BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dari latar belakang masalah di atas, maka pada bab ini akan dibahas lebih lanjut tentang ketaatan pasien dan obat serta resep dokter yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. 2.1. Ketaatan 2.1.1. Definisi Ketaatan Ketaatan didefenisikan sebagai seberapa jauh perilaku seseorang (dalam hal menggunakan obat, mengikuti diet, atau mengubah gaya hidup) sesuai dengan nasehat medis atau saran kesehatan, sehingga tidak terjadi hal yang membahayakan hasil terapi pasien. Karena ketidaktaatan akan menyebabkan sejumlah akibat yang tidak diinginkan, seperti sakit bertambah lama atau kondisi medis memburuk sehingga pasien perlu perawatan di rumah sakit atau rawatan rumah atau akibat ekstrem, yaitu kematian. Akhirnya, timbul biaya sangat besar yang harus ditanggung oleh masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yaitu tidak hanya biaya yang dikeluarkan untuk mengobati akibat ketidaktaatan yang membahayakan, tetapi juga biaya obat-obatan yang terbuang percuma dan kehilangan waktu kerja (Rantucci, 2009). Ada lima masalah yang berkaitan dengan ketidaktaatan, yaitu: 1. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu sedikit. 2. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu banyak. 3. Frekuensi minum obat yang tidak sesuai. 4. Tidak menggunakan atau mendapatkan obat yang diresepkan. 5. Cara minum obat yang tidak benar
2.1.2. Hambatan Dalam Ketaatan Hambatan dalam ketaatan sehingga menyebabkan terjadinya ketidaktaatan yang teridentifikasi meliputi berbagai faktor pasien dan kepercayaan pasien, sifat komunikasi antara pasien dan profesional kesehatan, dan berbagai faktor perilaku (Rantucci, 2009). 1. Faktor pasien a. Merasa penyakitnya tidak serius. b. Merasa pengobatan tidak efektif. c. Pandangan negatif dari keluarga dan teman atau kurangnya dukungan sosial. d. Pengalaman dengan pengobatan sedikit atau memiliki pengalaman buruk dengan pengobatan. e. Kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita (Rantucci, 2009). 2. Faktor Komunikasi a. Kurang penjelasan yang eksplisit, tepat, jelas, jumlahnya memadai, dan termasuk menerima tanggapan. b. Tingkat pengawasan medis rendah. c. Kurang informasi yang seimbang tentang resiko dan efek samping. d. Strategi yang dilakukan oleh dokter untuk mengubah sikap dan kepercayaan pasien kurang. e. Kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan dokter rendah atau tidak ada sama sekali. f. Dokter dianggap tidak ramah dan kurang perhatian. g. Dokter tidak membiarkan pasien terlibat dalam membuat keputusan (Rantucci, 2009). 3. Hambatan Ketaatan a. Durasi terapi panjang. b. Munculnya efek merugikan atau efek samping. c. Tidak dapat membaca, kemampuan kognitif rendah, hambatan bahasa. d. Hambatan fisikis/finansial untuk mendapatkan obat (Rantucci, 2009).
2.1.3. Pencegahan Ketidaktaatan Dalam mengembangkan perencanaan untuk mencegah ketidaktaatan, dokter harus memikirkan alasan untuk taat dan hambatan untuk tidak taat. Perhatian harus difokuskan pada tiga aspek penting dalam konseling pasien, yaitu komunikasi dengan pasien, pemberian informasi, dan strategi mencegah ketidaktaatan. 1. Komunikasi dengan pasien Dokter harus melibatkan pasien dalam diskusi untuk membangun hubungan dengan pasien. Komunikasi lebih lanjut harus terjadi untuk memungkinkan dokter bergerak maju melalui proses asuhan kefarmasian untuk mendapatkan informasi yang tepat, menentukan metode untuk mencegah ketidaktaatan, serta melaksanakan metode tersebut. Aspek-aspek komunikasi dengan pasien yang dapat membantu mencegah ketidaktaatan pasien antara lain kepuasan pasien, nada bicara, sifat, isi, frekuensi, dan metode komunikasi (Rantucci, 2009). 2. Pemberian informasi Ada sejumlah faktor terkait pemberian informasi yang harus diperhatikan dalam mencegah ketidaktaatan: a. Persuasif : bergantung pada sifat persuasif dokter dalam komunikasi dan seberapa keras usaha dokter memotivasi pasien. b. Informasi penggunaan obat : pasien harus selalu diberi instruksi yang benar, sesuai, dan lengkap, antara lain berapa banyak obat digunakan, kapan obat digunakan, berapa lama penggunaan obat harus dilanjutkan termasuk informasi pengulangan resep. c. Informasi tentang penyakit, cara kerja, dan waktu kerja obat : pasien memerlukan informasi tentang kondisi penyakitnya dan cara kerja obat dalam mengatasi kondisi tersebut. Pasien juga harus diberitahu tentang waktu yang diperlukan sebelum nyeri dan rasa yang tidak nyaman berkurang dengan kata lain, kapan kira-kira efek obat akan dirasakan pasien. Hal ini akan mencegah kesalahpahaman pasien tentang keseriusan kondisi atau keefektifan pengobatan.
