Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007).

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2006 TENTANG PENDAYAGUNAAN AIR TANAH GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 8 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 7 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 3 SERI E

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah;

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

BERITA DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2011 NOMOR : 09 PERTURAN WALIKOTA BANDUNG NOMOR : 107 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MEMTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2012 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN PACITAN

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN PAJAK PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMEDANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TENGAH,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI BANGKA TENGAH

<Lampiran> KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN SRAGEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI SRAGEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2018 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan kebutuhan pokok bagi semua makhluk hidup. Dalam. memenuhi kebutuhan dasar bagi manusia, lingkungan di sekitar kita,

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG IZIN PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG IZIN AIR TANAH BUPATI KUDUS,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BOYOLALI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 23 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

LD NO.5 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH I. UMUM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI JAWA TIMUR

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI KOTA PEKALONGAN

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

Pemerintah Provinsi Riau PERATURAN DAERAH PROPINSI RIAU NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Sub Kompetensi. Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil.

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 13 TAHUN 2004 T E N T A N G IZIN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

Penetapan Program Pengelolaan Airtanah di Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

Transkripsi:

Bab II Tinjauan Teoritis II.1 Umum Ketersediaan airtanah di alam terdapat pada lapisan batuan pembawa air yang disebut akuifer yang membentuk suatu cekungan airtanah. Berdasarkan Perda Prov. Jawa Barat No. 16/2001 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah, yang dimaksud dengan cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana berlangsung semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air bawah tanah. Secara teknis, yang dimaksud dengan batas hidrogeologi adalah suatu daerah dimana air bawah tanah tidak dapat melewati daerah tersebut. Untuk suatu daerah regional (luas), Ilustrasi dari batas hidrogeologi ini ditunjukkan pada Gambar II.1. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat dua buah batas hidrogeologi, yaitu batuan impermeabel (kedap air) dan batas pemisah aliran air bawah tanah regional. Batuan beku yang tidak terkekarkan dipakai sebagai contoh dari batuan impermeabel, sementara batas pemisah aliran air bawah tanah regional terletak pada puncak gunung/bukit tertinggi dan lembah terendah. Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007). 7

Hal yang perlu dicatat dari gambar tersebut adalah bahwa model tersebut dibuat pada kondisi alamiah (tidak terdapat pengambilan air bawah tanah). Jika terjadi pengambilan air bawah tanah, maka batas pemisah aliran, terutama di daerah lembah (dimana biasanya banyak terdapat pengambilan air bawah tanah), dapat berubah. Sementara itu, tanpa atau dengan pengambilan air bawah tanah, batas yang berupa batuan impermeabel tidak akan berubah. Cekungan airtanah dapat meliputi wilayah yang sangat luas yang batas-batas horizontalnya tidak selalu tepat sama dengan batas administrasi pemerintahan. Artinya suatu cekungan air tanah dapat meliputi beberapa wilayah kabupaten/kota atau provinsi yang selanjutnya disebut sebagai cekungan lintas kabupaten/kota atau provinsi. Berdasarkan keputusan Menteri ESDM Nomor 716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horizontal Cekungan Air Tanah di Pulau Jawa dan Madura, bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat 27 buah cekungan air tanah yang terdiri dari 8 cekungan lokal, 15 cekungan lintas kabupaten/kota dan 4 cekungan lintas provinsi. Pada saat ini telah terjadi ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat serta data-data dari DTLGKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui terdapat 3 (tiga) cekungan air tanah (CAT) yang sudah memiliki zona kritis, yaitu CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi Karawang. Dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat kerusakannya paling parah, bahkan di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis. Oleh karena airtanah adalah unik dan merupakan sumber vital yang sangat potensial dan exhaustible untuk generasi mendatang, perlu adanya perencanaan dan perlindungan airtanah agar sumber airtanah tersebut dapat tersedia untuk mendukung kehidupan generasi yang akan datang. 8

Gambar II.2. Peta Cekungan Air Bawah Tanah di Provinsi Jawa Barat (Distamben, 2002) 9

