BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran matematika dalam kurikulum pendidikan nasional selalu

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasari perkembangan sains dan teknologi, mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

Kemampuan berpikir kreatif mendapatkan perhatian yang cukup besar dalam bidang pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari anak-anak sampai dengan orang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peserta didik merupakan generasi penerus bangsa yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

BAB I PENDAHULUAN. suatu Negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari siswa, pengajar,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nining Priyani Gailea, 2013

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendapat (Sabandar, 2010: 168) bahwa matematika adalah sebagai human

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Balitbang Depdiknas (2003) menyatakan bahwa Mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan oleh guru matematika, kesulitan siswa dalam menalar dan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. karena matematika sebagai ilmu, memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan

BAB I PENDAHULUAN. matematika. Pendidikan matematika berperan penting bagi setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN. perlu dikuasainya matematika oleh siswa. Matematika merupakan ilmu universal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (SDM) yang mempunyai kompetensi yang tinggi baik dilihat dari aspek

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

BAB I PENDAHULUAN. Hasratuddin : 2006) menyatakan bahwa: matematika merupaka ide-ide abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fauzi Yuberta, 2013

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. telah melakukan berbagai macam upaya dalam meningkatkan kualitas

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Komala Dewi Ainun, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran matematika membutuhkan sejumlah kemampuan. Seperti dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) bahwa untuk menguasai dan mencipta teknologi pada masa yang akan datang, diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Oleh karena itu, matematika perlu dikuasai dengan baik oleh siswa di tingkat Sekolah Dasar sampai mahasiswa di tingkat Perguruan Tinggi. Aspek penguasaan matematika yang diperlukan siswa atau mahasiswa secara umum termuat dalam Tujuan Pembelajaran Matematika (KTSP,2006) yaitu, guru dalam mengajar matematika diharapkan berperan untuk mengembangkan pikiran inovatif dan kreatif, membantu siswa dalam mengembangkan daya nalar, berpikir logis, sistematika logis, kreatif, cerdas, rasa keindahan, sikap terbuka dan keingintahuan. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2003), tujuan pembelajaran matematika yaitu untuk mengembangkan kemampuan: (1) pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving), (2) komunikasi matematis (mathematical communication), (3) penalaran dan pembuktian matematis (mathematical reasoning and proof), (4) koneksi matematis (mathematical connection), dan (5) representasi matematis (mathematical representation). Kemampuan tujuan matematika dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk dapat mengembangkan daya nalar, berfikir logis, sistematika logis, kreatif, dan cerdas, dibutuhkan kemampuan komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, maka sangat sulit untuk meningkatkan kemampuan sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pendidikan matematika.

2 Kemampuan komunikasi matematis menunjang kemampuan-kemampuan matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Dengan kemampuan komunikasi yang baik, suatu masalah akan dapat direpresentasikan dengan benar melalui model matematis, tabel, grafik, atau lainnya, dan hal ini menunjang untuk penyelesaian masalah. Hulukati (2005) menyatakan bahwa, kemampuan komunikasi matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah. Artinya jika siswa atau mahasiswa tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan memaknai permasalahan maupun konsep matematis, maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Ide-ide matematis perlu dikomunikasikan agar individu yakin bahwa ideide itu sudah benar atau perlu disempurnakan. Komunikasi memuat beberapa aspek sebagaimana disampaikan oleh Baroody (1993) yang menyebutkan ada lima aspek komunikasi, yaitu merepresentasi (representing), mendengar (listening), membaca (reading), diskusi (discussing) dan menulis (writing). Representasi dalam standar kurikulum matematika NCTM (2003), tidak termasuk dalam komunikasi tetapi menjadi salah satu standar tersendiri yang juga perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Aspek mendengar, membaca, diskusi dan menulis perlu terus dilatih dan ditingkatkan, namun semua ini harus dimulai dengan memberikan contoh bagaimana menulis matematika yang baik. Clark dkk (2005) mengemukakan pengajuan masalah yang memicu terjadinya diskusi dalam kelompok kecil yang telah dibentuk, merupakan salah satu strategi mengembangkan komunikasi matematis. Mereka mencoba memahami dan menampilkan model penyelesaian masalahnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Carpenter & Gorg (2000) menyatakan bahwa ketika mahasiswa berpikir, merespon, berdiskusi, mengelaborasi, menulis, membaca, mendengar, dan menemukan konsep-konsep matematis, mahasiswa telah melakukan dua buah kegiatan berkaitan dengan komunikasi, yaitu (1) berkomunikasi untuk belajar matematika dan (2) belajar komunikasi matematis. Kemudian, pada saat diskusi kelompok dan merepresentasikan jawaban di depan kelas, mahasiswa dapat mengungkapkan

