BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo, 1985:46). Untuk

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

ETNOGRAFI KOMUNIKASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Kajian pustaka adalah langkah yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,2007:588).

Kumpulan Artikel Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam semua aktivitas kehidupan masyarakat disana. Variasi bahasa ini

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah: 1) rancangan atau buram surat, dsb; 2) ide atau pengertian

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan

BAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tentang pemertahanan bahasa Bali di Universitas Airlangga, dan pemertahanan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. selain berfungsi untuk menyusun landasan atau kerangka teori. Kajian pustaka juga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehidupan seseorang dalam bermasyarakat tidak lepas dari interaksi sosial

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Peristiwa Tutur Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dalam bertransaksi yaitu ada barang yang akan diperdagangkan, kesepakatan yang tidak dipaksa oleh pihak manapun.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah di dalam interaksi lingual itu.

: Ortografis dalam Register Seabreg SMS Gaul

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat dengan berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling

BAB I PENDAHULUAN. Pikiran, perasaan, dan pengalaman manusia disampaikan melalui bahasa.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa merupakan

BAHASA INDONESIA KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA. Drs. SUMARDI, M. Pd. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa juga merupakan ekspresi kebudayaan,

REGISTER JUAL BELI DI PASAR TRADISIONAL FLAMBOYAN (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)

I. PENDAHULUAN. Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Kemampuan mengomunikasikan pikiran dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Segala aktivitas kehidupan manusia menggunakan bahasa sebagai alat perantaranya.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan lainnya. Manusia pasti menggunakan bahasa untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan karena bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi antar sesama. Kridalaksana (dalam Chaer, 2003: 32)

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial yang harus bergaul dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Berbahasa merupakan aktivitas sosial bagi manusia. Seperti aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Chaer, 2003:

BAB I PENDAHULUAN. campuran, yaitu campuran antara bahasa Indonesia dan salah satu atau kedua

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB I PENDAHULUAN. tidur sampai tidur lagi, bahkan bermimpi pun manusia berbahasa pula.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CIRC DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI UNSUR INTRINSIK NOVEL REMAJA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diuraikan mengenai: (1) latar belakang; (2)

BAB I PENDAHULUAN. alat berkomunikasi antara anggota masyarakat yang berupa lambang bunyi yang

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

BAB II KERANGKA TEORI. dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.

BAB I PENDAHULUAN. Alih kode..., Dewi Nuryanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki makna yang sama. Salah satu fungsi dari bahasa adalah sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. lain. Penggunaan suatu kode tergantung pada partisipan, situasi, topik, dan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai

KAJIAN PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN SOLOPOS EDISI JANUARI-FEBRUARI 2010 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. tata kalimat, dan tata makna. Ciri-ciri merupakan hakikat bahasa, antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti menggunakan bahasa, baik bahasa lisan maupun

IMPLIKATUR PASAMBAHAN DALAM BATAGAK GALA DI KANAGARIAN PAUH V SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,

BAB 3 OBJEK LINGUISTIK : BAHASA. Linguistik adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Nani Astuti, 2013

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kata-kata. Manusia mengikuti aturan pembentukan kode verbal

S C E ( R!TI ( FI < KAT

Peluang: Pengembangan Pengajaran Tata Bahasa dalam Wacana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. gagasan serta apa yang ada dalam pikirannya. Agar komunikasi dapat berlangsung

Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :

Transkripsi:

2.1 Konsep BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Pertistiwa Tutur Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010: 47). Peristiwa tutur atau pertuturan (speech act, speech event) dalam Kamus Lingusitik (Kridalaksana, 2008:191) adalah: "(1) perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (2) perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara berurutan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; (3) seluruh komponen linguistik dan nonlinguistik yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (4) pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar. Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes (dalam Chaer, 2010: 48-49), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya 8

dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990): S = Situation P = Participants E = Ends A = Act Sequences K = Key I = Instrumentalities N = Norms G = Genres Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di aula serbaguna pada saat konser musik berlangsung mengharuskan kita berbicara keras, sedangkan di rumah ibadah seperti mesjid atau gereja kita cenderung berbicara pelan bahkan berbisik-bisik. Menurut Coulthard (dalam Pangaribuan, 2008: 125) latar dapat mempengaruhi pilihan ragam bahasa, pada situasi resmi seperti di tempat rapat cenderung menggunakan ragam formal, begitu juga halnya dengan suku Jawa yang menggunakan ragam tinggi pada waktu upacara pernikahan. Sedangkan dalam percakapan yang dilakukan di jalan ataupun di rumah dalam keadaan santai cenderung menggunakan ragam yang lebih mengakrabkan suasana, yaitu ragam 9