d. Informasi efek samping : pasien harus diberi tahu tentang tanda-tanda dari setiap efek samping umum yang mungkin terjadi. Pemberian informasi tentang efek samping dan efek merugikan menurunkan ketidaktaatan pasien dengan mengurangi rasa takut dan memungkinkan suatu penanganan masalah dengan cara yang lebih sesuai. e. Teknik khusus : informasi mengenai teknik menggunakan obat, bila diperlukan, dan cara mengingat penggunaan obat juga perlu diberikan untuk mengurangi kemungkinan ketidaktaatan f. Jumlah dan tingkat : tidak boleh terlalu komprehensif atau terlalu terperinci agar pasien dapat menyerap atau memahami informasi yang diberikan, yaitu informasi harus sesuai dengan tingkat pendidikan, ketidakmampuan, pasien (kondisi fisik atau kondisi mental yang membatasi pasien, serta keadaan emosional pasien (Rantucci, 2009). 3. Strategi untuk mencegah ketidaktaatan Karena ketidaktaatan dipandang sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh kepercayaan, pengalaman, dan sebagainya, berbagai strategi perilaku direkomendasikan untuk mencegah ketidaktaatan. Strategi tersebut antara lain sebagai berikut: a. Dokter dan pasien bekerja sama untuk menyederhanakan jadwal pemakaian obat dengan mengurangi jumlah obat, mengurangi jumlah interval dosis per hari, dan mengatur regimen dosis agar lebih sesuai dengan kegiatan rutin pasien. b. Dokter memberikan alat pengingat dan pengatur pemakaian obat (misalnya, wadah tablet yang dilengkapi alarm atau tempat obat yang tersusun sesuai pendosisan) dan grafik terpisah untuk mengecak penggunaan obat. c. Dokter mengingatkan pasien melalui telepon atau surat tentang pengulangan resep.
d. Dokter juga melibatkan pasangan pasien dan anggota keluarga lainnya untuk mrngingatkan dan mendorong pasien menggunakan obat yang diresepkan (Rantucci, 2009). 2.2. Obat 2.2.1. Defenisi Obat adalah semua bahan kimia tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua makhluk untuk bagian dalam maupun bagian luar, guna mencegah, meringankan, maupun menyembuhkan penyakit (Syamsuni, 2006). 2.2.2. Penggolongan Obat Macam-macam penggolongan obat: 1. Menurut kegunaan obat: a. Untuk menyembuhkan penyakit (terapeutik) b. Untuk mencegah (profilaktik) c. Untuk diagnosis (diagnostik) 2. Menurut cara kerja a. Lokal : obat yang bekerja pada jaringan setempat. b. Sistemik : obat yang didistribusikan ke seluruh tubuh melalui oral. 3. Menurut undang-undang : a. Narkotik : obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan IPTEK dan dapat menimbulkan ketergantungan dan ketagihan yang sangat merugikan masyarakat. b. Psikotropika : obat yang mempengaruhi proses mental, merangsang, atau menenangkan, mengubah pikiran, perasaan atau kelakuan orang. c. Obat keras, yaitu semua obat yang: - Mempunyai takaran/dosis maksimum (DM) atau yang tercantum dalam daftar obat keras yang ditetapkan pemerintah.
