BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)

Parameter Fisik Kimia Perairan

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Juvenil Kima Tridacna squamosa pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut merupakan Statistik Deskriptif variabel dependen dan variabel. Tabel 4.1

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. laporan keuangan perusahaan transportation services yang terdaftar di Bursa

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN

KAJIAN POPULASI KIMA (Tridacna sp) DAN KONDISI HABITATNYA DI PERAIRAN PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis mengadakan penelitian

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB III METODE PENELITIAN

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

BAB III METODE PENELITIAN

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-2, Januari 2013 ISSN:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

BAB III METODE PENELITIAN

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

BAB IV ANALISIS DATA. tingkat kebenaran hipotesis penelitian yang telah dirumuskan. Dalam analisis data

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun Pengambilan sampel

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret sampai Juni 2014 dan

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

Berikut sebuah penelitian:

Humas FDC UNHAS Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)

BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan penelitian asosiatif kausal.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang terdaftar dalam LQ-45 di Bursa Efek Indonesia periode

BAB III METODE PENELITIAN. Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data

sebuah penelitian tentang: pengaruh laba akuntansi, arus kas opera- sional, ukuran perusahaan, tingkat pertum- buhan perusahaan terhadap harga saham

STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menganalisis data, penulis menggunakan alat bantu komputer seperti paket

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum melaksanakan suatu penelitian, seorang peneliti harus

BAB III BAHAN DAN METODE

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

Maspari Journal 03 (2011) 42-50


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi,

bentos (Anwar, dkk., 1980).

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. independen dari listrik adalah satuan kilowatt (kwh), untuk minyak adalah

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam penelitian dengan

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

BAB III METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada website Bank Indonesia ( Bank

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan mega bentos dan terumbu karang. Pengamatan dilakukan pada pagi maupun sore hari. Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia perairan tersaji pada tabel 4. Tabel 4. Parameter fisik dan kimia perairan dari seluruh stasiun Stasiun Parameter Pengamatan Suhu Salinitas Kecepatan Arus ( 0 C) (ppt) Permukaan (m/s) Kecerahan (%) 1 28 32,2 0,18 100 2 30 31,4 0,0471 100 3 29 31 0,041 100 4 29 32,6 0,071 100 5 28 32 0,076 100 6 29 31,6 0,1 40 7 29 31,2 0,03 100 8 29 32,5 0,102 100 4.1.1. Suhu Suhu permukaan air di masing-masing stasiun berkisar antara 28-30 0 C. Suhu tersebut tergantung pada kondisi cuaca dan waktu pengambilan data suhu. Menurut Kleine et al (2009) karang-karang pembentuk terumbu hidup di dalam kisaran suhu yang sempit antara 18-30 0 C. Sedangkan menurut Nybakken (1992) menyatakan terumbu karang dapat mentoleransi suhu permukaan laut antara 36-40 0 C. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukan suhu perairan pulau Sawah dan Lintea berada dalam suhu yang optimum untuk pertumbuhan terumbu karang. 29

30 4.1.2. Kecepatan Arus Permukaan Laut Kecepatan arus permukaan laut di perairan Pulau Sawah dan Lintea berdasarkan hasil pengamatan mempunyai kecepatan yang berkisar 0,03-0,18 m.(detik -1 ). Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0,18 m.(detik -1 ), hal ini diduga karena pada saat pengambilan data terjadi hujan dan dipengaruhi oleh angin pada saat pengamatan. Arus permukaan terrendah terdapat di stasiun 7 yaitu 0,03 m.(detik -1 ). Stasiun 7,2,3 dan 6 merupakan daerah laguna yang merupakan daerah terlindung ketika musim teduh, namun apabila terjadi hujan disertai angin arus permukaan di dalam laguna berpengaruh terhadap arus yang berasal dari luar laguna. 4.1.3. Salinitas Hasil pengukuran lapangan diperoleh kisaran salinitas antara 32,6-31 ppt. Di stasiun 3 mempunyai salinitas yang rendah (31 ppt) dibandingkan dengan stasiun lainnya (31-32,6 ppt). Kisaran yang didapatkan masih sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang yaitu kisaran 27-35 ppt (Kordi 2010). 4.1.4. Kecerahan Kecerahan diukur dari kemampuan cahaya untuk menembus kolom air menentukan intensitas cahaya yang diterima oleh zooxanthellae. Kecerahan perairan rata-rata 100%, namun untuk stasiun 6 hanya 40% yang disebabkan pada saat pengambilan data terjadi hujan dan gelombang, sehingga sustrat pasir yang berada di dalam laguna terangkat yang menyebabkan kekeruhan.

