PERCANDIAN PADANGLAWAS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

UNIVERSITAS INDONESIA KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS, SUMATERA UTARA : TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAGAMAAN TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan industri global yang bersifat fenomenal. Pariwisata penting bagi negara karena menghasilkan devisa dan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau besar dan Pulau Sumatera salah satunya. Pulau Sumatera memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah

BAB 3 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS: TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAAGAMAAN

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

Tabel Daftar Nama Biara/Situs dan Nama Daerah Administrasi

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT ANGKOLA DI KECAMATAN PADANGBOLAK KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

BAB 2 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS

AMERTA, PENINGGALAN - PENINGGALAN PURBAKALA. Peta Kepurbakalaan di Padang Lawas DI PADANG LAWAS. S. Suleiman

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

KOMPLEK PERCANDIAN BATUJAYA TEMPAT LAHIRNYA PERADABAN DI TATAR SUNDA. Oleh Agustijanto I.S.S.

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 6. AKULTURASI BUDAYA INDONESIA DENGAN HINDU BUDHA DAN ISLAMLATIHAN SOAL BAB 6. Ksatria. Waisya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

Forum Bina Prestasi DI UNDUH DARI YUDHISTIRA LEARNING CENTER. Anggota Ikapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MASUKNYA HINDU-BUDHA KE INDONESIA

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Cagar Budaya Candi Cangkuang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, juga termasuk

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 4. INDONESIA MASA HINDU BUDHALatihan Soal 4.3

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN

KERAJAAN HINDU-BUDHA DAN ISLAM DI INDONESIA BESERTA PENINGGALANNYA

BERKALA ARKEOLOGI. Churmatin Nasoichah, S.Hum

SRIWIJAYA JAYA SEPANJANG MASA. Oleh YUNANI* Disampaikan pada Seminar Nasional Masyarakat Sejarahwan Indonesia Cabang Sumatera Selatan

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN KAWASAN DAN KEPARIWISATAAN SITUS KOMPLEKS PERCANDIAN BUMIAYU

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

Perkembangan Arsitektur 1

INTERAKSI KEBUDAYAAN

KECENDERUNGAN GAYA VISUAL LOKAL DALAM ARTEFAK SENI RUPA BUDDHA PERCANDIAN BATUJAYA, KARAWANG, JAWA BARAT

BAB III BUDAYA DAN ALAM PIKIR MASA PENGARUH KEBUDAYAAN HINDU DAN BUDHA

BAB 3: TINJAUAN LOKASI

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. berada dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun saat ini, kabupaten

PERTUMBUHAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN-KERAJAAN LAMA DI JAWA, DENGAN CONTOH KERAJAAN DI MAJAPAHIT. Oleh : Sampurno dan Bandono

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Agama memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada

DATA DAN ANALISIS. Aspek Kesejarahan Kawasan

BAB 3 KAJIAN TIPOMORFOLOGI ARSITEKTUR PERCANDIAN BATUJAYA

BAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

ABSTRAK PERANCANGAN MEDIA PROMOSI CANDI MUARA TAKUS PROVINSI RIAU. Oleh: Elvin Winardy

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kebudayaan India yang dipengaruhi agama Hindu-Budha (Pamungkas, 1986: 7).

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

BAB I PENDAHULUAN. memuaskan kebutuhan hidup. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya sebagai

Nomor 4753); 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomo

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

SIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kebudayaan di Nusantara terus mengalami perkembangan dari

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

AGAMA-AGAMA DI MALAYSIA NAMA : VISALNI A/P GUNASEELAN NO MATRIK : NAMA PENSYARAH: AHMAD TARMIZI ZAKARIA

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda Indonesia

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli

KISI-KISI PENYUSUNAN SOAL UJIAN SEKOLAH PENYUSUN : 1. A. ARDY WIDYARSO, DRS. ID NO :

Kandy City Sri Lanka. dataran tinggi Kandy. Saat ini kota Kandy menjadi ibu kota administratif dan kota suci Central Province, Sri Lanka.

JEJAK TANTRAYANA DI SITUS BUMIAYU TANTRIC TRACES IN BUMIAYU

Lampiran 1. Peta Provinsi Banten Dewasa ini. Peta Provinsi Banten

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh.

BAB 8 PENUTUP. Bondowoso dan Jember, Jawa Timur merupakan bentuk perwujudan manusia dalam

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Mars, Dewa Perang.

