IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran dalam Satyasa (2007:3) diartikan sebagai semua benda

Kelebihan Kelemahan Model Belajar Kontekstual

Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam KTSP pada Pembelajaran di SD

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan

PENGARUH CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

BAB II KAJIAN TEORITIS

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

Condition of Ind. Ind.Condition-1. Ind.Condition-2. The Rural. Ind. Rural Policy. Rulal Educational. Higher Education. Non Formal Ed.

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut

Fitriana Rahmawati STKIP PGRI Bandar Lampung. Abstrak. n 1 +n 2 2

FIELD STUDY: PEMBELAJARAN CONTECTUAL TEACHING LEARNING (CTL) UNTUK MATERI-MATERI FISIOGRAFIS 1

I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. belajar dengan berbagai metode, sehingga peserta didik dapat melakukan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan

I. PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Pendidikan juga merupakan salah

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

JENIS CITRA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CTL PADA BAHAN AJAR GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR. Oleh TITA ROSTIAWATI 1 MAULANA 2 ABSTRAK

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu pilar upaya

BAB I PEDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Selain itu, pendidikan

KAJIAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL GURU BAHASA INDONESIA SMA NEGERI MAROS

TITIK ARIYANI HALIMAH A

67. Mata Pelajaran Geografi untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

14. MATA PELAJARAN GEOGRAFI UNTUK PAKET C PROGRAM IPS

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Drs. H. MAHDUM MA, M.Pd. Dosen Bahasa Inggris FKIP UNRI Hp , Fax: (0761)

BAB II PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berpikir Kritis (critical thinking) merupakan sinonim dari pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Kejuruan (SMK). Posisi SMK menurut UU Sistem Pendidikan. SMK yang berkarakter, terampil, dan cerdas.

kata kunci: bimbingan teknis, pendekatan kontekstual, dan mutu guru.

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). Menurut Bloom dalam Winkel

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMATIK MODE PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING SISWA KELAS II SD NEGERI TEBING TINGGI

Oleh: Sulistyowati SD Negeri 02 Karangrejo Tulungagung

BAB II KAJIAN PUSTAKA

14. Mata Pelajaran Geografi Untuk Paket C Program IPS

Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL)

PENERAPAN KONSEP DASAR CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING(CTL) DALAM PEMBELAJARAN FRANÇAIS DU TROURISME

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bantu memecahkan masalah dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu

BAB II KAJIAN TEORI. yang dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses yang dinamis yang senantiasa. dari kemajuan ilmu dan teknologi yang menuntut lembaga-lembaga untuk

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning)

BAB I PENDAHULUAN. yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PENGUASAAN KONSEP-KONSEP FISIKA. M. Gade ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh siswa kelas VII SMPN 1 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi pelajaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Rasa puas ini (atau lebih tepat barangkali. membangkitkan rasa ingin tahu lebih lanjut yang memerlukan pemuas.

Jurnal Publikasi. Oleh: WINDARTI A FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012

Samriani. Mahasiswa Program Guru Dalam Jabatan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako ABSTRAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

BAB II LANDASAN TEORI. Kelas VIII A SMP 10 November Binangun Dengan Pendekatan Kontekstual

YUNICA ANGGRAENI A

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan

PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Era globalisasi ini, kemajuan dari suatu negara ditentukan dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Mengembangkan Disposisi Matematik Melalui Model Pembelajaran Kontekstual

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN MENERAPKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING Romi Afrizal

KAJIAN TEKS BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE) GEOGRAFI KELAS XII SMA/MA PADA KOMPETENSI DASAR MENJELASKAN PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

Kata kunci : Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara psikologis, Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu

DADANG SUPARDAN JURS. PEND. SEJARAH FPIPS UPI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

BAB II KAMAN PUSTAKA. A. Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Pemahaman Peredaran Darah. mempertinggi, sedangkan kemampuan. artinya kecakapan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saca Firmansyah (2008) menyatakan bahwa partisipasi adalah

Transkripsi:

