Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

TAWURAN DARI SUDUT PASAL 170 DAN PASAL 358 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Hendy Pinatik 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

LINGKUP DAN PERAN DELIK TERHADAP KEAMANAN NEGARA DALAM PASAL 107A 107F KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Aldo Pinontoan 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

1. PERCOBAAN (POGING)

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. SISTEM SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Evan Tjiang 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

ABSTRAK ACHMAD IMAM LAHAYA, Nomor Pokok B , Tinjauan Yuridis Terhadap Penyertaan Tindak

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN. dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

DAFTAR PUSTAKA. Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014. PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR 1 Oleh: Judy Mananohas 2

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

MOTIF PELAKU DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

KAJIAN JURISDIS TERHADAP PERSOALAN PENGHUKUMAN DALAM CONCURSUS DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA 1 Oleh : Rendy A. Ch.

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN 1 Oleh : Christy Prisilia Constansia Tuwo 2

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. A. Abidin, Farid, Zainal, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DAN PENADAHAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pencurian dan Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

Transkripsi:

PERCOBAAN SEBAGAI ALASAN DIPERINGANKANNYA PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh: Meril Tiameledau 2 ABSTRAK Penelitiahn ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar diperingankannya serta diperberatnya pidana bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP dan alasan-alasan apa yang menjadi dasar bahwa percobaan dapat memperingankan pidana bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Dasardasar diperingankannya pidana dan diperberatkannya pidana terhadap si pembuat dari sudut luas berlakunya dalam undangundang dibedakan menjadi dua, yaitu dasardasar diperingannya dan diperberatkannya pidana umum dan pidana khusus. Dalam KUHP Alasan-alasan peringan pidana, diantaranya, percobaan dan membantu melakukan. Untuk alasan-alasan pemberat pidana yaitu, pejabat (pegawai negeri) yang melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga dan Pengulangan kejahatan (recidive) dalam Buku Kedua (Kejahatan) Bab XXXI KUHP. Ini merupakan alasan pemberat pidana khusus karena berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang tertentu saja. 2. Alasan yang menjadi dasar bahwa percobaan dapat diperingankannya pidana bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP kepada si pembuat yang gagal atau tidak selesai dalam melakukan kejahatan dan demikian juga orang yang membantu orang lain dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan. Dari sudut pandang teori percobaan subjektif, pelakunya tetap dapat dipidana karena percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya bagi si pelaku. Rumusan Pasal 53 dan 54 KUHP, tidak dapat diketahui 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Leonard S. Tindangan, SH, MH; Veibe V. Sumilat, SH, MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711334 apakah teori percobaan yang objektif atau yang subjektif yang dianut oleh pembentuk KUHP. Juga tidak ada penjelasan pasal yang dapat lebih memberikan keterangan tentang teori yang menjadi latar belakang penyusunan pasalpasal itu. Kata kunci: Percobaan, alasan peringanan pidana, pelaku PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan biasanya merupakan sebuah proses, baik proses tersebut berlangsung dengan cepat maupun lambat. Demikian pula dengan perbuatan pidana atau tindak pidana dalam bentuk kejahatan. Di dalam proses tindak pidana yang merugikan seseorang terdapat suatu tahap yang sudah berbahaya meskipun proses itu belum selesai, dan tentu saja hukum tidak perlu menunggu sampai selesainya perbuatan yang merugikan seseorang tersebut. Disinilah pentingnya diatur tentang lembaga percobaaan di dalam hukum pidana. 3 Dalam hukum pidana, percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan maka sudah tetap bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan. 4 Menurut kata seharihari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang akan tetapi orang yang diserang itu tidak sampai mati; bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya. 5 Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut poging menurut doktrin adalah adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai. 3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, edisi revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 151. 4 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2014, hal. 106. 5 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik Khusus, PT. Karya, Bandung, 1984, hm. 76. 155

