Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

DEWI INDIRA BIASANE NPM.

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

BAB V PENUTUP. Pencegahan Illegal Fishing di Provinsi Kepulauan Riau. fishing terdapat pada IPOA-IUU. Dimana dalam ketentuan IPOA-IUU

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. global dalam dunia perikanan. Berdasarkan data dari United Nations Food and

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STRATEGI PENANGGULANGAN IUU FISHING (ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING) MELALUI PENDEKATAN EKONOMI (STUDI KASUS DI PERAIRAN LAUT ARAFURA)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN

KERANGKA ACUAN KERJA TAHUN 2016 PENGADAAN DATA SATELIT RADAR COSMO-SKYMED

Pelaksanaan monitoring, controlling, surveillance kapal pengangkut ikan di atas 30 GT di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 SEKRETARIAT DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

Bab 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN. Samudera Hindia. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

Bab I Pendahuluan. 1 Ida Kusuma Wardhaningsih, Indonesia Kerepotan Berantas Illegal Fishing, dalam

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TENTANG ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TENTANG ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keindahan panorama yang membuat seluruh dunia kagum akan negeri ini. Dengan

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

SISTEMATIKA PEMAPARAN

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut Indonesia. Disusun Oleh :

4 PROFIL PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) MK DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP (PSP-301 )

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal. 57-63 Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi EFEKTIVITAS CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES DI SAMUDERA HINDIA STUDI KASUS: KERJASAMA INDONESIA DAN AUSTRALIA MENANGGULANGI ILLEGAL UNREGULATED UNREPORTED (IUU) FISHING Claudiya Radekna Salfauz Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269 Website: http://www.fisip.undip.ac.id / Email: fisip@undip.ac.id Abstract Illegal fishing has become an important issue because it threatens the maritime security. The activity of illegal unregulated unreported (IUU) fishing in the Indian Ocean not only does it jeopardize the maritime security of Indonesia and Australia, but also does it cause financial deficit to the country, moreover, if the activity of IUU fishing keeps increasing it will endanger the sustainability both fish and environment. The situation encourages member countries of Food and Agriculture Organization (FAO) in devising an applicable concept to many countries in the world regarding organized, responsible, and sustainable fisheries management and development, namely Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) which was settled in 1995. The activity of IUU Fishing in the Indian Ocean initiates Indonesia and Australia to conduct a fisheries cooperation agreement to prevent, deter and eliminate illegal fishing in the Indian Ocean. Indonesia and Australia adopt the CCRF into the fisheries treaty. This research aims to identify the efficacy of CCRF implementation in the fisheries cooperation agreement between Indonesia and Australia Government to cope with IUU fishing. The result of the research shows that CCRF as a regime is able to work effectively to cope with IUU fishing in the Indian Ocean. Keywords: illegal fishing, Indonesia-Australia Cooperation Agreement, international regime, CCRF 1. Pendahuluan Illegal unregulated unreported (IUU) fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di yurisdiksi negara lain, menggunakan alat tangkap yang dilarang atau bersifat merusak lingkungan, dan kegiatan penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan. IUU fishing merupakan ancaman serius yang tidak dapat diabaikan terhadap keamanan ekonomi, keamanan lingkungan, keamanan pangan, keamanan nasional, dan bahkan keamanan internasional. Perkembangan kegiatan penangkapan ikan dunia terus meningkat dan telah 57