31 4.2. Kondisi Terumbu Karang 4.2.1. Kondisi Terumbu Karang Kedalaman 3 meter Presentase penutupan karang keras hidup pada kedalaman 3 meter dari seluruh stasiun berkisar diantara 20-51%. Presentase tutupan soft coral berkisar antara 0-40% sedangkan presentase tutupan karang mati (dead coral) di masingmasing stasiun pengamatan berkisar antara 0-26%. Presentase tutupan macroalgae berkisar antara 0-17% dan komponen other fauna (lili laut, kima, sea fan, dan anemon) berkisar antara 1-5% sedangkan komponen abiotic berada dikisaran 4-44%. Presentase tutupan karang keras hidup yang tertinggi berada di stasiun 6 sementara presentase tutupan terrendah berada di stasiun 8. Kondisi karang keras hidup disemua stasiun dapat dikategorikan buruk hingga baik. Stasiun yang memiliki kondisi terumbu karang terbaik terdapat pada stasiun 6 yang didominasi oleh coral branching yang terdapat di dalam laguna, sedangkan untuk stasiun 8 merupakan daerah tubir yang membentuk wall (reef wall). Histogram kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Kondisi terumbu karang kedalaman 3 meter % Cover Substrat Indeks Stasiun HC DC MA OT Abiotic SC Mortalitas 1 21 26 5 4 4 40 0.553 2 46 14 2 3 35 0 0.23 3 34 23 7 2 34 0 0.403 4 26 0 0 1 9 64 0 5 30 1 13 3 16 37 0.032 6 51 6 0 5 38 0 0.105 7 31 21 1 1 44 2 0.403 8 20 0 17 1 28 34 0

32 Soft Coral, 22.13% Abiotic, 26.00% Hard Coral, 32.38% Hard Coral Death Coral Algae Other Fauna Abiotic Soft Coral Other Fauna, 2.50% Algae, 5.63% Death Coral, 11.38% Gambar 9. Presentase rata-rata kondisi terumbu karang 3 meter Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Sawah dan Lintea secara rata- Transect rata masuk dalam kondisi sedang. Berdasarkan metode Point Intercept (PIT) presentase karang keras (hard coral) yakni sebesar 32,38%, karang mati (dead coral) sebesar 11,38%, Komponen macroalgae sebesar 5,63%, komponen soft coral, abiotic, dan other fauna berturut-turut sebesar 22,13% %, 26% dan 2,5% (Gambar 9). Besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati ditunjukan oleh indeks mortalitas. Berdasarkan nilai indeks mortalitas pada kedalaman 3 meter diperoleh hasil 0-0,59. Indeks mortalitas pada stasiun 4 yaitu nol yang menunjukan sangat rendah artinya pada stasiun tersebut tingkat kesehatan karangnya sangat tinggi dibandingkan dengan stasiun lain atau dengan kata lain rasio kematian karang pada stasiun tersebut tidak ada. Stasiun yang tingkat kematiannya termasuk tinggi yaitu stasiun 1 dan 7 yang mempunyai indikasi bahwa tingkat kesehatan karang yaitu sedang hal ini menunjukann bahwa tekanan lingkungan yang berada di stasiun tersebut dapat ditolerir oleh ekosistem terumbu karang pada stasiun tersebut. Hasil indeks mortalitas yang diperoleh pada seluruh stasiun di kedalaman 3 meter menunjukan nilai indeks mortalitas rendah (Tabel 5). Hasil pengamatann menunjukan bahwa kondisi terumbu karang yang paling

