PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL DALAM PERSPEKTIF TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KOSNSTITUSI NOMOR :

TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK ENY HERI MANIK NIM

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN

PERANAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja)

ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004)

LEGAL STANDING KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (KPK) DALAM SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

URGENSI PELAKSANAAN MEDIASI PENAL DI TINGKAT PENYIDIKAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN DI KEPOLISIAN RESORT KOTA DENPASAR

Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DI BAWAHNYA SEBAGAI PEMOHON PERTANYAAN KONSTITUSIONAL DI INDONESIA

TESIS FUNGSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYITAAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN PENCUCIAN UANG KETUT MAHA AGUNG NIM :

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK TERHADAP NARAPIDANA KORUPSI DI INDONESIA DALAM PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

SUDIHARTO NIM

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

PENERAPAN SANKSI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLANATM DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR

TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR)

LUH PUTU SWANDEWI ANTARI

Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

FUNGSI MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DALAM PEMBERIAN PERSETUJUAN TERHADAP PENYIDIK BAGI NOTARIS YANG TERSANGKUT KASUS PIDANA TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN UDAYANA

SKRIPSI PERAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) KOMANG AGUNG CRI BRAHMANDA NIM

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB KONTRAKTOR DALAM PERJANJIAN KONTRAK KERJA KONTRUKSI ANTARA KONTRAKTOR DENGAN KONSUMEN

PENGATURAN KEWENANGAN PENDAFTARAN TANAH REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG PERTANAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

PENERAPAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI REGINA MACARYA PALAPIA

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PARATE EKSEKUSI SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

IMPLEMENTASI PRINSIP KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK DALAM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PATRILINEAL DI BALI

LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

TESIS PENGATURAN PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH BADAN USAHA SWASTA

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

TESIS KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELEGALISIR FOTOKOPI TERJEMAHAN IJAZAH MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

PENERAPAN APPRAISAL RIGHT TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG LEMAH DALAM PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

Transkripsi:

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ADITYA WISNU MULYADI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ADITYA WISNU MULYADI NIM. 1390561025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana ADITYA WISNU MULYADI NIM 1390561025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 AGUSTUS 2015 Pembimbing 1 Pembimbing 2 Dr. I Gede Artha, SH., MH. Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. NIP. 19580127 198503 1 002 NIP. 19590325 198403 1 002 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K). NIP.19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001 iii

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 18 Agustus 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2910/UN14.4/HK/2015, Tanggal 6 Agustus 2015 Ketua Sekretaris Anggota : Dr. I Gede Artha, SH.,MH : Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS 2. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Aditya Wisnu Mulyadi Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Denpasar, 18 Agustus 2015 Yang menyatakan, Aditya Wisnu Mulyadi v

UCAPAN TERIMAKASIH Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-nya lah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan arahan serta dukungan moral dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana; Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM., selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana; Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra SH., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu serta tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH., selaku vi

Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu serta tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini; Bapak Dr. Dewa Made Suartha, SH., MH., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan petunjuk dan wejangannya selama penulis menempuh studi di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana ; Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Program Magister (S2) Ilmu Huku m Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi penulis selama perkuliahan; Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah sangat banyak membantu dalam administrasi peminjaman buku yang sangat berguna bagi penulisan tesis ini. Ayahanda dan Ibunda tercinta, adik-adik, serta kekasih yang sangat penulis cintai dan banggakan yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Teman-teman MH 13 seluruhnya, yang telah banyak memberikan masukan, saran, semangat, dan motivasi dalam penyusunan tesis ini sehingga penyusunan tesis ini selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman penulis. Oleh karena keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kelengkapan dan penyempurnaan tesis ini. vii

Akhir kata, peneliti harapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Denpasar, 18 Agustus 2015 Penulis viii