menunjukkan gejala overfishing 1 di beberapa bagian perairan dunia. Penangkapan secara berlebihan menjadi masalah, karena lebih dari 80% stok ikan di dunia mengalami eksploitasi berlebihan atau telah dihabiskan atau dalam status kolaps. Secara global, stok predator di laut sudah habis sekitar 90%. Hal ini merupakan kasus yang serius karena populasi dari predator tingkat akhir merupakan kunci indikator dari ekosistem yang sehat (www.wwf.or.id, 2013). Samudera Hindia memiliki luas sebesar ±68.556.000 km² dengan kedalaman rata-rata 3.850m (www.wwf.or.id, 2013). Samudera Hindia memiliki sumber daya laut yang melimpah, dengan luas wilayah perairan yang besar, maka kekayaan sumberdaya alam yang dikandung sangat besar untuk dikonsumsi sebagai kebutuhan protein umat manusia. Perkembangan teknologi, dan berkurangnya sumber daya yang berada di bumi menyebabkan manusia modern berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya laut Pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan harus seimbang dengan pengelolaan sumber daya laut, agar sumber daya laut tidak habis. Namun, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan terkadang tidak mengindahkan peraturan pengelolaan perikanan yang berlaku, dan menjaga kelestarian dan ketersedian sumber daya ikan, hal tersebut menyebabkan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Sumber daya ikan yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan overfishing. Kegiatan penangkapan ikan ilegal memberikan dampak buruk bagi suatu negara, Indonesia dan Australia merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Indonesia dan Australia merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Menanggapi adanya kegiatan penangkapan ikan ilegal di wilayah perbatasan Indonesia-Australia, yaitu di Samudera Hindia, kedua negara sepakat untuk kerjasama dalam menangani kegiatan IUU fishing yang dilakukan kapal-kapal asing di wilayah tersebut. Indonesia dan Australia sepakat untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi menteri tentang kegiatan illegal fishing di wilayah perairan Samudera Hindia. Melalui kerjasama ini, diharapkan dapat menyelesaikan masalah ini dengan jauh lebih efektif. Kerjasama Indonesia dan Australia tertuang dalam Agreement of the Republic of Indonesia and the Government of Australia Relation Cooperation in Fisheries yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri dari kedua negara. Langkah yang diambil Indonesia dan Australia untuk mencegah, menanggulangi IUU fishing adalah mengimplementasi tatalaksana tentang pengelolaan perikanan dan kelautan yang bertanggungjawab dari organisasi internasional ke dalam hukum nasional masing-masing negara dan perjanjian kerjasama perikanan. Salah satu tatalaksana yang diterapkan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa penelitian mengenai Bagaimana efektivitas CCRF dalam kerjasama perikanan antara Indonesia dan Australia untuk menurunkan tingkat IUU fishing di perairan Samudera Hindia? merupakan hal yang penting karena dapat diketahui kerjasama yang dilakukan Indonesia dan Australia untuk menanggulangi IUU fishing sesuai dengan CCRF dan implementasi CCRF dalam kerjasama perikanan Indonesia dan Australia untuk menurunkan tingkat IUU fishing, serta dapat diketahui efektivitas CCRF dalam 1 Overfishing merupakan penurunan jumlah sumberdaya laut yang tajam disebabkan karena aktivitas penangkapan semakin tinggi untuk memenuhi kebutuhan protein sehingga menimbulkan degradasi pada system di laut, sementara sumber daya ikan dan biota laut lainnya semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi. 58

diketahui kerjasama yang dilakukan Indonesia dan Australia untuk menanggulangi IUU fishing di perairan Samudera Hindia. Untuk menjawab rumusan tersebut, penulis menggunakan teori kerjasama internasional dan teori rezim internasional dalam pandangan neo-liberalisme. Neoliberalis sangat menjunjung tinggi kerjasama internasional, karena dianggap sebagai salah satu jembatan untuk memenuhi kebutuhan negaranya. Menurut neoliberalis, saling ketergantungan merupakan hal yang penting dalam politik dunia sehingga kerjasama juga merupakan hal penting untuk mewujudkan saling ketergantungan antar negara (Keohane dan Nye,2001). Sedangkan menurut neo-liberalis, adanya rezim merupakan akibat dari politik internasional yang interdependen atau saling ketergantungan (Thompson dan Snidal, 1999: 703). Rezim internasional dibutuhkan oleh negara untuk kepentingan bersama, sehingga pendekatan neoliberalisme ini juga disebut interest-based theories of regimes dimana kepentingan bersama merupakan hal yang menyebabkan rezim dapat berjalan dengan baik (Hasenclever dkk., 1997:4). 2. Pembahasan CCRF merupakan suatu rezim yang dibentuk melalui Food and Agricultur Organization (FAO) untuk menangani pengelolaan dan pembangunan perikanan tangkap yang tertib dan bertanggung jawab. Code of conduct atau tatalaksana ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap ancaman sumberdaya ikan, tingginya tingkat IUU fishing, pengelolaan sumberdaya ikan yang melanggar peraturan. Rezim ini menjadi wadah kerjasama antara negara-negara untuk menanggulangi pengelolaan perikanan, khususnya IUU fishing. Terdapat beberapa instrumen lain di CCRF yaitu dalam bentuk International Plan of Action (IPOA), dimana pada saat ini telah dikembangkan ke dalam empat bidang perikanan yaitu IPOA-Shark, IPOA-Seabird, IPOA-Capacity, IPOA-IUU. IPOA-Shark membahas tentang pengelolaan sumberdaya Hiu di dunia. IPOA-Seabird berisi tentang tujuan untuk mengurangi kematian burung laut, dan IPOA-Capacity dibuat untuk mendorong negara-negara dalam menilai kapasitas nelayan masingmasing, dan menyesuaikan dalam upaya untuk mengatasi kelebihan kapasitas penangkapan ikan. Sedangkan IPOA-IUU dirumuskan untuk mendorong negaranegara pantai, organisasi manajemen perikanan regional (RFMO) untuk menempatkan mekanisme yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan IUU fishing (www.fao.org, 2015). CCRF memiliki prinsip-prinsip umum yaitu, tentang dasar pengelolaan sumber daya perikanan, pengembangan armada perikanan, perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan, pengembangan alat penangkap ikan, pelaksanaan Monitoring, Controlling, and Surveilance (MCS), dan kerjasama melalui organisasi regional maupun internasional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab (www.fao.org, 2015). Indonesia dan Australia telah melaksanakan pengelolaan dan pembangunan perikanan tangkap yang tertib dan bertanggung jawab sesuai dengan CCRF. Indonesia telah mengadopsi ketentuan-ketentuan CCRF ke dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ketentuan-ketentuan tersebut membahas tentang pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, pembangunan akuakultur, integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir, penanganan pasca panen dan perdagangan, penelitian perikanan, dan melakukan MCS. Australia telah mengadopsi CCRF kedalam kebijakan nasionalnya. Dalam melakukan pengelolaan perikanan sesuai CCRF, Australia melakukan pengawasan MCS dan melakukan kerjasama melalui 59