3 hasil pemikiran kelompoknya kepada teman-teman lainnya. Dengan peningkatan kemampuan komunikasi, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan yang lain, diantaranya kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa. Sumarmo (2000, hlm. 8) mengemukakan bahwa, pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Kemampuan pemecahan masalah dapat ditumbuhkan melalui aktivitas penyelesaian masalah. Hal ini untuk memudahkan mahasiswa dalam mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dengan pengalamannya. Jika masalah tidak berkaitan dengan pengalaman mahasiswa, maka mereka belum tentu dapat memahami masalah yang dipelajari dengan baik. Pemecahan masalah harus selalu dibiasakan bagi mahasiswa dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Namun demikian, seorang mahasiswa tidak akan dapat memecahkan suatu masalah yang diberikan kepadanya apabila tidak memiliki konsep-konsep sebelumnya yang dibutuhkan. Sejalan dengan hal tersebut, Kusumah (2008) memandang pemecahan masalah dari dua sudut pandang yang berbeda yakni pemecahan masalah dipandang sebagai suatu pendekatan dan tujuan pembelajaran. Menurutnya lebih lanjut, dalam konteks pendekatan pembelajaran, siswa dilatih mampu menggunakan pemecahan masalah sebagai alat (tool) atau cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dahar (1989, hlm. 138), memandang bahwa pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik. Seorang mahasiswa tidak akan dapat memecahkan suatu masalah yang diberikan kepadanya apabila tidak memiliki konsep-konsep sebelumnya yang dibutuhkan, akibatnya dalam menyelesaikan masalah dapat membuat aturan sendiri. Sementara itu Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, siswa perlu belajar bagaimana membangun representasi mental dari masalah,

4 mendeteksi hubungan-hubungan matematis, dan merancang strategi baru untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, akan melahirkan motivasi bagi mahasiswa dalam menemukan solusi dari permasalahan yang ada untuk mencoba bagaimana cara memecahkannya. Solusi yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi, akan memacu mahasiswa untuk mencari solusi yang lain dari masalah yang dihadapinya. Hal ini bila selalu dibiasakan, akan menumbuhkan sikap yang positif. Sikap tersebut diantaranya adalah selfregulated learning. Self-regulated learning dapat diartikan sebagai kemandirian belajar. selfregulated learning juga merupakan pengaturan diri untuk memonitor pemahamannya, memutuskan kapan mahasiswa siap diuji, dan memilih strategi pemrosesan informasi yang baik. Konsep self-regulated learning awalnya merupakan konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli diantaranya Garrison (1997), ternyata self-regulated learning juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang pendidikan, baik untuk pendidikan dasar, menengah maupun pada pendidikan tinggi dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa atau mahasiswa. Sumarmo (2006) mendefinisikan self-regulated learning sebagai proses perancangan dan pemantauan yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal ini, self-regulated learning bukan merupakan kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu, melainkan merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasikan kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu. Zimmerman (1989) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu proses mengaktifkan dan mempertahankan secara terus menerus pikiran, tindakan dan emosi kita untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Karena itu pikiran, tindakan, dan emosi harus selalu diarahkan pada tujuan yang akan dicapai.

