BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mendapatkan pelayanan publik yang memadai dari pemerintah merupakan hak asasi bagi seluruh rakyat. Pelayanan publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 didefinisikan sebagai bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi baik di tingkat pusat, daerah, maupun di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Dari pengertian tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan berbagai pelayanan publik yang berkualitas untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan umum. Tantangan untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan berkeadilan bagi segenap warga tidaklah mudah. Semakin banyaknya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara menjadikan tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik semakin kuat. Di sisi lain, kemampuan anggaran pemerintah tidak mampu untuk memenuhi penyediaan layanan publik yang berkualitas secara merata. Hal inilah yang mendorong pemerintah menciptakan reformasi birokrasi publik dengan mengubah paradigma dari birokrasi yang berorientasi pada 1
2 kekuasaan menjadi birokrasi yang berorientasi pada masyarakat selaku pelanggan yang dilayaninya. Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Sejalan dengan amanat Pasal 28 H, ayat (1) perubahan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan yang berkaitan erat dengan kualitas hidup bahkan kelangsungan hidup warga. Permasalahan pelayanan publik di bidang kesehatan sangat nyata. Keterbatasan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan ditimpali dengan memberikan kesempatan kepada sektor privat untuk berpartisipasi dalam sektor ini. Akibatnya rumah sakit dan klinik kesehatan swasta baik lokal maupun asing marak berkembang akhir-akhir ini. Terjadi persaingan yang tajam dari berbagai layanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta untuk merebut hati masyarakat sebagai konsumen atas jasa layanan kesehatan yang ditawarkan. Dalam dunia bisnis, usaha untuk memenangkan persaingan adalah spiritnya, sehingga para aktornya berusaha dan berlomba serta berinovasi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan pelanggannya. Dalam pelayanan kesehatan klinik-klinik kesehatan maupun layanan kesehatan swasta
3 lainnya saling bersaing ketat untuk dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan kepada pelanggannya dengan meningkatkan kualitas layanan maupun fasilitas kesehatan yang dimilikinya. Profesionalitas, fasilitas, kecepatan, dan kenyamanan dalam pelayanan merupakan komoditas yang dijual oleh klinik swasta tersebut kepada pelanggannya. Bagaimana dengan layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah? Sudah tentu manajemen birokrasi pemerintah dan keterbatasan anggaran yang dimiliki menjadi hambatan yang sangat besar terhadap layanan kesehatan pemerintah untuk dapat bersaing dengan layanan kesehatan swasta. Layanan kesehatan milik pemerintah hanya mampu bersaing dalam hal tarif layanan yang masih jauh lebih terjangkau di banding dengan layanan kesehatan swasta, namun seperti kata pepatah ono rego ono rupo yang artinya jika tarif yang dikenakan sekedarnya (rendah) maka jangan harapkan akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Keinginan pemerintah untuk mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan oleh para pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi maupun di kabupaten/kota (Dwiyanto, 2006). Memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat hampir selalu menjadi jargon dan slogan yang dikeluarkan oleh para pemimpin di pusat maupun di daerah. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa perbaikan dalam pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan sedikit demi sedikit telah dinikmati oleh masyarakat.
4 Lembaga pelayanan publik yang berhubungan langsung dengan masyarakat dinilai oleh para pakar sebagai tempat yang tepat sebagai langkah awal menerapkan reformasi birokrasi. Oleh karena itu diperlukan upaya memangkas birokrasi publik sehingga lembaga pemerintah dapat bekerja dengan lebih efisien dan mampu meningkatkan kinerjanya. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan paket reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah. Paradigma perubahan yang sangat menonjol adalah penyusunan pola penganggaran dari pendekatan tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja lebih menekankan pada proses yang akan dihasilkan (output), bukan sekedar membiayai masukan (input). Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, khususnya Pasal 68 dan Pasal 69 memfokuskan pada Instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat, diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya dengan sebutan Badan Layanan Umum. Demikian juga di lingkungan Pemerintah Daerah, terdapat banyak Perangkat Kerja Daerah yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengamanatkan khususnya dalam pasal 150 yaitu Pedoman
5 teknis mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Menteri Keuangan. Untuk itu, pada tanggal 7 November 2007 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Dalam Peraturan Menteri tersebut perangkat kerja daerah di lingkungan Pemerintah Daerah yang secara langsung melaksanakan tugas operasional pelayanan publik dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah di Indonesia yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah, dengan status hukum tidak terpisah dari pemerintah daerah. Berbeda dengan SKPD pada umumnya, pola pengelolaan keuangan BLUD memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Dalam pengelolaan keuangan, BLUD diberikan fleksibilitas antara lain berupa: (1) pengelolaan pendapatan dan biaya; (2) pengelolaan kas; (3) pengelolaan utang; (4) pengelolaan piutang; (5) pengelolaan investasi; (6) pengadaan barang dan/atau jasa; (7) pengelolaan barang; (8) penyusunan