II.2 Dasar Hukum Pengelolaan Air Tanah Pengelolaan Air Tanah di Jawa Barat terutama mengacu kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber daya Air. Di dalam UU No 7/2004 tersebut telah diamanatkan mengenai pendayagunaan air tanah yang berbunyi : Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan (Pasal 26). Serta terdapat uraian mengenai karakteristik air tanah yaitu : "Air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan " (pasal 37). Sejalan dengan hal di atas, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menyusun Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Air Tanah, yang diantaranya memuat pengelolaan air tanah secara utuh dan bulat mulai dari perencanaan, pendayagunaan, perizinan, konservasi, sampai pengendalian. Perda tersebut telah pula ditindaklanjuti dengan petunjuk Pelaksanaannya berupa Peraturan Gubernur Prov. Jawa Barat Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Pendayagunaan Air Tanah. Di dalam Pergub tersebut diantaranya termuat pemanfaatan air tanah berdasarkan zonasi pendayagunaannya. Baik di dalam Perda maupun Pergub disebutkan bahwa pemanfaatan air tanah diprioritaskan untuk keperluan air minum dan air untuk rumah tangga (Pasal 15), dan bahwa peruntukan pemanfaatan untuk keperluan lain, dapat menggunakan air tanah apabila tidak bisa dipenuhi dari sumber alternatif lain. Hal ini adalah dalam artian pemanfaatan tersebut sudah ada pada saat ini (eksisting) dan tidak diperkenankan untuk pemanfaatan baru. Penerapan pajak airtanah ditetapkan dalam pada UU No. 34/2000 tentang amandemen UU No. 18/1997 dan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 29/2003 tentang Perhitungan NPA. Pengertian pajak di sini tidak diartikan langsung sebagai tambahan pendapatan daerah, melainkan salah satu upaya untuk 4

menyediakan dana bagi upaya-upaya pemulihan airtanah. Secara kronologis, peraturan pengelolaan air bawah tanah yang diberlakukan adalah sebagai berikut : Tabel II.1. Kronologi Pengelolaan Air Tanah di CAT Bandung Tahun Kebijakan Tingkat 1945 Undang-Undang Dasar 1945 Nasional Pasal 33 1970 Keputusan Presiden No. 64/1972 tentang Administrasi Air Nasional Bawah Tanah Gubernur memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ijin penggunaan airtanah 1974 UU No. 11/1974 tentang Pengairan Nasional Airtanah merupakan barang publik yang memiliki fungsi sosial dan harus digunakan secara optimal bagi kesejahteraan rakyat Tanggungjawab pengelolaan airtanah dibagi dalam dua bagian, yaitu semua air kecuali airtanah menjadi tanggungjawab Menteri Pengairan, sedangkan air bawah tanah menjadi tanggungjawab Menteri Pertambangan/Departeman Pertambangan 1980 Monitoring Research oleh Direktorat Geologi dan Tata Nasional Lingkungan 1982 Peraturan Pemerintah No. 11/1982 tentang Pengaturan Perairan Nasional 1982 Keputusan Gubernur Jawa Barat No. Provinsi 181/SK.1624-Bapp/82 tahun 1982 Rencana Penggunaan Lahan untuk Cekungan Bandung untuk relokasi industri dan infrastruktur prasarana air. 1990 Rencana Penetapan Zona oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan Nasional 1994 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. Nasional 02P/101/M.PE/1994 Rekomendasi Zoning di Cekungan Bandung 1995 Keputusan Direktorat Lingkungan Geologi No. Nasional 005.K/10/DDJG/1995 Petunjuk Teknis Pengelolaan Air Bawah Tanah Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Barat No. 9/1995 Provinsi tentang Pemantauan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Peraturan Pemerintah Lokal No. 43/1995 Lokal Tentang Perijinan Pemantauan Air Bawah Tanah 1997 UU No. 18/1997 tentang Pajak dan dan Retribusi Pajak air permukaan dan penggunaan air bawah tanah diklasifikasikan sebagai pajak pemerintah Tk. II Nasional 5