ABSTRAK Persoalan mengenai Whistleblower ataupun Justice Collaborator merupakan persoalan yang rumit sekaligus menarik untuk dibahas dalam suatu konsepsi ataupun legilasinya. Apakah seorang Whistleblower maupun Justice Collaborator merupakan seorang pelaku tindak pidana ataupun bukan pelaku tindak pidana, ataukah diperlukan suatu penghargaan ataupun hukuman khusus mengingat sangat diperlukannya peran Whistleblower maupun Justice Collaborator dalam mengungkap suatu kejahatan-kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi. Penegak hukum pun seringkali menjumpai kebuntuan untuk memutus perkara-perkara yang melibatkan seorang Whistleblower atau Justice Collaborator karena belum adanya perangkat hukum yang memadai untuk memfasilitasi jaminan hukum yang akan didapat, sehingga rumusan masalah yang dapat dikemukakan terkait dengan fenomena hukum tersebut yaitu: 1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia, dan 2) Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan komparatif. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem kartu untuk memudahkan analisis permasalahan. Lalu teknik untuk menganalisis bahan hukum menggunakan teknik deskripsi lalu dikembangkan dan dikaji dengan metode interpretasi, apabila bahan hukum sudah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan, selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi dan diberikan argumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kurang memadainya perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower ataupun Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena perlindungan hukum kepada Justice Collaborator dan Whistleblower dilakukan ketika melakukan peran serta masyarakat untuk membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Selain itu, konsep kebijakan hukum pidana terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi pada masa mendatang berorientasi pada dimensi konsep pendekatan non penal berupakan pendekatan keadilan restorative dan perlindungan hukum terhadap orang yang bekerja sama kemudian penjatuhan hukum pidana dengan pidana bersyarat khusus, remisi istimewa dan pelepasan bersyarat yang dipercepat serta beberapa model perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Whistleblower, Justice Collaborator, Tindak Pidana Korupsi ix

ABSTRACT The issue of Whistleblower or Justice Collaborator is a complicated issue and appealing to be discussed in a conception or formalization. Whether a Whistleblower and Justice Collaborator is a criminal or non-criminal, or do we need a special award or punishment considering the indispensable role of the Whistleblower and Justice Collaborator in revealing an exceptional crimes such as corruption. Law enforcement was often encounter a deadlock to break cases that involve a Whistleblower or Justice Collaborator because there is no adequate legal tools to facilitate the legal guarantees will be obtained, so that the formulation of the problem that can be put forward relating to the legal phenomenon, are: 1) How does the legal protection of the Whistleblower and Justice Collaborator in Law Corruption crime in Indonesia, and 2) How does the concept of legal protection of criminal law policy to the Whistleblower and Justice Collaborator in the future of corruption in Indonesia. This research is a normative legal research, with legislation approach, the conceptual approach and comparative approach. Legal materials used consisted of primary legal materials, secondary law and tertiary legal materials. Mechanical collection of legal materials collected through systematic method with recorded through the card system to facilitate analysis of the issue. Then the technique for analyzing legal materials using techniques and descriptions developed and assessed by the interpretation method, if the material has been described and interpreted the law in accordance subject matter, further systematized, explained and given argument. These results indicate that the lack of adequate legal protection received by the Whistleblower or Justice Collaborator in Corruption Law due legal protection to Justice Collaborator and Whistleblower done when doing community participation to assist in the prevention and eradication of corruption addition, the concept of policies criminal law against the Whistleblower and justice Collaborator in corruption in the future-oriented dimension of the concept of non-penal approach is the approach of restorative justice and legal protection of people working together then the imposition of criminal law with criminal conditional special, special remission and conditional release accelerated and Whistleblower protection models and Justice Collaborator. Keywords: Legal protection, Whistleblower, Justice Collaborator, Corruption x

