BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Gambaran Umum Perkembangan Perbankan Syariah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Bank pada hakikatnya merupakan lembaga perantara (intermediary) yaitu. menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode pendekatan syariah Islam yang dapat menjadi alternatif bagi masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. konsumtif sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terwujud.

BAB I PENDAHULUAN. (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha usaha berkategori terlarang

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga keuangan perbankan mempunyai peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari waktu ke waktu. Diawali dengan berdirinya bank syariah di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bunga baik tabungan, deposito, pinjaman, dll.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. prinsip bagi hasil dan risiko (profit and loss sharing). Sebagai bagian dari sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. keuangan atau biasa disebut financial intermediary. Sebagai lembaga keuangan,

BAB 1 PENDAHULUAN. perbankan, karena perbankan memegang peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pihak lain untuk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah),

BAB I PENDAHULUAN. manufaktur dan jasa. Sedangkan sektor moneter ditumpukan pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. keberlanjutan entitas bisnis dan untuk mengukur kemampuan bersaing dalam

BAB I PENDAHULUAN. (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008). Ditinjau dari segi imbalan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi (Antonio, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. perantara jasa keuangan (financial intermediary), memiliki tugas pokok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini hampir semua kegiatan perekonomian. dilakukan oleh lembaga keuangan, misalnya bank, lembaga keuangan non bank,

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman pada dunia perbankan dan inilah yang terjadi pada perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dasarkan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada kegiatan ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang. Negara

BAB I PENDAHULUAN. juga mengalami penurunan yaitu industri perbankan Indonesia. Dengan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, bank syariah telah muncul semenjak awal tahun 1990-an dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kelembagaan perbankan syariah di Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat di negara maju dan berkembang sangat membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pihak yang kekurangan dana pada waktu yang ditentukan (Dendawijaya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia umumnya

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan yang cukup pesat dan memberikan pengaruh yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. konvensional yang tumbuh berkisar 8%. (Otoritas Jasa Keuangan, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. terutama untuk membiayai investasi perusahaan. 1 Di Indonesia terdapat dua jenis

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan prinsip bagi hasil dan menghindari unsur-unsur spekulatif yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menetapkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. nasional Indonesia menganut dual banking system yaitu, sistem perbankan. konvensional menggunakan bunga (interest) sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat khususnya bagi umat islam. Rasa terpercaya, amanah dan aman serta

BAB I PENDAHULUAN. perbankan nasional. Bank Islam telah berkembang pesat pada dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. juga sebagai perantara (financial intermediary) bagi mereka yang memiliki dana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perbankan di Indonesia semakin diramaikan dengan berdirinya bank-bank

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini Indonesia memiliki dua jenis lembaga perbankan, yaitu perbankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Pertumbuhan Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit Bank Konvensional

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan perekonomian mencakup semua sektor, baik sektor industri. (manufaktur), jasa, dan perbankan. Perkembangan perekonomian ini

ANALISIS LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH. Oleh : Junaedi,SE,M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami. perkembangan yang signifikan terutama di bidang perbankan.

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga perantara keuangan antara masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhinya, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan Syari ah atau Bank Islam yang secara umum pengertian Bank Islam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pertama kali yang berdiri di Indonesia yaitu Bank Muamalat dapat membuktikan

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan usaha atau institusi yang kekayaannya terutama dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan suatu sisi kehidupan yang tidak terpisahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan perbankan di Indonesia sejak tahun 1992 berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyaluran kredit maupun pembiayaan merupakan fokus dan kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. bunga yang sangat tinggi. Hingga saat ini, sistem pengkreditan bank sudah merata

BAB I PENDAHULUAN. tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis jenis usaha yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana (defisit unit). Bank syariah secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sistem keuangan dunia. perkembangan perekonomian dunia

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena bank syariah merupakan salah satu fenomena yang tetap hangat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, bank

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga perantara keuangan ( financial. intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak kelebihan dana ( surplus

BAB I PENDAHULUAN. Bank Syariah adalah Bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, perbankan menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana

BAB I PENDAHULUAN. ditengah kondisi perekonomian yang masih dalam tahap pemulihan, membuktikan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan prinsip Islam, yaitu aturan perjanjian (akad) antara bank dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Perkembangan bank yang makin pesat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial

