Evaluasi Dampak Qualitatif PPK Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

STUDI KELOMPOK MARJINAL

TINJAUAN PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA DAN SARANA DESA POLA IMBAL SWADAYA

TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PASER NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM KERANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN 1 Nani Zulminarni 2

PENJELASAN VI PENULISAN USULAN DAN VERIFIKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BUKU PEGANGAN PELATIH MASYARAKAT PENINGKATAN KUALITAS KEGIATAN KESEHATAN DALAM PNPM MANDIRI PERDESAAN

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA KEDUNGASRI KECAMATAN TEGALDLIMO KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR : 188/ 16 /KEP / /2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2006 NOMOR 18

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

PNPM MANDIRI PERDESAAN

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN DESA

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI JEMBRANA,

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 22 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA/KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 8 TAHUN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI KABUPATEN BLORA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

Siklus PNPM Mandiri - Perkotaan

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA

ANALISA DI TINGKAT MASYARAKAT

Memperkuat Partisipasi Warga dalam Tata Kelola Desa : Mendorong Kepemimpinan Perempuan

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA

EVALUASI PROGRAM BANTUAN KEUANGAN DESA

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

Oleh: Elfrida Situmorang

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Kerangka Tata Pemerintahan Yang Baik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 42 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDes)

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 10 SERI E

newsletter Terbitan No. 1, Mei 2009

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

B U P A T I S I M A L U N G U N PAMATANG RAYA SUMATERA UTARA Kode Pos 21162

PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU Jl. Soekarno Hatta No. 17 Telp (0426) Kode Pos Mamuju

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Transkripsi:

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah program nasional Pemerintah Indonesia yang bertujuan memberantas kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat setempat. PPK mulai pada tahun 1998 dan dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Program ini dibiayai dengan alokasi anggaran pemerintah, hibah dari donor, dan dana pinjaman dari Bank Dunia. PPK memberikan block grant sebesar antara Rp. 500 juta dan Rp. 1 milyar kepada kecamatan. Sasarannya adalah kecamatan miskin di seluruh Indonesia dan dilaksanakan di 30 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Pada Agustus 2006, Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa PPK akan diperluas hingga mencakup seluruh Indonesia pada 2009, dan akan menjadi program nasional utama untuk memberantas kemiskinan bagi pemerintah yang berkuasa saat ini. Evaluasi dampak kualitatif PPK mencoba menentukan apakah PPK membawa dampak pada praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Secara spesifik, evaluasi ini menelaah apakah PPK mampu mengubah praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan dan apakah PPK meningkatkan kapasitas warga desa agar secara lebih memadai dapat mengidentifikasi dan mengatasi kebutuhan pengembangan masyarakat, atau, pada umumnya, meningkatkan kemampuan warga desa untuk ikutserta dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, politik dan sosial yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Selain itu, evaluasi ini menelaah dampak PPK pada lembaga masyarakat, kemampuan kaum perempuan memenuhi kebutuhan pembangunan mereka dan memberantas kemiskinan. Karena tidak ada studi data awal (baseline study) tentang persoalan-persoalan ini, evaluasi ini menggunakan sejumlah metode untuk mengidentifikasi dampak. Pertama, diadakan penelitian baik di desa yang telah mendapat PPK maupun di desa yang belum mendapat PPK, guna mencoba mengidentifikasi sumber-sumber dari luar yang menyebabkan perubahan jika tidak ada PPK. Kedua, di desa PPK, peneliti mendalami pelaksanaan proyek pembangunan dan praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan sebelum dan sesudah ada PPK. Akhirnya, peneliti membandingkan pelaksanaan PPK dengan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang lain di desa yang sama. Penelitian kualitatif dilakukan di 36 desa yang tersebar di 12 kabupaten di 4 propinsi: Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. Secara keseluruhan, penelitian ini mencakup 24 desa PPK dan 12 desa perbandingan non- PKK. Dari tiga desa yang dipilih di setiap kabupaten, dua adalah desa yang telah mendapat proyek paling tidak dua kali siklus PPK dan satu desa adalah desa kontrol yang tidak pernah ikut dalam PKK. Penelitian dilakukan antara Oktober 2005 dan Juni 2006. Para peneliti tinggal selama 10 hari di setiap desa, melakukan wawancara semiterstruktur dan mengadakan diskusi-kelompok dengan warga desa (terutama dengan warga desa perempuan dan dari golongan miskin), pejabat pemerintah desa, dan pejabat tertentu tingkat kabupaten dan kecamatan. Secara keseluruhan, tim studi mewawancarai lebih dari 1.100 responden.