BAB II ISI. oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

BUKIT SIGUNTANG: PERANANNYA DALAM AGAMA BUDDHA PADA MASA KERAJAAN SRIWIJAYA Siguntang Hill: Its Role in Buddhism in Sriwijaya Kingdom Period

PEMBERDAYAAN GURU-GURU IPS / SEJARAH DI BANTUL DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT TERHADAP PELESTARIAN BENDA-BENDA PENINGGALAN SEJARAH *

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH

DAFTAR PUSTAKA. Anwar, Jazanul dan Sengli J. Damanik Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

KERAJAAN HINDU-BUDDHA: KERAJAAN KUTAI MODUL PEMBELAJARAN SEJARAH SITI MARFUAH

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. melimpah, mulai dari sektor migas, pertanian yang subur serta pariwisata. Hal ini

Transkripsi:

PERCANDIAN PADANGLAWAS Di daerah Padanglawas yang merupakan dataran rendah yang kering, pada masa lampau mungkin tidak pernah menjadi pusat pemukiman, dan hanya berfungsi sebagai pusat upacara keagamaan. Meskipun daerah ini dapat dicapai melalui jalan sungai dan jalan darat, yang dapat berarti tidak terisolir, tetapi lingkungan Padanglawas yang sering bertiup angin panas tidak memungkinkan untuk bercocok-tanam. Oleh karena itulah, diduga bahwa pemukiman masyarakat pendukung budaya biaro Padanglawas seharusnya bermukim di daerah muara Sungai Pane dan Barumun, tidak di sekitar kompleks percandian. Pemandangan Dataran Padanglawas. Persebaran bangunan-bangunan candi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Barumun mungkin sengaja dibangun pada jalan-jalan penting untuk perdagangan. Sungai Barumun pada masa lampau diduga sebagai jalur perdagangan lokal yang cukup ramai. Jalur perdagangan ini menghubungkan daerah pesisir timur Sumatra Utara dan daerah pedalaman di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Seharusnya, di daerah sepanjang tepian sungai Barumun, terutama mulai dari Situs Si Pamutung hingga ke muara sungai Barumun, terdapat sisa pemukiman kuno. Hingga kini belum ada laporan penelitian ataupun penemuan yang menyebutkan situs pemukiman di daerah-daerah tersebut. Mungkin situssitus tersebut telah hilang sebagai akibat erosi dari Sungai Barumun. 1

Di dataran yang panas dan kering, yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon, di sekitar Batang Pane, Sungai Sirumambe, dan Sungai Barumun yang membelah dataran Padanglawas, nampaklah pemandangan runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, dahulu kala pernah menjadi pusat agama dalam Kerajaan Pannai. Sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia. Sekarang daerah yang berupa padang ilalang ini yang dikelilingi oleh rangkaian perbukitan rendah, termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Untuk mencapai lokasi kompleks percandian di Padanglawas dapat menggunakan kendaraan bermotor roda empat, kecuali untuk beberapa buah situs yang harus menyeberangi sungai, seperti Bara dan Si Pamutung. Dari kota Medan jaraknya sekitar 400 km. ke arah baratdaya melalui Tebingtinggi, Kisaran, Rantauprapat, Gunungtua, dan Barumun, atau sekitar 100 km. ke arah timur dari ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan. Pusat lokasi percandian Padanglawas di Barumun, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan. Lokasi Biaro-biaro di Padanglawas, daerah aliran sungai Barumun. 2

Awal Penemuan Daerah Padanglawas yang secara geografis merupakan daerah aliran sungai Barumun, banyak ditemukan tinggalan budaya masa lampau, terutama dari Masa Klasik Indonesia. Tinggalan-tinggalan tersebut ada yang berupa arca, baik yang utuh maupun fragmen atau yang ada dalam konteks bangunan maupun lepas; ada yang berupa prasasti, baik yang utuh maupun yang sudah rusak karena berbagai alasan; dan ada pula yang berupa bangunan atau runtuhan bangunan. Sebagian dari tinggalan-tinggalan tersebut sudah termuat dalam Oudheidkundig Verslag dan Laporan Dinas Purbakala, tetapi ada pula yang dibuat oleh perorangan seperti yang ditulis oleh Schnitger dalam beberapa bukunya mengenai kepurbakalaan di Sumatra; Bosch (1930); Suleiman (1954; 1976; 1980); Rumbi Mulia (1980); dan Nik Hassan Shuhaimi (1992). Dari sekian banyak laporan dan tulisan mengenai Padanglawas, tulisan yang dibuat oleh Schnitger yang terlengkap karena ia adalah seorang kurator di Museum Palembang dan pelopor ekspedisi arkeologi di Sumatra pada tahun 1935 dan 1936. Catatan tertua mengenai kapan ditemukan kompleks biaro di Padanglawas diperoleh dari Franz Junghun, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur pada tahun 1846. Setelah Junghun, kemudian berturut-turut dikunjungi oleh von Rosenberg pada tahun 1854 dan Kerkhoff pada tahun 1887. von Rosenberg dari Padanglawas membawa beberapa fragmen arca untuk ditempatkan di Museum Batavia. Arca yang dibawa antara lain sebuah arca Buddha. Kerkhoff, seorang Kontrolir di Tapanuli, dalam kitabnya berjudul "Aanteekeningen betreffende eenige der in de afdeeling Padanglawas voorkomende Hindoe-oudheden" menyebutkan "biara", Si Pamutung, dan "kuburan di Gunung Tua". Selain itu ia juga mempublikasikan secara rinci mengenai temuan-temuan hasil pengumpulan Franz Junghun di Padanglawas. Padanglawas semakin sering dikunjungi oleh para peneliti asing, dan semakin banyak runtuhan bangunan yang ditemukan. Pada tahun 1920, seorang peneliti bangsa Belanda, van Stein Callenfels berkesempatan mengunjungi Padanglawas. Ia menyebutkan beberapa peninggalan purbakala di Gunung Tua, yaitu Bahal 1, Bahal 2, Bahal 3, Si Biaro Si Sangkilon. Topayan, Aek Biaro, dan Si Pamutung. 3