BAB I PENDAHULUAN. periode 5 tahun terakhir ini telah muncul bank-bank yang menjalankan kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan bank sebagai mitra dalam mengembangkan usahanya.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi intermediasi yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat dan stabil. Sistem keuangan negara Indonesia sendiri terdiri dari tiga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut McKinsey (2013), perekonomian Indonesia sangat menjanjikan. Saat

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis modern di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. sektor perbankan. Berdasarkan sistem operasionalnya, perbankan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perbankan secara umum menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bank Umum Syariah (BUS) Nasional di Indonesia dengan tahun amatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kehadiran bank syariah di tengah-tengah perbankan konvensional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. mana didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perbankan syariah merupakan alternatif lembaga keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Islam tapi bahkan juga di negara-negara barat. Hal ini terbukti. Inggris (Ismal, 2012). Menurut Antonio (2001), bank syariah muncul

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Keberadaan perbankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur an

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan nasional yang berfungsi sebagai financial. pihak-pihak yang memerlukan dana (Mahardian, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. (surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada

BAB I PENDAHULUAN. bagi hasil. Balas jasa atas modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan badan usaha yang kegiatan usahanya yaitu. menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus) dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. lembaga keuangan terbesar didunia asal Amerika Lehman Brother, kredit

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Gambaran Umum Perkembangan Perbankan Syariah Perkembangan dunia ekonomi di akhir tahun 2005, telah memberikan kontribusi yang cukup baik bagi banyak pihak, di antaranya bagi para investor baik dalam negeri maupun investor asing dan bagi lembaga keuangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan pada berbagai lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan berbentuk perbankan. Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang memberi pelayanan bagi masyarakat. Lembaga keuangan terdiri dari lembaga keuangan bank 1 dan lembaga keuangan non bank. Berdasarkan kegiatan operasionalnya, lembaga keuangan bank dibagi menjadi dua, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional melakukan operasional usahanya berdasarkan pada sistem bunga, 2 sehingga salah satu penerimaan dari bank tersebut merupakan selisih bunga yang diterima dari pemberian kredit dengan bunga yang harus diberikan kepada pihak ketiga/penabung. 3 Bank Islam atau bank syariah 4 berdasarkan jenis dan kegiatan usahanya dibedakan menjadi: 5 Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Bank syariah dalam menjalankan usahanya menggunakan 1 Bank berasal dari bahasa Yunani, yaitu banco yang artinya bangku atau meja. Meja tersebut awalnya digunakan dalam transaksi tukar-menukar uang. 2 Bunga bank adalah harga atau balas jasa yang harus dibayarkan bank kepada pihak ketiga dan juga dibayarkan nasabah peminjam kepada bank. Praktek bunga pada bank konvensional identik dengan riba yang diharamkan bank syariah. 122. 3 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003), h. 4 Untuk selanjutnya dalam makalah ini digunakan istilah bank syariah sebagai ganti makna bank Islam, hal ini sesuai bunyi Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 poin 7, yaitu bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. 18. 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal

prinsip bebas riba 6 yaitu suatu kegiatan operasional yang tidak membenarkan adanya penerapan bunga, sebagai alternatifnya bank syariah menerapkan sistem profit and loss sharing atau lebih dikenal dengan istilah profit sharing. 7 Keberadaan bank syariah dalam kancah perbankan Indonesia telah dikembangkan sejak tahun 1992, ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank ini telah menunjukkan eksistensinya, yaitu kemampuan bertahan dari terpaan krisis yang terjadi pada tahun 1997/1998. Perkembangan perbankan syariah semakin pesat, terutama setelah diubahnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Sepuluh tahun kemudian perkembangan perbankan syariah semakin maju dengan terbitnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Regulasi perbankan baru ini memberikan pijakan hukum yang lebih kuat bagi operasional perbankan syariah. Oleh karena itu, peluang perkembangan perbankan syariah di Indonesia tentu akan semakin pesat. Perkembangan itu dapat dilihat dari berbagai indikator. Misalnya, perkembangan jaringan, penghimpunan dana, pembiayaan, tingkat kesehatan, aset, dan lain-lain. Dilihat dari perkembangan jaringan, bank syariah dinilai cukup pesat dalam melebarkan sayap. Sebut saja, pada tahun 2000 baru beroperasi sebanyak 2 Bank Umum Syariah (BUS). Tahun 2005 menjadi 3 BUS dengan jumlah kantor sebanyak 301 dan pada penghujung 2009 telah menjadi 6 BUS dengan 711 kantor. Memasuki triwulan tiga tahun 2011 bertambah 5 BUS dan 1.268 kantor, 6 Riba secara bahasa berarti ziyadah atau tambahan dan secara linguistik berarti tumbuh dan membesar, sedangkan secara istilah adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara batil. Tahapan pelarangan riba dalam Alquran dimulai dari surat ar-ruum/30 ayat 39, an-nisaa/4 ayat 160-161, Ali-Imran/3 ayat 130, dan al-baqarah/2 ayat 278-279. 7 Profit sharing adalah bagi laba yaitu bagi hasil yang dihitung dari pendapatan pengelolaan mudharabah setelah dikurangi biaya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dana mudharabah. Lihat Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 320.