Pelaksanaan PPK Pelaksanaan PPK tergantung pada pelaku PPK dan latar belakang desa. Mutu pelaksanaan PPK ditentukan oleh bagaimana pelaku menghayati dan merancang PPK, dan bagaimana mereka kemudian melaksanakan PPK di desa. Namun pelaku PPK tidak bekerja dalam ruang hampa. Pelaksanaan PPK oleh para pelakunya sangat dipengaruhi oleh latar belakang desa saat ini, yang dapat mendukung atau menghambat pelaksanaan PPK. Pelaksanaan PPK juga agak dipengaruhi oleh latar belakang yang lebih luas, yakni kecamatan dan kabupaten. Kepala desa faktor terkuat yang mempengaruhi pelaksanaan PPK. Kepala desa adalah pusat kegiatan desa dan sangat berpengaruh sepanjang menyangkut pengelolaan proyek pembangunan. Di sisi positif, kepala desa dapat mengerahkan dan mengarahkan warga desa dan memberikan dorongan bagi partisipasi desa dan legitimasi pada proyek. Sebaliknya, kepala desa juga dapat mendominasi proses pelaksanaan, melalui beberapa cara: menunjuk pelaku PPK, terutama jika pada pertemuan PPK yang pertama warga yang hadir seddikit; menekan atau mengganti pelaku PPK pada saat proyek sedang berjalan; dan mengambil keputusan sendiri ketika mengerahkan warga desa untuk melaksanakan proyek. Badan Perwakilan Desa (BPD) yang bertugas memantau pemerintah desa dan mengendalikan wewenang kepala desa hampir di semua desa juga lemah karena tidak banyan mendapat dukungan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi untuk mengambil tindakan ketika ada masalah. Anggota BPD di sejumlah desa juga tidak mengetahui dengan jelas fungsi mereka. Sistem pemerintahan berdasar perwakilan dapat menghambat partisipasi dalam PPK. Kadang-kadang sulit diketahui apakah sistem perwakilan benar-benar mewakili warga desa atau sebuah selubung semata bagi dominasi oleh sekelompok elite. Wakil desa ada yang dipilih oleh warga desa dan ada juga yang tidak, tergantung pada desa bersangkutan. Di desa dengan sistem perwakilan, warga desa mungkin tidak berminat terlibat dalam PPK, karena beberapa alasan. Mereka mungkin merasa kurang nyaman melangkah keluar dari bingkai hirarki desa atau semata-mata merasa tidak perlu melibatkan diri. Sistem perwakilan seringkali lebih efektif untuk menyampaikan informasi dan usulan dari bawah (warga desa) ke atas (pemerintah desa) daripada untuk memberikan informasi yang terbuka ke bawah. Di banyak desa, tidak ada sistem yang jelas dan rutin untuk menyampaikan informasi dan keputusan yang diambil oleh wakilwakil warga desa yang tidak diketahui oleh warga desa itu. Ini sering menghambat pertanggungjawaban. Kapasitas untuk kegiatan bersama (cllective action) paling besar di tingkat dusun. Kecuali di desa-desa yang kecil dan kompak, ada dua konsekuensi di sini. Pertama, ini berarti bahwa warga terlebih dahulu memikirkan dusun mereka dan baru kemudian memikirkan desa. Mereka tidak secara otomatis bersatu di tingkat desa dan persaingan untuk memperoleh sumberdaya dalam sebuah desa dapat sangat sengit. Kedua, ini menyiratkan bahwa jika PPK bertujuan mendukung pengembangan kapasitas desa, maka diperlukan alat untuk menjalin kerjasama antara warga di tingkat desa. Alat ini mungkin kepala desa atau pelaku PPK di tingkat desa (fasilitator desa atau anggota tim pelaksana kegiatan).