Krom, seorang peneliti Belanda menulis tentang Padanglawas pada tahun 1923. Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padanglawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan. Selanjutnya Krom menghubungkan peninggalan di Padanglawas dengan Śrīwijaya. Pada tahun 1925, van Stein Callenfels kemudian kembali lagi ke Padanglawas. Dalam laporannya ia memberi gambaran dari susunan bangunan di Si Topayan, Biaro Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Selanjutnya ia memberikan gambaran bahwa yang menyebabkan kerusakan pada bangunan biaro adalah banyaknya ternak (sapi) yang berkeliaran. Laporan ini kemudian mendapat tanggapan dari de Haan yang kemudian pada tahun 1926 mengadakan sedikit perbaikan dan pengukuran pada biaro Si Biaro Si Pamutung. Topayan, Bahal 1 dan 2. Pada tahun 1930 Bosch menulis tentang Padanglawas dan mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padanglawas adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan indikator artefak yang ditemukannya berupa arca, relief yang menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris. Seorang arkeolog amatir yang banyak berjasa atas pengenalan kepurbakalaan di Sumatra yang bernama Schnitger, sudah berkali-kali mengunjungi Padanglawas. Menurut Schnitger biaro-biaro di Padanglawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12 Masehi. Pendapat ini disetujui oleh Suleiman, tetapi lebih lanjut ia menambahkan bahwa biaro-biaro di Padanglawas dibangun pada abad ke- 11-14 Masehi (Suleiman 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari pertulisan-pertulisan singkat yang ditemukan di situs. Setelah sekian lama tidak diteliti, Situs Padanglawas kemudian diteliti kembali pada tahun 1953 oleh tim kecil dari Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman. Hasil dari penelitiannya itu kemudian diterbitkan dalam Majalah Amerta pada tahun 1954. Dalam tulisannya itu, Suleiman menggunakan istilah "Hindu-Batak" untuk 4

hasil budaya di Padanglawas, karena ada istilah "Hindu-Jawa" untuk hasil budaya dari Jawa. Istilah ini tidak disetujui oleh Damais. Ia lebih suka menyebut dengan istilah "Sumatra Purbakala". Penelitian berikutnya dilakukan pada tahun 1973 dan 1975 oleh tim dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bekerjasama dengan the University of Pennsylvania Museum. Namun pada penelitian ini tim hanya mendeskripsikan beberapa bangunan yang mudah dijangkau. Hal ini disebabkan karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. Umumnya bangunan-bangunan yang dikunjungi pernah dilaporkan oleh peneliti terdahulu. Penelitian yang mutakhir dilakukan pada tahun 1993 oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hasil dari penelitian itu adalah bahwa Sungai Barumun dan Batang Pane telah mengalami perubahan yang cukup jauh. Hal ini disebabkan karena tingkat erosi yang tinggi. Kelompok-kelompok bangunan di Padanglawas sebagian besar berlokasi dekat Komponen Biaro Si Abu, Penyabungan. dengan aliran sungai pada jarak sekitar 200-500 meter dari tepi sungai. Pada bulan Maret 1994, sebuah tim kerjasama Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara melakukan pendataan dan inventarisasi tinggalan budaya di daerah Padanglawas. Benda budaya masa lampau yang didata keseluruhannya ada yang masih insitu di Padanglawas (bangunan dan arca), dan ada pula yang ditempatkan di Museum Nasional Jakarta (arca dan prasasti). Pada tahun yang sama, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan penelitian di Padanglawas. Penelitian tersebut meliputi survei di daerah aliran sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di Situs Tandihet 2. Ekskavasi yang dilakukan di runtuhan bangunan Tandihet 2 berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan Tandihet 2. Bangunan ini menghadap ke arah timur dengan tangga naiknya dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batupasir (sandstone) ditemukan di antara runtuhan bangunan. 5