33 baik berdasarkan tipe penutupan substrat yaitu stasiun 6 yang mempunyai tutupan karang keras hidup sebesar 51% dan indeks mortalitas yang rendah yaitu sebesar 0,105. 4.2.2. Kondisi Terumbu Karang Kedalaman 10 meter Kondisi terumbu karang keras hidup pada kedalam 10 meter dari seluruh stasiun berkisar antara 33-45%. Stasiun yang memiliki tutupan karang keras paling tinggi berada di stasiun 4 sedangkan presentase tutupan karang keras paling rendah berada di stasiun 5 (Tabel 6). Kedua stasiun tersebut mempunyai karakteristik reef wall, yang berada pada kategori sedang, sedangkan presentase tutupan karang mati (dead coral) di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0-29%. Presentase tutupan alga (macroalgae dan Turf algae) berkisar antara 0-9% dan presentase tutupan soft coral berkisar antara 0-31%. Kompenen other fauna yang ditemukan yaitu (spons, kima, lili laut, sea fan, dan anemon ) berkisar antara 0-37%, dan komponen abiotic (sand, rubble, dan rock) berkisar antara 16-35%. Tabel 6. Kondisi terumbu karang kedalaman 10 meter % Cover Substrat Indeks Stasiun HC DC MA OT Abiotic SC Mortalitas 1 40 10 4 9 17 20 0.2 2 36 26 0 0 35 3 0.42 3 42 20 2 5 27 4 0.323 4 45 0 3 5 16 31 0 5 33 2 9 7 33 16 0.057 6 41 29 1 3 26 0 0.414 7 40 22 0 3 35 0 0.35 8 34 0 6 37 19 4 0 Kondisi terumbu karang di perairan pulau Sawah dan Lintea dari semua stasiun pengamatan memiliki kategori sedang. Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode PIT mempunyai rata-rata tutupan karang keras hidup sebesar 38,88%, sedangkan karang mati (dead coral) sebesar 13,63%. Rata-rata tutupan makroalgae yakni sebesar 3,13%, soft coral sebesar 9,75% dan komponen abiotic 26%. (Gambar 10).

34 Soft Coral, 9.75% Abiotic, 26.00% Hard Coral, 38.88% Hard Coral Death Coral Algae Other Fauna Abiotic Soft Coral Death Coral, 13.63% Other Fauna, 8.63% Algae, 3.13% Gambar 10. Presentase rata-rata kondisi terumbu karang 10 meter Besarnya rasio kematian karang keras hidup menjadi karang mati digunakan indeks mortalitas. Indeks mortalitas pada kedalaman 10 meter dari semua stasiun menunjukan kisaran 0-0,42 (Tabel 6). Nilai indeks mortalitas mempunyai kisaran 0-1 yang berarti apabila nilai indeks mortalitas mendekati 0 maka kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi, begitu juga sebaliknya jika mendekati nilai 1 maka kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian rendah (Fachrul 2008). Berdasarkan nilai indeks mortalitas, stasiun 4 dan 8 memiliki nilai 0 yang artinya tidak ada karang yang mati atau secara spesifik menjelaskan bahwa tekanan lingkungan ditolerir. Indeks mortalitas yang termasuk tinggi dibandingkan dengan stasiun lain berada di stasiun 1, tersebut dapat mengindikasikan bahwa tekanan lingkungan pada a stasiun tersebut masih bisa ditolerir yang menyebabkan matinya terumbu karang masih dapat 2, 3, 5, 6 dan 7 masuk dalam kategori sedang. Kategori untuk keberlangsungan hidup ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui kondisi terumbu karang di kedalaman 10 meter yang paling baik berada di stasiun 4 dengan presentasee tutupan karang keras hidup sebesar 45% yang tidak ditemukan karang mati.

35 4.3. Distribusi Mega Bentos Dilindungi Berdasarkan 8 stasiun yang diamati, dari 12 species mega bentos dilindungi hanya 3 species yang ditemukan yaitu Tridacna crocea, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa yang berada di pulau sawah dan lintea. Hasil tersebut diperoleh dari 2 kedalaman yaitu kedalaman 3 dan 10 meter. 4.3.1. Distibusi Mega Bentos Dilindungi pada kedalaman 3 meter Kondisi distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 3 meter secara keseluruhan hanya ditemukan 3 species kima, jika ditinjau berdasarkan stasiun pengamatannya stasiun 7 yang merupakan daerah laguna/gobah mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu 229 individu.(100 m 2 ) -1 untuk Tridacna crocea yang mempunyai habitat menempel pada karang masif dan seluruh cangkangnya terbenam dalam substrat yang keras (Gambar 11). Tridacna maxima stasiun yang mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu stasiun 2 dengan kelimpahan 26 individu.(100 m) 2-1 (Gambar 12). Tridacna squamosa stasiun 3 mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu 4 individu.(100 m 2 ) -1 (Gambar 13).

