Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

dokumen-dokumen yang mirip
Stev. Nalendra Jati Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta. Keywords: geology, distribution pattern, continuities, research location

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I. PENDAHULUAN...1

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

Bab II Kondisi Umum Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB II TINJAUAN UMUM

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

By : Kohyar de Sonearth 2009

BAB 1. PENDAHULUAN...

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

Struktur Geologi dan Sebaran Batubara daerah Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAN EKSPLORASI BATUBARA DAERAH ASAM-ASAM, KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1 GEOLOGI REGIONAL

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

Bab II Geologi Regional

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II METODE PENELITIAN

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAN ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI DAERAH SUKARESMI, KABUPATEN CIANJUR TANJUNGSARI, KABUPATEN BOGOR DAN SEKITARNYA, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

SKRIPSI FRANS HIDAYAT

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH MUARA LAKITAN, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROPINSI SUMATERA SELATAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

GEOLOGI DAERAH DESA TANJUNGRASA dan SEKITARNYA KECAMATAN TANJUNGSARI, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KUALITAS BATUBARA DI PIT J, DAERAH PINANG, SANGATTA, KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

SURVEI TINJAU ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH TALANG KARANGAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUARA ENIM PROPINSI SUMATERA SELATAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab III Geologi Daerah Penelitian

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR

Transkripsi:

KONTROL GEOLOGI DAN ANALISIS KUALITAS BATUBARA DAERAH BEANHAS DAN SEKITARNYA KECAMATAN MUARA WAHAU KABUAPATEN KUTAI TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INDONESIA Budi Prayitno Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Abstract Research in area Beanhas district and Muara Wahau Regency, East kalimans Province, Indonesia. geology area entered into Formasi Wahau in northern kutai basin that formed in last Oligosen to early Miocene with superficial sea deposition to land deposition (S Supriatna and HZ.Abidin,1995). Based on this field observation result is carrier coal formation that insert in sandstone and claystone formation. Structural pattern which expanded is large fold structure with direction fold almost approach North South. Fold structure consist Sinklin A, Antiklin A, and Sinklin B. Result fold classification in district Upright Horizontal Fold type (Fluety, 1964). Based on data subsurface and is supported data laboratory, so dispersion quality relative spread at every sub- coal bearing strata that own upward direction below 4810-5519 Cal / g become 5060 5699 Cal / g with followed ash decrease of rate 4,17% become 3,02%. Coal rank district including inside lignite type Abstrak Penelitian berada di daerah Beanhas dan sekitarnya kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Geologi daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wahau pada Cekungan Kutai bagian utara yang terbentuk pada Kala Oligosen Akhir Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan laut dangkal - darat (S. Supriatna dan H.Z.Abidin,1995). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan formasi ini merupakan formasi pembawa batubara pada satuan batupasir Wahau dan satuan batulempung Wahau. Pola struktur yang berkembang adalah struktur lipatan besar dengan arah sumbu lipatan hampir mendekati Utara Selatan. Struktur lipatan berupa Sinklin A, Antiklin A, dan Sinklin B. Hasil klasifikasi lipatan pada daerah penelitian menunjukan tipe lipatan Upright Horizontal

Fold (Fluety, 1964). Berdasar data bawah permukaan serta didukung data laboratorium, maka sebaran kualitas relatif merata pada setiap sub-lapisan batubara yang memiliki kecenderungan meningkat kearah bawah yaitu 4810-5519 Cal/g menjadi 5060 5699 Cal/g dengan diikuti penurunan kadar abu yaitu 4,17% menjadi 3,02%. Melihat ciri fisik,rank batubara daerah penelitian termasuk kedalam jenis lignit.