organisasi regional maupun internasional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab. Kerjasama perikanan antara Indonesia dan Australia telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua pihak, sudah sewajarnya kedua pihak untuk mempersiapkan diri dalam melaksanakan kerjasama perikanan. Dimana dalam perjanjian kerjasama tersebut merupakan kepentingan bersama yang harus dicapai kedua negara untuk mencegah, menangkal, dan menghilangkan IUU fishing di wilayah perbatasan khususnya Samudera Hindia. Tujuan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah mencegah IUU fishing di wilyah perairan Samudera Hindia, tercapainya manajemen perikanan yang bertangung jawab, pelestarian dan pemanfaatan yang optimal dari sumber daya hayati laut, mendapat persetujuan untuk langkah-langkah mengkoordinasikan dan menjamin konservasi serta pengembangan saham bersama yang saling menguntungkan dalam bidang ekonomi dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan perikanan. Tahun 2007, Indonesia menjalin kerjasama dengan Pemerintah Australia untuk melakukan pengawasan penangkapan ikan di wilayah perbatasan kedua negara (Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum/IAFSF). IAFSF merupakan bagian dari Indonesia-Australia Ministerial Forum (IAMF) yang dikhususkan pada kerjasama bidang pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP), termasuk kerjasama penanggulangan illegal fishing di perairan perbatasan kedua negara. Terdapat serangkaian kerjasama Indonesia dan Australia di dalam kerangka IAFSF yang telah dilaksanakan, antara lain Coordinate Patrols, Technical Assistances, port visit, dan Pertemuan IAFSF. a. Coordinate patrols Patroli bersama dan terkoordinasi atau coordinate patrols yang dilakukan oleh masing-masing negara di masing-masing batas ZEE kedua negara. Patroli ini dilakukan satu sampai tiga kali dalam setahun, yang telah dilakukan sejak tahun 2007 untuk mengawasi dan menekan persentase kegiatan illegal fishing oleh kapal asing. Patroli bersama dan terkoordinasi antara Indonesia dan Australia dilakukan mulai Agustus 2008. Terdapat 78 unit kapal yang diperiksa, setelah diperiksa terdapat 28 unit kapal ditangkap yang terdiri dari 25 KII dan tiga KIA. Pada tahun 2013, pengawasan yang dilakukan Indonesia dan Australia berhasil memeriksa 54 unit kapal dimana kapal-kapal tersebut bebas dari pemeriksaan, tidak ada satupun kapal yang ditangkap. Penurunan jumlah kapal yang ditangkap cenderung menurun, hal itu menunjukkan tingkat pelanggaran semakin berkurang dan semakin meningkatnya ketaatan kapal perikanan. Patroli bersama dan terkoordinasi antara Indonesia dan Australia memberikan hasil yang baik dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Samudera Hindia b. Technical assistances Technical assistances yang disediakan oleh Australia berupa keahlian dalam peningkatan kemampuan Awak Kapal Pengawas Ditjen PSDKP, baik berupa training maupun bantuan peralatan komunikasi seperti telepon satelit dan radio UHF. Training yang dilakukan berupa ship search training yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta mengenai pentingnya keselamatan kerja, serta penggunaan perlengkapan 60