36 Gambar 11. Peta distribusi spasial kelimpahan T.crocea pada kedalaman 3 meter Gambar 12. Peta distribusi spasial kelimpahan T.maxima pada kedalaman 3 meter

37 Gambar 13. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.squamosa pada kedalaman 3 meter Rata-rata kelimpahan individu tertinggi berada di dalam gobah, karena menurut Nybakken 1992 di dalam gobah atol di kepulauan Tuamotu, Michael pada tahun 1972 mencatat pada umumnya kepadatan kima 1 individu.(m 2 ) -1 atau kurang dari itu. Selain itu menurut Panggabean (1991) menyatakan di lingkungan terumbu yang masih perawan atau yang belum terjamah, kima yang sejenis biasanya hidup membentuk kelompok-kelompok sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan secara optimal (Gambar 14). Gambar 14. Kima berkelompok

38 Keanekaragaman untuk semua stasiun berkisar antara 0-0,655 secara umum keanekaragaman jenis mega bentos dilindungi pada perairan pulau Sawah dan Lintea termasuk dalam kategori rendah (Tabel 7). Pada stasiun 3 mempunyai keanekaragaman jenis yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, sementara untuk stasiun 6 memiliki keanekaragaman nol, karena hanya ditemukan 1 jenis kima dengan jumlah individu yang sangat rendah. Berdasarkan Brower (1998), keanekaragaman spesies merupakan pengukuran dari stabilitas komunitas. Stabilitas komunitas berhubungan dengan jumlah dan tingkat jalur energi dan nutrisi. Komunitas yang stabil memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi. Keanekaragaman yang rendah dipengaruhi oleh ketersediaan makanan serta kondisi yang sesuai dengan habitat dari berbagai macam spesies mega bentos. Tabel 7. Indeks keanekaragaman jenis pada kedalaman 3 meter Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 Indeks 0.305 0.655 0.598 0.5 0.637 0 0.349 0.41 4.3.2. Distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 10 meter Distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 10 meter hanya ditemukan 3 jenis species kima dari 12 species yang berada dalam list IUCN, akan tetapi pada kedalaman 10 meter kelimpahannya lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Stasiun yang memiliki kelimpahan yang paling tinggi tercatat pada stasiun 3 yang merupakan daerah gobah, untuk daerah yang memiliki karakteristik reef wall memiliki kepadatan 0-16 individu.(100 m 2 ) -1 terdiri dari Tridacna crocea dengan kelimpahan 0-16 individu.(100 m 2 ) -1 yang terletak pada stasiun 3 untuk kelimpahan tertinggi (Gambar 15). Tridacna maxima mempunyai kepadatan individu 0-2 individu.(100 m 2 ) -1 dengan kelimpahan tertinggi berada di stasiun 3 (Gambar 16). Tridacna squamosa mempunyai kepadatan 0-4 individu.(100 m 2 ) -1 yang mempunyai kelimpahan tertinggi berada di stasiun 3 (Gambar 17) merupakan jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan kedalaman 3 meter, hal ini diduga pada karakteristik substrat dasar

39 perairan pada kedalaman 10 meter rata-rata ditemukan coral brancing, rubble dan sand yang kurang cocok dengan habitat dari mega bentos yang ditemukan. Selain itu kondisi fisik dan kimia perairan turut mempengaruhi dari distribusi kima itu sendiri, menurut Isamu (2008) mengatakan habitat dari seluruh jenis kima, rata-rata mempunyai perairan yang bersih, jernih dan mempunyai salinitas yang optimal di perairan dengan suhu perairan yang belum diketahui secara tepat, namun berada dalam kisaran 23-30 0 C. Gambar 15. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.crocea pada kedalaman 10 meter

40 Gambar 16. Peta distribusi spasial kelimpahan T.maxima pada kedalaman 10 meter Gambar 17. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.squamosa pada kedalaman 10 meter