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA MATERI PENGINDERAAN JAUH Muh. Sholeh Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan konsep dasar pembelajaran kontekstual, penginderaan jauh, dan implementasi pembelajaran kontekstual pada materi penginderaan jauh. CTL merupakan salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas untuk memberi efek pengalaman belajar optimal kepada siswa. Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam CTL melibatkan tujuh komponen utama, yaitu constructivisme (membangun), questioning (bertanya), inquiry (mencari), learning community (masyarakat belajar), modelling (pemodelan), reflection (umpan balik), dan authentic assessment (penilaian sebenarnya). Kegiatan belajar materi inderaja di menara MAJT nampaknya sangat sederhana karena yang muncul adalah kesan bermain, santai berpotret ria dan kegiatan ringan lain. Namun demikian, jika dikaitkan dengan karakteristik CTL, kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh bentuk pembelajaran kontekstual. Sebab dalam pemanfaatan MAJT siswa secara nyata berhadapan dengan dunia kehidupan yang betul-betul ada. Melalui pembelajaran tersebut komponen pembelajaran kontekstual yang terdiri dari constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, reflection, dan authentic assessment dapat diwujudkan. Kata Kunci: Pembelajaran kontekstual, penginderaan jauh PENDAHULUAN Salah satu topik hangat dibidang pengajaran adalah wacana mengenai pembelajaran kontekstual (Contextual Teching and Learning/CTL), yaitu menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata siswa. Topik ini menghangat seiring dengan kebijakan perubahan kurikulum yang mengedepankan kompetensi, Kompetensi menurut Moh Arsyad (2007) didefinisikan sebagai kemampuan siswa mengaplikasikan semua materi pelajaran dalam kehidupan mereka sehingga memungkinkan siswa mampu berkiprah dengan baik dalam hidupnya. Namun demikian, sebenarnya pembelajaran kontekstual sejujurnya sudah lama jadi bahan pembicaraan guru-guru, khususnya pada forumforum informal. Keluhan tentang kemampuan siswa yang hanya mengedepankan aspek kognitif saja, lulusan sekolah dengan nilai bagus kesulitan mendapat pekerjaan, atau munculnya istilah verbalisme, merupakan cerminan obyektif yang menunjukkan pembelajaran kontekstual sebenarnya sudah muncul di kawasan diskusi. Hanya saja suarasuara tersebut belum mampu keluar ke ruang publik, sehingga seolah-olah wacana pembelajaran kontektual merupakan wacana baru. Jurnal Geografi 127

Sengatan wacana pembelajaran kontekstual terasa di hampir seluruh mata pelajaran, termasuk mata pelajaran geografi. Guru geografi juga dituntut mampu melaksanakan pembelajaran kontekstual agar siswa mampu mengkaitkan antara materi yang diterima dengan kehidupan nyata. Seluruh materi geografi tak terkecuali materi penginderaan jauh (inderaja) harus didekatkan dengan dunia nyata supaya pengetahuan dapat terbangun oleh siswa melalui pengalaman yang mereka terima. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa inderaja bagi sebagian guru masih dianggap sebagai materi yang sulit dan menjadi salah satu faktor kesulitan mendorong siswa mencintai materi geografi. Bayangan tentang proses pembelajaran yang harus menggunakan media high-tech menjadi salah satu faktor tidak optimalnya pembelajaran materi inderaja. Padalah inderaja diharapkan menjadi salah satu jendela agar siswa mencintai materi geografi. Pertanyaan yang muncul adalah, mungkinkah pembelajaran kontekstual dapat diimplementasikan pada materi inderaja? Pertanyaan tersebut sederhana, mudah, tapi butuh kemauan untuk melaksanakan. Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan yang di kemukakan dalam tulisan ini adalah bagaimana implementasi pembelajaran kontesktual pada materi penginderaan jauh? PEMBAHASAN Deskripsi Tentang Pembelajaran Kontektual Belajar inderaja diharapkan mampu memberi pengalaman berkesan bagi siswa. Untuk itu proses pembelajaran tidak hanya menyertakan otak atau kemampuan kognitif, tetapi tangan, kaki, mata, dan indera lain juga terlibat secara aktif sehingga kebermaknaan pengalaman belajar betul-betul dirasakan siswa. Wina Sanjaya (2008) mendefinisikan pengalaman belajar (learning experiences) sebagai sejumlah aktivitas siswa yang dilakukan untuk memperoleh informasi dan kompetensi baru sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Ada delapan tipe pengalaman belajar yang digagas oleh Gagne (1991), yaitu: a. Belajar signal, yaitu belajar melalui isyarat atau tanda. b. Belajar mereaksi perangsang melalui penguatan, yaitu pengalaman belajar yang terarah. c. Pengalaman belajar yang membentuk rangkaian (chaining), yaitu belajar merangkai atau menghubungkan gejala atau faktor sehingga menjadi satu kesatuan rangkaian yang utuh. d. Belajar asosiasi verbal, yaitu pengalaman belajar dengan kata-kata manakala menerima perangsang. e. Belajar membedakan atau deskriminasi, yakni pengalaman belajar mengenal sesuatu karena ciri-ciri yang memiliki kekhasan tertentu. f. Belajar konsep, yaitu pengalaman belajar dengan menentukan ciri atau atribut dari objek yang dipelajarinya sehingga objek tersebut ditempatkan dalam klasifikasi tertentu. g. Belajar aturan atau hukum, yaitu pengalaman belajar dengan menghubungkan konsep-konsep. h. Belajar problem solving, yaitu pengalaman belajar untuk memecahkan sesuatu persoalan 128 Volume 7 No. 2 Juli 2010