Warga desa lebih sering menghadiri pertemuan perencanaan daripada pertemuan pertanggungjawaban. Di semua desa, pertemuan perencanaan lebih sering diselenggarakan dan terbuka untuk semua warga desa daripada pertemuan pertanggungjawaban. Banyak sebabnya mengapa ini terjadi. Ini bisa jadi karena pelaku PPK menyembunyikan informasi; sebaliknya, bisa pula karena warga desa menganggap pertemuan pertanggungjawaban tidak perlu, jika mereka menganggap proyek berjalan lancar. Mekanisme dan lembaga untuk pemantauan dan pertanggungjawaban masih lemah atau belum dikenal. Tim 18, kelompok yang dibentuk untuk memantau berbagai aspek pelaksanaan PPK, masih belum dikenal oleh warga desa umumnya karena anggota Tim itu sebagian besar pro forma. Mekanisme pengaduan PPK tidak banyak diketahui oleh warga desa sehingga warga desa tidak tahu bahwa tersedia alat-alat yang dapat mereka gunakan untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku PPK atau pemuka desa. Meski ada masalah, PPK di banyak desa terlaksana dengan baik, terutama karena para pelaku PPK 1 aktif dan partisipasi warga desa terus didorong. Pelaku PPK di tingkat desa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik bila mereka dipilih secara demokratis karena dengan demikian mereka memiliki otonomi yang lebih besar. Studi ini menemukan bahwa fasilitator desa (FD) dan ketua tim pelaksana kegiatan (TPK) memainkan peran yang penting dalam melibatkan warga desa ketika warga desa mengambil prakarsa dan diberi cukup keleluasaan untuk memainkan peran oleh elite desa. Fasilitasi terutama sangat penting untuk melibatkan warga desa dan untuk memastikan bahwa mereka memperoleh pengalaman-pengalaman positif dari pertemuanpertemuan umum. Bahkan di desa-desa yang tidak mengadakan pertemuan di tingkat desa, studi ini menemukan bahwa warga desa sering mendapat kesempatan untuk melibatkan diri dalam pertemuan-pertemuan penggalian gagasan di tingkat kelompok, Rukun Tetangga (RT) atau dusun. PPK memiliki kemampuan terbatas untuk melibatkan perempuan dalam proses pembangunan, dan ini berbeda cukup besar dari wilayah ke wilayah. Di Sulawesi Utara dan di beberapa bagian Kalimantan Selatan, PPK membuka kesempatan bagi semua perempuan untuk ikutserta dalam proses pembangunan, sering untuk pertama kali. Namun, di daerah-daerah lain (Jawa Tengah, Sumatra Selatan, dan bagian-bagian Kalimantan Selatan), perempuan mengira bahwa mereka hanya boleh mengusulkan kredit (SPP) atau bahwa pertemuan terbatas untuk elite perempuan saja, seandainya diadakan. Perbandingan PPK dengan proyek-proyek yang lain Kinerja PPK paling tidak sama dan seringkali lebih baik daripada kinerja proyekproyek yang lain di desa. Latar belakang desa yang berbeda membuahkan hasil yang berbeda pula bagi semua proyek, tidak terkecuali PPK. Studi ini membandingkan PPK dengan proyek-proyek pengembangan yang lain, menggunakan indikitor-indikator berikut ini: kemampuan memenuhi kebutuhan prioritas, mutu dasar proyek, keterbukaan dan partisipasi. Studi ini menyajikan perbandingan yang lebih rinci antara PPK dan proyek-proyek lain yang dibiayai dengan dana dari luar dan dikelola di tingkat desa 1 Khususnya, fasilitator kecamatan (FK), fasilitator desa (FD) dan para anggota (dan terutama ketua) Tim Pelaksana Kegiatan/Tim Pengelola Kegiatan (PPK II) (TPK).