Tetapi belum selesai atau belum sempurna. Walaupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah merumuskan berbagai jenis kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing, hukum pidana tidak mengambil resiko agar kejahatan terjadi sepenuhnya, atau akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan, agar dapat dicegah terjadinya korban. 6 Pembentuk Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan percobaan atau poging itu, akan tetapi telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku, agar pelaku tersebut dapat dipidana sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan Pasal 53 KUHP. 7 Doktrin mengatakan bahwa yang disebut percobaan atau poging adalah Permulaan kejahatan yang belum selesai. 8 Bilamanakah suatu delik disebut selesai dan kapan pula delik itu disebut belum selesai? Dari perumusan delik maka dapatlah diketahui kapan suatu delik dinyatakan selesai dan kapan belum selesai. Perumusan delik ada dua macam, yaitu: a. Delik yang dirumuskan secara formal atau disebut juga delik formal; dan b. Delik yang dirumuskan secara material atau disebut juga delik material. 9 Dari perumusan delik-delik di atas, maka pengertian delik material dimana disebutkan bahwa delik itu disebut selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang itu telah timbul atau telah tejadi. Dengan demikian, percobaannya dapat dihukum apabila orang telah memulai melakukan perbuatan yang menurut sifatnya dapat langsung menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Jika akibat yang dilarang tidak terjadi dan perbuatan tersebut diurungkan pelaksanaannya oleh pelaku maka dengan sendirinya, perbuatan percobaan tersebut tidak akan di hukum atau paling tidak hukumannya 6 Teguh Prasetyo, Op-Cit. 7 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hal. 160. 8 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, jakarta, Tanpa Tahun, hal. 161. 9 I Made Widnyana, Op-Cit, hal. 161. akan diperingan karena terklasifikasi sebagai perbuatan percobaan. Yang jelas bahwa percobaan adalah merupakan perbuatan tindak pidana dan dapat dihukum apabila sudah dikombinasikan dengan salah satu pasal dalam KUHP. 10 B. Rumusan Masalah 1. Hal-hal apa yang menjadi dasar diperingankannya serta diperberatnya pidana bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP? 2. Alasan-alasan apakah yang menjadi dasar bahwa percobaan dapat memperingankan pidana bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP? C. Metode Penelitian Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang telah ditentukan. Pendekatan masalah yang dipilih dalam penulisan Skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. PEMBAHASAN A. Dasar-Dasar Peringan dan Pemberatan Pidana Dalam KUHP Dasar-dasar diperingankannya pidana terhadap si pembuat dari sudut luas berlakunya dalam undang-undang dibedakan menjadi dua, yaitu dasar-dasar diperingannya pidana umum dan dasar-dasar diperingannya pidana khusus. Dasar umum berlaku pada tindak pidana umumnya, sedangkan dasar khusus hanya berlaku pada tindak pidana khusus tertentu saja. 11 Alasan-alasan peringan pidana dalam KUHP, yaitu: 1. Percobaan. 2. Membantu melakukan. 3. Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya. Ini merupakan alasan peringan pidana khusus. 10 Ibid, hal. 163. 11 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2012, hal. 35. 156

4. Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya. Ini merupakan alasan peringan pidana khusus. 5. Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, ini diancam dengan pidana karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana. Ini juga merupakan alasan peringan pidana khusus. 12 Alasan-alasan pemberat pidana dalam KUHP, yaitu: a. Pejabat (pegawai negeri) yang melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga (Pasl 52 KUHP). b. Pengulangan kejahatan (recidive) dalam Buku Kedua (Kejahatan) Bab XXXI KUHP. Ini merupakan alasan pemberat pidana khusus karena berkenaan dengan kejahatankejahatan yang tertentu saja. 13 Selain itu, alasan-alasan yang menyebabkan diperingankannya pidana umum. Menurut KUHP yaitu Belum berumur 16 tahun (Pasal 45 KUHP) Bab III Buku I KUHP mengatur tentang halhal yang menghapus, mengurangkan atau memberatkan pidana, tentang hal yang memperingan (mengurangkan) pidana dimuat dalam Pasal 45, 46, dan 47. Akan tetapi sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 1977 tentang Peradilan Anak ketiga Pasal itu sudah tidak berlaku lagi. 14 Menurut Pasal 45, hal yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat merupakan seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas ) tahun. Inilah satu-satunya dasar yang memperingan pidana umum yang yang ditentukan dalam Bab III Buku I. Terhadap seorang yang belum dewasa yang dituntut pidana karena melakukan suatu perbuatan ketika umurnya belum 16 tahun maka hakim dapat menentukan salah satu diantara tiga kemungkinan, yaitu: 15 1) Memerintahkan agar anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya tanpa pidana apa pun; 2) Memerintahkan agar anak itu diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun, ialah apabila perbuatan yang dilakukannya berupa kejahatan atau salah satu pelanggaran Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dengan putusan yang telah menjadi tetap; 3) Menjatuhkan pidana. Kemungkinan yang pertama dan kedua adalah berupa tindakan. Pada kemungkinan kedua menyerahkan anak itu pada pemerintah dapat dipilih oleh hakim, dalam dua hal, yaitu: 16 Dalam hal anak itu melakukan kejahatan dan dalam hal anak itu melakukan pelanggaran, terhadap pasal-pasal tersebut diatas dan pelanggaran yang mana belum lewat 2 tahun (pengulangan)sejak dijatuhi pidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila hakim memerintahkan anak itu diserahkan pada pemerintah, menurut Pasal 46 maka ia: 17 a. Dimasukan pada rumah pendidikan Negara untuk menerima pendidikan dari pemerintah, atau dikemudian hari dengan cara lain; atau b. Diserahkan pada: 1. Diserahkan pada seorang tertentu yang bertinggal di Indonesia; atau 2. Suatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya atas tanggungan 12 Frans Maramis, Op.Cit hal. 248. 13 Ibid., 14 Alfitra, Loc.Cit. 15 Ibid., hal. 36. 16 Ibid., 17 Ibid., hal 37 157