RINGKASAN Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi, disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I menguraikan tentang hal-hal yang melatarbelakangi penyusunan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, orisinalitas penelitian, landasan teoritis dan kerangka berpikir penelitian, serta metode penelitian, dimana metode penelitian berisi 5 bahasan yaitu jenis penelitian, jenis pendekatan yang digunakan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum yang berupa tinjauan secara garis besar tentang konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yakni perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi Indonesia. Konsekuensi logisnya dalam bab II ini dijelaskan berbagai macam pengertian mengenai Whistleblower dan juga Justice Collaborator, bentuk perlindungan yang akan diterima seorang Whistleblower dan Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan pengertian mengenai tindak pidana korupsi dari beberapa sarjana Bab III adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah pertama yakni, perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor. Bab ini terdiri dari dua sub bab, dimana sub bab pertama menguraikan tentang urgensi perlindungan hukum terhadap para Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia sedangkan sub bab kedua membahas mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang terdapat dalam UU Tipikor. Bab IV adalah bab inti yang menguraikan tentang pembahasan rumusan masalah kedua yakni, konsep kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum). Pada sub bab ini terdiri dari 4 bahasan pokok yaitu pertama, konsep pendekatan non penal untuk mewujudkan penanggulangan tindak pidana korupsi. Kedua, membahas mengenai penjatuhan hukuman pidana dengan pidana bersyarat khusus bagi seorang Whistleblower maupun Justice Collaborator. Ketiga, remisi istimewa yang akan diterima dan pelepasan bersyarat yang dipercepat. Lalu terakhir, mengenai model perlindungan terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator. Bab V adalah bab penutup yang terdiri dari sub bab simpulan dan saran. Simpulan merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik terhadap rumusan masalah pertama maupun rumusan masalah kedua, sedangkan saran memuat halhal yang dapat direkomendasikan terkait dengan permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar atas permasalahan yang dikemukakan, sehingga layak untuk dilaksanakan. xi

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER... LEMBAR PENGESAHAN...... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... UCAPAN TERIMAKASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR BAGAN... i ii iii v vi ix x xi xii xv xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1 1.2. Rumusan Masalah... 11 1.3. Ruang Lingkup Masalah... 12 1.4. Tujuan Penelitian... 12 1.4.1. Tujuan Umum... 12 1.4.2. Tujuan Khusus... 13 1.5. Manfaat Penelitian... 13 1.5.1. Manfaat Teoritis... 13 1.5.2. Manfaat Praktis... 14 1.6. Orisinalitas Penelitian... 14 1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir... 20 1.7.1. Landasan Teoritis... 20 1.7.2. Kerangka Perpikir... 47 1.8. Metode Penelitian... 48 1.8.1. Jenis Penelitian... 48 1.8.2. Jenis Pendekatan... 50 xii

1.8.3. Sumber Bahan Hukum... 51 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... 52 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum... 53 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Pengertian Whistleblower dan Justice Collaborator... 55 2.2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia... 65 2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi...... 86 BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA 3.1. Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi... 89 3.2. Peraturan Yang Berkaitan Dengan Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi... 93 3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia... 95 BAB IV KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PADA MASA MENDATANG (IUS CONSTITUENDUM) 4.1. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Masa Mendatang (Ius Constituendum)... 118 xiii

4.1.1. Konsep Pendekatan Pidana Non Penal Untuk Mewujudkan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi... 118 4.1.2. Penjatuhan Hukuman Pidana Dengan Pidana Bersyarat Khusus... 150 4.1.3. Remisi Istimewa dan Pelepasan Bersyarat Yang Dipercepat... 159 4.1.4. Model Perlindungan... 184 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan... 192 5.2. Saran... 193 DAFTAR PUSTAKA xiv

DAFTAR TABEL 1. Tabel 1. Whistleblower dan Justice Collaborator yang Seharusnya Mendapatkan Hak Asasi. 2. Tabel 2. Kasus-Kasus Korupsi yang Berhubungan Dengan Whistleblower dan Justice Collaborator. xv

DAFTAR BAGAN 1. Bagan 1. Model Persuatif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Sempit. 2. Bagan 2. Model Persuasif/Partisipatif Sesuai Sistem Peradilan Pidana Dalam Arti Luas. Bagan 3. Perlindungan Komprehensif bagi Justice Collaborator xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan mengenai Whistleblower maupun Justice Collaborator merupakan suatu fenomena yang pelik sekaligus menarik dalam suatu konsepsi legalisasi dan regulasinya. Apakah seorang Whistleblower ataupun Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana ataupun bukan merupakan pelaku tindak pidana, apakah mereka merupakan saksi ataupun pelapor biasa ataukah diperlukan suatu reward (penghargaan) atau punishment (hukuman) khusus karena sangat diperlukan untuk mengungkap suatu kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai serious crime dan scandal crime. Harus diakui bahwa keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan suatu kejahatan sangat bergantung pada kesediaan seorang saksi dan/atau korban untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya di muka persidangan sebagai saksi. Kedudukan seorang saksi sangat penting dalam sebuah proses peradilan pidana mengingat saksi mempunyai keterangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dialaminya tentang atau terkait peristiwa tindak pidana. Keterangan yang dimiliki saksi sangat penting untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil sebagaimana yang dikehendaki dan menjadi tujuan proses peradilan pidana. 1