(swakelola) karena ciri-ciri PPK dan proyek-proyek ini sama. Studi ini juga secara ringkas membandingkan kinerja PPK dengan kinerja proyek-proyek yang dikelola oleh kontraktor dan proyek-proyek yang diprakarsai, dikelola dan dibiayai oleh warga masyarakat. Tujuan perbandingan ini ialah untuk juga memahami bagaimana proyekproyek ini membentuk persepsi warga desa mengenai pembangunan dan bagaimana PPK dapat memetik pelajaran dari pengalaman proyek-proyek yang lain. Kinerja PPK lebih baik daripada kinerja proyek-proyek yang dilaksanakan oleh kontraktor yang cenderung kurang terbuka dan tidak ada pertanggungjawaban. Partisipasi dalam perencanaan tidak dikenal dan juga tidak didorong dan melobi (sering sama artinya dengan menyogok) sangat penting, dan sering menjadi insentif untuk menolak keterbukaan. Selain itu, kalau mutu proyeknya rendah, warga desa tidak dapat mengadu. Namun, studi ini juga menemukan bahwa jika ada pengendalian oleh warga desa walau sedikit sekalipun dalam seleksi proyek dan warga desa dapat dikerahkan sebagai pekerja proyek, mereka sering merasa senang dengan hasil yang dicapai. Ada konsensus yang cukup luas bahwa Musrenbang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proyek-proyek yang diusulkan melalui Musrenbang mekanisme perencanaan dari bawah ke atas milik pemerintah paling sering dilaksanakan oleh kontraktor dalam hal usul-usul pada akhirnya benar-benar mendapat dana pembiayaan. Secara keseluruhan, kepala desa merasa kecewa dengan proses ini karena usul-usul mereka jarang sekali mendapat dana. Di 36 desa, studi ini menemukan bahwa hanya tujuh proyek yang disetujui Musrenbang selama lima tahun terakhir ini. Akibatnya, kepala desa tidak mengadakan pertemuan terbuka perencanaan dan tidak melihat ada kaitan antara PPK dan Musrenbang. PPK sering dapat mengambil pelajaran dari cara kerja dan mekanisme proyekproyek swadaya yang ada dan menerapkannya pada proyek-proyek yang lebih besar. Proyek-proyek yang dilaksanakan oleh masyarakat desa cenderung lebih partisipatoris dan terbuka daripada proyek-proyek yang lain. Bila ada masalah, pertanggungjawaban sering sulit atau informal karena proyek mengandalkan diri pada rasa saling percaya yang tinggi dalam pelaksanaannya. Namun, dengan mengikutsertakan lembaga-lembaga masyarakat, PPK menerapkan dengan baik cara-cara kreatif dan efektif untuk mengerahkan warga desa. PPK dapat secara lebih konsisten memenuhi kebutuhan-kebutuhan prioritas desa daripada proyek-proyek swakelola, karena pelaku PPK tidak terlalu mudah ditekan dari luar dan PPK memiliki daftar proyek yang lebih longgar. Para pelaku desa tidak terlalu terbuka pada tekanan dari pejabat pemerintah dan kontraktor dalam hal seleksi proyek karena usulan-usulan proyek dirumuskan dengan tingkat partisipasi warga desa yang tinggi dan pembiayaan tidak bergantung pada persetujuan dari pelaku dari luar, tetapi hanya bergantung pada kesepakatan di tingkat forum lintas desa. Kedua, daftar proyek PPK yang lebih longgar memungkinkan warga desa melaksanakan proyek-proyek prioritas. Mekanisme-mekanisme PPK lebih baik kinerjanya daripada proyek-proyek swakelola yang lain dalam hal memastikan adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban. Ada beberapa sebab untuk ini, mulai dari kenyataan bahwa melobi dan menyuap (sering tidak ada bedanya) jauh lebih sering terjadi di proyek-

proyek yang lain. PPK menekankan partisipasi warga desa dan ini meningkatkan pengetahuan warga desa mengenai proyek dan membantu mereka memantau pelaksanaan proyek. Selain itu, proyek-proyek yang lain tidak terlalu berhasil sepanjang menyangkut mengizinkan pelaporan rincian proyek kepada warga masyarakat, padahal proses ini dapat mengurangi korupsi. Meskipun PPK tidak bebas dari korupsi, namun korupsi tampaknya tidak terlalu sering terjadi dan pada skala yang lebih kecil. Akhirnya, meskipun ada masalah-masalah pertanggungjawaban dalam PPK seperti disebutkan di atas tadi, beberapa masalah telah berhasil diatasi, baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan. Kenyataan bahwa ada sejumlah fasilitator kecamatan (FK) yang dipecat berarti sudah ada perbaikan dalam pelaksanaan proyek PPK dibandingkan dengan proyek-proyek yang lain. Proyek-proyek PPK pada umumnya bermutu tinggi dan berbiaya lebih rendah dibandingkan dengan proyek-proyek swakelola yang lain. Ini sebagian besar berkat peranserta warga desa dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek dan berkat kedudukan penting yang diberikan PPK pada swadaya. Meskipun studi ini tidak menghitung besar biaya yang dihemat atau mengevaluasi mutu proyek secara mendalam, namun ditemukannya hasil-hasil penting yang lain sebagai buah dari pelaksanaan PPK, seperti misalnya rasa bangga masyarakat desa dan meningkatnya rasa percaya diri warga desa dalam mengatasi masalah. Dampak PPK Meskipun sulit untuk melihat dengan jelas di mana benar-benar telah terjadi perubahan, PPK mendukung praktek-praktek pemerintahan yang baik yang mulai muncul atau sudah diterapkan atau pemberdayaan masyarakat dengan cara-cara yang tidak digunakan sebagian besar proyek yang lain. Selain memberikan dukungan ini, dua pertiga dari desa PPK mengalami efek-efek dari PPK: peristiwa-peristiwa atau perilaku-perilaku baru di dalam PKK yang dapat menghasilkan perubahan pada masa datang. Studi ini menyelidiki dampak pada tata pemerintahan desa, lembaga-lembaga desa, kerjasama, peranan perempuan dalam pembangunan dan dalam menentukan sasaran pemberantasan kemiskinan. Juga disedilikinya faktor-faktor yang dapat mendukung atau mencegah terjadinya perubahan di tingkat desa. Meskipun PPK memiliki kemampuan terbatas untuk secara dramatis mengubah tata pemerintahan dalam waktu singkat, namun diberikannya dukungan penuh kepada kepala desa yang reformis, kepada pengembangan kapasitas pelaku PPK dan pengalaman baru dan diskusi bagi warga desa, yang menciptakan permintaan baru dan meletakkan landasan bagi perubahan lebih lanjut: Pertama, PPK memberikan dukungan penting kepada kepala desa baru yang ingin meningkatkan partisipasi dan keterbukaan. Studi ini bertolak dari hipotesa bahwa perubahan dalam praktek-praktek pemerintahan dapat berasal dari pejabat pemerintah desa yang memutuskan sendiri menginginkan perubahan setelah melihat manfaat PPK atau melakukan itu karena desakan dari masyarakat. Studi ini menemukan dua kasus pemerintah desa yang menjadi lebih partisipatoris. Namun, juga ditemukan bahwa mutu kepala desa yang baru di desa PPK dan di desa pembanding sudah lebih baik. PPK sering memberikan dukungan kepada para kepala desa ini ketika mereka berusaha menerapkan praktek-praktek pemerintahan yang baik. Ini tampaknya menunjukkan bahwa PPK adalah