Tahun Kebijakan Tingkat 1998 Peraturan Pemerintah Kota Bandung No. 3/1998 Lokal Pengenaan pajak pada rate maksimum 20% 1999 UU No. 22/1999 Nasional Sebagai pelaksaan desentralisasi, pengelolaan air bawah tanah menjadi tanggung jawab pemerintah lokal 2000 UU No. 34/2000 tentang Amandemen UU RI No. 18/1997 Beberapa mekanisme pengumpulan pajak diubah. Dalam UU No. 18/1997 menyatakan bahwa pemerintah lokal memeiliki kewenangan dalam pengumpulan pajak pengambilan air tanah, sedangkan merujuk dalam UU No. 34/2000 pasal 2, pengumpulan pajak merupakan bagian dari pemerintah provinsi. Nasional Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. Nasional 1451.K/MEM/2000 Petunjuk Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah dan Lampiran II untuk Perencanaan dan Penggunaan Air Bawah Tanah. 2001 Peraturan Pemerintah Provinsi Jawa Barat No. 16/2001 Provinsi Pengelolaan Air Bawah Tanah 2002 Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 23/2002 untuk Provinsi mendukung pelaksanaan Perda No. 16/2001, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 16/2001 Peraturan Pemerintah Kota Bandung No. 8/2002 Lokal Penggunaan air domestik di bawah 100 m3/bulan dengan kedalaman sumur antara 40-60 m tidak memerlukan ijin pengeboran. 2003 Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 29/2003 tentang Provinsi perhitungan dasar pajak penggunaan air bawah tanah (NPA) Ada tiga pertimbangan utama yaitu air sebagai sumberdaya alamiah, konservasi air dan harga air baku. 2004 UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air Nasional Peraturan Pemerintah Kota Cimahi No. 16/2004 tentang Lokal Pengelolaan Air Bawah Tanah UU No. 32/2004 tentang Revisi Desentralisasi Substansinya adalah pengembalian kewenangan pengelolaan air bawah tanah dari pemerintah lokal ke pemerintah provinsi. Nasional (Sumber : Wangsaatmaja, 2006) II.3 Ketersediaan Air Tanah Air tanah merupakan sumberdaya alam yang dapat terbarukan. Sekalipun demikian, karena pembentukkannya memerlukan waktu yang lama, yaitu ratusan 6

bahkan ribuan tahun, maka apabila sumberdaya tersebut telah mengalami kerusakan baik kuantitas maupun kualitasnya, maka proses pemulihannya akan membutuhkan waktu yang sangat lama, biaya yang tinggi dan teknologi yang rumit. Upaya pemulihan tersebut bahkan tidak akan pernah dapat mengembalikan air tanah pada kondisi awalnya. Daur Hidrologi Valuasi airtanah membutuhkan pemahaman mengenai hidrologi dan ekologi sumber airtanah. Informasi hidrologi meliputi curah hujan, evaporasi, run-off, infiltrasi, data kesetimbangan, kedalaman muka airtanah, zona airtanah, kondisi airtanah (terkekang/tidak terkekang), kontribusi airtanah terhadap aliran sungai base-flow dan hubungan antara airtanah dengan ekosistem danau. Pengetahuan tentang laju recharge airtanah alami dengan laju pengambilan airtanah dan kecenderungannya, penting untuk memperhitungkan neraca kesetimbangan airtanah. Gambar II.3 Daur hidrologi (Sumber : Distamben, 2005) Presipitasi Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah. Keterlanjutan proses ekologi, geografi dan 7

tataguna lahan di suatu wilayah (DAS) ditentukan oleh berlangsungnya daur hidrologi. Dengan demikian, presipitasi dapat dipandang sebagai faktor pendukung sekaligus pembatas bagi usaha pengelolaan sumberdaya air dan airtanah. Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ke tempat yang lebih tinggi oleh adanya beda tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan aup air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi (suhu udara mejadi lebih rendah) pada ketinggian tertentu akan mengalami penjenuhan dan apabila diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan (Asdak, 2004) Evapotranspirasi Evapotranspirasi adalah keseluruhan jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi (penguapan air berasal dari permukaan tanah, air dan bentuk permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses fisika), intersepsi (penguapan kembali air hujan dari permukaan tajuk vegetasi) dan transpirasi (penguapan air tanah ke atmosfer melalui vegetasi melalui proses fisiologi). Air Larian (Run Off) Air larian (surface run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan. Air larian terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Infiltrasi Infiltrasi adalah proses aliran air umumnya berasal dari curah hujan) yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat dari adanya gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air tersebut ke dalam tanah yang lebih dalam. 8

Proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman seresah dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Adapun laju infiltrasi ditentukan oleh : 1. jumlah air yang tersedia di permukaan tanah 2. sifat permukaan tanah 3. kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah. Imbuhan Airtanah Imbuhan (recharge) airtanah dapat diartikan sebagai proses penambahan airtanah dari luar ke lajur jenuh air, baik secara alami maupun artificial, langsung ke formasi akifer tersebut, atau melalui formasi lain. Sumber imbuhan airtanah secara umum dapat berasal dari air hujan, air sungai, sistim penirisan dan dari rekayasa manusia melalui sumur-sumur imbuhan/resapan. II.4 Kerusakan Airtanah Keseimbangan antara jumlah ketersediaan air tanah dan pengambilannya merupakan faktor utama yang paling menentukan kondisi kerusakan ini. Apabila jumlah pengambilannya lebih besar dari pada jumlah ketersediaan airnya, maka akan terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah tersebut. Oleh karena itu, dasar pertimbangan yang digunakan dalam menentukan kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah tersebut meliputi : 1. Jumlah pengambilan air tanah; 2. Penurunan muka air tanah; 3. Penurunan kualitas air tanah, dan 4. Dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul, seperti kekeringan (migrasi air tanah pada unit akuifer lain), amblesan tanah, migrasi sumber pencemaran, dan penyusupan air laut ke dalam air tanah tawar. Kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah ini meliputi kuantitas airtanah, kualitas airtanah dan lingkungan airtanah. Dari keempat dasar pertimbangan 9

tersebut di atas faktor utama yang sangat menentukan tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah adalah penurunan muka air tanah dan penurunan kualitasnya. A. Tingkat Kerusakan Kondisi Air tanah 1) Berdasarkan pertimbangan penurunan muka air tanahnya, tingkat kerusakan kondisi air tanah dapat dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan, yaitu : A m a n : penurunan muka air tanah < 40% R a w a n : penurunan muka air tanah 40% - 60% K r i t i s : penurunan muka air tanah 60% - 80% Rusak : penurunan muka air tanah > 80% Perubahan/penurunan pisometrik maupun phreatik tersebut dihitung dari kondisi awal sebagai titik referensi. 2) Berdasarkan pertimbangan penurunan kualitas air tanahnya, tingkat kerusakan kondisi air tanah terkekang maupun tak-terkekang dapat dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan, yaitu: Aman : penurunan kualitas yang ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut (total dissolved) kurang dari 1.000 mg/l atau DHL < 1.000 S/cm. Rawan : penurunan kualitas yang ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut (total dissolved) antara 1.000-10.000 mg/l atau DHL 1.000-1.500 S/cm. Kritis : penurunan kualitas yang ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut (total dissolved) antara 10.000-100.000 mg/l atau DHL 1.500-5.000 S/cm. Rusak : penurunan kualitas yang ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut (total dissolved) lebih dari 100.000 mg/l atau tercemar oleh logam berat dan atau bahan berbahaya dan beracun atau DHL > 5.000 S/cm. 10

B. Tingkat Kerusakan Lingkungan Air tanah Berdasarkan pertimbangan ada tidaknya amblesan tanah, tingkat kerusakan lingkungan air tanah dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Aman: apabila pengambilan air tanah belum berdampak terjadinya amblesan tanah. 2. Kritis: apabila pengambilan air tanah telah berdampak terjadinya amblesan tanah. II.5 Tantangan dalam Pengelolaan Air Bawah Tanah Sebagai sumber kehidupan, air harus dapat disediakan bagi setiap manusia di mana saja dan tidak saja untuk generasi sekarang tetapi juga generasi mendatang. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya air harus didasarkan pada perspektif lintas-wilayah agar dapat dikelola sebesar-besarnya begi kemakmuran rakyat, dan juga lintas-generasi yang mengamanatkan perlunya pola pengelolaan yang berkelanjutan. Makna berkelanjutan menurut Iskandar, 2003, adalah terjadinya peningkatan kapasitas pasok (capacity to supply) secara terus-menerus dan sedemikian rupa sehingga kebutuhan yang dinamis (dynamic demand) dapat selalu dipenuhi. Oleh karena itu, berkelanjutan mensyaratkan adanya suatu keseimbangan/keselarasan pertumbuhan (balanced growth) antara kapasitas pasok dan kebutuhan. Untuk itu tantangan subtansial yang dihadapi pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana mewujudkan balanced growth tersebut. Keberadaan airtanah menurut kejadiannya termasuk ke dalam sumberdaya terbaharui, namun khusus untuk daerah perkotaan karena kebutuhan terus meningkat sedangkan daya tampung akifer tetap - dan imbuhan terbatas atau kecil - menjadikannya masuk ke dalam sumberdaya yang menipis (depletable resources) atau mengarah kepada kelangkaan. 11