keselamatan di atas kapal. Selain itu juga untuk memperkenalkan peralatan yang fungsinya dapat digunakan untuk melakukan peran pemeriksaan suatu tindak pidana yang terjadi di laut. c. Port Visit Dalam melakukan port visit, masing-masing pihak saling mengunjungi pelabuhan dalam rangka latihan ship search training, program beasiswa, pelatihan bahasa Inggris, dan pertukaran informasi. Pada saat bersamaan, juga sekaligus dilakukan simulasi atau latihan patroli bersama, termasuk melakukan technical assistance. d. Pertemuan IAFSF Pertemuan IAFSF dilaksanakan setiap tahun, pertemuan membahas perkembangan dari implementasi kesepakatan pertemuan yang telah disusun dan disepakati kedua belah pihak pada tahun sebelumnya (kkp.go.id, 2015). Mengenai penanggulanganan IUU fishing, telah disepakati dalam UNCLOS 1982. Terdapat beberapa ketentuan-ketentuan internasional yang dijadikan pedoman dalam upaya penanggulanganan IUU fishing yaitu, UNCLOS 1982, UN Fish Stock Agreement, FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Ketentuan internasional atau key instruments tersebut merupakan ketentuanketentuan dalam pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab. UNCLOS merupakan dasar dari keberlakuan ketentuan-ketentuan dibawahnya. Seperti FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 telah membentuk sebuah rezim internasional yang mengatur tentang pola perilaku penangkapan ikan yang bertanggung jawab, pengelolaan dan pengembangan sumber daya hayati. Pola perilaku tersebut disusun dengan merujuk pasal UNCLOS 1982. Kerjasama yang dilakukan Indonesia dan Australia adalah mengimplementasikan CCRF untuk menanggulangi IUU fishing di perairan Samudera Hindia. CCRF memiliki prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Artikel 6. Prinsip-prinsip umum tersebut berisi tentang dasar pengelolaan sumberdaya perikanan, pengembangan armada perikanan, perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan, pengembangan alat penangkap ikan, pelaksanaan MCS, dan kerjasama melalui organisasi regional maupun internasional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab (www.fao.org, 2015). Rezim CCRF digunakan untuk kepentingan bersama yaitu untuk mencapai keamanan dan kemakmuran negara, dimana kepentingan bersama merupakan hal yang menyebabkan rezim dapat berjalan dengan baik. Dengan pendekatan ini akan diketahui rezim dapat berjalan dengan baik, dilihat dari kerjasama perikanan yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia untuk mencegah IUU fishing. Kerjasama perikanan tersebut terjadi karena adanya kepentingan bersama untuk mencegah IUU fishing di wilayah perairan masing-masing negara khususnya di Samudera Hindia. Selain itu, rezim dapat berjalan dengan baik apabila rezim tersebut sejalan dengan rezim internasional yang telah diadopsi Salah satu indikator kuat atau tidak nya suatu rezim dapat dilihat dari negara yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan internasional yang menjadi key instruments dan standar perilaku negara dalam menjalankan upaya pemanfaatan sumber daya hayati perikanan. Adanya ketentuan-ketentuan internasional tersebut 61