LATAR BELAKANG Penelitian dalam explorasi ini adalah untuk mencari informasi sebaran kualitas dan kendali geologi sebagai kontrol kualitas batubara formasi Wahau. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan dan informasi sekitar keberadaan lapisan batubara serta penyebaran kualitas batubara sehingga di harapkan penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan maupun kalangan mahasiswa sebagai acuan explorasi lanjut dan penelitian lebih detail. Penelitian berdasarkan metode pemetaan permukaan dan unsur pengukuran berupa pengumpulan data geologi, penentuan lokasi pengamatan, pengukuran kedudukan lapisan batuan, pengamatan struktur geologi, struktur sedimen, sampling batuan, diskripsi batuan dan dokumentasi. KONDISI UMUM DAN GEOLOGI Hasil pembagian fisiografi cekungan Kutai ( Supriatna dan Rustandi 1986 ) secara lateral membagi Cekungan Kutai menjadi tiga zona fisiografi, yaitu : Cekungan Kutai bagian Barat merupakan daerah rendahan yang sebagian besar tertutup rawa, danau dan alluvial. Pegunungan bergelombang Antiklinorium Samarinda dan Delta Mahakam yang berada pada bagian Timur hasil akumulasi sedimen yang berasal dari proses erosional pada zona rawa dan pegunungan bergelombang Antiklinorium Samarinda. Daerah Muara Wahau dan sekitarnya terbentuk oleh tiga bentukan asal yaitu Denudesional, Struktural dan Alluvial yang masing masing membentuk satuan geomorfik dengan kondisi batuan dan topografi yang berbeda - beda. Morfologi punggung perbukitan terkikis, Morfologi perbukitan yang memanjang berarah relatif Utara Selatan, dan Morfologi dataran aluvial, tubuh sungai, dan rawa merupakan hasil dari masing masing bentukan asal diatas. Formasi pembawa batubara. Dari tua ke muda adalah Satuan batupasir Wahau, Satuan batulempung Wahau dan Satuan endapan Alluvial. Kedudukan lapisan Satuan batupasir mempunyai arah umum N 335º E N 010º E dan kemiringan batuan landai 20º - 24 º. Sisipan Batubara pada satuan batupasir menunjukan warna coklat kehitaman hitam, gores coklat kehitaman hitam, keras kekerasan sedang, pecahan uneven fracture, kilap kusam sub- vitruoes, secara spot terdapat banyak fragmen damar

dan sesekali singkapan batubara menunjukan struktur kayu (Woddy Structure). Sumber bahan satuan batupasir ini diperkirakan hasil dari aktifitas gunungapi Jelai yang mengasilkan breksi aneka bahan, dan adanya intrusi kecil andesit dan diorite yang menerobos batuan berumur tua. Kehadiran batupasir tufaan dan sisipan tufa memperkuat bahwa selama proses pengendapan satuan batupasir Formasi Wahau diiringi dengan aktifitas gunungapi Jelai yang berada di sebelah Utara daerah penelitian. Satuan batupasir Wahau diendapkan pada Kala Oligosen Miosen Awal. Sedangkan pada satuan batulempung mempunyai kedudukan lapisan dengan arah umum N 335º E N 010º E kemiringan lapisan landai yaitu 15º - 20 º, sifat kimia tidak bereaksi dengan HCL. Pengendapan rawa yang masih berhubungan dengan kondisi marine secara local menyebabkan terbentuknya akumulasi formasi pembawa batubara yang berukuran halus yaitu satuan batulempung Wahau dengan sisipan lapisan batubara yang mengandung kadar sulfur tinggi (pada tempat yang masih berasosiasi dengan kondisi marine) dan dengan ketebalan lapisan batubara yang semakin intensif kearah atas. Kondisi ini membuktikan saat pengendapan berlansung pengaruh arus berkurang atau bahkan mendekati tenang. Pada saat yang bersamaan diperkirakan kegiatan gunungapi Jelai berhenti seiring dengan berkurangnya sisipan tufa kearah atas. Pada kondisi tersebut bisa jelaskan juga bahwa setelah pengendapan satuan batulempung Formasi Wahau terhenti pada kala Miosen Awal, kemudian diperkirakan pada kala Mio Pliosen terjadi gaya tektonik dengan rezim kompresi dengan arah gaya relatife Timurlaut Baratdaya yang mengakibatkan kedua satuan Formasi Wahau terlipat yang menghasilkan bentukan sinklin dan antiklin besar dengan arah sumbu lipatan Baratlaut Utara Tenggara Selatan. Struktur lipatan tersebut tertera dalam peta geologi yaitu sinklin A, Antiklin A dan Sinklin B. Pada kondisi selanjutnya proses eksogen lebih berperan yakni proses pelapukan dan erosi yang membentuk kondisi morfologi sekarang. Hal ini ditunjukan dengan diendapkannya satuan pasir krikilan/ alluvial yang menumpang secara tidak selaras pada satuan batulempung dengan kontak ketidakselarasan bersudut yaitu pengendapan pada bidang miring akibat proses erosi.