proyek yang tepat pada saat yang tepat untuk mendukung dan memperkuat perubahan secara demokratis. Kedua, PPK memberikan banyak ketrampilan yang diperlukan seperti cara menyusun usulan proyek dan cara mengelola proyek, yang meningkatkan kapasitas desa dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pembangunannya. Pelatihan bagi fasilitator desa, tim penulis dan tim pelaksana mendukung pemerintah desa dalam memperoleh proyek-proyek pembangunan dan melaksanakannya. Meskipun tidak harus berarti bahwa mutu pemerintahan desa akan menjadi lebih baik, pelatihan dapat meningkatkan efektivitas kepala desa dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan desa. Ketiga, PPK meningkatkan tuntutan bagi pemerintahan yang lebih baik tetapi sering tidak dapat menterjemahkan tuntutan ini ke dalam perubahan untuk jangka lebih panjang. Ada sebuah contoh mengenai desakan dari pihak warga desa yang berhasil mewujudkan perubahan-perubahan dalam perilaku kepala desa, sehingga terwujud perencanaan yang lebih partisipatoris. Namun, jauh lebih banyak ditemukan contoh mengenai PPK yang menimbulkan perdebatan sengit, protes atau aktivisme dalam kalangan warga desa atau membawa pengalaman-pengalaman baru. Peristiwa-peristiwa seperti ini tidak harus menghasilkan perubahan yang segera tetapi menunjukkan bahwa ada potensi bagi perubahan pada masa yang akan datang. PPK memiliki kemampuan terbatas untuk mengubah atau menciptakan lembagalembaga masyarakat yang baru tetapi dapat mendukung lembaga-lembaga yang sudah ada. PPK tidak memperkenalkan praktek-praktek baru kepada kelompokkelompok masyarakat tetapi dapat secara efektif memanfaatkan praktek-praktek yang sudah berjalan dengan baik. Namun, ditemukan dalam studi ini kelompok-kelompok baru yang dibentuk untuk PPK: untuk menerima manfaat (kelompok kredit atau kelompok petani) atau untuk merawat PPK. PPK dapat membawa dampak positif dan negatif pada kemampuan warga desa dan kepala desa untuk bekerja sama, dan pada kemampuan warga desa untuk bekerja sama. Pengalaman-pengalaman positif dari PPK dapat diterapkan kepada proyek-proyek yang lain atau kegiatan pemeliharaan. Dengan melibatkan warga desa dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, PPK membantu membangun rasa percaya masyarakat pada kemampuan warga desa sendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan desa dan kemauan untuk mengatasi sendiri masalah-masalah bersama atau mengelola sumberdaya bersama. Namun, jika kepala desa atau seorang pelaku PPK tidak terus terang, ini dapat merusak kemampuan bekerja sama, tidak saja antara warga desa dan pemerintah desa, tetapi juga antara warga desa sendiri seiring dengan menyebarnya rasa tidak percaya. Selain itu, di beberapa desa, persaingan sengit di dalam desa merusak kemampuan kelompok-kelompok di desa untuk bekerja sama. PPK hanya sedikit, atau tidak, membawa dampak pada perubahan peranan perempuan di desa, meski ada kasus-kasus bahwa program ini memberikan pengalaman pertama dalam bidang pembangunan kepada perempuan desa. Pada umumnya, pertemuan-pertemuan khusus untuk perempuan bermanfaat bila diselenggarakan dengan baik. Namun, peranserta perempuan mengikuti umumnya polapola daerah, dan di sebagian besar desa kaum perempuan tetap belum aktif, terutama karena alasan-alasan budaya. Program simpan pinjam perempuan umumnya tidak

