BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

Analisis Efektivitas Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Rawat Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting khususnya di negara berkembang (Kemenkes, 2011). Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN UKDW. S.Thypi. Diperkirakan angka kejadian ini adalah kasus per

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DEMAM TIFOID DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

Ringkasan. Rr. Sri Untari Siwi S.M.P.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tiap tahunnya. Insiden tertinggi demam thypoid terdapat pada anakanak. kelompok umur 5 tahun (Handini, 2009).

POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PENGOBATAN DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT FATMAWATI JAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Community Acquired Pneumonia (CAP) adalah penyakit saluran

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

Sensitivitas Salmonella typhi terhadap Kloramfenikol dan Seftriakson di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG BULAN AGUSTUS- DESEMBER TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Laporan Pendahuluan Typhoid

Sikni Retno Karminigtyas, Rizka Nafi atuz Zahro, Ita Setya Wahyu Kusuma. with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agung Hospital at Semarang was

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

PERBEDAAN KUALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN NON KELAS III JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA KASUS DEMAM TIFOID ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA SERUKAM BENGKAYANG PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DEWASA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SOEWONDO PATI PERIODE JANUARI-JUNI 2016 ARTIKEL

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson terhadap Lama Hari Turun Demam pada Anak Demam Tifoid

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI MARHAMAH K Oleh :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. DHF (Dengue Haemorraghic Fever) pada masyarakat awam sering

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

ABSTRAK PROFIL PEMBERIAN ANTIBIOTIK DAN PERBAIKAN KLINIS DEMAM PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD X 2016

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid (enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut pada saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serotipe Typhi. Bila disebabkan oleh serotipe yang lain, maka dikategorikan sebagai demam paratifoid. Demam tifoid lebih parah daripada demam paratifoid. Masa inkubasi demam tifoid dapat berlangsung 10-14 hari (Dipiro et al., 2008; Seran et al., 2015). Penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit yang mudah menular dan dapat menyebabkan wabah, tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1962 (Widodo, 2006). Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dari makanan serta minuman yang terkontaminasi kotoran terinfeksi (Mutua et al., 2015). Penyakit ini banyak ditemui di lingkungan pedesaan maupun perkotaan dan berkaitan erat dengan higiene perorangan, kebersihan tempat-tempat umum, lingkungan atau tempat tinggal yang kumuh, kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi, serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup bersih (Depkes RI, 2006). Penyakit demam tifoid di Indonesia merupakan penyakit yang bersifat endemik. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) demam tifoid merupakan penyakit nomor tiga tertinggi penyakit rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010, CFR demam tifoid pada tahun 2010 adalah 0,67%. Angka kematian demam tifoid pada pasien usia dewasa (18-60) di Indonesia adalah 28,3% (Chen et al., 2007). Peristiwa demam tifoid di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan berjumlah 13,5 juta (Birhanie 1

et al., 2014). Lebih dari 21 juta kasus dan lebih dari setengah juta tipus terkait kematian terjadi setiap tahun, dengan sebagian besar terjadi di Afrika (Mutua et al., 2015). Di Indonesia sendiri, penderita demam tifoid tercatat sebanyak 81,7 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2013). Pada awal penyakit demam tifoid, pasien datang ke dokter karena demam. Demam turun naik (demam intermiten) terutama sore dan malam hari. Keluhan biasanya disertai sakit kepala (pusing-pusing) pada area frontal, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, muntah, gangguan pencernaan berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri abdomen dan BAB berdarah. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) sampai minggu kedua. Diagnosis banding penyakit demam tifoid selain malaria adalah demam berdarah dengue dan leptospirosis. Komplikasi demam tifoid biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam yaitu meliputi perdarahan, perforasi, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain. Penatalaksanaan demam tifoid yaitu dengan cara terapi suportif, terapi simptomatik, dan terapi definitif. Terapi definitif yaitu dengan pemberian antibiotik. (MenKes, 2014). Kloramfenikol, ampisillin dan kotrimoksazol merupakan first choice dalam pengobatan demam tifoid selama puluhan tahun, sampai akhirnya timbul resistensi yang disebut multidrug resistant Salmonella typhi (MDRST). MDRST merupakan resistensi terhadap antibiotik pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid dikarenakan penggunaan antibiotik yang tidak rasional serta adanya perubahan faktor intrinsik dalam mikroba. Seftriakson dan siprofloksasin merupakan antibiotik pilihan yang digunakan apabila terjadi MDRST (Sidabutar dan Satari, 2010). Antibiotik golongan fluorokuinolon yang dianggap paling efektif pun juga menunjukkan resistensi dan tingkat kegagalan dalam terapi. Antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang banyak dipakai saat ini juga terdapat kasus tetapi 2