Estimasi kebutuhan dan tuntutan air masing-masing didasarkan pada proyeksi populasi, industri, pertanian dan laju penggunaan unit air per orang atau per hektar, serta laju produksi penggunaan sekarang. Sedangkan peranan harga air dan teknologi dalam modifikasi penggunaan mendatang kurang dipertimbangkan. Dari permasalahan yang timbul, maka suatu rencana pemecahan berjangka panjang (strategis) dan jangka pendek (taktis) perlu mempertimbangkan penataan ruang dengan air sebagai pembatas sebagai upaya konservasi airtanah. II.6 Upaya Pemulihan Airtanah Pemulihan airtanah merupakan suatu upaya pengelolaan airtanah secara utuh menyeluruh untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara serta mempertahankan mutunya. Upaya konservasi dan pemulihan kondisi airtanah dapat dilakukan dengan simulasi/pemodelan dalam hal perencanaan pendayagunaannya, dan secara teknis langkah implementasinya dapat berupa pembuatan sumur-sumur resapan dalam dan sumur injeksi, sumur pantau, pengembangan sumber air permukaan (memfungsikan kembali situ-situ, danau buatan, bendung & bendungan) dalam rangka substitusi pemanfaatan air bawah tanah, dan konservasi daerah resapan (rehabilitasi lahan kritis sebagai upaya rehabilitasi daerah resapan). Dari segi kebijakan, langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan zona-zona konservasi airtanah, penerapan pajak dan/atau retribusi airtanah, pembatasan pemberian ijin pengambilan air bawah tanah, pembatasan volume pengambilan air bawah tanah, pengawasan, pemantauan dan pengendalian. Upaya pemulihan airtanah di CAT Bandung mempunyai tujuan antara lain untuk mencegah terjadinya eksploitasi airtanah yang berlebihan, menata kembali kerusakan kawasan konservasi, dan melestarikan nilai artanah sebagai unit ekosistim. Upaya ini dilakukan karena terjadinya gejala dampak negatif berupa penurunan MAT, perambahan daerah tangkapan air oleh pemukiman, dan menurunnya produksi sumur bor di kawasan kerja CAT Bandung. Kondisi 12

kawasan kerja yang ideal antara lain memiliki ketersediaan sumberdaya air yang cukup, baik airtanah maupun air permukaan. II.7 Peranan Ekonomi Lingkungan Ekonomi lingkungan adalah studi masalah lingkungan dengan perspektif dan gagasan analitis ekonomi. Ekonomi di sini lebih ditekankan kepada bagaimana perilaku manusia membuat keputusan tentang penggunaan sumberdaya yang berharga dengan berbagai konsekuensinya. 13