dimana 3 BUS merupakan hasil konversi Bank Umum Konvensional 8 dan 2 BUS merupakan hasil spin off 9 Unit Usaha Syariah (UUS). 10 Demikian juga Unit Usaha Syariah (UUS), pada tahun 2005 baru berjumlah 19 dengan 133 kantor. Meningkat menjadi 27 UUS dan 214 kantor pada tahun 2008. Namun dua tahun kemudian jumlah UUS berkurang menjadi 23, dengan jumlah 262 kantor. Penurunan ini terjadi karena adanya penutupan 3 UUS akibat spin off yang secara kelembagaan juga menutup layanan syariahnya. Namun demikian, penurunan jangkauan layanan syariah tidak akan menurunkan jangkauan layanan bank syariah kepada nasabah, mengingat penyebaran jaringan kantor bank syariah yang luas dan diperkirakan akan terus bertambah. Perkembangan jaringan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 11 juga mengalami peningkatan. Akhir tahun 2007 hanya ada 114 BPRS dengan 185 kantor. Dua tahun kemudian telah bertambah sebanyak 25 BPRS dengan jumlah kantor menjadi 223. Memasuki trimester terakhir 2011 BPRS yang beroperasi telah menjadi 153 dan 293 kantor. Berikut data perkembangan jaringan bank syariah disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Jaringan dan Kantor Bank Syariah BUS UUS BPRS Tahun Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor 2005 3 301 19 133 - - 2006 3 346 20 163 - - 2007 3 398 26 170 114 185 2008 5 576 27 214 131 202 2009 6 711 25 287 139 223 2010 11 1215 23 262 150 286 2011 11 1268 23 307 153 293 8 PT. Bank Victoria Syariah (semula bernama PT. Bank Swaguna), PT. Bank BCA syariah (semula bernama PT. Bank UIB), dan PT. Bank Maybank Syariah. 9 Spin-off adalah pemisahan yang dilakukan Bank Umum Konvensional yang menjalankan kegiatan UUS menjadi BUS jika nilai aset UUS tersebut telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induk. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 10 Izin usaha BUS hasil spin-off diberikan kepada PT. Bank Jabar Banten Syariah dan PT. Bank BNI Syariah. 11 Selanjutnya dalam penelitian ini BPRS digunakan untuk menyebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia. Secara garis besar jika dilihat dari fungsinya, bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, yaitu sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary institution) antara pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dan pihak yang kekurangan dana (deficit unit). Sehingga, kedua belah pihak akan memperoleh manfaat dari perputaran dana tersebut. Bank syariah berperan sebagai pengelola dana (mudharib) bagi pihak yang kelebihan dana dan sebagai pemilik dana (shahibul maal) bagi pihak yang kekurangan dana. Hubungan yang terjadi antara shahibul maal dengan mudharib merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan antara kreditur dengan debitur sebagaimana yang terjadi pada bank konvensional. Sebagai pengelola dana, bank syariah tentu harus bertanggungjawab terhadap dana yang telah diamanahkan oleh pemiliknya, dalam hal ini pihak ketiga. Oleh karena itu, pihak bank syariah harus mampu mengelolanya agar menghasilkan keuntungan yang optimal. Keuntungan yang diperoleh akan dibagikan pada pihak ketiga sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian dengan menggunakan perhitungan revenue sharing 12. Dalam rangka menjalankan fungsi intermediasi, dana yang terhimpun akan disalurkan pada pihak yang membutuhkan melalui aktivitas pembiayaan. Berbeda dengan kredit pada bank konvensional, bahwa pembiayaan pada perbankan syariah sangat tinggi, bahkan melebihi angka 100%. Artinya bahwa dana yang dihimpun bank syariah kembali disalurkan kepada masyarakat, tanpa disimpan dalam jumlah yang tinggi pada pihak lain (termasuk dalam bentuk SWBI). Sementara itu, kondisi yang berlaku di bank konvensional cukup banyak dana yang disimpan pada pihak lain termasuk Bank Indonesia dengan harapan memperoleh bunga yang tinggi, sehingga kredit yang dikucurkan terbatas. Seiring dengan peningkatan jaringan dan aset BUS, UUS, dan BPRS maka pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat juga semakin meningkat. Kegiatan penyaluran dana perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan meningkat secara signifikan. Peningkatan pembiayaan ini mengindikasikan 12 Revenue sharing atau bagi hasil adalah pola penghitungan pembagian pendapatan berdasarkan total pengelolaan pendapatan mudharabah.