5 Dalam proses pembelajaran matematika banyak cara dan metode yang dapat diterapkan. Oleh karena itu pemilihan model pembelajaran yang digunakan, secara teoritis diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah dan self-regulated learning. Pada akhirnya kemampuan dan sikap tersebut akan dapat membangkitkan semangat dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari. Melalui self-regulated learning, mahasiswa akan lebih terdorong untuk dapat menyelesaikan masalah, menerapkan strategi, memantau kinerja, dan menafsirkan hasil usaha mereka. Untuk itu diperlukan upaya dosen dalam memfasilitasi dan mengkondisikan secara sengaja agar tercapai pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa untuk dapat mengalami dan mengembangkan dirinya dalam belajar matematika. Pembelajaran matematika yang dilakukan secara konvensional diawali dengan penjelasan materi, dilanjutkan pemberian beberapa contoh soal, kemudian dilakukan demonstrasi penyelesaian beberapa contoh soal, dan pada akhir pembelajaran mahasiswa diminta untuk menyelesaikan latihan soal. Proses pembelajaran seperti ini membuat mahasiswa cenderung menjadi pasif dan pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki mahasiswa pun hanya terbatas pada apa yang ditransfer oleh dosen saja. Hulukati (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pembelajaran generatif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran konvensional, baik untuk sekolah level tinggi maupun sekolah level rendah. Ratnaningsih (2007) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual terstruktur merupakan alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika karena dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemandirian belajar siswa dalam matematika, melibatkan aktvitas siswa secara optimal, memfasilitasi siswa menemukan dan membangun pengetahuannya, menciptakan suasana pembelajaran lebih kondusif, dan memberi kesempatan pada siswa untuk bebas melakukan eksplorasi. Demikian pula Kesumawati (2010)

6 mengatakan bahwa selama ini penekanan pembelajaran matematika yaitu pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal-soal rutin. Memperhatikan uraian di atas, maka dosen dituntut untuk selalu berinovasi untuk dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa. Agar mahasiswa memiliki kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning, tentu dibutuhkan pula model pembelajaran yang sesuai. Model tersebut haruslah memiliki karakteristik yang dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah model Treffinger. Treffinger (1980), mengemukakan bahwa model belajar yang mereka kembangkan merupakan model yang bersifat developmental dan lebih mengutamakan segi proses yang terdiri dari tahapan basic tools, practice with process, dan working with real problem. Melalui tahapan pembelajaran dalam model Treffinger yaitu basic tools, pada tahap ini mahasiswa dapat berpikir secara divergen atau terbuka tanpa merasa takut bahwa pendapatnya itu akan ditolak atau diterima. Selanjutnya practice with process, yaitu mahasiswa dihadapkan pada masalah kompleks sehingga menimbulkan konflik kognitif pada mahasiswa dan dengan situasi seperti ini akan memacu mahasiswa untuk mengeluarkan potensi dirinya dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Langkah berikutnya working with real problem, yaitu melibatkan pemikiran mahasiswa dalam tantangan nyata serta mendorong mahasiswa menemukan sendiri permasalahan yang diberikan. Pembelajaran dengan model Treffinger mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya dan memiliki tahapan pengembangan yang sistematik untuk setiap tahap dapat diterapkan secara fleksibel. Untuk itu dituntut adanya kemandirian dalam belajar sebagaimana yang diterapkan pada pembelajaran model Treffinger. Penelitian yang dilakukan oleh Pomalato (2005) menyimpulkan bahwa penerapan model Treffinger dalam proses pembelajaran matematika memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan atau peningkatan kemampuan kreatif dan pemecahan masalah matematis siswa. Matematika adalah ilmu yang terstruktur, sehingga untuk menguasai suatu konsep matematis diperlukan konsep matematis sebelumnya atau yang