melalui penggabungan beberapa kaidah atau aturan. Pengalaman belajar menurut Jean Piaget berlangsung dalam diri individu melalui proses konstruksi pengetahuan. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti gurunya, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu melalui aktivitas belajar yang melibatkan individu secara utuh melalui pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL). CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Belajar tidak hanya menghafal, tetapi merekonstruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Center for Occupational Research (COR) menjabarkan CTL menjadi lima konsep bawahan, yaitu relating, experiencing, applying, coorperating, dan transferring. Kelima konsep tersebut jika dipaparkan secara detail akan mencerminkan karakteristik CTL, yaitu: a. Pembelajaran dilaksanakan dilaksanakan dalam konteks autentik yang yang mengarah pada ketercapaian keterampilan dalam kehidupan nyata. b. Pembelajaran memberikan kesempatan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna. c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, dan saling mengoreksi. e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama, dan saling memahami antar satu dengan lain secara mendalam. f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama. g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan. Kata kunci yang melekat sebagai karakteristk CTL menurut Nurhadi (2002) adalah kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, belajar dengan gairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis, dan guru kreatif. CTL merupakan salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas untuk memberi efek pengalaman belajar optimal kepada siswa. Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam CTL melibatkan tujuh komponen utama, yaitu constructivisme (membangun), questioning (bertanya), inquiry (mencari), learning community (masyarakat belajar), modelling (pemodelan), reflection (umpan balik), dan authentic assessment (penilaian sebenarnya). Jurnal Geografi 129

Chaedar Al Wasilah (2008) menawarkan tujuh strategi yang harus dilaksanakan dalam pembelajaran CTL, yaitu pengajaran berbasis problem, menggunakan konteks yang beragam, mempertimbangkan kebinekaan siswa, memberdayakan siswa untuk belajar sendiri, belajar melalui kolaborasi, menggunakan penilaian autentik, dan mengejar standar tinggi. Mengajarkan materi inderaja dapat menggunakan pendekatan CTL. Agar CTL berlangsung dengan baik, John A. Zahorik (1995) dalam Masnur Muslich (2008) mengingatkan beberapa elemen yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu: a. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge). b. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian mempelajari detailnya. c. Pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun konsep sementara, melakukan sharing kepada orang lain, dan mengembangkan konsep tersebut. d. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Konsep Dasar Inderaja dan Kedudukannya dalam KTSP Definisi tentang penginderaan jauh (inderaja) lebih menekankan pada dua aspek mendasar, yaitu seni di satu sisi dan teknik pada sisi yang lain. Lillesand dan Kiefer (1979) mendefinisikan inderaja (remote sensing) sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena dengan jalan analisis data yang diperoleh melalui alat perekam (sensor) yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai media perantaranya tanpa menyentuh obyek. Menurut Lindgren (1985) inderaja yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Inderaja (remote sensing) adalah penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diintepretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna (Curran, 1985). Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa inderaja adalah ilmu, seni, dan teknik untuk mendapat informasi permukaan bumi dengan cara menganalisis gambaran permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan obyek permukaan bumi tersebut. Inderaja dalam kehidupan sehari-hari dapat dideskripsikan sebagai pengamatan terhadap objek oleh seseorang, dimana orang tersebut tidak menyentuh objek secara langsung. Jika seseorang berada di atas permukaan bumi, maka dia akan melihat bagaimana kondisi permukaan bumi. Dia dapat menyaksikan deretan pohon, rumah, dan objek lain yang kebetulan dia amati. Namun demikian jika dia tidak melakukan analisis terhadap apa yang telah diamati, maka proses definisi inderaja jauh tidak langkap karena 130 Volume 7 No. 2 Juli 2010

