BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebagian besar pasien, masuk rumah sakit karena sakitnya dan harus menjalani rawat inap adalah sesuatu yang membuat mereka cemas. Faktor kecemasan ini dipicu karena minimalnya informasi yang diterima pasien dari tenaga kesehatan dalam upaya menyembuhan penyakit yang dideritanya. Prosedur pengobatan dapat menimbulkan kecemasaan yang tinggi biasanya adalah prosedur pengobatan dengan operasi atau pembedahan. Tindakan operasi dilakukan untuk mengobati kondisi yang sulit dan tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obatobat sederhana (Potter & Perry, 2005). Gunawan (2007) (dikutip dari Lyre 2004) mengemukakan bahwa tindakan pembedahan merupakan salah satu bentuk terapi dan upaya yang dapat mendatangkan ancaman terhadap tubuh, integritas dan jiwa seseorang. Tindakan pembedahan yang direncanakan dapat menimbulkan respon fisiologis dan psikologis pada pasien. Menurut Potter dan Perry (2005) selama mengalami pembedahan klien akan mengalami berbagai stressor. Ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain adalah takut nyeri, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa atau tidak berfungsi normal (body image), takut peralatan pembedahan dan petugas, takut tidak sadar lagi setelah dibius, takut operasi gagal. 1
2 Berdasarkan data WHO (2007), hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada 1 Oktober 2003 sampai 30 September 2006 menunjukan dari 35.539 pasien bedah yang dirawat di unit perawatan intensif, terdapat 8.922 pasien (25,1%) mengalami kondisi kejiwaan dan 2,473 pasien (7%) mengalami kecemasan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan diberbagai rumah sakit di Indonesia diketahui berbagai hal penting mengenai angka kejadian kecemasan dan stres pada pasien pre operasi. Salah satunya adalah penelitian Wijayanti (2009), di RSUD Dr. Soeraji Tirto Negoro Klaten Jawa Tengah ditemukan bahwa 20 (64,5%) pasien mengalami stres ringan dan 11 (35,5%) pasien mengalami stres berat. Kecemasan dapat menimbulkan hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari klien dan menimbulkan berbagai gangguan. Menurut Efendi (2008) (dikutip dari Mohamad 1989) hasil penelitian tim dokter dan ahli psikologis mengenai penyebab penundaan operasi pada pasien, menyimpulkan sebanyak 42% dari 200 pasien yang diamati melakukan penundaan operasi karena faktor psikologis, psikodinamis, dan emosional sebelum operasi. Menurut Stuart dan Sundeen (1998) kecemasan dapat menimbulkan beberapa gangguan psikologis antara lain bibir terasa kering, merasa kesulitan bernafas, merasa dalam suasana yang tidak nyaman, berkeringat meskipun cuaca tidak panas, jantung bedebar-debar, merasa sulit menelan, gemetar dan ketakutan. Apabila gangguan yang terjadi tidak diatasi dapat berpengaruh dalam memberikan asuhan keperawatan yang tepat dari perawat kepada pasien (Potter & Perry, 2005)
3 Berbagai hal diduga sebagai pemicu terjadinya kecemasan selain kurangnya pengetahuan. Ellis (2000) menambahkan kecemasan pasien bisa disebabkan oleh (1) kurangnya kesadaran diri perawat, (2) kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik, (3) kurangnya kerangka konseptual dan, (4) kurangnya kejelasan tujuan. Untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi salah satunya adalah dengan pemberian informasi melalui informed consent tentang tindakan persiapan dan kejadian-kejadian yang akan dialami oleh pasien selama dan setelah operasi. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik. Salah satu instalasi perawatan bedah kelas III di RSUP sanglah adalah IRNA C, disinilah sebagian besar dilakukan intervensi untuk pasien yang akan menjalani tindakan operasi. Ruangan yang termasuk dalam IRNA C terdiri dari ruang Angsoka 1, Angsoka 2, Angsoka 3, dan Kamboja. Jenis operasi yang dilaksanakan terdiri dari operasi minor dan operasi mayor. Jenis operasi minor terbanyak terdiri dari operasi mata, pemasangan dobel lumen, biopsy dengan anastesi lokal. Jenis operasi mayor yang terbanyak terdiri dari mastektomi, colostomy, laparatomy. Jumlah rata-rata pasien yang akan dilakukan tindakan operasi dari bulan Juli sampai September 2014 sebanyak 33 pasien dalam sebulan.
