BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. warga negaranya yang memenuhi syarat secara hukum berhak wajib untuk

BAB II BAHAN RUJUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal dengan istilah

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR,

1 PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 28 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 18 TAHUN 2011 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG,

BUPATI BULULUKUMBA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA Nomor : 7 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pajak

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 10 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pemerintah yang bersifat wajib (dapat dipaksakan) berdasarkan Undang-Undang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI,

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGGAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak Pengertian Pajak Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, SH Waluyo

WALIKOTA MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN BUPATI TANAH BUMBU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEKADAU NOMOR 03 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEKADAU,

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR : 14 TAHUN 2004 T E N T A N G PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 18 TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 3 Tahun 2011 Seri: C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2011

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 27 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2011 NOMOR : 6 SERI : A PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN

PEMERINTAH KABUPATEN TANGGAMUS

BAB I PENDAHULUAN. tidak terlepas dari adanya pembangunan daerah. Saat ini di Indonesia telah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di negara Indonesia pajak sangatlah penting untuk menambah

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I S I A K,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I S I A K,

BUPATI TELUK WONDAMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 04 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG PAJAK HIBURAN

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA BANDA ACEH,

BAB II LANDASAN TEORI. (2011), pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 17 TAHUN 2012 SERI B.9 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soemohamijaya dalam Diana Sari (2013:22) pengertian pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 12

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR : 4 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 7 TAHUN 1998 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 06 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 7 TAHUN : 2003 SERI :B PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG PAJAK HIBURAN DAN TONTONAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I S I A K,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II JEMBRANA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK HIBURAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 4 TAHUN 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menimbang: a. bahwa pajak hiburan merupakan salah satu sum be r pendapatan daerah yang penting guna membiayai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2010 NOMOR : 08 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 08 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK HIBURAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DAIRI,

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK HIBURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BIDANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Menurut Rochmat Soemintro dalam Erly Suandy (2011:7). Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada didalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untik tujuan tertentu. Masyarakat teridiri atas individu, invividu memiliki hidup sendiri dan kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Namun individu tidak mungkin hidup tanpa adanya masyarakat. 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat (1): Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu pajak juga memiliki beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, yang diantaranya adalah: Menurut Andriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo yang dikutip dari buku Waluyo (2013:2): Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, degan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum 9

10 berhubungan dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Sommerfeld, dkk yang dikutip dari buku Diana Sari (2013:35) menyatakan: Pajak adalah suatu peralihan sumber dari sektor swasta ke sektor Pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan terlebih dahulu, tanpa mendapatkan imbalan yang langsung dan proposional, agar Pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan Pemerintahan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah, pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, pajak diperuntukan baik pengeluaranpengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment. (Siti Resmi, 2013:2). 2.1.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2013:7), pemungutan pajak di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan Undang-Undang.

11 2.1.3 Fungsi Pajak Pajak mempunyai fungsi sebagai berikut Oyok Abunyamin (2012:3): 1) Fungsi Financial (Budgetair) Fungsi untuk mengisi kas Negara yang merupakan salah satu sumber yang utama bagi penerimaan anggaran Negara (di Indonesia salah satu sumber yang utama bagi APBN). 2) Fungsi Mengatur (regulerend) Fungsi mengatur di bidang sosial dan perekonomian pada umumnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang diharapkan oleh Negara/Pemerintah. Misalnya dalam rangka meningkatkan daya saing produksi dalam negeri. 2.1.4 Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith yang dikutip oleh Waluyo (2013:13) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut: 1. Equity (asas keadilan) Pemungutan pajak harus besifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan harus sesuai dengan manfaat yang diterima. 2. Certainly (asas kepastian hukum) Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besar pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3. Convenience (asas tepat waktu) Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak.

12 Contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem ini disebut pay as you earn. 4. Economy (asas ekonomi) Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak. 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Terdapat beberapa sistem dalam pemungutan pajak, menurut Mardiasmo (2011:7-8) yaitu: 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh WajibPajak. Ciri-cirinya : a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b) Wajib Pajak bersifat pasif. c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya : a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