deskripsi inderaja adalah ilmu, seni dan teknik yang menggabungkan antara perasaan, analisis dan penarikan kesimpulan terhadap objek permukaan bumi tanpa kontak secara langsung. Dalam inderaja, terdapat beberapa komponen yang saling berhubungan, yaitu tenaga, atmosfer, objek, interaksi tenaga dengan objek, sensor, perolehan data, dan pengguna. Komponenkomponen tersebut mempunyai keterkaitan yang saling menguatkan sehingga inderaja sebagai ilmu, seni, dan teknik dapat memberi manfaat bagi proses pembangunan, khususnya dibidang pengelolaan ruang permukaan bumi. Secara umum hasil teknologi inderaja dibedakan menjadi dua, yaitu citra foto dan citra non foto. Citra foto merupakan hasil teknologi inderaja yang berupa data visual. Citra foto dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Berdasarkan spektrum elektromagnetik, terdiri dari foto ultraviolet, foto ortokromatik, foto nonkromatik, foto inframerah asli, dan foto inframerah modifikasi. b. Berdasarkan sistem wahana yang digunakan, terdiri dari foto udara dan citra satelit atau orbithal. c. Berdasarkan jumlah dan jenis kamera yang digunakan, terdiri dari foto tunggal dan foto jamak. d. Berdasarkan sumbu kamera, terdiri dari foto vertikal, foto agak condong,dan foto sangat condong. e. Berdasarkan warna yang digunakan, terdiri dari foto warna semu (false color), dan foto warna asli (true color). Citra non-foto adalah gambaran yang dihasilkan dengan menggunakan sensor bukan kamera. Citra non-foto dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan, terdiri dari citra inframerah termal dan citra gelombang mikro. b. Berdasarkan sumber sensor yang digunakan, terdiri dari citra tunggal dan citra multispectral. c. Berdasarkan wahana yang digunakan, terdiri dari citra dirgantara dan citra satelit. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dan Kompetensi Dasar dinyatakan bahwa mata pelajaran Geografi diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Pada tingkat pendidikan dasar mata pelajaran Geografi diberikan sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial Jurnal Geografi 131

(IPS), sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Tujuan mata pelajaran Geografi adalah agar peserta didik memiliki kemampuan a) memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, b) menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi, dan c) menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat. Salah satu ruang lingkup mata pelajaran Geografi adalah pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh. Adapun materi inderaja diberikan kepada siswa kelas XII Program Ilmu Sosial. Implementasi Pembelajaran Kontekstual Pada Materi Inderaja Bagi siswa SMA, khususnya kelas XII Program Ilmu Sosial, inderaja tidak sekedar media pembelajaran, tetapi secara khusus siswa diajak untuk mengenal tentang inderaja. Siswa diajak untuk mengetahui sisi konsep, sistem kerja, sampai bagaimana melakukan intepretasi terhadap produk inderaja. Siswa dituntut mampu membedakan antara gedung sekolah dengan kantor pemerintahan, antara semak-semak dengan perkebunan tebu, dan sebagainya. Pada gilirannya, guru dituntut cerdas menyampaikan materi inderaja menggunakan pendekatan sederhana, tidak rumit, mudah dipahami, murah, ringan, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa. Dilihat dari materinya dapat dinyatakan bahwa inderaja bersifat teknis dan cenderung kearah ilmuilmu teknik, sehingga jika diberikan kepada siswa program ilmu sosial sebenarnya mengandung kekhawatiran. Kekhawatiran yang muncul adalah pertama, siswa kesulitan memahami konsep dasar inderaja, apalagi menerapkan atau mempraktekannya. Harus diakui materi inderaja cukup sulit, dan materi ini relatif baru, dimana tidak semua guru geografi pernah menerima. Jika materi tersebut lebih bersifat teknik, maka semangat anak sosial pasti terbatas, karena materi ini dianggap bukan wilayah belajar mereka. Kedua, materi ini membutuhkan visualisasi yang cukup. Tidak semua sekolah mempunyai contoh yang pas untuk menjelaskan materi tersebut. Citra satelit sebagai salah satu contoh inderaja tidak semua dimiliki oleh siswa, sehingga guru dituntut kerja ekstra untuk menjelaskan materi tersebut kepada siswa. Dapat dibayangkan bagaimana guru menjelaskan konsep inderaja kepada siswa program Ilmu Sosial tanpa peralatan yang memadai. Namun demikian ada celah yang bisa dilakukan oleh guru geografi dalam menyampaikan materi inderaja dengan pendekatan kontekstual. Baik karakteristik, komponen, maupun strategi yang ditempuh, pembelajaran kontekstual tidak mensyaratkan penggunaan teknologi atau peralatan yang rumit. Guru hanya dituntut cerdas dalam menggali sumber belajar yang ada disekitarnya. Menurut Winataputra, sumber belajar terdiri dari 132 Volume 7 No. 2 Juli 2010