pemerintah, atau dikemudian hari dengan cara lain, kedua hal diatas dijalankan sampai anak itu berumur 18 tahun. Selanjutnya jika hakim memilih yang ketiga menjatuhkan pidana dalam hal ini (menurut pasal 47) terdapat dua kemungkinan berikut: 18 a) Dalam hal tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,maka hakim menjatuhkan pidana yang berat atau lamanya adalah maksimum pidana pokok yang dicantumkan pada tindak pidana yang dilakukannya itu dikurangi sepertiganya. b) Dalam hal kejahatan yang diancam demgan pidana mati atau penjara seumur hidup,maka tidak dapat dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tetapi hakim menjatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas (15) tahun. Sementara itu pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat dijatuhkan (pasal 47 ayat 3). Adapun maksud ketentuan ini adalah memberi perlindungan hukum kepada terpidana anak bagi nasib dan kehidupannya di masa depan. 19 Perbedaan ketentuan mengenai hal peringan pidana menurut KUHP dengan UU No. 3 tahun 1977, antara lain: 20 a. Batasan anak yang dapat diperingan pidananya dalam hal melakukan tindak pidana, menurut KUHP ialah belum berumur 16 tahun, sedangkan menurut UU No. 3 tahun 1977 ialah telah berumur 8 tahun tetapi belum berumur delapan belas (18) tahun dan belum pernah kawin. b. Jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan menurut KUHP ada tiga jenis, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sementara itu, menurut UU No. 3 tahun 1977 ada empat jenis, yaitu selain tiga (3) jenis pidana pokok tersebut ditambah pidana pengawasan. c. Jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan menurut KUHP ialah hanya 18 Ibid., 19 Ibid., hal. 38. 20 Ibid., hal. 42-44. pidana perampasan barang tertentu, juga pidana pembayaran ganti rugi` d. Batasan dapat dijatuhkannya pidana dengan bersyarat menurut KUHP ialah dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu (1) tahun; pidana kurungan atau pidana denda pasal I 4a. Sementara itu, menurut UU No. 3 tahun 1977 hakim boleh menjatuhkan pidana dengan bersyarat hanyalah mengenai pidana penjara saja yang paling lama dua (2) tahun, dan tidak pada pidana kurungan dan pidana denda (pasal 29). e. Menurut KUHP, dalam hal hakim menjatuhkan pidana denda dan denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan pengganti denda yang lamanya minimum satu (1) hari dan maksimum enam (6) bulan, dan dalam hal ada pemberatan pidana dapat diperpanjang menjadi paling lama delapan (8) bulan (pasal 30). Menurut UU No.3 tahun 1977 bila denda tidak dibayar, diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 hari yang tiap hari tidak lebih dari 4 jam latihan kerja (pasal 28), dan tidak dapat diperpanjang dengan alasan apapun. f. Terhadap anak belum berumur enam belas (16) tahun yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, menurut KUHP hanya dapat dipidana penjara selama-lamanya 15 tahun. Namun, menurut UU No. 3 tahun 1977 terhadap anak nakal telah berumur dua belas (12) tahun tetapi belum berumur 18 tahun melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, hanya dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun. g. Anak nakal yang dilakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup menurut KUHP, tidak ditentukan batas umur minimalnya untuk dapat dijatuhkan pidana penjara maksimum 15 tahun. Sementara itu, menurut UU No. 3 tahun 1977, ditentukan batas 158