informal. Jadi dapat dikatakan bahwa semua peristiwa bahasa itu terjadi dalam ruang dan waktu. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan jika berbicara terhadap teman-teman sebayanya. Menurut Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) paling sedikit ada empat peran yang dapat diperankan oleh partisipan yaitu, pembicara, penyapa, pesapa, pendengar atau pemirsa. Partisipan bisa menjalankan peran yang berbeda sekaligus, seperti pada suatu pembicaraan seorang partisipan berperan sebagai pembicara sekaligus sebagai pendengar. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan 10

hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ajaran dalam kuliah umum, percakapan biasa dan dalam pesta berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Key, mengacu pada nada, cara dan intonasi suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) menyatakan kunci komunikasi dalam komponen tutur merajut nada tutur seirama dengan sikap dan laku penuturnya. Kunci itu kelihatan dari sikap pembicara dengan teman tuturnya, pilihan ragam, penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma tata krama menurut budaya penuturnya. Orang yang diajak bicara akan tahu kuncinya dengan melihat tanda-tanda khusus seperti kerdipan mata, senyuman, postur, isyarat, aspirasi dan panjang pendeknya bunyi. Orang bisa mengatakan aku benci kamu dengan senyuman dan kerdipan mata yang akan berarti sebaliknya. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register. Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Pangaribuan (2008: 128) meengatakan bahwa ada aturan-aturan yang tidak tertulis namun telah disepakati oleh masyarakat tutur, bila ada yang melanggar maka akan terjadi konflik, kejutan, timbulnya kesan 11

negatif dan sebagainya. Sebagai contohnya anak-anak Jawa diajar untuk tidak membantah bila dimarahi orang tuanya, sebaliknya anak Amerika dibiasakan protes untuk mempertahankan pendiriannya baik terhadap sesama maupun terhadap orang tua, hal ini dianggap mempunyai nilai yang positif bagi orang Amerika, namun untuk bangsa lain mungkin sebaliknya. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan Fishman (dalam Wijana, 2006: 7) yang disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik yaitu who speaks, what language, to whom, when, and what end. Dalam setiap peristiwa interaksi verbal atau proses komunikasi selalu terdapat beberapa komponen yang mengambil peranan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell (dalam Chaer, 2004: 7) menyatakan secara tradisional terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari sebuah peristiwa atau situasi komunikasi yaitu: penutur (speaker), lawan tutur (hearer), dan topik pembicaraan. Dengan kata lain dalam setiap proses komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa (speech event). 2.1.2 Pantun a. Pengertian Pantun Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai 12

parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Effendy (1984: 27) menyimpulkan bahwa dalam pantun, pikiran atau perasaan dilukiskan oleh tiga hal yaitu irama, bunyi dan isi. Ketentuan atau aturan-aturan dalam pantun (dalam Effendy, 1984: 28) adalah sebagai berikut: a. Tiap bait terdiri dari empat baris. b. Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata dan terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata. c. Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). d. Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir merupakan isi. Meskipun pada umumnya sampiran tidak berhubungan dengan isi, terkadang bentuk sampiran membayangkan isi. b. Jenis Pantun Dari sisi sifat isi, sebuah pantun menurut Navis (1984) dapat dibedakan atas lima jenis pantun, yaitu: pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka. Sebagian ahli yang lain menambahkannya dengan pantun agama, pantun nasihat, pantun kanak-kanak, pantun orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Karmina, pantun berkait dan talibun juga dikategorikan sebagai pantun. Berikut contoh pantun nasihat: Pulau Pandan jauh di tengah Di balik pulau Angsa Dua Hancur badan dikandung tanah Budi baik terkenang juga (Amir, 2010) 13

Kenyataan memperlihatkan bahwa makna baris-baris pantun di atas memang seperti apa adanya. Jika kita berada di Pantai Padang, letak Pulau Pandan memang agak ketengah, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Persoalan budi bukanlah persoalan yang sederhana. Sangatlah sukar membalasnya. Itulah sebabnya hutang budi ini sukar dilupakan sekalipun seseorang telah meninggal dan sudah hancur badannya di dalam kubur. c. Peran Pantun Selain alat pemelihara bahasa, pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata dan penjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. 2.1.3 Peribahasa a. Pengertian Peribahasa Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994)). Pada umumnya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap 14