- Diberi tanda khusus lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi hitam dan huruf K yang menyentuh garis tepinya. - Semua obat baru, kecuali dinyatakan oleh pemerintah tidak berbahaya. - Semua sedian parental/injeksi/invus intravena. d. Obat bebas terbatas : obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam bungkus aslinya dari produsen/pabriknya dan diberi tanda lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam serta diberikan tanda peringatan. e. Obat bebas : obat yang dapat dibeli secara bebas dan tidak membahayakan bagi si pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, diberi tanda lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam. 4. Menurut sumber obat a. Tumbuhan (flora, nabati) b. Hewan (fauna, hayati) c. Mineral (pertambangan) d. Sintesis (tiruan/buatan) e. Mikroba/fungi/jamur 5. Menurut bentuk sediaan obat a. Bentuk padat : serbuk, tablet, pil, kapsul, supositoria b. Bentuk setengah padat : salep, krim, pasta, cerata, gel/jelly. c. Bentuk cair/ larutan : potio, sirup, eliksir, obat tetes, gargarisma, clysma, epithema, injeksi, infus intravena, douche, lotio, dan mixturae. d. Bentuk gas : inhalasi/spray/aerosol (Syamsuni, 2006). 2.3. Resep 2.3.1. Pengertian Resep Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyiapkan atau membuat, meracik serta menyarahkan obat kepada pasien. Resep asli tidak boleh diberikan kembali
setelah obatnya diambil oleh pasien, hanya dapat diberikan copy resep atau salinan resepnya (Syamsuni, 2006). Resep adalah wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, mengaplikasikan ilmu pengetahuan-keahlian dan keterampilannya dibidang farmakologi dan terapeutik kepada pasien. Secara teknis resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan dan per Undang- Undangan yang berlaku. Permintaan tersebut disampaikan kepada farmasis/apoteker di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan kepada pasien yang berhak (Jas, 2009). Resep asli harus di simpan di apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali diminta oleh: 1. Dokter yang menulisnya atau merawatnya, 2. Pasien yang bersangkutan, 3. Pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa, serta 4. Yayasan dan lembaga lain yang menanggung biaya pasien. Resep disebut juga Formulae Medicae tediri atas : 1. Formulae Officinalis, yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan merupakan standar (resep standar). 2. Formulae Megistralis, yaitu resep yang ditulis oleh dokter. Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe = ambillah. Di belakang tanda ini biasanya baru tertera nama dan jumlah obat (Syamsuni, 2006). 2.3.2. Tujuan Penulisan Resep 1. Memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi. 2. Meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat. 3. Terjadi control silang (cross check) dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi.
4. Instalasi farmasi/apotek rentang waktu bukanya lebih panjang dalam pelayanan farmasi dibandingkan praktek dokter. 5. Meningkatkan peran dan tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat, tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada masyarakat secara bebas. 6. Pemberian obat lebih rasional dibandingkan dispensing, dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah dan selektif. 7. Pelayanan berorientasi kepada pasien (patien oriented), hindarkan material oriented. 8. Sebagai medical record yang dapat dipertanggungjawabkan, sifatnya rahasia (Jas, 2009). 2.3.3. Resep Lengkap Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Nama, alamat dan nomor izin praktik dokter, dokter gigi atau dokter hewan. 2. Tanggal penulisan resep (inscription). 3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocation). 4. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio). 5. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura). 6. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (sub-scriptio). 7. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan. 8. Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimalnya (Syamsuni, 2006).
2.4. Dosis 2.4.1. Pengertian dosis Dosis adalah jumlah atau takaran obat yang diberikan kepada pasien dalam satuan berat, isi (volume) atau unit. Dosis obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek farmakologi obat (Jas, 2009). 2.4.2. Macam-macam dosis 1. Dosis minimal: dosis yang paling kecil yang masih memberiakan efek terapeutik. 2. Dosis maksiamal: dosis yang tertinggi yang masih dapat diberikan tanpa efek toksis 3. Dosis permulaan: dosis yang diberkan pada permulaan menggunaan obat untuk mencapai kadar tertentu dalam darah. 4. Dosis pemeliharaan: dosis untuk menjaga agar penyakitnya tidak kambuh lagi. 5. Dosis terapeutik (dosis lazim, dosis medicinalis): dosis optimal atau yang paling baik. 6. Dosis toksik: penggunaan obat melibihi dosis maksimal. 7. Dosis letalis: dosis yang menimbulkan kematian. 8. Dosis ganda: pemberiaan dosis tunggal yang berulang mengakibatkan akumulasi obat dalam tubuh, supaya MEC ( minimal effect concentration ) tercapai.