penuh arti, 7

pengembangan metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang, dan membentuk siswa yang mandiri. Sementara itu, Facione et al., (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa metakognisi perlu dikembangkan agar peserta didik dapat menjadi pemikir-pemikir kritis yang selalu berfikir dalam menerapkan suatu motivasi internal untuk menjadi sadar, ingin tahu, teratur, penuh analisis, percaya diri, toleransi, dan bertanggung-jawab. Hal senada juga dikatakan oleh Flavell (dalam Weinert dan Kluwe, 1987), yang menyarankan bahwa perguruan tinggi yang baik harus menjadi tempat ideal bagi pengembangan metakognisi, dengan alasan bahwa begitu banyak pembelajaran kesadaran diri akan berlangsung dalam proses pembelajaran. Di perguruan tinggi, mahasiswa mempunyai kesempatan berulangkali untuk memonitor dan mengatur kognisi mereka, memiliki pengetahuan metakognisi yang begitu banyak serta berkesempatan lebih untuk memperoleh keterampilan metakognisi. Flavell lebih lanjut menyatakan bahwa metakognisi peserta didik perlu dikembangkan dengan alasan sebagai berikut: (1) pemikiran peserta didik dapat salah serta cenderung keliru, dan dalam keadaan ini membutuhkan pemonitoran dan pengaturan diri yang baik; (2) peserta didik harus mampu berkomunikasi, menjelaskan, dan memberikan alasan yang jelas tentang pemikirannya kepada peserta didik lain dan juga pada dirinya sendiri, aktivitas ini tentu saja membutuhkan metakognisi; (3) untuk bertahan dan berhasil dengan baik, peserta didik perlu merencanakan masa depan dan secara kritis mengevalusi rencana- 8

rencana yang lain; dan (4) jika peserta didik harus membuat keputusan yang berat, maka akan membutuhkan keterampilan metakognisi. Metakognisi dapat dibangun ketika mahasiswa melaksanakan pemecahan masalah (problem solving). Selama proses problem solving, kesadaran kognisi mahasiswa dapat ditumbuhkan karena memberikan arahan agar mahasiswa bertanya pada dirinya apakah memahami apa yang sedang dipelajari atau dipikirkan. Mahasiswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui serta bagaimana pemecahan masalahnya, membuat perencanaan pendekatan pemecahan masalah, membuat tahap-tahap pemecahannya, memberi alasan mengapa melakukan pemecahan masalahnya demikian, memonitor proses pemecahan masalah dan kemajuan ke arah tujuan saat melaksanakan rencana, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan. Hal ini sesuai dengan Flavell (dalam Winert dan Kluwe, 1987) yang menyatakan bahwa pembelajaran melalui upaya penyadaran dan pengendalian proses berpikir mahasiswa melalui problem solving merupakan pembelajaran dengan pengembangan metakognisi. Hal ini juga didukung oleh Hollingworth dan McLoughlin (2002) yang menyatakan bahwa metakognisi dapat dikembangkan dalam suatu lingkungan pembelajaran problem solving. Pembelajaran ini menawarkan dan melatih strategi problem solving yang membuka peluang mahasiswa untuk memonitor, mengoreksi dan menilai strategi problem solving mereka sendiri. Kemampuan metakognisi yang dimiliki memungkinkan mahasiswa dapat mengembangkan pemahaman konsep karena dengan kemampuan metakognisi, 9

mahasiswa dapat mengkonstruksi pengetahuan, mengaplikasikan konsep-konsep fisika, dan memperdalam konsep-konsep fisika sehingga melahirkan jawaban ilmiah yang merepresentasikan pemahaman. Pada pembelajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognisi memberikan pelajaran yang penuh arti atau belajar dengan mengembangkan pemahaman (Kipnis dan Hofstein, 2007). Pengembangan pemahaman dapat terjadi karena fisika menyediakan masalahmasalah kompleks yang dapat menantang mahasiswa menerapkan dan mengembangkan sejumlah pemahaman, seperti dalam menginterpretasi, memberikan contoh, mengklasifikasi, membandingkan, menjelaskan, dan membuat kesimpulan. Mencermati pentingnya kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep, problem solving layak dikembangkan, sehingga pada penelitian ini dikembangkan model pembelajaran Fisika Dasar berbasis problem solving yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa. Proses problem solving dalam konteks ini dilakukan melalui eksperimen dan masalah yang disajikan merupakan masalah kontekstual yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Tahap-tahap eksperimen berbasis problem solving yang digunakan adalah: membuat prediksi, menjawab pertanyaan metode, mendesain peralatan, melakukan eksplorasi, melakukan pengukuran, melakukan analisis, dan membuat kesimpulan (Heller dan Heller, 1999). Karena keterbatasan alat yang digunakan dalam hal pengukuran, maka dalam kegiatan eksperimen dibantu dengan video (video based learning, VBL). B. RUMUSAN MASALAH 10