Gambar II.4 Peta Zonasi Airtanah di CAT Bandung (Distamben, 2007) 14

Sedangkan gaung dari analisis ekonomi mementingkan kepada alokasi yang lebih efisien dalam proyek dan proses kebijakan agar lebih berkelanjutan. Berkelanjutan mengimplikasikan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dengan memperhatikan tingkat kebutuhan generasi mendatang. Pemahaman dari pemenuhan dan kebutuhan itu bertendensi kepada pendayagunaan aset dasar lingkungan yaitu sumberdaya alam (udara, air, dan tanah), sehingga setiap strategi pembangunan harus berlandaskan kelestarian dan keberlanjutan. Keberlanjutan pembangunan dalam kerangka pokok ekonomi lingkungan mencakup tiga sasaran pengelolaan sumberdaya alam secara umum, yaitu : pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan, dan kepentingan antar-generasi. Kerangka ekonomi lingkungan mencerminkan pemberian nilai atau harga ekonomi terhadap sumberdaya alam yang memfasilitasi pembangunan berkelanjutan. Pemberian nilai/harga dimaksud adalah memasukan harga barang dan jasa sumberdaya alam ke dalam perhitungan yang tangible, dengan demi kian ekonomi lingkungan memainkan peranan dalam mengidentifikasi pilihan efisiensi pengelolaan sumberdaya dan merupakan jembatan antara teknik pembuatan keputusan dengan pendekatan lingkungan. Ekonomi lingkungan diterapkan sebagai upaya menekan dampak negatif dalam pengelolaan sumberdaya alam. II.8 Pajak Airtanah sebagai Konversi Ekonomi Biaya Pemulihan Airtanah Menurut Gunawan, 1995, idealnya, kebijakan pengenaan pajak pengambilan airtanah menyebabkan biaya produksi airtanah tidak lebih murah dari biaya mendatangkan air permukaan ke lokasi industri. Kebijakan ini bisa diterapkan bila harga (biaya) airtanah saat ini lebih murah dibandingkan dengan air permukaan, laju produksi (luah) lebih besar dari laju pengisian (imbuh). Pajak menyebabkan harga airtanah lebih mahal sehingga pemanfaatan airtanah akan menjadi alternatif terakhir bagi para konsumen. Pajak ini juga akan membuat konsumen lebih menghemat dalam mengkonsumsi airtanah karena konsumen dikenakan beban selain harga airtanah senyatanya (harga air baku) juga dikenakan biaya pengguna yang proporsional dengan penggunaannya. 15

Di Jawa Barat, penetapan pajak airtanah didasarkan atas perhitungan Nilai Perolehan Air (NPA). Nilai Perolehan Air (NPA) NPA merupakan dasar perhitungan dalam penentuan besaran pajak yang harus dibayarkan oleh para pengambil/pemanfaat airtanah. Dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No.29 Tahun 2003 Harga Dasar Air (HDA) untuk airtanah dihitung berdasarkan komponen sumberdaya alam, komponen kompensasi pemulihan dan komponen harga air baku. A. Komponen Sumberdaya Alam Komponen sumberdaya alam meliputi unsur unsur Zona pengambilan Air Kualitas Air Keberdayaan Sumber Alternatif lainnya Jenis sumber B. Komponen Kompensasi Pemulihan Untuk Komponen Kompensasi pemulihan meliputi unsur unsur 1. Jenis Pemanfaatan Air 2. Volume pengambilan Air C. Komponen Harga Air Baku Harga Air Baku meliputi : 1. Harga Air Baku Bawah Tanah Dalam atau Air Tanah Terkekang 2. Harga Air Baku Bawah Tanah Dangkal atau Air Tanah Bebas 16

D. Nilai Indeks Indeks Komponen Sumberdaya Alam Nilai Indeks yang diberikan terhadap setiap unsur komponen sumberdaya alam ditetapkan sebagai berikut : Tabel II.2 Nilai Indeks Komponen Sumberdaya Alam Faktor Sumberdaya Alam Kriteria Nilai Faktor Kritis 2,6 Rawan 1,1 Aman 0,3 a. Zona Pengambilan Airtanah b. Kualitas Airtanah I 1,9 II 0,9 III/IV 0,2 c. Sumber Alternatif PDAM 1,3 Air Permukaan 0,6 Tidak ada alternatif 0,1 d. Jenis Sumber Air Dalam/Mata Air (MA) 0,8 Dangkal 0,2 (Sumber : Distamben 20 ) Nilai Indeks Sumberdaya Alam ( f(sda) ) ditentukan dengan cara menjumlahkan ke empat nilai faktor sumber daya alam. Tabel II.3 Contoh perhitungan nilai Indeks Sumberdaya Alam : Faktor Sumberdaya Alam Kriteria Nilai Faktor a. Zona pengambilan airtanah Rawan 1,1 b. Kualitas airtanah I 1,9 c. Sumber alternatif PDAM 1,3 d. Jenis sumber air Airtanah Dalam 0,8 Jumlah Nilai indeks Sumberdaya Alam (f(sda)) 5,1 Nilai indeks sumberdaya alam di atas berjumlah 54 (lima puluh empat) nilai yang selengkapnya disajikan dalam Tabel HDA. Nilai Komponen Sumberdaya Alam ( F(SDA) ) adalah hasil penjumlahan dari nilai indeks Sumberdaya Alam dengan prosentase diatur sebagai berikut : a. 40 % untuk pengambilan yang berada pada zona kritis 17