13 3. Withholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. 2.1.6 Stelsel Pemungutan Pajak Menurut Oyok Abuyamin (2012;17), terdapat tiga jenis cara pemungutan pajak atau dalam bahasa Belanda disebut stelsel, yaitu: 1. Riil Stelsel (Stelsel Nyata) Riil Stelsel (Stelsel Nyata) merupakan pemungutan pajak berdasarkan dan memperhatikan objek berupa penghasilan yang sudah nyata-nyata diterima oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang baru diketahui pada akhir tahun. Oleh karena itu, pemungutannya baru dilaksanakan setelah tahun pajak berakhir. Kelebihan stelsel ini pemungutan pajak dihitung secara nyata berdasarkan realisasi penghasilan. Kelemahannya pemerintah baru menerima pajak di akhir tahun. 2. Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan) Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan) merupakan pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan anggapan menurut ketentuan hukum pajak. Di awal tahun, pajak dihitung dengan anggapan melalui perbandingan dengan penghasilan tahun sebelumnya. Stelsel ini menentukan pajak yang harus dibayar dalam tahun berjalan dan di akhir tahun pajak baru disesuaikan dengan penghasilan yang sebenarnya diterima Wajib Pajak. Kelebihan stelsel ini pemerintah sudah mendapat penerimaan pajak selama tahun berjalan tanpa menunggu ke akhir tahun. Kelemahannya, pajak dipungut tidak berdasarkan yang sebenarnya.

14 3. Stelsel Campuran Stelsel Campuran merupakan kombinasi dari stelsel anggapan dan stelsel nyata. Diawal tahun, pemungutan pajak dihitung berdasarkan stelsel anggapan. Di akhir tahun, pemungutan pajak dihitung berdasarkan stelsel nyata. Apabila stelsel anggapan lebih besar maka Wajib Pajak berhak atas kelebihan pajak (lebih bayar), dan apabila stelsel anggapan lebih kecil maka Wajib Pajak wajib membayar kekurangan pajak tersebut (kurang bayar). 2.1.7 Pengelompokan Pajak Menurut Waluyo (2013:12), pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, adalah sebagai berikut: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi dua, yaitu : a) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan. b) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifat a) Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajaknya. Contoh: Pajak Penghasilan. b) Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajaknya. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolaannya, dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak

15 Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Bea Materai. b) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Daerah. Contoh:Pajak Parkir, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan. 2.2 Pajak Pusat 2.2.1 Pengertian Pajak Pusat Pajak Pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang, yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai Pemerintah Pusat dan pembangunan (Marihot Pahala Siahaan, 2010:9). 2.2.2 Dasar Hukum Pajak Pusat Dasar hukum Pajak Pusat adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang- UndangNomor 28 Tahun 2007. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

16 2.2.3 Jenis Pajak Pusat Jenis Pajak Pusat menurut www.pajak.go.id 31/3/15 jam 20:37 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Penghasilan (PPh) PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. Contohnya adalah: PPh pasal 4 ayat 2, PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 24, PPh pasal 25, PPh pasal 26, dan PPh pasal 29. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah barang kena pajak atau jasa kena pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN. 3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah: a) barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau b) barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

17 c) pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau d) barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau e) apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat. 4. Bea Materai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan. 2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Mardiasmo (2011:55), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu dari sumber pendapatan asli daerah. Yang dimaksudkan pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber pendapatan didalam wilayah sendiri. Pendapatan asli tersebut dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah sebagai dasar hukum Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.

18 Pendapatan Asli Daerah sendiri menurut Abdul Halim (2014:61) terdiri dari: 1. Pajak daerah 2. Retribusi daerah 3. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain PAD yang sah. 2.3.1 Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah dapat dijelaskan sebagai berikut: Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah menurut Marihot Pahala Siahaan (2010:9) dijelaskan sebagai berikut: Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembagunan daerah. 2.3.2 Retribusi Daerah Retribusi Daerahmenurut Marihot Pahala Siahaan (2010:5) adalah: Retribusi Daerah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari negara.

19 Salah satu contoh retribusi adalah retribusi pelayanan kesehatan pada rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah. Setiap orang yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah harus membayar retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah. Akan tetapi, tidak ada paksaan secara yuridis kepada pasien (anggota masyarakat) untuk membayar retribusi karena setiap orang bebas untuk memilih pelayanan kesehatan yang diinginkannya. Ciri-ciri retribusi daerah: a) Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah. b) Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. c) Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) yang secara langsung dari pemeritah daerah atas pembayaran yang dilakukannya. d) Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang mengunakan/mengenyam jasajasa yang disiapkan negara. 2.3.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan menurut Abdul Halim (2014:68) adalah: Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: 1) Bagian laba perusahaan milik daerah. 2) Bagian laba lembaga keuanganbank.