Gambar 1. Stratigrafi daerah Muara Wahau dan sekitarnya ANALISIS KUALITAS BATUBARA Kelembaban / Total Moisture Hasil analisis kelembaban sub-lapisan upper berkisar antara 40,09 46,65 % dan sub lapisan lower berkisar antara 43,13 50,42 %. Analisis kelembaban ini termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai rata-rata kelembaban mencapai 43,60 % dan 45,28 %. Kelembaban di sebabkan oleh kandungan air bawaan yang terdapat dalam batubara pada saat batubara terbentuk dan atau pasca batubara terbentuk ( air yang menempel pada permukaan butir batubara). Ketebalan lapisan penutup batubara (overburden) juga mempengaruhi kelembaban dari lapisan batubara, lapisan penutup yang tipis menyebabkan batubara mudah terkena pengaruh iklim dari luar. Inerburden dibangun oleh litologi pasir yang memperkuat bukti tingginya nilai kelembaban, litologi pasir adalah litologi yaitu litologi yang dengan mudah menuruskan aliran fluida pada lapisan dibawahnya. Pada kondisi tertentu aliran fluida akan mempengaruhi nilai kelembaban lapisan batubara. Kandungan Inherent Moisture Kandungan inherent moisture merupakan kelembaban batubara yang di sebabkan oleh fluida yang bersifat senyawa atau factor. Nilai kandungan inherent moisture ini sedikit di pengaruhi oleh ketebalan lapisan inerburden, tetapi lebih di pengaruhi pada saat batubara masih berupa gelly. Hasil analisis proksimat kandungan inherent moisture termasuk dalam kategori cukup tinggi yaitu berkisar antara 12,9 17,44 % pada sub-lapisan upper dan 13,15 19,31% Melihat angka kandungan inherent moisture secara keseluruhan maka nilai kandungan inherent moisture memiliki

kecenderungan menurun factor bawah yang mengikuti peningkatan nilai kalori kearah bawah. Kandungan Abu (Ash) Nilai rata rata kandungan abu mencapai 4,17 % dan 3,02 %. Kisaran kadar abu masing masing sub lapisan upper dan sub-lapisan lower adalah 2,17 7,30 % dan 2,19 4,26 %. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya kandungan abu adalah adanya pengotor bawaan yang terkandung di dalam batubara pada saat batubara terbentuk, terbentuknya sub-lapisan upper dan sub-lapisan lower dengan tebal 0.90 m 10.45 m merupakan faktor penyebab tingginya kandungan abu. Perbedaan kondisi lingkungan pengendapan, pada kandungan abu relatife rendah sedang lapisan batubara terendapkan di lingkungan rawa basah dalam kondisi tenang di bawah permukaan air, kondisi reduksi di lingkungan tertutup sehingga pengaruh distribusi dari tempat lain kecil. Sedangkan pada lapisan batubara yang memiliki kandungan abu yang relatife tinggi dari pada sekitarnya di sebabkan oleh lingkungan pengendapan yang dipengaruhi kondisi oksidasi dan erosi yang berkembang bersamaan dengan pengendapan batubara yang juga mengendapkan matrial non batubara. Mencermati nilai kandungan abu, maka kecenderungan nilai abu menurun kearah bawah di ikuti dengan peningkatan nilai kalori yaitu 4810 5519 cal/g menjadi 5060 5699 cal/g. Hal ini tidak sesuai pada sebuah prinsip bahwa meningkatnya nilai kalori akan selalu diikuti oleh kenaikan kandungan abu. Kemungkinan ini terjadi karena diakibatkan oleh tingginya moisture content baik yang bersifat air external maupun air internal sehingga pada saat batubara mengalami panas hasil overburden pressure, devolatisation/proses pelepasan zat terbang dari lapisan batubara kurang berjalan dengan sempurna. Selain itu lapisan batulempung juga mempengaruhi proses devolatisation tidak berjalan dengan sempurna, devolatisation akan berjalan efektif pada lapisan yang mempunyai porositas baik dan bersifat permeable. Kandungan Volatile Matter Kandungan volatile metter menunjukan nilai rata- rata yang tergolong tinggi yaitu berkisar antara 42,33 % pada sub-lapisan upper dan 42,39% pada sub-lapisan lower. Volatile Matter berkaitan dengan proses pembatubaraan akibat adanya overburden pressure, kandungan air dalam batubara akan berkurang, sedangkan apabila semakin mengecilnya kandungan air, kalorofik akan meningkat, pada saat yang bersamaan batubara akan mengalami devolatisation. Tingginya nilai volatile matter pada daerah penelitian lebih disebabkan oleh lapisan inerburden diatas lapisan batubara