harus direspon oleh negara-negara yang berkomitmen dalam upaya penanggulanganan IUU fishing. Respon negara-negara tersebut juga sebagai komitmen negara terhadap keinginan dunia internasional dalam mempertahankan kelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya. Ratifikasi merupakan langkah pertama yang penting dilakukan negara-negara dalam merespon adanya ketentuanketentuan internasional tersebut. Australia dan Indonesia telah meratifikasi key instruments yang menjadi ketentuan-ketentuan internasional yang dijadikan pedoman dalam upaya penanggulanganan IUU fishing. Maka Indonesia dan Australia telah berkomitmen untuk mencegah, menangkal, dan menghilangkan IUU fishing dalam melakukan kerjasama perikanan untuk mencapai kepentingan bersama. 3. Kesimpulan Dalam melakukan kerjasama perikanan, Indonesia dan Australia mengadopsi CCRF, dimana CCRF mengamanatkan kerjasama dalam bidang pertukaran informasi, manajemen perikanan, melakukan technical assistance, port visit, dan melakukan patroli bersama untuk melakukan pengawasan di wilayah perbatasan, serta melakukan pengawasan dan ratifikasi terhadap international key instruments terkait dengan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indonesia dan Australia telah meratifikasi international key instruments, sehinga CCRF merupakan rezim yang kuat dan efektif untuk mencegah, menghambat, dan menghilangkan IUU fishing karena rezim tersebut telah sejalan dengan rezim internasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rezim CCRF berjalan dengan efektif, dimana efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah dicapai. Penelitian ini menunjukkan bahwa rezim CCRF berjalan dengan efektif karena telah tercapainya tujuan atau kepentingan bersama untuk mengurangi tingkat IUU fishing di perairan Samudera Hindia. Hal tersebut dibuktikan oleh kedua negara telah meratifikasi international key instruments yang merupakan ketentuan-ketentuan internasional yang dijadikan pedoman untuk pengelolaan perikanan, dan pemanfaatan sumberdaya perikanan serta menanggulangi IUU fishing. Disamping itu turunnya jumlah kapal yang ditangkap menunjukkan bahwa rezim CCRF efektif. Dengan adanya rezim tersebut, tingkat pelanggaran semakin berkurang dan semakin meningkatnya ketaatan kapal perikanan terhadap peraturan yang berlaku. Patroli bersama yang dilakukan Indonesia-Australia memberikan hasil yang baik dalam melakukan pengawasan di wilayah Samudera Hindia, yaitu terjadi penurunan jumlah kapal yang diperiksa dan ditangkap. Pada tahun 2008 Indonesia- Australia berhasil memeriksa 78 unit kapal dan menangkap 28 unit kapal, kemudian di tahun 2013 terdapat 54 kapal yang diperiksa dan tidak ada kapal yang ditangkap. Hal tersebut membuktikan adanya penurunan tingkat pelanggaran penangkapan ikan dan semakin meningkatnya ketaatan kapal perikanan, serta kedua negara telah meratifikasi international key instruments dan rezim telah sejalan dengan rezim internasinal, sehingga dalam penelitian ini rezim CCRF berjalan dengan efektif untuk menurunkan tingkat IUU fishing di Samudera Hindia. Daftar Pustaka Andreas Hasenclever, Peter Mayer, Volker Rittberger. (1997). Theories of International Regimes. Cambridge: Cambridge University Press 62

Baird, Rachel J. (2006). Aspects of Illegal. Unreported, and Unregulated Fishing in the Southern Ocean. Netherlands : Springer Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jenderal Satuan Kerja Dewan Maritime Indonesia. (2008). Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia. Arsip. (2008). Keohane, R. O. and Joseph S. Nye. (2001). Power and Interdependence (3rd ed.). New York: Longman. Little, Richard. (2009). International Regimes. Dalam Baylis, J. & Smith, S., The Globalization of World Politics: an introduction to international relations (5th ed.). Oxford: Oxford University Press. Thompson, Alexander & Duncan Snidal. (1999). International Organization. Laporan ilmiah di University of Chicago. Chicago: University of Chicago Press. Australia Fisheries Management Act 1991 http://www.afma.gov.au/?s=fisheries+management+act+1991, Diunduh pada 03 Desember 2014, pk. 19.00 WIB. Australian National Plan Of Action To Prevent, Deter, And Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing. 2005. http://www.agriculture.gov.au/fisheries/iuu/plans-of-action/plans. Diunduh pada 27 September 2014, pk. 21.00 WIB. Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jenderal Satuan Kerja Dewan Maritime Indonesia http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/. Diunduh pada 29 Maret 2014, pk. 20.00 WIB. David J Doulman. 2000. Code of Conduct for Responsible Fisheries: Development And Implementation Considerations. http://www.fao.org/docrep/006/ad363e/ad363e00.htm. Diunduh pada 20 Desember 2014, pk. 17.0 WIB. Indonesia-Australia Fisheries Cooperation, http://www.agriculture.gov.au/fisheries/international/cooperation/indonesia. Diunduh pada 27 Desember 2014, pk. 08.00 WIB. International Plan Of Action To Prevent, Deter And Eliminate Illegal, Unreported And Unregulated Fishing, http://www.fao.org/docrep/003/y1224e/y1224e00.htm. Diunduh pada 29 Maret 2014, pk. 20.00 WIB. 63