membawa dampak menarik lebih banyak perempuan ke dalam program itu tetapi sering membawa dampak menyisihkan perempuan miskin yang merasa tidak sanggup melunasi kredit. Dalam beberapa kasus, program kredit juga membawa dampak menyisihkan perempuan dari perencanaan proyek-proyek prasarana. PPK melakukan pekerjaan yang patut diacungi jempol dalam pemberantasan kemiskinan di tingkat desa tetapi ini dilakukan dengan membantu semua warga desa, bukan degan menargetkan kelompok-kelompok yang paling miski di desa. Memberi kesempatan kepada warga desa memilih kebutuhan-kebutuhan prioritas sangat membantu pemberantasan kemiskinan di tingkat desa. Misalnya, sistem irigasi membantu pemilik tanah, tetapi juga menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga desa yang tidak memiliki tanah. Namun, praktek pengambilan keputusan berdasar suara mayoritas kadang-kadang membawa dampak tidak mendorong kelompok-kelompok kecil (sering dari tempat terpencil) untuk berperanserta. Jika kelompok-kelompok ini jauh dari pusat desa, mereka juga mungkin tidak mendapat manfaat dari proyek yang membantu mayoritas di desa itu. Di desa-desa yang telah terpenuhi kebutuhan utamanya (jalan utama, saluran irigasi utama, dsb.), proyek-proyek sekarang menentukan sebagai sasaran kelompok-kelompok lebih kecil di desa. Karena itu, menentukan secara efektif kelompok-kelompok miskin sebagai sasaran mungkin lebih penting pada masa datang. Peta sosial yang diperkenalkan dalam PPK 2 umumnya tidak digunakan. Saran Secara keseluruhan, saranp-saran di sini terfokus pada melibatkan warga desa pada tingkat RT/kelompok karena di tingkat ini warga paling banyak terlibat dan membangun PPK dari sebuah proyek yang menyusun rencana tahun demi tahun menjadi sebuah proyek yang membantu warga desa memperhitungkan kemiskinan dan pertimbangan-pertimbangan lain dalam merumuskan rencana desa untuk jangka menengah dan jangka panjang. Meskipun saran-saran dipilih dengan mempertimbangkan peranan berbagai kelompok desa dalam proses pengembangan ini, namun temanya secara menyeluruh tetap sama. Saran-saran dikelompokkan ke dalam lima bidang: peranserta kepala desa (termasuk pertanggungjawaban, pemantauan dan pengelolaan pengaduan), partisipasi (baik umum maupun khususnya perempuan), menentukan sasaran kemiskinan, perencanaan jangka panjang dan kendala dari luar. PPK hendaknya bekerja sama secara lebih efektif lagi dengan para kepala desa, dan secara terus-menerus memastikan bahwa kepala desa memahami kedudukan mereka dalam PPK dan mendukung fungsi mereka yang lebih luas sebagai pemimpin desa yang bertanggung jawab atas pembangunan desa dan sementara itu juga mendukung mekanisme pemantauan dan pertanggungjawaban yang membatasi peran kepala dalam proyek. Pertama, kepala desa hendaknya mendapat lebih banyak pelatihan tentang tujuan PPK dan peranan kepala desa dalam proyek. Sebagian besar kepala desa yang mendukung proyek ini memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai PPK (dan ada pula yang dominan namun tidak memahami apa itu PPK). Pelatihan sebaiknya mencakup informasi dasar mengenai PPK, dan diskusi mengenai bagaimana mendorong warga desa untuk berperanserta dan mengelola proses perencanaan terdesentralisasi.