41 Berdasarkan indeks keanekaragaman mega bentos dilindungi pada seluruh stasiun pengamatan yang berkisar antara 0-0,76 secara umum dapat dikatakan bahwa kenakearagaman jenis mega bentos dilindungi di perairan pulau Sawah dan Lintea termasuk dalam kategori rendah (Tabel 8). Salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis mega bentos dilindungi yaitu habitat dari masing-masing species, kondisi ekosistem terumbu karang, serta ketersediaan makanan dari setiap species mega bentos dilindungi. Tabel 8. Indeks keanekaragaman jenis pada kedalaman 10 meter Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 Indeks 0 0.485 0.76 0-0 0 0.637 4.4. Pengelompokann Habitat Ekosistem Terumbu Karang Indeks similaritas Bray Curtis digunakan untuk melihat pola pengelompokan habitat substrat dasar. Pengelompokan habitat bertujuan untuk melihat tingkat kesamaan (similarity) antar stasiun pengamatan. Semakin kecil indeks disimilaritas maka, tingkat kesamaannya semakin tinggi, dimana indeks similaritas bray curtis = (1-B) x 100% ; B = Indeks disimilaritas Bray Curtis. 4.4.1. Pengelompokan Habitat Terumbu Karang kedalaman 3 Meter Pengelompokan habitat terumbu karang pada kedalaman 3 meter dengan skala dendogram 40,,5% yang merupakan nilai rata-rata dari indeks disimilaritas antar stasiun diperoleh 4 kelompok habitat (Gambar 18). Gambar 18. Dendogram pengelompokan habitat pada kedalaman 3 meter.

42 Kelompok habitat ke-1 adalah stasiun 1, 5 dan 8 merupakan lokasi yang terletak di luar sisi gobah yang mempunyai karakteristik karang Reef Wall, kelompok habitat ke 2 adalah stasiun 4 yang berada di utara pulau Lintea, kelompok habitat ke 3 adalah stasiun 2, 3, dan 7 merupakan daerah di dalam gobah dimana mempunyai kemiripan habitat. Kelompok 4 yaitu stasiun 6 yang merupakan daerah gobah dimana tutupan substrat yang mendominasi yaitu Acropora Brancing (Gambar 19). Gambar 19. Peta pengelompokan habitat kedalaman 3 meter 4.4.2. Pengelompokan Habitat Terumbu Karang Kedalaman 10 Meter Pengelompokan habitat pada kedalaman 10 meter, rata-rata memiliki indeks disimilaritas antar stasiun sebesar 44,3% dan nilai ini digunakan sebagai titik potong pengelompokan habitat substrat dasar terumbuu karang. Pada kedalaman 10 meter diperoleh 4 kelompok habitat (Gambar 20). Gambar 20. Dendogram pengelompokan habitat pada kedalaman 10 meter.

43 Kelompok habitat ke 1 yaitu stasiun 8 yang merupakan bagian timur pulau tenggara pulau lintea, kelompok habitat ke 2 yaitu stasiun 4 dan 5, kelompok habitat ke 3 yaitu stasiun 2,3,7, dan 6 yang berada di dalam gobah, sedangkan untuk kelompok habitat ke 4 yaitu stasiun 1 yang berada di utara pulau sawah (Gambar 21). Gambar 21. Peta pengelompokan habitat kedalaman 10 meter 4.5. Hubungan Kelimpahan dan Keanekaragaman Mega Bentos Dengan Kondisi Terumbu Karang Analisis korelasi digunakan untuk mencari hubungan antara kelimpahan dan keanekaragaman mega bentos dengan presentase tutupan karang hidup atau mati dan parameter fisik kimia perairan, selain itu dilakukan pengujian Durbin- Watson yang berguna untuk melihat ada atau tidaknya auto korelasi sebagai syarat dapat dilanjutkannya proses pengolahan data regresi (lampiran 4). Dari tabel Durbin-Watson diketahui dengan jumlah koefisien k = 4 didapatkan nilai (dl) 0,685 dan (du ) 1,997. Hasil statistik antara kelimpahan, karang hidup atau karang mati dan parameter fisik-kimia perairan didapatkan nilai Durbin-Watson untuk karang hidup DW sebesar 2,708 dan untuk karang mati memiliki nilai sebesar 2,688 oleh karena nilai DW lebih besar daripada batas atas (du) 1,997 maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi positif pada model regresi. Untuk melihat besarnya peluang melakukan kesalahan maka dapat dilihat P-value pada hasil penghitungan statistik yang terlampir pada lampiran 4. Pada umumnya, p-value