manusia, buku/perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Bagi guru-guru yang mengajar SMA di Kota Semarang dan sekitarnya, penggunaan menara Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk melaksanakan pembelajaran kontekstual. Pertimbangan sederhananya adalah menara MAJT punya ketinggian 99 meter dan terbuka bagi masyarakat umum untuk melihat landascape Kota Semarang. Dari menara tersebut bentanglahan sebagian Kota Semarang dapat diamati secara jelas. Lekuk Sungai Banjir Kanal Timur terlihat jelas, pusat-pusat pemukiman di sekitar menara juga dapat dilihat dengan jelas. Penggunaan lahan juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Ini karena ketinggian menara mampu mendukung pandangan pengunjung. Inilah prasyarat sebagai pendukung pembelajaran kontekstual, yaitu mengkaitkan antara materi pelajaran dengan kehidupan sebenarnya. Di tempat ini siswa dapat menyaksikan landscape Kota Semarang, kemudian dapat membandingkan dengan ketika siswa melihat contoh inderaja berupa citra satelit dan foto udara. Ada beberapa tahap yang harus ditempuh dalam pembelajaran kontekstual pada materi inderaja menggunakan media menara MAJT, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan. Persiapan merupakan serangkaian kegiatan berupa perencanaan yang dilakukan guru dan siswa untuk menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Pada tahapan ini direncanakan waktu, siswa yang terlibat, pembagian kelompok, tugas-tugas yang harus dikerjakan, peralatan yang dipersiapkan, sampai dana yang dibutuhkan. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan. Pada tahap ini siswa sudah dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing anggotanya sudah mempunyai tugas dan tanggungjawab masingmasing, selanjutnya siswa dipersilahkan untuk melakukan kegiatan masing-masing, yaitu: a. Masing-masing kelompok berkoordinasi. Segala perlengkapan diperiksa untuk memastikan seluruh anggota dapat mengambil gambar/ memotret landscape Kota Semarang dari menara MAJT. b. Secara bergiliran masing-masing kelompok mengambil gambar landscape Kota Semarang baik arah utara, timur, selatan, maupun barat dari posisi menara. Sebagian siswa juga dipersilahkan untuk melakukan pengamatan dan mencatat segala sesuatu yang dianggap penting. c. Masing-masing kelompok berkumpul untuk mendiskusikan kegiatan yang telah dilakukan. Tahap ketiga adalah tahap pasca pelaksanaan. Pada tahap ini ada dua alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, gambar pemotretan yang telah dilakukan oleh siswa dipilih, dicetak, dianalisis, dan dibuat peta sederhana tentang penggunaan lahan Kota Semarang. Kemudian siswa ditugaskan membuat intepretasi dalam bentuk deskripsi terhadap landscape Kota Semarang. Tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh masing-masing kelompok. Kedua, Secara berkelompok siswa langsung diberi penugasan untuk membuat intepretasi dalam bentuk deskripsi berdasarkan pengamatan yang Jurnal Geografi 133