yang bersifat impermeable/batulempung, sehingga proses devolatisation tidak berjalan efektif. Kandungan Sulfur Penambahan kadar sulfur akan lebih banyak terjadi pada batubara yang di atasnya berasosiasi dengan kondisi marine Kandungan kadar sulfur memberikan nilai rata rata yang rendah < 0,55% (Smyth, 1984). Hasil analisa rata rata hanya mencapai 0,17 % pada sub-lapisan upper dan 0,15 % pada sub-lapisan lower. Kandungan kadar sulfur berturut turut sublapisan upper dan sub-lapisan lower memberikan angka yang berkisar antara 0,12 0,31 % dan 0,10 0,22. Lingkungan pengendapan daerah penelitian adalah Transitional Lower Delta Plain pada lingkungan ini masih berasosiasi dengan kondisi marine. Hal tersebut di buktikan dengan melihat roof dari lapisan batubara berupa batulempung sehingga dapat di asumsikan pembentukan pyrite berkembang baik pada rawa yang mengalami transgresi segera setelah akumulasi gambut. Menurut Caruccio, 1997 (dalam Bambang Kuncoro, 1996) maka kandungan sulfur yang hadir sebagai 7actor pada daerah penelitian adalah pyrite yang membentuk butiran euhedral (> 25 mikron) dan pyirit yang membentuk lembaran pada cleat/ rekahan. Kandungan karbon Didenifisikan sebagai matrial yang tersusun setelah berkurangnya moisture, volatile matter dan ash. Kandungan karbon sebanding dengan kandungan nilai kalori, semakin besar kandungan karbon maka akan di ikuti dengan kenaikan nilai kalori. Kandungan karbon tertambat mempunyai kisaran nilai rata rata 37,61 % untuk sub-lapisan upper dan 39,12 % pada sub-lapisan lower. Mencermati angka kandungan karbon, maka kandungan karbon mempunyai kecenderungan meningkat kearah bawah dan 7actor7i menyebar merata pada setiap sub lapisan. Nilai Kalori Nilai kalori dipengaruhi oleh banyak factor, tetapi faktor yang paling utama adalah control lingkungan pengendapaan dan pengaruh struktur geologi yang berkerja pada daerah tersebut setelah pengendapan lapisan batubara terhenti. Berdasarkan hasil surve lapangan dan hasil analisa core batubara sering dijumpai adanya amber. Amber merupakan matrial yang ada pada tubuh batubara yang berwarna kuning keemasan, coklat, dan merah kekuningan. Penelitian laboratorium oleh Thiessen, 1925 menjelaskan bahwa lapisan lilin, minyak dan damar tidak akan musnah oleh organisme.