2 Dikaji dari perspektif terminologis, Whistleblower diartikan sebagai peniup peluit, ada juga menyebutnya sebagai saksi pelapor, pengadu, pemukul kentongan, cooperative whistleblower, dan participant whistleblower. Sedangkan Justice Collaborator diartikan sebagai pembocor rahasia, saksi pelaku yang bekerja sama, collaborator with justice, supergrasses pentiti / pentito / callaboratore della giustizia atau bahkan pengungkap fakta. Mahkamah Agung dalam perkembangan terakhir melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana ( Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. 1 Terminologis Whistleblower dalam bahasa Inggris disebut sebagai peniup peluit karena dianalogikan sebagai wasit dalam pertandingan 1 Firman Wijaya, 2012, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta,, h. 23

3 sepakbola atau olahraga lainnya yang meniup peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran sehingga dalam konteks ini diartikan sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik adanya sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi, serta tindak pidana lainnya. Selain itu, Whistleblower diartikan sebagai peniup peluit juga dimaknai sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan (saksi mahkota). 2 Saksi mahkota memang tidak diatur dalam KUHAP, tetapi dalam perspektif empirik saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang di ambil dari salah seorang terdakwa atau tersangka lainnya yang sama-sama melakukan tindak pidana, jadi pengertiannya hampir sama dengan seorang Justice Collaborator. Hakikat Whistleblower di Indonesia terdapat dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi. 3 2 Indriyanto Seno Adji, 2005, Urgensi Perlindungan Saksi, www.antikorupsi.org, Diakses pada 15 September 2014 3 Firman Wijaya, op.cit, h.7

4 Perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa, Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention. ( Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini). Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention. (Terjemahan bebas: setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari

5 penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini). 4 Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut KUHAP) yang disebut -sebut sebagai karya agung dan merupakan salah satu pencapaian tertinggi bangsa Indonesia dibidang hukum, 5 telah mencantumkan sedikit ketentuan yang sudah memperhatikan hak asasi tersangka/terdakwa. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 108 Ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Selain itu pada Pasal 117 Ayat (1) ditentukan bahwa dalam proses peradilan seorang saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. 6 Lalu pada Pasal 166 perihal pembuktian di muka sidang Pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat. Oleh sebab itu berdasarkan uraian diatas di dalam 4 Muhadar, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, h. 50 5 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Pasca Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 9 6 Friedrich, CJ, 2010, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, h. 45

6 KUHAP, tampak bahwa kedudukan saksi dalam hukum acara pidana hanya sekedar memperkuat posisi jaksa belaka guna memperlancar tugasnya mengajukan penuntutan kepada terdakwa. Ironisnya, saksi sama sekali tidak dihiraukan keberadaannya sebagai bagian dari pelaku penting untuk menuntaskan proses peradilan, apalagi hak-hak pelapor yang bekerjasama. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberikan garis koordinasi yang kolaboratif mengenai perlindungan hukum hak pelapor maupun kepada saksi yang bekerjasama untuk mengungkap perkara pidana. Penempatan sebagai pelapor tindak pidana ( Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama ( Justice Collaborator) dalam sistem peradilan yang menjadi masalah adalah dasar hukum untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia. Ketentuannya belum terintegrasi dalam satu sistem sehingga belum dapat diterapkan sepenuhnya, oleh karena itu masih menimbulkan polemik di antara penegak hukum. Perangkat hukum yang tersedia untuk memberikan perlindungan terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator terdapat dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Selanjutnya disebut UU PSK), Pasal 10A Ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa: (1) Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan;