dilakukan dari menara MAJT. Tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh masing-masing kelompok. Kegiatan belajar materi inderaja di menara MAJT nampaknya sangat sederhana karena yang muncul adalah kesan bermain, santai berpotret ria dan kegiatan ringan lain. Namun demikian, jika dikaitkan dengan karakteristik CTL, kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh bentuk pembelajaran yang berusaha memanfaatkan lingkungan sekitar untuk mempelajari materi inderaja. Komponen utama CTL yang berupa constructivisme (membangun) dapat ditemukan ketika secara aktif siswa terlibat dalam kegiatan perencanaan, pengambilan gambar, mengamati landscape Kota Semarang, dan mendeskripsikan hasil pengamatan. Komponen questioning (bertanya), dapat ditemukan dari hasil perbincangan antar siswa maupun antara siswa dengan guru. Siswa yang melakukan pengamatan punya kesempatan untuk bertanya kepada guru. Komponen inquiry (mencari), terwujud pada saat siswa melakukan pemotretan atau pengambilan gambar dan melalui pengamatan, dimana siswa akan menemukan halhal baru yang sebelumnya belum pernah diketahui. Komponen learning community (masyarakat belajar) ditemukan pada saat siswa bersama-sama bekerja dalam satu kelompok. Melalui kegiatan pengamatan tukar informasi akan berlangsung, baik antar siswa maupun siswa dengan guru. Komponen modelling (pemodelan) tergali ketika guru memberikan beberapa tugas dan arahan, kemudian siswa melakukan kegiatan yang telah direncanakan. Komponen reflection (umpan balik) secara nyata akan muncul manakala siswa bertanya kepada guru tentang fenomena yang diamati. Pertanyaanpertanyaan tersebut akan dijawab oleh guru, sehingga komunikasi dua arah akan terbangun dengan baik. Sementara komponen authentic assessment (penilaian) sebenarnya dapat dilakukan oleh guru berdasarkan partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan, dan pengamatan yang dilakukan terhadap hasil pekerjaan siswa. Guru juga dapat melakukan tanya jawab untuk menggali hasil kegiatan tersebut sebagai modal melakukan penilaian autentik. PENUTUP Belajar inderaja diharapkan mampu memberi pengalaman berkesan bagi siswa. Untuk itu proses pembelajaran tidak hanya menyertakan otak atau kemampuan kognitif, tetapi tangan, kaki, mata, dan indera lain juga terlibat secara aktif sehingga kebermaknaan pengalaman belajar betul-betul dirasakan siswa. Untuk itulah perlu dilaksanakan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual bukan teks yang tidak bisa dimodifikasi. Pembelajaran kontekstual memberi ruang kreatifitas kepada guru untuk mengembangkan pembelajaran dari teoritis menjadi praktis, dari membosankan menjadi menyenangkan, dari berbasis individu ke kelompok. Guru adalah dalang yang baik, artinya segala keterbatasan yang ada tidak menjadi alasan untuk melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Dalam pembelajaran geografi, pemanfaatan MAJT sebagai sumber belajar belajar 134 Volume 7 No. 2 Juli 2010

adalah alternatif pembelajaran yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pembelajaran kontekstual sehingga mendukung siswa lebih mudah memahami, khususnya materi inderaja. Sebab dalam pemanfaatan MAJT siswa secara nyata berhadapan dengan dunia kehidupan yang betul-betul ada. Melalui pembelajaran tersebut komponen pembelajaran kontekstual yang terdiri dari constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, reflection, dan authentic assessment dapat diwujudkan. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1 (revisi). Yogyakarta. Gajah Mada University Press Wina Sanjaya. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta. Kencana DAFTAR RUJUKAN Elaine. B. Johnson. 2008. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan belajar mengajar Mengasikkan dan Bermakna.Bandung. MLC Isjoni, dkk. 2007. Pembelajaran Visioner: perpaduan Indonesia Malaysia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Masnur Muslich. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta. Bumi Aksara Mulyadi, K, dkk. 2007. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra: Buku Pengantar Penginderaan Jauh Bagi Kalangan Pendidik, Praktisi dan Ilmuwan Berbagai Bidang.Semarang. LAPAN- Geografi Unnes Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Jurnal Geografi 135