bersifat sporadik, namun telah ditemukan cara untuk mengurangi tingkat kegagalan klinis dan lama tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan fluorokuinolon dan tingkat kambuh dibandingkan dengan seftriakson, bila antibiotik tersebut digunakan dalam terapi demam tifoid MDR (Jeeyani et al., 2015). Antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga memiliki tingkat kesembuhan lebih tinggi (>90%) dan kekambuhan lebih rendah (0-4%), jadi lebih efektif penggunaannya dalam terapi demam tifoid dibandingkan dengan antibiotik lain (Strickland, 2000). Dalam penelitian uji isolat bakteri Salmonella typhi oleh Jeeyani et al. (2015) di India semua isolat sensitif terhadap antibiotik sefalosporin generasi ketiga (100%) yang biasa digunakan pada umumnya yaitu sefotaksim, seftriakson, dan sefiksim. Antibiotik seftriakson merupakan antibiotik yang paling banyak dipakai untuk semua pasien dengan diagnosis demam tifoid sesuai rekomendasi. Durasi rata-rata pasien yang menerima terapi seftriakson adalah 9 hari setelah rawat inap, sedangkan pasien yang diterapi sefiksim selesai dalam waktu kurang dari 14 hari. Diuji terhadap antibiotik lain, terdapat 1 isolat yang resisten terhadap ampisilin (2,94%) dan amoksisilin (2,94%), 2 isolat resisten terhadap kloramfenikol (5,88%), 1 isolat resisten terhadap azitromisin. Pada penelitian Sudharshan (2014) dilakukan pengujian resistensi antibiotik terhadap bakteri Salmonella typhi. Hasilnya tidak ditemukan perlawanan pada antibiotik sefiksim dan seftriakson. Dibandingkan dengan antibiotik lain yaitu pada antibiotik kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol terdapat resistensi masing-masing 64,2%, 89,3%, 96,4%. Penelitian dilanjutkan mengenai lamanya penurunan suhu badan sampai suhu normal terhadap 37 kasus yang diberi seftriakson didapatkan hasil antibiotik tersebut efektif digunakan dalam terapi demam tifoid dengan tanpa efek samping yang utama. 3

Dari latar belakang tersebut, peran seorang farmasis sangatlah besar dan penting untuk membantu para klinisi dalam menentukan terapi antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang sesuai untuk pasien demam tifoid, dengan target terapi yang ingin dicapai adalah pasien penderita demam tifoid mendapatkan terapi antibiotik yang sesuai dosis terapi, sehingga kondisi pasien dapat membaik karena adanya penurunan jumlah bakteri penyebab infeksi. Selain itu, antibiotik yang paling banyak digunakan oleh pasien rawat inap demam tifoid di RSUD Kabupaten Sidoarjo adalah antibiotik lini kedua yaitu sefalosporin generasi ketiga. Dengan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid rawat inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo, demi meningkatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit dan berguna untuk para klinisi. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimanakah pola penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid rawat inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mempelajari pola penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid rawat inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo terkait jenis, dosis, rute, frekuensi, dan lama penggunaan yang dikaitkan dengan data klinik dan data labotarorium. b. Mengidentifikasi kemungkinan terjadinya Drug Related Problem terkait dengan pemberian sefalosporin generasi ketiga. 4

1.4. Manfaat Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan sefalosporin generasi ketiga pada pasien demam tifoid, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengawasan dan evaluasi penggunaan obat pada pasien, serta sebagai referensi bagi para peneliti selanjutnya. Bagi farmasis yang bergerak dalam bidang pelayanan, diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan pelayanan kefarmasian kepada pasien. 5