7 (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa: a. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau; c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana. Melihat reward yang ditawarkan pada UU PSK tersebut terhadap seorang Justice Collaborator menimbulkan suatu asumsi yakni kekaburan norma mengenai keringanan penjatuhan pidana, berapa lama terhukum akan mendapatkan keringanan pidana karena secara lebih lanjut tidak di jelaskan, bagaimana pula perlindungan terhadap hak asasi nya selama di persidangan dan di luar persidangan juga tidak dijelaskan secara rinci. Hal ini akan memicu keengganan pula bagi para calon Whistleblower maupun Justice Collaborator karena perlindungan hukum yang ditawarkan masih sangat sumir. Dalam kaitannya dengan UNCAC dan UU PSK, bahwasanya dalam Pasal 37 Ayat (3) disebutkan bahwa di berikannya pertimbangan kekebalan hukum terhadap saksi yang bekerjasama dalam penyelidikan atau

8 penuntutan suatu tindak pidana, hal ini pula telah diatur di dalam UU PSK tetapi kekebalan hukum berupa keringanan penjatuhan pidana masih di anggap sangat sumir demi menjamin perlindungan hukum yang ideal terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator. Selanjutnya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Selanjutnya disebut UU Tipikor), dalam Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Hanya hal tersebut yang diatur dalam UU Tipikor, perlindungan hukum yang signifikan menyangkut tentang perlindungan hukum Whistleblower maupun Justice Collaborator tidak diatur. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, dalam Pasal 15 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan diatas, belum memadai mengatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama oleh karena Lembaga

9 Perlindungan Saksi dan Korban sendiri tidak dapat menjangkau penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, seperti yang disebutkan diatas telah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama ( Justice Collaborator) pada point 7 berbunyi bahwa jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya. Sekilas terlihat bahwa SEMA tersebut melihat Pasal 37 Ayat (3) UNCAC mengenai memberikan kekebalan terhadap saksi pelaku yang bekerjasama yang diwujudkan dalam memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana. Selain itu apabila dihubungkan dengan ketentuan UU PSK, Pada SEMA tersebut di point 7 dikaitkan dengan frasa bentuk perlindungan lainnya belum memberikan kejelasan yang signifikan dalam kedudukan SEMA tersebut apabila dijadikan acuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak termasuk sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang terpadu. Padahal

10 bila menilik dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 8 Ayat (2) menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yang dalam hal ini termasuk SEMA diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Whistleblower maupun Justice Collaborator dapat berperan besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Oleh karena itu, implikasinya tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower dan Justice Collaborator maka partisipasi publik untuk membongkar dugaan tindak pidana menjadi rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin meningkat. Akan tetapi, sebenarnya dimensi Whistleblower dan Justice Collaborator tidak hanya berorientasi sesuai konteks di atas. Aspek ini lebih luas dapat dikatakan Whistleblower maupun Justice Collaborator dari perspektif formulasi serta praktiknya menimbulkan dilema yaitu dalam posisi bagaimana seseorang ditempatkan sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada posisi dimanakah eksistensi seseorang dapat disebut sebagai Whistleblower dan Justice Collaborator

11 apakah parsial ditingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat tersebut dimungkinkan. Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (Ius Constitutum) terdapat adanya kekurangjelasan, kekurangtegasan dan kekurangsempurnaan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dibandingkan dengan pengaturan di beberapa negara baik mengenai lembaga yang mengatur Whistleblower dan Justice Collaborator, pengaturan legislasi, mekanisme, dan lain sebagainya. Sehingga, konsekuensi logis dimensi demikian diperlukan untuk masa mendatang (Ius Constituendum) adanya sebuah konsep ideal perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Konsekuensi logis, dimensi sebagaimana konteks di atas penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi, ingin memberikan perlindungan hukum terhadap para Whistleblower dan Justice Collaborator dari perspektif normatif (Ius Constitutum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia, kemudian dikaji juga konsep ideal mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum). 1.2. Rumusan Masalah

12 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan konteks di atas maka dapat diformulasikan fokus masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia? 2) Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum)? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah dibatasi pada pengaturan perlindungan hukum yang didapat oleh seorang Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia, apakah seorang saksi pelapor atau saksi pelaku mendapatkan perlindungan hukum yang layak dalam UU Tipikor Sedangkan untuk permasalahan kedua adalah di tekankan pada sebuah konsep kebijakan pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum) 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