20 3) Bagianlaba lembaga keuangan non bank. 4) Bagaian laba atas penyertaan modal/investasi. 2.3.4 Lain-Lain PAD Yang Sah Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik daerah. Menurut Abdul Halim (2014:70), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan seperti berikut: 1. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan. 2. Penerimaan jasa giro. 3. Penerimaan bunga deposito. 4. Denda keterlambatan pelaksanaan perkerjaan. 5. Penerimaan ganti rugi atau kehilangan kekayaan daerah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, lain-lain PAD yang sah meliputi; a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan. b. Jasa giro. c. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. d. Pendapatan bunga. e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan pengadaan barang dan jasa oleh daerah. 2.4 Pajak Daerah 2.4.1 Pengertian Pajak Daerah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 pasal 1 ayat (10) tentang Pajak Daerah, pengertian Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapatkan imbalan

21 secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Daerah. 2.4.2 Dasar Hukum Pajak Daerah Dasar Hukum Pajak Daerah adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak. 4. Peraturan Daerah (Perda). 5. Peraturan Gubernur/Walikota/Bupati. 2.4.3 Jenis Pajak Daerah Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah pasal 2, Pajak Daerah dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Pajak Daerah Provinsi yang terdiri atas : 1) Pajak Kendaraan Bermotor. 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 4) Pajak Air Permukaan. 5) Pajak Rokok. 2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri atas: 1) Pajak Hotel. 2) Pajak Restoran.

22 3) Pajak Hiburan. 4) Pajak Reklame. 5) Pajak Penerangan Jalan. 6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. 7) Pajak Parkir. 8) Pajak Air Tanah. 9) Pajak Sarang Burung Walet. 10) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. 11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2.5 Pajak Hiburan 2.5.1 Pengertian Pajak Hiburan Sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 24 dan 25 yang telah dikutip oleh Marihot P. Siahaan, Pajak hiburan adalah pajak atas hiburan. Sedangkan yang dimaksud atas hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Pengenaan Pajak Hiburan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/ kota. Dalam pemungutan pajak hiburan terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui, yaitu: 1. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permaian dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

23 2. Penyelenggaran hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak yang lain menjadi tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan suatu hiburan. 3. Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain, dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan. 4. Pembayaran adalah jumlah nilai uang atau yang dapat disamakan dengan itu yang diterima sebagai imbalan atas penyerahaan jasa kepada penyelenggara hiburan. 5. Tanda masuk adalah semua tanda atau alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas, atau menikmati hiburan. 6. Harga tanda masuk (HTM) adalah nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung. 2.5.2 Dasar Hukum Pajak Hiburan Pajak Hiburan dilakukan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. 2.5.3 Objek dan Subjek Pajak Hiburan A. Objek Pajak Hiburan Hiburan yang atas jasa penyelenggaraannya ditentukan sebagai objek adalah: 1. Tontonan film; 2. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan atau busana; 3. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;

24 4. Pameran; 5. Diskotik, karoke, klab malam, dan sejenisnya; 6. Sirkus, akrobat, dan sulap; 7. Permainan bilyard, golf, bowling; 8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; 9. Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran; dan 10. Pertandingan olahraga. B. Bukan Objek Pajak Hiburan Pada Pajak Hiburan tidak semua penyelenggara kena pajak. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 42 ayat 3, penyelenggara hiburan yang merupakan objek pajak hiburan dapat dikecualikan dengan peraturan daerah. Pengecualian ini misalnya saja dapat diberikan terhadap penyelenggara hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat dan kegiatan keagamaan. 2.5.4 Subjek Pajak Hiburan Dalam pajak hiburan yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau yang menikmati hiburan. Sedangkan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak tentu berbeda peranan hak maupun kewenangan. Misalnya yang menikmati pelayanan hiburan merupakan pembayar atau penanggung pajak sedangkan penyelenggara tersebut bertindak sebagai pemungut pajak. 2.5.5 Tarif dan cara Perhitungan Pajak Hiburan A. Tarif Pajak Hiburan Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar tiga puluh lima persen (35%) dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini dimaksudkan agar memberi

25 keleluasan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari tiga puluh lima persen (35%). Oleh karena itu Pajak Hiburan meliputi berbagai jenis hiburan, pemerintah kabupateb/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan yang biasanya berbeda antar jenis hiburan. a. Tontonan film: 1. HTM dengan harga diatas Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen); 2. HTM mulai harga Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen); 3. HTM dibawah Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dikenakan pajak sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen); b. pagelaran kesenian, musik, tari modern dan/atau busana dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari HTM; c. binaraga dan sejenisnya dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari HTM; d. pameran dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari HTM; e. diskotik, karaoke, klab malam, klub, dan sejenisnya dikenakan pajak sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah pembayaran; f. sirkus, akrobat dan sulap dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari HTM; g. permainan bilyard atau bowling dikenakan pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah pembayaran; h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan dewasa dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari HTM;