44 dibandingkan dengan suatu taraf nyata α tertentu, biasanya 0,05 atau 5% (Kurniawan 2008). Korelasi antara kelimpahan, karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan diperoleh nilai R square sebesar 0,594 yang artinya pengaruh variable independen (hard coral, salinitas, kedalaman dan suhu) mempengaruhi sebesar KD = 59,4 % sementara 40,6% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Untuk nilai signifikansi di dapat nilai sebesar 0,044 yang berarti adanya pengaruh signifikan antara kelimpahan, karang keras dan parameter fisik-kimia perairan. Sementara analisis statistik antara keanekaragaman, karang hidup atau mati dan parameter fisik-kimia perairan didapatkan nilai Durbin-Watson untuk karang hidup sebesar 2,022 dan karang mati sebesar 2,418 yang memiliki nilai DW lebih besar dari batar atas (du) 1,997 maka dapat disimpulkan tidak memiliki auto korelasi positif. Korelasi antara keanekaragaman, karang hidup atau mati dan parameter fisik-kimia perairan diperoleh nilai 0,365 untuk karang hidup yang artinya pengaruh variable independen sebesar KD = 36,5 % sementara 63,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Untuk karang mati diperoleh nilai 0,335 yang artinya pengaruh variable independen KD = 33,5% namun 66,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai signifikansi yang diperoleh dari karang hidup dan karang mati masing-masing memiliki nilai 0,291 dan 0,348 yang berarti tidak ada pengaruh signifikan antara keanekaragaman, karang hidup atau karang mati dan parameter fisik-kimia perairan. Analisis regresi linier digunakan untuk mengetahui pengaruh kondisi terumbu karang dan parameter fisik-kimia perairan terhadap kelimpahan atau keanekaragaman mega bentos. Variabel independen yang digunakan dalam analisis regresi yaitu (x1) Salinitas, (x2) Kedalaman, (x3) Suhu dan (x4) hard coral atau dead coral, sedangkan untuk variabel dependen digunakan kelimpahan atau keanekaragaman mega bentos yang ditemukan.

45 Untuk melihat sejauh mana pengaruh variabel koefisien independen terhadap dependen dapat dilihat berdasarkan koefisien determinasi. Berdasarkan uji anova didapat hubungan keanekaragaman, persen tutupan karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan tidak memberi pengaruh yang signifikan, sementara hubungan kelimpahan, persen tutupan karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan memberi pengaruh yang signifikan dengan nilai 0,044. Hubungan kelimpahan mega bentos dengan hard coral dan parameter fisik kimia perairan yaitu : Y = -1,78 + 0,03x1 0,707x2-0,472 x3 0,189 x4 Keterangan : Y = Kelimpahan Jenis mega bentos a = Slope b = Koefisien Regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang hidup = Salinitas = Kedalaman = Suhu Pada model hubungan kelimpahan, karang hidup dan parameter fisikkimia perairan didapat hubungan jika tutupan karang hidup (x 1 ) bertambah 1% maka kelimpahan mega bentos bertambah 0,03 individu, jika salinitas bertambah 1 ppt (x 2 ) maka kelimpahan mega bentos berkurang 0,707 individu, semakin bertambahnya kedalaman 1 meter (x 3 ) maka kelimpahan berkurang sebanyak 0,472 individu sementara semakin bertambahnya suhu sebesar 1 0 C (x 4 ) maka berdampak negatif terhadap kelimpahan sebesar 0,189 individu.

46 Hasil analisis antara keanekaragaman, karang hidup dan parameter fisikkimia didapat nilai signifikansi (p value) sebesar sebesar 0,291 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan, terdiri dari variabel independen (karang hidup, salinitas, kedalaman dan suhu) dan variabel dependen yaitu keanekaragaman yang dimodelkan dengan persamaan : = -1,438-0,396x1 0,331x2-0,153x3 +0,242x4 Keterangan : Y = Keanekaragaman Jenis megabentos a = Slope b = Koefisien regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang hidup = Salinitas = Kedalaman = Suhu Pada model regresi linier antara keanekaragaman, karang hidup dan parameter fisik-kimia tidak mempunyai hubungan yang signinifikan sehingga dapat dikatakan model tidak valid. Maka dari itu dilakukan pengujian hasil regresi linier antara keanekaragaman, karang mati dan parameter fisik kimia perairan yang ternyata mempunyai nilai signifikansi (p value) sebesar 0,335 yang berarti model tersebut tidak mempunyai hubungan yang signifikan yang dimodelkan dengan persamaan : Y = -1,532-0,376x1 0,510x2-0,258x3 +0,159x4 Keterangan : Y = Keanekaragaman Jenis megabentos a = Slope b = Koefisien regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang mati = Salinitas = Kedalaman = Suhu

47 Hasil persamaan dari model persamaan yang didapat antara variabel independen terhadap dependen tidak mempunyai hubungan yang signifikan sehingga dapat dikatakan model tidak berlaku pada keadaan sebenarnya atau model kurang baik.