13 1. Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; 2. Sebagai masukan untuk dijadikan referensi dan bahan pemikiran dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower dan Justice Collaborator khususnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengkaji, memahami dan menemukan hal-hal yang berkaitan dari aspek normatif terhadap perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator masa kini (Ius Constitutum) dalam tindak pidana korupsi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia; 2. Untuk mengkaji dan menganalis tentang konsep kebijakan pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia di masa mendatang (Ius constituendum). 1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangan dan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan Hukum Pidana sehingga dapat memperkaya bahan-bahan

14 terutama guna pengembangan dunia peradilan pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya; 2. Diharapkan hasil penelitian ini memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi baru (Ius Constituendum) dalam membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap undang-undang perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia untuk masa mendatang. 1.5.2. Manfaat Praktis 1. Bagi Masyarakat sebagai bahan acuan dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara guna mengetahui pengaturan perlindungan hukum yang diberikan pada Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi; 2. Bagi Penegak hukum agar dapat menegakkan fungsi peradilan dengan benar dan adil berkaitan dengan penegakan eksistensi perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 1.6. Orisinalitas Penelitian Menyangkut orisinalitas penelitian dalam tesis ini, sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan penelusuran terhadap kesamaan ataupun keterkaitan mengenai judul ataupun masalah hukumnya dari beberapa disertasi dan tesis dari beberapa Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia

15 dapat dinyatakan bahwa penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi belum pernah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai perlindungan-perlindungan hukum terhadap Whistleblower ataupun Justice Collaborator telah dilakukan oleh penulis sebelumnya, antara lain: 1. Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2014, atas nama Rika Ekayanti); Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut diatas dikhususkan pada 2 masalah utama, yaitu: a. Bagaimana perumusan pengaturan perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dalam hukum positif di Indonesia? b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari kesaksian yang diberikan oleh seorang Justice Collaborator? Perbedaan utama penelitian tesis diatas dengan penelitian peneliti adalah subyek yang menjadi pembahasan dalam pengaturan perlindungan hukum dalam tindak pidana korupsi di Indonesia, penelitian tesis tersebut hanya bertumpu pada Justice Collaborator ssebagai subyeknya sedangkan penelitian tesis penulis bertumpu pada Justice Collaborator dan juga Whistleblower.

16 Perbedaan mendasar yang signifikan dapat ditemukan dalam rumusan masalah kedua, dimana penulis dalam penelitian ini mengkaji konsep ideal untuk pengaturan perlindungan yang akan datang, agar nantinya perlindungan hukum terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator dapat mencerminkan keadilan dan tidak berat sebelah, juga didukung dengan pendekatan komparatif yaitu membandingkan perlindungan hukum terhadap Whistleblower maupun Justice Collaborator dengan Negara asing yang telah maju seperti Amerika Serikat sehingga diharapkan dapat menemukan konsep perlindungan hukum yang berlandaskan asas keadilan, sedangkan tesis diatas hanya mengkaji mengenai seberapa kuat pembuktian seorang Justice Collaborator. 2. Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ( Justice Collaborator) Oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2012, atas nama Sigit Artantojati); Adapun masalah yang dibahas dalam tesis tersebut diatas bertumpu pada 4 masalah pokok, yaitu: a. Bagaimanakan perbandingan konsep dan pengaturan perlindungan bagi Justice Collaborator di beberapa Negara? b. Bagaimanakah peran LPSK dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi Justice Collaborator?

17 c. Bagaimana bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dalam perlindungan Justice Collaborator? d. Bagaimana hambatan dan peluang pengaturan mengenai perlindungan Justice Collaborator? Perbedaan mendasar bila dibandingkan satu sama lain terlihat dari subyek hukumnya, dalam tesis tersebut hanya menjelaskan tentang perlindungan terhadap Justice Collaborator sedangkan pada tesis penulis mengacu pada Justice Collaborator dan juga pada Whistleblower. Selain itu, dalam tesis tersebut tidak menyinggung mengenai perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam UU Tipikor Indonesia dan juga tidak menganalisis mengenai konsep kebijakan hukum pidana. Apakah perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam UU tersebut telah mencerminkan nilai keadilan dan selaras dengan jasa yang telah diberikan oleh seorang Justice Collaborator. Aspek inilah yang akan dibahas dalam tesis penulis ini dan tidak terdapat sama sekali dalam tesis yang telah peneliti jabarkan diatas. 3. Kebijakan Legislatif Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana di Indonesia