6 akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban; (9) pengelolaan sisa kas di akhir tahun anggaran dan defisit; (10) kerjasama dengan pihak lain; (11) pengelolaan dana secara langsung; dan (12) perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan. Adanya privilege yang diberikan kepada BLUD, karena tuntutan khusus yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari BLUD. Oleh karena itu, prasyarat perangkat daerah untuk menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) harus dilakukan secara selektif dan obyektif. Layak tidaknya perangkat daerah menerapkan PPK-BLUD wajib terlebih dahulu dilakukan penilaian oleh Tim Penilai yang diketuai Sekretaris Daerah yang hasilnya harus didasarkan pada penilaian obyektif, tidak hanya pemenuhan kelengkapan persyaratan administratif saja. Selain dari obyektivitas hasil penilaian tersebut, keberadaan BLUD juga harus dikendalikan dalam bentuk perjanjian kinerja (contractual performance agreement) antara Kepala Daerah dengan Pemimpin BLUD. Kepala Daerah bertanggungjawab atas kebijakan layanan dan pemimpin BLUD bertanggungjawab untuk menyajikan hasil layanan. Dengan demikian, penerapan PPK-BLUD diharapkan tidak sekedar perubahan format belaka, yaitu mengejar remunerasi, fleksibilitas, menghindari peraturan perundang-undangan dalam pengadaan barang dan jasa, akan tetapi yang benar adalah, tercapainya peningkatan kualitas pelayanan publik, kinerja keuangan dan kinerja manfaat bagi masyarakat secara berkesinambungan sejalan
7 dengan salah satu spirit BLUD yang dikelola berdasarkan praktik-praktik bisnis yang sehat. Paradigma baru sebagai sebuah BLUD juga harus seimbang antara Enterprising The Government dalam arti mewiraswastakan instansi pemerintah dengan pengelolaan instansi pemerintah ala bisnis, dengan Publik Service Oriented yaitu tetap berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hal inilah yang harus tetap kita ingat bahwa tujuan penerapan PPK BLUD adalah lebih kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas serta penerapan praktek bisnis yang sehat. Dengan adanya fleksibilitas, penerapan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD) menjadi salah satu alternatif dalam pengelolaan keuangan yang menarik bagi beberapa daerah. Namun demikian, dalam perjalanannya untuk menerapkan PPK BLUD tidaklah mudah. Implementasi PPK BLUD memiliki problem, misalnya terkait mekanisme penganggaran yang semula dengan menggunakan Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD menjadi Rencana Bisnis Anggaran (RBA). Demikian pula masalah penetapan remunerasi untuk pegawai BLUD juga sebagian besar adalah pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota hingga saat ini juga belum dapat diterapkan. Permasalahan lain adalah pemangkasan birokrasi pada BLUD yang mengalihkan peran regulasi yang semula diatur dengan peraturan daerah menjadi peraturan kepala daerah dan pimpinan lembaga. Artinya diskresi yang besar diserahkan kepada kepala daerah
8 dan pimpinan BLUD dalam pengelolaan BLUD. Pemangkasan birokrasi ini memberikan ruang gerak yang leluasa sehingga lembaga dapat bergerak lebih cepat dan responsif terhadap tuntutan perubahan. Namun disisi lain, sejauh mana fleksibilitas yang diberikan ini dapat dipertanggungjawabkan pun menjadi suatu permasalahan. Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang terdiri dari 25 puskesmas, 1 laboratorium kesehatan dan 1 Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai 1 Januari 2011 telah ditetapkan sebagai BLUD melalui Peraturan Bupati Nomor 380 s.d. 409 tahun 2010. Dengan diterapkannya UPT di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menjadi BLUD diharapkan pelayanan yang diberikan UPT tersebut kepada masyarakat dapat optimal serta kinerjanya baik keuangan maupun operasional dapat maksimal. Pada tahun 2014 ini merupakan tahun ke-empat penerapan BLUD pada UPT Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Selama ini Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman banyak mendapatkan penghargaan mengenai penerapan BLUD dari pemerintah dan banyak dijadikan sebagai tujuan studi banding oleh Dinas Kesehatan di seluruh Indonesia untuk dijadikan sebagai referensi dalam penerapan BLUD pada UPT. Setelah 4 (empat) tahun UPT Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dalam hal ini puskesmas, menerapkan PPK BLUD, sangat perlu untuk dilakukan evaluasi terhadap pencapaian tujuan dari penerapan kebijakan BLUD itu sendiri. Evaluasi dilakukan dengan menilai kinerja puskesmas setelah menerapkan kebijakan BLUD tersebut. Apakah dengan penerapan BLUD menjadikan kinerja
9 puskesmas baik kinerja keuangan maupun non keuangan semakin baik, pelayanan kepada pasien lebih memuaskan, efisiensi dan efektivitas kegiatan lebih baik ataukah kinerjanya sama saja dengan sebelum penerapan BLUD. Suatu kegiatan tidak bisa dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu mekanisme untuk melakukan pengawasan adalah evaluasi. Evaluasi ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan suatu kebijakan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan. Evaluasi diperlukan untuk menilai perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Evaluasi bertujuan untuk menemukan kekurangan suatu kebijakan dan memberikan solusi untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan (Subarsono, 2009). Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi (Dunn, 2003). Atas dasar latar belakang yang diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana kinerja UPT Dinas Kesehatan setelah menerapkan kebijakan PPK BLUD, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja satker yang menerapkan PPK BLUD tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil studi kasus pada Puskesmas Seyegan yang merupakan salah satu puskesmas yang berkinerja terbaik di Kabupaten Sleman menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini adalah sejauh mana kinerja UPT Dinas Kesehatan (studi kasus pada Puskesmas Seyegan Kabupaten Sleman) setelah penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD), dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja satuan kerja yang menerapkan PPK BLUD. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Mengetahui kinerja UPT Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman khususnya Puskesmas Seyegan setelah menerapkankan kebijakan PPK BLUD. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja UPT yang menerapkan kebijakan PPK BLUD. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1) Sebagai informasi bagi pemegang kebijakan terutama Pemerintah Kabupaten Sleman dalam hal kinerja UPT Dinas Kesehatan setelah menerapkan kebijakan PPK BLUD. 2) Memberikan masukan kepada pimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja satuan kerja yang menerapkan PPK BLUD.