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengembangan model pembelajaran Fisika Dasar berbasis problem solving (MPFD-BPS) yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika mahasiswa? Permasalahan di atas dapat dirinci secara lebih operasional menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik MPFD-BPS yang dikembangkan? 2. Bagaimanakah efektivitas MPFD-BPS yang dikembangkan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan metakognisi? 3. Bagaimana profil peningkatan tiap komponen pengetahuan dan keterampilan metakognisi melalui penerapan MPFD-BPS? 4. Bagaimanakah efektivitas MPFD-BPS yang dikembangkan dalam meningkatkan pemahaman konsep fisika mahasiswa? 5. Bagaimana profil peningkatan tiap aspek pemahaman konsep fisika melalui penerapan MPFD-BPS? 6. Bagaimanakah perubahan perilaku metakognisi mahasiswa melalui penerapan MPFD-BPS? 7. Bagaimanakah tanggapan dosen terhadap model pembelajaran berbasis problem solving dan pengunaannya dalam perkuliahan Fisika Dasar? 8. Bagaimanakah tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran berbasis problem solving dan penggunaannya dalam perkuliahan Fisika Dasar? 9. Apakah kekuatan dan kelemahan MPFD-BPS yang dikembangkan berdasarkan implementasinya? 11

C. TUJUAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan MPFD-BPS yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep mahasiswa. Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan MPFD-BPS yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika mahasiswa. 2. Mengetahui efektivitas peningkatan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep, serta perubahan perilaku metakognisi mahasiswa melalui penerapan MPFD-BPS. 3. Mendapat gambaran tanggapan dosen dan mahasiswa terhadap penerapan MPFD-BPS. 4. Mengetahui kekuatan dan kelemahan MPFD-BPS yang dikembangkan. D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi, khususnya dalam hal peranan pembelajaran berbasis problem solving dalam meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika mahasiswa yang nantinya akan meningkatkan mutu guru fisika di lapangan. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan landasan-landasan konseptual yang mendukung serta kenyataan empiris di lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis 12

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam bidang pendidikan secara umum dan khususnya pada perkuliahan Fisika Dasar, terutama dalam hal: a. Memperkaya khasanah pembelajaran inovatif yang ada. b. Memberikan kerangka pikir bagi yang mengembangkan model pembelajaran. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam meningkatkan kualitas dan hasil perkuliahan Fisika Dasar bagi mahasiswa. Temuan-temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain: a. Dosen mata kuliah Fisika Dasar, yaitu memberikan masukan mengenai model perkuliahan Fisika Dasar yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika. b. Program Studi yang menyelenggarakan perkuliahan Fisika Dasar, yaitu memberi masukan tentang model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep fisika. c. Sebagai pertimbangan bagi institusi pendidikan untuk merancang kurikulum, pendekatan, metode, dan strategi pengelolaan perkuliahan dengan mengadopsi atau mengadaptasi MPFD-BPS. d. Peneliti selanjutnya, sebagai bahan pembanding maupun rujukan bagi penelitian yang akan dilakukan. E. PENJELASAN ISTILAH 13

Penjelasan istilah dalam penelitian ini bertujuan untuk memudahkan dalam memahami istilah-istilah, menghindari interpretasi lain selain yang dimaksudkan dalam penelitian ini, menjelaskan ruang lingkup penelitian, dan sebagai pedoman dalam penyusunan alat pengumpulan data. Beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu dijelaskan adalah model pembelajaran berbasis problem solving, kemampuan metakognisi, dan pemahaman konsep. 1. Model pembelajaran berbasis problem solving dimaksudkan sebagai pola atau desain konsep, langkah-langkah, dan lingkungan pembelajaran yang disusun dengan serangkaian strategi pengajaran yang dipilih dan ditetapkan dalam pembelajaran untuk menciptakan proses belajar mengajar agar mahasiswa dengan mudah memperoleh konsep dan hubungan antar konsep melalui proses problem solving untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berupa kemampuan metakognisi dan pemahaman konsep. Tahap-tahap problem solving yang digunakan dalam penyelidikan adalah: prediksi (prediction); pertanyaan metode (method questions); peralatan (equipment); eksplorasi (exploration); pengukuran (measurement); analisis (analysis); dan kesimpulan (conclusion) (Heller dan Heller, 1999). 2. Kemampuan metakognisi dimaksudkan sebagai pengetahuan dan pemahaman pada proses kognisi serta kendali individu pada proses berpikirnya sendiri (Simon dan Brown, dalam Desoete et al., 2001). Kemampuan metakognisi dalam penelitian ini mencakup aspek pengetahuan dan keterampilan metakognisi. Tiga aspek pengetahuan metakognisi: deklarasi, prosedural, dan kondisional. Empat aspek keterampilan metakognisi: prediksi, rencana, 14

monitor, dan evaluasi. Pengetahuan dan keterampilan metakognisi diukur dengan tes pengetahuan dan keterampilan metakognisi berbasis konten fisika dan mengacu pada indikator masing-masing aspek tersebut. 3. Pemahaman konsep dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan, gambar, atau grafis yang disampaikan melalui pengajaran dan buku. Mahasiswa memahami ketika mereka membangun hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan sebelumnya. Lebih spesifik lagi, pengetahuan yang baru masuk dipadukan dengan skema-skema dan kerangka-kerangka kognisi yang telah ada. Proses-proses kognisi dalam kategori pemahaman meliputi: menginterpretasi (interpreting), mencontohkan (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), membandingkan (comparing), menjelaskan (explaining), dan menyimpulkan (inferring) (Anderson, et al., 2001). Pemahaman konsep diukur dengan tes pemahaman konsep fisika dan mengacu pada indikator pada proses-proses kognisi memahami. 15

16