18 (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, atas nama Kholis Badawi); Adapun masalah yang dipaparkan tesis tersebut dibagi menjadi 2 masalah utama, yaitu: a. Apakah ada kelemahan pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta ( Whistleblower) dalam perkara pidana di Indonesia? b. Bagaimanakah prospek pengaturan terhadap saksi pengungkap fakta ( Whistleblower) dalam perkara pidana di Indonesia di masa yang akan datang? Perbedaan signifikan yang menjadi tolak ukur pembeda mengenai tesis diatas dengan tesis penulis adalah berpedoman pada rumusan masalah 1 yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dalam perkara pidana di Indonesia, masalah tersebut masih luas apabila dibandingkan dengan tesis penulis yang berfokus pada pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam kejahatan korupsi saja yaitu dalam UU Tipikor Indonesia. Selain itu, dalam rumusan masalah kedua, dalam tesis diatas membahas prospek pengaturan terhadap Whistleblower dalam perkara pidana di masa yang akan datang sedangkan penulis dalam tesis ini mencoba mengemukakan konsep kebijakan hukum pidana yang sesuai dalam upaya perlindungan hukum terhadap

19 Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang. 4. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji) (Tesis di Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2009, atas nama Imam Turmudhi). Adapun rumusan masalah pokok dalam tesis ini terbagi menjadi 3, antara lain: a. Apakah Susno Duadji termasuk dalam kategori sebagai Whistleblower yang berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia? b. Bagaimanakah kedudukan Whistleblower (peniup peluit, pengungkap fakta) kasus tindak pidana korupsi dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia? c. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan yang dihadapi oleh LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Whistleblower yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban? Perbedaan utama yang terlihat dalam tesis tersebut dengan tesis penulis adalah subyek hukum yang dibahas, sama seperti

20 orisinalitas penelitian tesis yang sebelumnya yaitu hanya memfokuskan pada Whistleblower saja, sedangkan tesis penulis mengkaji Whistleblower dan Justice Collaborator sekaligus. Selain itu dalam tesis ini tidak disinggung mengenai konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum Whistleblower dan Justice Collaborator di masa mendatang dikaji melalui UU PSK. Disimpulkan bahwa judul-judul tesis tersebut memiliki kesamaan sekilas dari judul penelitian, tetapi bila dikonklusikan perbedaan mendasar dan utama tesis-tesis tersebut diatas dengan tesis penulis adalah subyek hukum yang dibahas yaitu Whistleblower dan Justice Collaborator. Selain itu, dalam tesis penulis ini di bahas juga mengenai konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang dikaji melalui UU PSK. 1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Landasan Teoritis Landasan teori merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan ( problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 7 Melalui landasan teori, maka ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna pembentukan analisis dan hasil Bandung, h. 81 7 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama,

21 penelitian yang dilakukan. 8 Dalam landasan teoritis, selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas permasalahan juga terdapat asas, konsep dan doktrin 9 yang memiliki korelasi yang erat dengan permasalahan yang dibahas yaitu perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi. Asas-asas hukum yang relevan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah asas Unus Testis Nullus Testis, asas perlindungan saksi dan korban dan asas Justitia Est Ius Suum Cuique Tribuere. Jika berbicara mengenai saksi baik saksi pelapor maupun saksi pelaku tentu tidak dapat mengeyampingkan asas ini. Asas Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi) merupakan asas yang menolak kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti. Prinsip ini secara tegas diatur dalam Pasal 185 Ayat (2) KUHAP. Tetapi dalam perkembangannya asas ini sering diartikan salah oleh sebagian orang karena jika asas ini benar-benar diterapkan secara lurus, berdampak pada sulitnya pembuktian sebuah kasus pidana. 8 Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum. Refleksi Kritis Terhadap Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13 9 Hans Kelsen, 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23