26 i. panti pijat, refleksi dan mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness center) dikenakan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen); j. pertandingan olah raga dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari HTM; k. khusus unntuk kontes kecantikan dikenakan pajak sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah pembayaran/htm; l. khusus untuk golf dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah pembayaran; m. khusus untuk ketangkasan anak dikenakan pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah pembayaran. B. Perhitungan Pajak Hiburan Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hiburan adalah sesuai dengan rumus berikut: PajakTerutang = Tarif x DasarPengenaanPajak = Tarif x JumlahUang yang DiterimaPenyelenggara 2.5.6 Masa Pajak Dalam masa pajak atau tahun pajak, wajib pajak harus membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan daerah mengenai pajak hiburan yang telah di tetapkan pemerintah daerah.

27 2.5.7 Tata Cara Pembayaran Pajak Hiburan Berikut adalah tata cara pembayaran pajak: 1. Pembayaran pajak hiburan dilakukan di kas daerah atau temppat yang ditunjuk oleh kepala daerah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat pemberitahuan pajak daerah (SPTD), surat ketetapan pajak daerah (SKPD), surat ketetapan pajak daerah kurang bayar (SKPDKB), surat tagihan pajak daerah (STPD). 2. Apabila pembayaran pajak hiburan dilakukan di tempat lain yang hasil penerimaan pajak harus disetorkan ke kas daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam. 3. Pembayaran pajak hiburan dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak daerah (SSPD). 4. Pembayaran pajak daerah dengan self assessment system dilakukan di kas daerah atau tempat lain yang ditunjuk kepala daerah pada tanggal 7, 14, 21 dan 28 berdasarkan SSPD atas pajak yang telah dipungut dalam masa pajak bilamana tanggal tersebut jatuh pada tanggal libur maka jadwal pembayaran diundur pada tanggal berikutnya. 5. Pembayaran pajak hiburan harus dilakukan sekaligus atau lunas. 6. Kepala daerah atau pejabat dapat memberi persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu setelah memenuhi. 7. Angsuran pajak hiburan harus dilakukan dengan teratur dan berturut-turut dengan dihunakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar. 8. Kepala daerah atau pejabat dapat memberi persetujuan kepada wajib pajak sampai batas waktu yang ditentukan dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) dari jumlah pajak yang belum atau kurang bayar.

28 9. Persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda pembayaran serta tata cara pembayaran angsuran dan penundaan oleh kepala daerah atau pejabat. 2.5.8 Tata Cara Penagihan Pajak Apabila pajak hiburan tidak dilunasi setelah tanggal jatuh tempo pembayaran, pejabat yang ditunjuk akan melakukan tindakan penagihan pajak. 1. Dinas pendapatan daerah akan memberikan surat teguran atau surat lain yang sejenis yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan atas melalaikan pajak hiburan yang dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak. 2. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak surat teguran atau surat lain yang sejenis diterbitkan, wajib pajak harus melunasi pajak yang terutang. 3. Apabila jumlah pajak terutang yang masih harus dibayar tidak dilunasi oeleh wajib pajak dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam surat teguran atau surat lain yang sejenis, maka jumlah pajak yang harus dibayar ditagih dengan surat paksa. 4. Pejabat menerbitkan surat paksa setelah lewat dari 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal teguran atau surat lainnya yang sejenis. 5. Jika pajak yang masih harus dibayarkan belum dilunasi pada jangka waktu 2 x 24 jam sejak surat paksa diterbitkan pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP). 6. Setelah dilakukan penyitaan dan wajib pajak belum juga melunasi pajak yang harus dibayar, maka setelah tanggal 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan surat perintah melakanakan penyitaan, pejabat mengajukan permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada kantor lelang negara. 7. Setelah kantor lelang negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, juru sita memberitahukan secara tertulis kepada wajib pajak.

29 2.5.9 Ketetuan Pidana Wajib pajak hiburan yang karena sengaja atau karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara/kurungan dan atau denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi pidana kurungan/penjara dan atau denda juga dikenakan terhadap pejabat yang karena kealpaannya ataupun dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban merahasiakan keterangan tentang wajib pajak yang disampaikan kepadanya. Ketentuan pidana ini dimaksudkan agar wajib pajak dan pejabat (fiskus) menjalankan hak dan kewajibannya dengan benar.