Kedua, PPK perlu memastikan bahwa pelaku desa (FD dan TPK terutama) dipilih secara terbuka dalam forum terbuka dan bahwa warga desa memiliki pengetahuan dasar tentang cara memantau proyek dan apa yang dapat mereka lakukan jika ada masalah. Ada bukti yang jelas bahwa pelaku PPK yang dipilih secara terbuka dalam forum terbuka memiliki ruang lingkup yang lebih besar untuk melaksanakan tugasnya dan sering menghasilkan kinerja yang lebh baik daripada rekannya yang diangkat. Karena itu, kepala desa hendaknya tidak memimpin penyelenggaraan pertemuan yang diselenggarakan untuk memilih pelaku desa (pertemuan desa yang pertama). FK hendaknya telah berada di desa sebelum pertemuan, untuk menyelenggarakan kampanye kecil-kecilan menjelaskan program dan posisi-posisi yang diisi melalui pemilihan oleh warga masyarakat. BPD dapat membantu proses ini. Kedua, jika sebuah desa memenangkan sebuah proyek, informasi mengenai pemantauan dasar hendaknya disampaikan dalam pertemuan ketiga, ketika rencana untuk pelaksanaan proyek dirumuskan. Tata cara menjelaskan mekanisme pengaduan hendaknya diperbaiki dan dipantau oleh KM. Pemeriksanaan pembukuan hendaknya dilakukan lebih sering karena sudah terbukti dapat membawa dampak membuat orang takut korupsi. Ketiga, PPK hendaknya mendukung peran kepala desa dalam perencanaan pembangunan di luar program ini. PPK saat ini mengikutsertakan kepala desa dalam proses perencanaan pembangunan. Melalui pengembangan rencana jangka panjang desa, PPK dapat membantu membangun mandat yang jelas bagi kepala desa. Pertemuan tambahan hendaknya diadakan setelah forum antar-desa guna membantu kepala desa mencari dana bagi usulan-usulan yang tersisa. PPK membantu kepala desa dengan memberikan informasi tentang proyek-proyek di kabupaten (informasi sudah dihimpun oleh KM) dan menggunakan fasilitator yang sudah ada untuk membantu kepala desa berkoordinasi dengan desa-desa lain yang memiliki kebutuhan yang sama. Desa-desa hendaknya diminta untuk mengusulkan proyek lebih banyak lagi sebagai cara untuk menentukan prioritas tugas-tugas pelaksanaan lebih lanjut bagi kepala desa. Guna meningkatkan partisipasi, PPK hendaknya dipaparkan secara lebih holistik, dengan upaya yang lebih besar untuk melibatkan semua bidang di desa. Selain itu, PPK hendaknya mengatasi masalah-masalah partisipasi yang timbul dari sistem perwakilan dengan bekerja secara lebih efektif lagi dalam sistem perwakilan itu. Tingkat partisipasi yang tinggi mungkin tidak dapat dicapai dalam sistem perwakilan, tetapi PPK hendaknya mencari cara-cara lain untuk meningkatkan arus informasi, keterbukaan dan pada akhirnya meningkatkan pertanggungjawaban. Ini dapat diupayakan dengan mengikutsertakan wakil-wakil pilihan warga desa dalam pertemuan PPK, dan upaya memastikan bahwa wakil-wakil itu melaporkan keputusan yang diambil dan diskusi yang terjadi kepada warga desa. Selain itu, fasilitator perlu menjelaskan elemenelemen kunci dari semua siklus PPK dalam semua pertemuan. Misalnya, pertemuan perencanaan hendaknya juga menyebutkan akan ada pertemuan-pertemuan pertanggungjawaban, guna membantu mengembangkan tuntutan bagi keterbukaan dan pertanggungjawaban. 2 Upaya hendaknya dilakukan untuk tidak saja menghadirkan wakilwakil dari semua dusun ke pertemuan desa, tetapi juga menyediakan waktu yang sama 2 Pendekatan ini hendaknya dimasukkan ke dalam bahan-bahan operasi, yang digunakan sebagian besar FD. Saat ini, agenda pertemuan untuk perencanaan tidak ada menyebutkan bagaimana rencana akan dilanjutkan, dan jika ada proyek yang dimenangkan, bagaimana prosesnya.