umur minimalnya ialah telah berumur 12 tahun untuk dapat dipidana penjara maksimum 10 tahun. Di sebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringan tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringan pidana khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP. Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai tindak pidana lebih ringan tentu ada pembandingnya. Dalam tindak pidana lebih ringan inilah ada unsur menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak pidana bandingnya itu ada dua, yaitu: 21 1. Biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk biasa atau bentuk standar (eenvoudige delicten); 2. Pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok), tetapi perbuatannya serta syarat-syarat lainnya sama. Pertama, ada macam tindak pidana tertentu yang dapat dibedakan atau dikelompokkan kedalam bentuk pokok, yang lebih berat dan lebih ringan. Pada tindak pidana bentuk ringan (sama jenisnya), di dalamnya terdapat unsur tertentu yang menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan daripada bentuk pokoknya. Unsur penyebab ringannya inilah yang dimaksud dengan dasar diperingannya pidana khusus. Contohnya, tindak pidana dalam bentuk pokok: pembunuhan (pasal 338), penganiayaan (pasal 351 ayat 1), pencurian (pasal 362), penggelapan (pasal 372), dan penipuan (pasal 378). Pada tindak pidana dalam jenis yang sama (contoh diatas), ada yang dalam betuk lebih ringan (kadang disebut tindak pidana ringan), yaitu pembunuhan dalam hal yang meringankan (pasal 341), penganiayaan ringan (pasal 352), pencurian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal 373), dan penipuan ringan (pasal 379). 22 Dasar penyebab diperingannya tindak pidana tersebut sebagai berikut: 23 a) Pada pembunuhan (pasal 341) pembuatnya (pelaku) adalah seorang ibu dan objeknya adalah bayinya sendiri. b) Pada penganiayaan ringan ialah akibat perbuatan berupa tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjan jabatan atau pencarian (pasal 352). c) Pada pencurian ringan ialah (1) tidak dilakukan dalam sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang didalamnya ada tempat kediaman, dan (2) nilai/harga benda (objek) kurang dari Rp250,00 (pasal 364). d) Penggelapan ringan ialah (1) objeknya bukan ternak, dan (2) nilai benda/objek kejahatan kurang dari Rp250,00 (pasal 373). e) Penipuan ringan ialah (1) objek kejahatan bukan ternak, dan (2) nilai benda objek kejahatan kurang dari Rp250,00 (pasal 379). Kedua, disebut tindak pidana yang lebih ringan, yang pembanding lebih ringannya itu bukan pada bentuk pokok, melainkan pada perbuatan serta syarat-syarat lainnya yang sama. Contohnya, kejahatan meninggalkan bayi karena takut diketahui melahirkan pada pasal 308 jika dibandingkan dengan kejahatan meninggalkan anak pada pasal 305. Pasal 305, melarang orang menempatkan anak yang umurnya belum tujuh (7) tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, yang diancam dengan pidana penjara maksimum lima (5) tahun enam (6) bulan. Sementara itu, pasal 308 kejahatan yang seperti itu jika dilakukan oleh seorang ibu terhadap bayinya sendiri tidak lama setelah ia melahirkan bayinya karena takut diketahui melahirkannya, pidana terhadap si ibu ini maksimum separuh dari ancaman pidana pada pasal 305. Hal yang meringankan pidana dari kejahatan pasal 308 ini ialah (1) pelakunya ialah seorang ibu, dan (2) dilakukan kejahatan itu pada bayinya sendiri, dan (3) takut diketahui melahirkan bayi. Dasar peringan pidana disini berdiri secara kumulatif. 24 21 Ibid., hal. 46. 22 Ibid., hal. 47. 23 Ibid., 24 Ibid., hal. 48. 159