7 mendasarinya. Banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika, hal ini lebih dikarenakan penguasaan konsep matematis sebelumnya masih kurang sehingga konsep matematis yang dipelajari dirasakan sangat sulit. Untuk itu, pembelajaran matematika harus dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menarik mahasiswa untuk belajar. Seorang dosen harus trampil dalam mengaitkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat dipecahkan secara matematis. Pemecahan masalah matematis harus dapat dipecahkan baik secara individual maupun secara kelompok dalam suatu pembelajaran/perkuliahan. Untuk itu pembelajaran matematika dengan model Treffinger perlu dilakukan dalam kerangka pengembangan diri mahasiswa dengan teknik-teknik pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok dalam kelas. Karena itu perlu disusun bahan-bahan perangkat pembelajaran/perkuliahan yang tepat dan metode pembelajaran yang dilakukan secara integratif. Melalui pembelajaran dengan model Treffinger usaha untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa dapat dilakukan secara sistematis dengan memusatkan perhatian kepada proses perkuliahan serta bagaimana memecahkan masalah dalam matematika yang pada akhirnya dapat menumbuhkan self-regulated learning. Selain model pembelajaran, faktor lain yang diduga berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning mahasiswa adalah kemampuan awal matematis (KAM) mahasiswa. Kemampuan awal mahasiswa tidaklah homogen, seperti yang dikemukakan oleh Ruseffendi (2006) bahwa, dari sekelompok mahasiswa yang tidak dipilih secara khusus (sebarang), akan selalu kita jumpai mahasiswa yang kemampuannya rendah, sedang, dan tinggi, karena kemampuan mahasiswa (termasuk kemampuan dalam matematika) menyebar secara distribusi normal. Perbedaan kemampuan yang dimiliki mahasiswa tidak semata-mata merupakan faktor bawaan dari lahir, tetapi juga bisa terjadi karena faktor pengaruh lingkungan. Hal ini juga dikatakan oleh Schoenfeld (1985) bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pengetahuan matematis yang relevan yang telah dimiliki siswa, misalnya

8 keterampilan menggunakan algoritma, dan pemahaman konsep. Sebaliknya, ketidakkokohan pengetahuan matematika merupakan salah satu sumber ketidakberhasilan siswa dalam pemecahan masalah matematis. Pemilihan pendekatan pembelajaran harus diarahkan agar dapat mengakomodasi kemampuan mahasiswa yang pada umumnya adalah heterogen. Ada kemungkinan mahasiswa yang kemampuannya sedang atau rendah, namun apabila pendekatan pembelajaran yang digunakan sesuai dengan mereka, maka pemahaman mereka akan menjadi lebih baik. Uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian tentang penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika dalam upaya untuk dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning mahasiswa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan pembelajaran model Treffinger dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning mahasiswa. Untuk lebih jelasnya, masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, serta self-regulated learning mahasiswa yang mendapat pembelajaran model Treffinger lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional?. Selanjutnya pertanyaan penelitian tersebut diuraikan dalam beberapa rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger lebih tinggi

9 daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah)? 2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger lebih tinggi daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah)? 3. Apakah pencapaian dan peningkatan self-regulated learning matematis mahasiswa yang memperoleh pembelajaran model Treffinger lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah)? 4. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa? 5. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa? 6. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap pencapaian dan peningkatan self-regulated learning mahasiswa? 7. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, dan self-regulated learning matematis mahasiswa?

10 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menyelidiki, membandingkan, dan mendeskripsikan secara komprehensif tentang pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan model Treffinger dan yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah). 2. Menyelidiki, membandingkan, dan mendeskripsikan secara komprehensif tentang pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan model Treffinger dan yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah). 3. Menyelidiki, membandingkan, dan mendeskripsikan secara komprehensif tentang pencapaian dan peningkatan self-regulated learning matematis mahasiswa yang mendapat pembelajaran dengan model Treffinger dan yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan mahasiswa; dan (b) kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah). 4. Menelaah pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa. 5. Menelaah pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa. 6. Menelaah pengaruh interaksi antara penerapan pembelajaran (model Treffinger dan konvensional) dan kategori KAM mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah)

11 terhadap pencapaian dan peningkatan self-regulated learning matematis mahasiswa. 7. Menelaah korelasi antara kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah matematis, dan self-regulated learning matematis mahasiswa. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendiskripsikan suatu pembelajaran matematika melalui model Treffinger yang dapt digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah, dan selfregulated learning. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dan menjadi bahan masukkan bagi pihak-pihak yang terkait, seperti: 1. Bagi mahasiswa penerapan model Treffinger dalam pembelajaran matematika dapat dijadikan sebagai suatu acuan untuk lebih melibatkan diri dalam proses belajar matematika dan lebih memaksimalkan kemampuan matematis mereka 2. Bagi dosen, model Treffinger yang diterapkan dalam pembelajaran matematika ini merupakan alternatif yang digunakan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning mahasiswa. 3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu untuk mengembangkan model belajar yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis serta self-regulated learning mahasiswa dalam pembelajaran matematika pada berbagai tingkatan pendidikan. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan rekomendasi terhadap riset lanjutan.