Kepurbakalaan Sungai utama yang mengalir di daerah Padanglawas adalah Barumun. Di sungai ini bermuara anak-anak sungai, misalnya Batang Pane dan Sirumambe. Kepurbakalaan yang ditemukan di Barumun, mulai dari daerah hulu adalah Pageranbira, Sangkilon, Joreng Belangah (Tandihat 1 dan Tandihat 2), dan Si Pamutung. Agaknya tinggalan budaya yang terpenting di Sungai Barumun adalah kelompok Biaro Si Pamutung. Kelompok bangunan ini terletak di daerah pertemuan Sungai Barumun dan Batang Pane. Batang Pane yang bermata-air di daerah Pegunungan Bukit Barisan, telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Setidak-tidaknya sejak Zaman Klasik Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya India. Berbagai tinggalan budaya zaman itu yang berupa bangunan suci banyak ditemukan di daerah tepiannya. Di beberapa tempat, di daerah hulunya, Batang Pane Biaro Si Topayan. mempunyai lembah yang cukup dalam. Beberapa kompleks candi nampak seperti di atas bukit. Perbedaan ketinggian antara permukaan air sungai dan kompleks candi sekitar 10-25 meter. Tinggalan budaya yang berupa kompleks biaro antara lain ditemukan di Situs Gunung Tua, Si Topayan, Aek Hayuara, Tanjung Bangun, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Kompleks Biaro ini letaknya tidak Biaro Pulo. jauh dari tepian sungai dengan jarak sekitar 500 meter. Sungai Sirumambe merupakan anak sungai Pane yang menyabang di daerah Portibijulu, sedangkan Sungai Pane merupakan anak sungai Barumun yang menyabang di daerah Binanga. Sungai Sirumambe merupakan sungai muda yang ditandai dengan lembahnya berbentuk V dan mengalir di antara lembah-lembah yang curam. Sungai ini bermata-air di daerah perbukitan di sekitar daerah Padanglawas. 6

Biaro Bahal 1 Biaro Bahal 2 Biaro Bahal 3 Biaro Tandihat 1. Survei arkeologi yang dilakukan di daerah sekitar Sungai Sirumambe berhasil menemui beberapa lokasi yang mengandung tinggalan budaya zaman lampau di situs-situs Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu. Sedangkan tinggalan arkeologi yang terdapat di tepian hulu Sungai Barumun adalah Si Sangkilon dan Pageran Bira/Makam Kramat Jiret. Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagai syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang pernah berkembang selama beberapa abad, dan tentang seni bangunan dan seni pahatnya. Semua itu merupakan bukti nyata dari sebuah hasil budaya yang bermutu tinggi. Situs-situs arkeologi di Lembah Sungai Barumun dan Batang Pane ditemukan di sekitar daerah Padanglawas. Kawasan ini meliputi lembah-lembah sungai Barumun, Batang Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1500 kilometer persegi. Di lokasi ini terdapat sekurang-kurangnya 26 runtuhan biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca yang ditemukan di tepian Batang Pane, yaitu Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Rondaman, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3; di tepian Sungai Sirumambe, yaitu Batu Gana, Si Soldop, Padangbujur, Nagasaribu, dan Mangaledang; dan di tepian Sungai Barumun, yaitu Pageranbira, Pordak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah (Tandihat 1), Tandihat 2, dan Si Pamutung. Tidak semua lokasi yang disebutkan itu ter- 7

dapat runtuhan bangunan, melainkan hanya terdapat artefak kecil seperti misalnya prasasti, arca, dan stambha (tiang batu). Runtuhan bangunan candi di Padanglawas disebut biaro (=vihara dalam bahasa Sansekerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk menyebut bangunan candi Buddha atau Hindu di Sumatra. Tetapi di India, vihara adalah Batu Gana. biara yang merupakan tempat tinggal para pendeta atau bhiksu. Padanglawas dengan kompleks biaro-nya merupakan suatu dataran yang kering dan tandus. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi dan sejarah, tentu saja sangat menarik untuk diteliti. Bambang Budi Utomo Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional 8