B. Alasan-Alasan Yang Menjadi Dasar Bahwa Percobaan Dapat Memperingankan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHP Percobaan kejahatan dan pembantuan kejahatan, yang menurut Undang-Undang Pasal 53 ayat 2 dan Pasal 57 ayat 1 pidana maksimum terhadap si pembuatnya dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan tersebut. Pada kenyataanya menurut Undang-Undang kepada si pemuat yang gagal atau tidak selesai dalam melakukan kejahatan dan demikian juga orang yang membantu orang lain dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan. Berarti disini ada peringanan pidana, jika dibandingkan dengan pembuat kejahatan selesai atau bagi si pembuatnya ( pleger/ pelaku pelaksanaan) sendiri. Namun, sesungguhnya percobaan dan pembantuan ini adalah berupa dasar peringanan yang semu, bukan dasar peringanan yang sebenarnya disebabkan hal-hal sebagai berikut: 25 1. Percobaan dan pembantuan adalah suatu ketentuan/aturan umum (yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang) mengenai penjatuhan pidana terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang lain melakukan kejahatan, yang artinya orang yang mencoba itu atau orang yang membantu (pelaku pembantu) tidak mewujudkan suatu tindak pidana tertentu, hanya mengambil sebagian syarat dari sekian syarat dari suatu tindak pidana tertentu. Wujud/bentuk perbuatan apa yang dilakukan oleh pelaku pencoba atau pelaku pembantu tidaklah memenuhi syarat bagi suatu tindak pidana tertentu selesai, pada dasarnya ia tidak melakukan kejahatan dan pada dasarnya pula ia tidak dipidana. Hanya karena oleh undang-undang saja yang menentukan dipidananya. Percobaan dan pembantuan adalah hal mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, andaikata pembentuk undang-undang tidak menentukan dapatnya dipidana pada orang yang mencoba melakukan kejahatan atau orang yang membantu kejahatan, pastilah dia tidak dipidana. 2. Ketentuan mengenai dipidananya pembuat yang gagal (percobaan) dan pembuat pembantu (madeplichtige) tidak dimuat dalam Bab III Buku I tentang Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan pidana. Apabila pembetuk undang-undang berpandangan bahwa percobaan dan pembantuan itu adalah sebagai alasan pengurangan pidana sebagaimana halnya anak yang usianya belum 16 tahun, dan bermaksud demikian, tentulah hal percobaan dan hal pembantuan itu dimasukkan dalam Bab III Buku I ini, dan tidak di dalam bab yang lain. Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa: 26 a) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. b) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. c) jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. d) pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Kemudian pada pasal 54 KUHP ditentukan secara singkat bahwa mencoba melakukan kejahatan, yaitu jenis delik yang ditempatkan dalam buku II KUHP saja, yang dapat dipidanna. Rumusan pasal 53 ayat (1) dapat dirumuskan bahwa percobaan adalah perbuatan yang merupakan permulaan yang menyatakan adanya niat, tetapi pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Unsur-unsur percobaan menurut rumusan pasal 53 ayat (1) KUHPid, yaitu: 1. Adanya niat Percobaan tindak pidana yang diancam pidana hanyalah percobaan melakukan kejahatan saja. Dalam pasal 53 ayat 1 KUHPid dikatakan bahwa mencoba melakukan 25 Ibid., hal. 44-46. 26 Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 33-34 160