b. 60 % untuk pengambilan yang berada pada zona rawan dan atau aman c. 30 % untuk pengambilan yang berada pada daerah mata air. Nilai Indeks Kompensasi Pemulihan Nilai indeks Kompensasi Pemulihan ( f(kp) ) besarnya ditentukan oleh jenis pemanfaatan air tanah dan jumlah volume air yang diambil. Nilai indeks kompensasi pemulihan untuk masing-masing jenis pemanfaatan dan kelompok volume pengambilan air ditetapkan dengan menggunakan tabel sebagai berikut : Tabel II.4 Nilai Indeks Kompensasi Pemulihan No 1 2 3 4 Jenis Pemanfaatan Kawasan Pemukiman Perdagangan dan Jasa Bahan Penunjang Produksi Bahan Produksi (Sumber : Distamben 20 ) Nilai Indeks Per kelompok Volume (m 3 ) 1-500 5001-1500 1501-3000 3001-5000 >5000 1.0 1.0 1.1 1.2 1.3 2.0 2.4 2.8 3.4 4.0 3.0 3.6 4.2 5.1 6.0 15 21 30 42 60 Nilai Komponen Kompensasi Pemulihan ( F(KP) ) adalah nilai indeks setiap kelompok volume progresif dalam tabel komponen kompensasi pemulihan dengan pembobotan diatur sebagai berikut: a. 60 % untuk pengambilan yang berada pada zona kritis b. 40 % untuk pengambilan yang berada pada zona rawan dan atau aman c. 70 % untuk pengambilan yang berada pada daerah mata air Harga Air Baku Harga Air Baku untuk Air Bawah Tanah Dalam ditentukan Rp. 500,- (Lima Ratus Rupiah) sedangkan untuk Air Bawah Tanah Dangkal sebesar Rp. 400,- (Empat Ratus Rupiah). 18

Harga Dasar Air Harga Dasar Air (HDA) diperoleh dari hasil perkalian antara Harga Air Baku dengan hasil penjumlahan nilai Komponen Sumberdaya Alam dan Nilai Komponen Kompensasi Pemulihan. Nilai Perolehan Air (NPA), Distamben 20 Nilai Perolehan Air dihitung terhadap setiap titik pengambilan air dengan cara mengalikan Harga Dasar Air dengan volume pengambilan air yang ditetapkan secara progresif. E. Cara Perhitungan Harga Dasar Air (HDA) Perhitungan untuk Volume Maksimum 500 m 3. 1. Menentukan Nilai Komponen Sumberdaya Alam F (SDA), sebagai berikut : F (SDA) = 40 % x f(sda) F (SDA) = 60 % x f(sda) F (SDA) = 30 % x f(sda) untuk Zona Kritis untuk Zona Aman/Rawan untuk Mata Air 2. Perhitungan Nilai Komponen Kompensasi Pemulihan (F(KP)), ditentukan sebagai berikut : Zona Kritis F (KP1) = 60 % x f(kp) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 Zona Aman/Rawan F (KP1) = 40 % x f(kp) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 Daerah M.A F (KP1) = 70 % x f(kp) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 3. Perhitungan Faktor Nilai Air (FNA) FNA = F (SDA) + F (KP) 4. Perhitungan Harga Dasar Air (HDA) HDA = FNA x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam / MA HDA = FNA x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal 5. Perhitungan Nilai Perolehan Air (NPA) NPA = HDA x Volume pemakaian 19