suatu maksud. Kalimat yang dipakai biasanya mengesankan dan memiliki arti yang luas. Didalam suatu peribahasa terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Dalam kebudayaan Melayu, peribahasa sering dipakai atau diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain sastra lisan ini merupakan salah satu sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai adat dari waktu ke waktu. Peribahasa merupakan ungkapan yang walaupun tidak langsung namun secara tersirat menyampaikan suatu hal yang dapat dipahami oleh pendengarnya atau pembacanya karena sama-sama hidup dalam ruang lingkup budaya yang sama. Persamaan ruang lingkup budaya yang sama menjadi faktor penting, karena jika tidak maka pembicaraan dengan penggunaan peribahasa tidak akan nyambung. Misalnya, baru-baru ini ada pejabat tinggi kepolisian yang dengan bangga menyebut diri dan institusinya sebagai buaya karena menganggap buaya itu lambang kekuatan dan keperkasaan. Padahal masyarakat sekarang sudah sejak lama menganggap kata buaya itu selalu dalam arti negatif, contohnya saja pada ungkapan buaya darat dan air mata buaya. Jadi, pemakaian peribahasa di dalam masyarakat adalah milik bersama yang kalau diucapkan, walaupun hanya sebagian akan dipahami oleh yang mendengar atau membacanya. Contoh lain jangan kura-kura dalam perahu, yang mendengarnya tahu bahwa arti dari peribahasa itu adalah jangan pura-pura tidak tahu. Peribahasa ini meski yang diucapkan hanya sampirannya saja tetapi orang lain akan tahu apa isinya. 15

b. Jenis Peribahasa Peribahasa dapat berupa pepatah, ungkapan, bidal, perumpamaan, tamsil dan semboyan. Berikut contoh peribahasa: Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Artinya setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Sosiolinguistik Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetap sebagai masyarakat sosial. Ohoiwutun (2007: 78-80) mengungkapkan bahwa bahasa, pikiran dan kebudayaan merupakan satu rangkaian kesatuan yang bergulir terus dalam satu alur tak terbatas, bahasa juga menjadi bukti keberadaan kebudayaan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Sosiolinguistik berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi bervariasi. Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2004: 1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat 16

disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu. Trudgill (dalam Sumarsono, 2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala social dan gejala kebudayaan. Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu. Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidahkaidah yang sebagian besar tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978: 94). Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2). Sosiolinguitik lahir karena ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya. Menurut Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan karangan 17

yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada tahun yang sama Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations. Chaer (2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejalan sosial dan gejala kebudayaan. Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat, bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat dan berinteraksi. 2.2.2 Teori SPEAKING Dell Hymes Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik dengan menerapkan teori Speaking milik Dell Hymes (dalam Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 325), ada 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: 1. Bentuk pesan (massage form) 2. Isi Pesan (massage content) 3. Latar (setting) 4. Suasana (scene) 5. Penutur (sender) 6. Pengirim (addressor) 7. Pendengar (receiver) 18

8. Penerima (addresse) 9. Maksud - Hasil (purpose - outcome) 10. Maksud - Tujuan (purpose - goal) 11. Kunci (key) 12. Saluran (channel) 13. Bentuk tutur (form of speech) 14. Norma Interaksi (norm of interaction) 15. Norma Interpretasi (norm of interpretation) 16. Jenis (genre) Berdasarkan komponen di atas, Hymes mengklasifikasikan enam belas komponen itu menjadi delapan komponen besar yang dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu: Setting berkenaan Waktu, tempat, dan situasi dengan waktu dan tuturan yang berbeda dapat tempat tutur menyebabkan penggunaan berlangsung. variasi bahasa yang berbeda, S Situation Scene mengacu pada situasi tempat dan Sebagai contoh berbicara dilapangan sepak bola pada waktu atau situasi waktu ada pertandingan dalam psikologis situasi ramai tentu berbeda pembicaraan. dengan berbicara di ruang perpustakaan pada keadaan sunyi. 19

Merujuk pada pihak-pihak Status sosial partisipan sangat yang terlibat dalam menentukan ragam bahasa pertuturan, bisa pembicara yang digunakan, misalnya dan pendengar, penyapa dan anak akan menggunakan P Participants pesapa, atau pengirim dan ragam atau gaya bahasa yang penerima. berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan kalau berbicara dengan teman sebayanya. Merujuk pada maksud dan Peristiwa tutur yang terjadi di tujuan pertuturan. ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa E Ends tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. 20

Mengacu pada bentuk ujaran Bentuk dan isi ujaran dalam dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda. A Act Sequences kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya. Isi ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Mengacu pada nada, cara, Dengan senang hati, dengan dan intonasi suatu pesan serius, dengan singkat, dengan K Key disampaikan. sombong, dengan mengejek atau dapat ditunjukkan juga dengan gerak tubuh dan isyarat. Mengacu pada jalur bahasa Jalur tulisan, lisan, melalui I yang digunakan dan juga Instrumentalities mengacu pada kode ujaran yang digunakan. telegraf atau telepon, bahasa, dialek, fragam atau register. 21