kejahatan (misdriff) dipidana,... Dalam Pasal 54 KUHP juga ditegaskan bahwa mencoba melakukan pelanggaran (Belanda: overtreding) tidak dipidana. Mengenai cakupan dari niat (voornemen), pada umumnya para ahli hukum pidana sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk kesengajaan, yaitu meliputi: 27 a) sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk); b) sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan c) sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan atau dolus eventualis. a. Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat. Tidak seorangpun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat saja, dalam hukum pidana dikenal adanya adagium cogitationis poenam nemo patitur, yaitu: tidak seorangpun dapat dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam pikirannya. 28 Niat itu harus diwujudkan keluar dalam wujud suatu sikap fisik tertentu. karenanya, salah satu syarat dari percobaan tindak pidana adalah bahwa telah adanya permulaan pelaksanaan dari niat tersebut.penganut teori ini percobaan objektif dan teori percobaan subjektif berbeda pendapat tentang apakah pelaksanaan itu merupakan pelaksanaan kejahatan. Menurut penganut teori percobaan objektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP adalah pelaksanaan kejahatan sedangkan menurut teori subjektif, pelaksanaan yang dimaksudkan disitu adalah pelaksanaan niat. 29 Tetapi, apakah pelaksanaan dalam pasal 53 ayat 1 KUHP itu merupakan pelaksanaan niat atau kejahatan, tidak membawa konsekuensi perbedaan praktis yang penting. b. Pelaksaan tidak selesai Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan merupakan suatu percobaan. Justru karena tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan diklasifikasi sebagai percobaan. Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik oleh sebab yang diluar kehendak si pelaku maupun kehendak dari si pelaku sendiri. 30 Perlu pula dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang percobaanya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang, malahan ada perbuatan yang persiapanya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang. 31 c. Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena sehendaknya sendiri Tidak selesainya pelaksanaan bukan sematamata karena kehendaknya sendiri, sebenarnya bukan syarat untuk di pidananya percobaan melakukan kejahatan melainkan merupakan alasan pengecualian pidana. Dengan demikian, yang menjadi syaratsyarat untuk dapat di pidananya percobaan tindak pidana (kejahatan) adalah: 32 1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan; 2. Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan; 3. Pelaksanaan itu tidak selesai. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dasar-dasar diperingankannya pidana dan diperberatkannya pidana terhadap si pembuat dari sudut luas berlakunya dalam undang-undang dibedakan menjadi dua, yaitu dasar-dasar diperingannya dan diperberatkannya pidana umum dan pidana khusus. Dalam KUHP Alasan-alasan peringan pidana, diantaranya, percobaan dan membantu melakukan. Untuk alasanalasan pemberat pidana yaitu, pejabat (pegawai negeri) yang melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga dan Pengulangan kejahatan (recidive) dalam Buku Kedua (Kejahatan) Bab XXXI KUHP. Ini merupakan alasan pemberat pidana khusus karena berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang tertentu saja. 2. Alasan yang menjadi dasar bahwa percobaan dapat diperingankannya pidana 27 Frans Maramis Op.Cit., hal. 205. 28 Ibid., 29 Ibid., 30 Ibid., 31 Ibid., 32 Ibid., 161

bagi pelaku tindak pidana menurut KUHP kepada si pembuat yang gagal atau tidak selesai dalam melakukan kejahatan dan demikian juga orang yang membantu orang lain dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan. Dari sudut pandang teori percobaan subjektif, pelakunya tetap dapat dipidana karena percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya bagi si pelaku. Rumusan Pasal 53 dan 54 KUHP, tidak dapat diketahui apakah teori percobaan yang objektif atau yang subjektif yang dianut oleh pembentuk KUHP. Juga tidak ada penjelasan pasal yang dapat lebih memberikan keterangan tentang teori yang menjadi latar belakang penyusunan pasal-pasal itu. B. Saran 1. Perlu diklasifikasikan secara jelas mengenai tindak pindana yang dapat dikenakan sanksi pidana diperingan dan diperberat tehadap pelaku tindak pidana. 2. Perlu memberikan penjelasan dan kepastian hukum terhadap Pasal 53 tentang Percobaan, sehingga tidak menimbulkan perbedaan putusan diantara para hakim untuk dapat memberikan sanksi pidana terhadap pelaku pidana, agar hal tersebut dapat membuat efek jera kepada setiap pelaku yang akan melakukan tindak pidana. DAFTAR PUSTAKA Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2012. Bemmelen van J. M., Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Jakarta, 1984. Jonkers J. E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: Bina Aksara, 1987). Kartanegara Satochid, Hukum Pidana, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, jakarta. Laden Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fak. Hukum UNDIP, Semarang, 1984. PAF. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Poernomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta Ghalia Indonesia, 1978. Prakoso Djoko, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Prasetyo Teguh, Hukum Pidana, edisi revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013. Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2014. Schaffmeister, D,.H. Keizer, dan E. P Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1995. Sianturi S.R., Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM- PTHM, Jakarta, 1989. Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Soesilo R., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik Khusus, PT. Karya, Bandung, 1984. Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A dan I B, Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto, 1990. Tresna R., Azas-Azas Hukum Pidana, PT Tiara Ltd., Jakarta, 1959. Widnyana I Made, Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010. Zaidan M. Ali, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Sumber Referensi lain: http://www.fh.unsoed.ac.id/sites/default/bibli ofile/bab%20tinjauan%20pustaka.pdf. http://www.appehutauruk.blogspot.co.id/2012 /09/teori-relatif-dalam-hukum-pidana.html. http://www.definisipengertian.com/2015/07/pengertian-teoripemidanaan.html 162