6. Perhitungan Pajak = 20 % x NPA Perhitungan untuk Volume Pemakaian 501 m 3 s/d 1500 m 3. 1. Penentuan F (SDA) = 40 % x f (sda) untuk Zona Kritis F (SDA) = 60 % x f (sda) F (SDA) = 30 % x f (sda) untuk Zona Aman / Rawan untuk Mata Air 2. Penentuan Nilai Komponen Kompensasi Pemulihan Zona Kritis F (KP1) = 60 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F (KP2) = 60 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500 m 3 Zona Aman/Rawan F (KP1) = 40 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F (KP2) = 40 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500m 3 Daerah M.A F (KP1) = 70 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F (KP2) = 70 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500m 3 3. Penentuan Faktor Nilai Air (F(NA) FNA 1 = F (SDA) + F (KP1) FNA 2 = F (SDA) + F (KP2) 4. Penentuan Harga Dasar Air (HDA) HDA1 = FNA 1 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam / MA HDA1 = FNA 1 x Rp.400 Untuk Air tanah Dangkal HDA2 = FNA 2 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam /MA HDA2 = FNA 2 x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal 5. Penentuan Nilai Perolehan Air (NPA) 20

NPA 1 = HDA1 x 500 m 3 NPA 2 = HDA2 x (Volume pemakaian 500 m 3 ) 6. Penentuan NPA Total = NPA1 + NPA2 7. Penentuan Pajak = 20 % x NPA Total Perhitungan untuk Volume Pemakaian Diatas 5000 m 3. 1. Penentuan F (SDA) = 40 % X f (sda) untuk Zona Kritis F (SDA) = 60 % X f (sda) untuk Zona Aman / Rawan F (SDA) = 30 % X f (sda) untuk Mata Air 2. Penentuan Nilai Komponen Kompensasi Pemulihan Zona Kritis F(KP1) = 60 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F(KP2) = 60 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500m 3 F(KP3) = 60 % x f(kp3) untuk jenis peruntukan interval 1501-3000 m 3 F(KP4) = 60 % x f(kp4) untuk jenis peruntukan interval 3001-5000 m 3 F(KP5) = 60 % x f(kp5) untuk jenis peruntukan di atas 5000 m 3 Zona Aman/Rawan F(KP1) = 40 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F(KP2) = 40 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500 m 3 F(KP3) = 40 % x f(kp3) untuk jenis peruntukan interval 1501-3000 m 3 F(KP4) = 40 % x f(kp4) untuk jenis peruntukan interval 3001-5000 m 3 21

F(KP5) = 40 % x f(kp5) untuk jenis peruntukan di atas 5000 m 3 Daerah M.A F(KP1) = 70 % x f(kp1) untuk jenis peruntukan di bawah 500 m 3 F(KP2) = 70 % x f(kp2) untuk jenis peruntukan interval 501-1500 m 3 F(KP3) = 70 % x f(kp3) untuk jenis peruntukan interval 1501-3000 m 3 F(KP4) = 70 % x f(kp4) untuk jenis peruntukan interval 3001-5000 m 3 F(KP5) = 70 % x f(kp5) untuk jenis peruntukan di atas 5000 m 3 3. Penentuan Faktor Nilai Air (F(NA)) FNA 1 = F (SDA) + F (KP1) FNA 2 = F (SDA) + F (KP2) FNA 3 = F (SDA) + F (KP3) FNA 4 = F (SDA) + F (KP4) FNA 5 = F (SDA) + F (KP5) 4. Perhitungan HDA 1 = FNA 1 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam / MA HDA 1 = FNA 1 x Rp.400 Untuk Air tanah Dangkal HDA2 = FNA 2 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam /MA HDA2 = FNA 2 x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal HDA3 = FNA 3 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam /MA HDA3 = FNA 3 x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal HDA4 = FNA 4 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam /MA HDA4 = FNA 4 x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal HDA5 = FNA 5 x Rp.500 untuk Air Tanah Dalam /MA HDA5 = FNA 5 x Rp.400 untuk Air Tanah Dangkal 5. Perhitungan NPA 1 = HDA 1 x 500 m 3 22

NPA 2 = HDA2 x 1.000 m 3 NPA 3 = HDA3 x 1.500 m 3 NPA 4 = HDA4 x 2.000 m 3 NPA 5 = HDA5 x (Volume pemakaian 5000 m 3 ) 6. Perhitungan NPA Total = NPA1 + NPA2 + NPA3 +NPA4+NPA5 7. Perhitungan Pajak = 20 % x NPA Total 23