Mengacu pada norma atau Berhubungan dengan cara aturan dalam berinteraksi berinterupsi, cara bertanya, N Norms dan juga mengacu pada dan sebagainya penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. G Genres Mengacu pada jenis bentuk penyampaian Narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. 2.2.3 Fungsi Bahasa Menurut Jakobson Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah "who speak what language to whom, when and to what end. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode dan amanat pembicaraan menurut Jakobson (dalam Soeparno, 2002: 7-8) adalah sebagai berikut: 1. Fungsi Emotif Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi untuk membantu manusia mengungkapkan emosi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Misalnya, rasa sedih, gembira, marah, kesal, kecewa, puas. Tujuan manusia dalam mengungkapkan perasaannya bermacam-macam, antara lain agar terbebas dari semua tekanan emosi dalam hatinya dan mengungkapkan suka duka dengan 22

bahasa agar tekanan jiwanya dapat tersalur. Apabila tidak, tekanan perasaan akan membelenggu jiwa seseorang sehingga secara psikologis keseimbangan jiwanya akan terganggu. Sebagai contoh, ketika anda merasa sedih ditinggalkan seseorang, Anda bercerita kapada teman Anda betapa hancurnya perasaan Anda ditinggalkan begitu saja oleh orang yang Anda cintai. 2. Fungsi Konatif Dilihat dan sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi konatif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara. Sebagai contoh, seorang guru menasihati muridmuridnya agar selalu menjaga kebersihan kelas. Agar nasihatnya didengar, dipahami dan dituruti, tentu guru tersebut harus mengutarakan nasihatnya dengan bahasa yang baik, kalimatnya sederhana, mudah dipahami, dan disertai dengan alasan yang logis. Jadi, fungsi konatif bahasa dalam hal ini akan terwujud. Harap tenang ada ujian, sebaiknya Anda menelepon dulu, Anda tentu mau membantu kami adalah beberapa contoh kalimat yang berfungsi konatif (Chaer, 2004: 16). 3. Fungsi Fatik Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan seperti apa kabar, bagaimana anak-anak, mau kemana nih, dan sebagainya (Chaer, 2004: 16). Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini 23

tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut jika tidak disertai unsur paralinguistik tidak mempunyai makna. 4. Fungsi Referensial Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapanungkapan seperti Ibu dosen itu cantik sekali atau gedung perpustakaan itu baru dibangun adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial (Chaer, 2004: 16). 5. Fungsi Metalingual atau Metalinguistik Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti masalah politik, ekonomi, pengetahuan atau pertanian (Chaer, 2004:16). Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa. 6. Fungsi Puitik 24

Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi puitik atau imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya (Chaer, 2004: 17). 2.3 Tinjauan Pustaka Berdasarkan sumber pustaka terdahulu ada sejumlah sumber yang relevan untuk ditinjau dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah sebagai berikut: Dina (2013) dalam artikelnya Analisis Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur di dalam Kelas mengatakan bahwa menggunakan jenis kalimat yang tidak sesuai di kelas akan menimbulkan kesalahpahaman yang artinya tujuan tidak akan tersampaikan dengan baik. Maka sebagai guru khususnya harus bisa memaksimalkan kemampuan bahasa dengan cara menggunakan dan memilih jenis kalimat yang akan diujarkan kepada muridnya di kelas dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang akan merugikan. Sulis (2012) dalam analisisnya Peristiwa Tutur dalam Cerpen Batu Betina karya Syarif Hidayatullah menyatakan bahwa pemahaman akan konsep dasar dalam analisis wacana dapat menjadi starting point untuk memahami dan menganalisis wacana. Konteks harus dipahami secara mutual, artinya baik penutur maupun mitra tutur memiliki sharing knowledge terhadap konteks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konteks memegang peranan penting, bahkan menjadi 25

juru kunci dalam peristiwa komunikasi. Tanpa konteks komunikasi berpotensi untuk gagal. Meldawati (2011) dalam Analisis Bentuk Tindak Tutur Berdasarkan Konteks menghasilkan penelitian tentang pentingnya konteks dalam memahami dan menafsirkan wacana. Konteks sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika orang berusaha memperoleh makna yang sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya. Menentukan konteks dalam pemahaman wacana tentu saja dengan memberikan penafsiran terhadap SPEAKING (setting, participant, end, act sequences, key, instrument, norm, and genre). Asrika (2009) dalam skripsinya Gaya Bahasa Tokoh Giselle dalam Film Enchanted Sebuah Analisis Sintaksis dan Sosiolinguistik menyebutkan bahwa teori-teori sosiolinguistik dapat menjelaskan latar belakang seseorang menggunakan gaya bahasa tertentu pada situasi yang dianggap sesuai dengan gaya tersebut. Dari hasil penelitian terdahulu terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian ini. Persamaannya terletak pada kajian dan teori yang sama yaitu kajian sosiolinguistik dengan teori Speaking milik Dell Hymes, sedangkan perbedaannya terdapat pada pembahasan masing-masing topik. Ada yang fokus terhadap konteks, gaya bahasa dan kemampuan berbahasa sedangkan penelitian ini fokus pada peristiwa tutur pantun dan peribahasa. 26