4 Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti awal Desember 2014 di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, salah satunya adalah ruang Angsoka 3 ditemukan data terjadi tujuh kasus penundaan dan pembatalan tindakan operasi. Dalam buku register ruangan menunjukkan hal tersebut terjadi karena keadaan tiga kasus belum tersedianya alat ventilator dan empat kasus lainnya dikarenakan pasien menyatakan takut masuk ruang operasi. Peneliti melakukan wawancara kepada lima pasien yang akan menjalani tindakan operasi yang sudah mendapatkan penjelasan sebelumnya terkait prosedur dan tindakan yang akan dilakukan. Hasil menunjukan dua pasien yang akan menjalani operasi mayor mengatakan mengalami cemas berat dikarenakan takut peralatan pembedahan, petugas, dan takut operasi gagal. Tiga pasien lainnya yang akan menjalani operasi minor, dua diantaranya mengatakan cemas sedang karna takut pembiusan, dan satu pasien lagi mengalami cemas ringan. Dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pasien, IRNA C memiliki ketetapan standar informed consent. Informed consent digunakan oleh tim kesehatan untuk memberikan informasi serta penjelasan terperinci terkait dengan berbagai tindakan yang akan dilakukan kepada pasien selama masa perawatan (Sudarminta, 2001). Setelah pasien mendapatkan informasi dan penjelasan yang lengkap diharapkan pasien bisa mengambil keputusan yang tepat untuk proses kesembuhannya. Asumsi perawat, kecemasan pasien yang akan menjalani operasi disebabkan karena ketidaktahuan atau minimnya informasi yang didapat oleh pasien terkait prosedur operasi yang akan dijalani. Maka dari itu selain sebagai media pemberian informasi kepada pasien terkait segala tindakan yang akan
5 diberikan selama perawatan, di IRNA C infomerd consent digunakan oleh perawat untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi. Namun pelaksanaan pemberian informed consent di IRNA C belum berhasil optimal, karena kecemasan pasien yang akan menjalani operasi masih merupakan masalah dalam perawatan pre operasi. Menurut Ley (1992), menyatakan 35-40% pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang pasien terima dari tenaga kesehatan, serta kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit (dikutip oleh Smet, 2004). Menurut Widodo, Arif (2004) apabila informasi sebelum operasi yang diberikan atau dijelaskan kepada pasien kurang jelas atau sulit dimengerti pasien maka kecemasan pasien akan semakin tinggi. Hubungan terapeutik perawat-pasien adalah hubungan kerja sama yang ditandai tukar-menukar prilaku, perasaan, pikiran, dan pengalaman dalam membina hubungan yang erat yang terapeutik (Stuart & Sundeen 2007). Komunikasi terapeutik merupakan salah satu pelaksanaan dari hubungan terapeutik yang baik antara perawat dengan pasien. Dalam komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat hadir secara fisik maupun psikologis. Menurut Truax, Carkhoff, dan Benerson (dikutip dari Stuart & Sundeen 1987), kehadiran perawat secara psikologis terdiri dari dimensi respon dan dimensi tindakkan, kedua komponen tersebut sebagai salah satu dasar penilaian apakah perawat telah membentuk hubungan terapeutik yang baik untuk mengatasi masalah pasien khususnya kecemasan menghadapi operasi.
6 Apabila hubungan terapeutik perawat-pasien tidak diaplikasikan akan berdampak negatif bagi mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit serta akan menimbulkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi suatu tindakan operasi, maka hubungan perawat-pasien perlu dibangun agar pasien dapat memilih alternatif coping yang positif bagi dirinya sehingga kecemasan pre operasi dapat diminimalisir (Hastuti, 2005). Dari pemikiran dan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan terapeutik perawat-pasien dengan tingkat kecemasan pasien, khususnya pada pasien sebelum dilakukan operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara terapeutik perawatpasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar?. 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum : Untuk mengetahui hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.
7 1.3.2 Tujuan khusus : 1) Mengidentifikasi hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. 2) Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. 3) Menganalisa hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. 1.4 Manfaat penelitian Adapun manfaat penelitian adalah : 1.4.1 Teoritis 1) Pengembangan ilmu keperawatan pre operasi, khususnya dalam hal pelaksanaan hubungan terapeutik dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien pre operasi. 2) Sebagai acuan ataupun sumber informasi untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya. 1.4.2 Praktis 1) Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat dalam melaksanakan hubungan terapeutik pada pasien yang dirawat di IRNA C. 2) Diharapkan penelitian ini memberikan informasi kepada perawat di IRNA C tentang pentingnya hubungan terapeutik perawat-pasien sebelum dilaksanakannya tindakan operasi.
8