22 Padahal, keterangan satu saksi bisa diperkuat dengan kesaksian yang lain dan menjadi sebuah alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, Mengenai kesaksian berantai (kettingbewijs) bahwa keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu saling berhubungan satu sama lain sehingga membenarkan suatu kejadian. Asas yang bersinggungan dan terkadang sering diabaikan dalam perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator merupakan asas perlindungan saksi dan korban. Perlindungan saksi dan korban adalah merupakan persoalan penting dalam setiap kasus kejahatan. Asas perlindungan saksi dan korban di khususkan untuk menimbulkan rasa aman baik kepada saksi ataupun korban. Urgensi atas perlindungan saksi dan korban ini adalah karena jenis kejahatan yang terjadi dan pelaku yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi. Seperti halnya dengan tindak pidana korupsi, pelaku nya memiliki kekuasaan ( power) yang besar sehingga kejahatan seperti ini sangat sulit di lacak dan diungkap siapa saja yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, peran Whistleblower dan Justice Collaborator disini sangat menentukan untuk mengungkap jenis kejahatan yang termasuk serious crime ini, oleh sebab itu di perlukan

23 adanya suatu pengaturan kebijakan pidana yang memadai dalam perlindungan saksi dan korban tersebut. Asas yang berhubungan lainnya dengan penelitian ini adalah Justitia Est Ius Suum Cuique Tribuere. 10 Asas ini diartikan bahwa keadilan diberikan kepada tiap orang yang menjadi haknya. Seseorang yang menjadi whistleblower ataupun justice collaborator harus diperhatikan pula haknya sehingga mewujudkan suatu keadilan yang menyeluruh. Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas adalah adalah Konsep Negara Hukum dan Penegakan Hukum. Mengenai Konsep Negara Hukum 11 sebenarnya Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum terjadinya Revolusi tahun 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada Abad XVII dan mulai populer pada Abad XIX. Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenangwenangan di masa lampau. Muhammad Tahir Azhary menyebutkan secara konsepsional terdapat 5 (lima) konsep utama negara hukum yaitu 10 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum (Edisi Revisi), Rineka Cipta, Bandung, h. 34 11 Ni matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, Penerbit UII Press, Yogyakarta, H. 95

24 Rechtsstaat, Rule of Law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila. 12 Konsep Rechtsstaat diawali oleh pemikiran Immanuel Kant tentang negara hukum dalam arti sempit (formal) yang menempatkan fungsi Rechts pada staat hanya sebagai alat bagi perlindungan hak-hak asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep Immanuel Kant ini, terkenal dengan sebutan Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat. Perkembangan berikutnya, konsepsi Immanuel Kant diarahkan menjadi konsep Rechtsstaat dalam artian luas sebagai negara yang berwawasan kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat dan verzorgingsstaat) dengan variasi unsur-unsur utamanya adalah: a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahaan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politica, penyelenggara pemerintah menurut undang-undang (wetmatig bestuur) dan peradilan administrasi negara; b. Kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintah yang melayani kepentingan umum; 12 Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, h. 73-74

25 c. Pemerintah menurut hukum (wetmatig bestuur), hak-hak asasi, pembagian kekuasaan pengawasan oleh kekuasaan peradilan; d. Pemerintahan menurut hukum, jaminan terhadap hak-hak asasi, pembagian kekuasaan, dan pengawasan yustisial terhadap pemerintah. Konsep Negara hukum negara-negara Anglo Saxon merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrin rule of law dari A.V. Dicey yang terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu supremasi hukum atau supremacy of law, persamaan di depan hukum atau equality before the law dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan atau the constitution based on individual rights. 13 Bahwa pada hakikatnya negara hukum sedikitnya terdiri 4 (empat) unsur sebagai eksistensi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Keempat unsur tersebut adalah; a) Semua tindakan pemerintah haruslah berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; c) Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan lain apapun juga; dan d) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pemerintahan berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan tidak berorientasi kepada 13 Ibid, h. 80

26 kekuasaan. Pada negara berdasarkan atas hukum maka hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum) sehingga dianut tentang ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) Amandemen Ketiga. Secara konseptual teori negara hukum menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya, suatu negara berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Korelasi dengan aspek tersebut di atas, Pembukaan UUD 1945 menentukan tujuan hukum diformulasikan mencakup pelbagai dimensi melalui konsepsi yang bersifat futuristik, yaitu hukum ditujukan untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. 14 14 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 143