bagi mereka untuk mengeluarkan suara. Akhirnya, FD dan FK hendaknya mendapat pelatihan dengan fokus yang lebih banyak kepada prinsip-prinsip PPK (daripada hanya sekadar menjelaskan berbagai langkah dalam PPK) dan membahas cara-cara bagi mereka untuk mendorong penerapan prinsip-prinsip itu di desa mereka masing-masing. Untuk meningkatkan partisipasi perempuan, PPK hendaknya meletakkan fokus pada tingkat terendah (RT dan kelompok-kelompok) dan berusaha membangun ketrampilan bagi pertemuan khusus untuk perempuan, pertemuan campuran dan, pada akhirnya, bagi forum antar desa. Di berbagai daerah, KDP masih perlu berusaha keras untuk mendorong peranserta kaum perempuan, sedangkan di tempat-tempat lain, KDP masih perlu memasukkan nilai tambah ke dalam pengalaman-pengalaman kaum perempuan agar kaum perempuan terus mendapat manfaat dari pengalaman-pengalaman mereka di PPK. Kebutuhan untuk mendorong kedua hal ini dapat dipenuhi dengan cara mendorong lebih besar lagi di tingkat bawah tidak saja kegiatan menghimpun pemikiranpemikiran, tetapi juga mengembangkan argumen-argumen dasar dan kemampuan berbicara guna memungkinkan kaum perempuan menyampaikan pendapat mereka. Fasilitator (laki-laki dan perempuan) hendaknya mendapat pelatihan tambahan tentang cara-cara mendorong kaum perempuan untuk berpartisipasi. SPP hendaknya dievaluasi ulang, dan tujuannya lebih diperjelas. Setidak-tidaknya, SPP jangan hendaknya sampai menyisihkan kaum perempuan dari proses PPK atau menutup pintu bagi mereka untuk mengusulkan kegiatan-kegiatan bukan-kredit. PPK hendaknya menciptakan ruang yang lebih luas untuk membahas sasaransasaran kemiskinan dengan meletakkan fokus pada perencanaan desa jangka menengah dan jangka panjang. Guna menunjukkan ada tekad untuk fokus pada perencanaan multi-tahun, maka hendaknya dimungkinkan untuk mengajukan lebih banyak usulan dalam satu siklus, dan diteruskan ke tahun berikut jika tidak mendapat dana. Dalam proses perencanaan tahun-demi-tahun yang menggunakan sistem pemungutan suara mayoritas, kaum termiskin cenderung kalah oleh golongan mayoritas. Namun, jika proyek-proyek dapat disusun menurut prioritas untuk jangka waktu yang lebih panjang, warga desa yang miskin memiliki ruang yang lebih luas untuk berunding. Peta sosial hendaknya digunakan secara lebih efektif dalam proses perencanaan desa jangka panjang ini. Pendekatan ini juga berarti bahwa praktek-praktek fasilitasi perlu diubah dari mengulang proses yang sama dari tahun ke tahun menjadi membangun dan memperbarui hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. Guna menunjukkan ada tekad untuk mendanai proyek-proyek yang lebih beraneka ragam, warga desa hendaknya diberi kesempatan untuk mengajukan proyek satu lagi dan didorong untuk melaksanakan proyek-proyek dari tahun sekarang ke tahun berikutnya. Fasilitator hendaknya membahas kemungkinan-kemungkinan mendapat sumber dana yang lain, termasuk anggaran desa. Seperti telah disebutkan di atas, kepala desa hendaknya didorong untuk mengawal dan mengusahakan agar usulan-usalan yang masih tersisa mendapat dana. Untuk mendorong diterimanya prinsip-prinsp PPK, perlu perubahan dalam iklim politik luar: warga desa membutuhkan lebih banyak alat untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah desa dan informasi yang lebih baik mengenai sumberdaya yang tersedia untuk dimanfaatkan desa. Untuk mengatasi masalahmasalah ini, studi ini mengajukan beberapa saran. Langkah pertama yang penting adalah

memulihkan status BPD sebagai badan perwakilan. Jika BPD berperan sebagai lembaga yang memantau pemerintah desa dan mendukung pembangunan desa, BPD merupakan kekayaan bagi desa. Memungkinkan BPD memenuhi harapan-harapan awal dan membangun di atas hasil-hasil terbatas yang dicapai, dapat mendorong banyak desa. Kedua, informasi dasar hendakya dapat diperoleh warga desa dengan lebih mudah, terutama informasi mengenai anggaran desa. Warga desa hendaknya mengetahui kapan dana desa dikeluarkan dan kapan anggaran desa disusun. Hasi-hasil proses perencanaan musrenbang (Rakorbang II) hendaknya juga terbuka dan lebih jelas sehingga warga desa dan pejabat pemerintah desa dapat menelusuri usulan-usulan. Dana hendaknya disediakan untuk usulan-usulan musrenbang guna memperbesar kemungkinan untuk mendapat dana bagi proyek.