Kehadiran amber/ resinus merupakan hasil 8actor8ism tumbuhan. Resinit dalam batubara tidak hanya berasal dari dammar tapi juga dari hasil pengeluaran tertentu seperti esensial minyak yang terjadi pada daun. Amber memiliki sifat mudah terbakar dan tahan terhadap pembusukan. Dari sifat tersebut maka di asumsikan dapat meningkatkan nilai kalori pada batubara. Faktor geologi pun memberikan kontribusinya, sebaran lapisan batubara secara keseluruhan menempati struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin dengan tegasan utama berarah Baratdaya Timurlaut. Pada kondisi ini, kegiatan struktur geologi diprediksi terjadi tidak lama setelah pengendapan terhenti yang mengakibatkan adanya tekanan dan temperature bertambah. Selain itu 8actor inilah yang menyebabkan sebagian tubuh lapisan batubara terangkat kepermukaan.

KESIMPULAN 1. Pembentukan geomorfologi daerah Beanhas di control oleh 3 faktor utama yaitu resistensi batuan, pembentukan struktur geologi dan iklim dareah penelitian. 2. Daerah penelitian dibentuk oleh formasi pembawa batubara berupa satuan batupasir, satuan batulempung dan endapan alluvial. Lapisan batubara menempati di setiap satuan batuan sebagai sisipan yang relative menerus dan tebal sangat tebal. 3. Struktur geologi yang terbentuk terjadi tidak lama setelah pengendapan berhenti pada kala Mio Pliosen tektonik dengan rezim kompresi dengan arah gaya relatife Timurlaut Baratdaya. 4. Nilai kalori dipengaruhi oleh banyak factor, tetapi factor yang paling utama adalah lingkungan pengendapaan dan pengaruh struktur geologi yang berkerja pada daerah tersebut setelah pengendapan lapisan batubara terhenti. DAFTAR PUSTAKA Allen G.P and J.L.C. Chambers. 1998. Sedimentation in The Modern Delta And Miocene Mahakam Delta. Proceedings Annual Convention of IPA, Jakarta. Diessel C.F.K., 1992, Coal Bearing Depositional Systems, Springer-Verlag, Berlin. Kuncoro Prasongko, B., 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang Eksplorasi Dan Perencanaan Penambangan, Program Pascasarjana, ITB, Bandung. Sungkowo, Andi. dan Sastroprawiro, Suroso; 2001, Diktat Kuliah Geomorfologi, Jurusan Teknik Geologi UPN Veteran, Yogyakarta. Supriyatna, S; A. Sumartadipura & H.Z. Abidin., 1995, Peta Geologi Lembar Muaratewe, Kalimantan Tengah, Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Peta cropline Batubara

375 m 250 125 0-125 375 m 250 125 0-125 Lapisan Seam B - Upper Lapisan Seam C - Upper Lapisan Seam C - Lower N079 E N259 E Lapisan Seam A Lapisan Seam A Lapisan Seam A Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam B-Lower N079 E N259 E 375 m 250 125 0 125 375 m 250 125 0-125 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011 C PENAMPANG SUMUR BOR SEARAH DIP LINE C - C SKALA 1 : 12.500 H : V = 1 : 1 Antiklin A Sinklin A Sinklin B TB - C04 TB - C05 TB - C11 TB - C12 Lapisan Seam B - Lower C Simpel Splitting Lapisan Seam C-Upper Lapisan Seam C-Lower Lapisan Seam C-Upper Lapisan Seam C-Lower PENAMPANG SUMUR BOR SEARAH DIP LINE 10-10 SKALA 1 : 12.500 H : V = 1 : 1 Antiklin A Sinklin A Sinklin B TB - 10B TB - 10C TB - 10D TB - 10F TB - 10G TB - 10H TB - 10I Lapisan Seam A Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam B-Lower Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam B-Lower Lap isan Seam B - Lower Lapisan Seam CL - 1 Lapi san Seam CU - 1 Lapisan Seam CL - 1 Lapisan Seam CL - 1 Lapisan Seam D - Upper Lapisan Seam B-Lower Lapisan Seam C-Upper Lapisan Seam C-Lower 10 10 Lapisan Seam A Lapisan Sea m B - Upper Lapisa n Seam B - Lower Lapisan Seam B-Upper Lapisan Seam C-Upper Lapisan Seam D-Upper Lapisan Seam D-Lower