peningkatan kinerja sektor riil, mengingat bahwa pembiayaan perbankan syariah sebagian besar disalurkan ke sektor riil. Membaiknya kinerja sektor riil terutama didukung semakin kondusifnya perekonomian nasional pasca krisis, menguatnya kinerja ekspor dan dukungan pemerintah. 13 Jika pada tahun 2005 total dana yang disalurkan melalui berbagai produk pembiayaan oleh BUS, baik dalam bentuk rupiah maupun valas berjumlah 16 miliar 132 juta rupiah. Lima tahun kemudian meningkat menjadi 76 miliar 602 juta rupiah. Sedangkan, pembiayaan pada trimester tiga tahun 2011, telah disalurkan sebanyak 80 miliar 484 juta rupiah. Sementara itu pembiayaan BPRS, pada tahun 2005 baru mencapai 417 juta rupiah. Di penghujung 2010 telah mampu menyalurkan pembiayaan sebesar 2 miliar 60 juta rupiah. Pada September 2011 angka ini tumbuh sebesar 5,1% sehingga total pembiayaan menjadi 2 miliar 563 juta rupiah. Berikut tabel perkembangan jumlah pembiayaan yang disalurkan bank syariah kurun waktu tujuh tahun terakhir. Tabel 2. Data Pembiayaan Bank Syariah Tahun Pembiayaan (Miliar rupiah) BUS UUS BPRS 2005 16.132 4.09 417.282 2006 19.839 6.087 615.489 2007 25.663 10.099 890.709 2008 33.026 15.238 1.256.610 2009 46.386 17.969 1.586.919 2010 76.602 11.282 2.060.437 Sep-2011 80.484 17.956 2.563.432 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia. 2. Gambaran Umum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Secara umum pertumbuhan volume usaha BPRS tumbuh dengan sangat pesat. Berdasarkan tabel 3 profil keuangan, tahun 2007 aset BPRS baru mencapai angka 1 miliar 200 juta rupiah, angka ini meningkat sekitar 62% dibanding periode yang sama dua tahun sebelumnya yaitu 585 juta rupiah. Pada tahun 2010 volume usaha BPRS terus naik mencapai angka 2 miliar 738 juta 13 Direktorat Perbankan Syariah, Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, http//www.bi.go.id, (diakses pada tanggal 10 April 2012), h. 35.

rupiah atau naik sekitar 150% dari periode yang sama tahun 2007. Sedangkan pada trimester ketiga 2011 aset naik 54% dengan pencapaian angka 3 miliar 284 juta rupiah dari trimester terakhir 2010. Pertumbuhan volume usaha yang cukup signifikan ini didukung oleh pertumbuhan dana pihak ketiga dan pembiayaan. Sehingga, efektivitas fungsi intermediasi BPRS tetap terjaga dan mampu memanfaatkan potensi perekonomian nasional yang mulai membaik. Berikut gambar pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan. 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Aset Pembiayaan DPK Gambar 1. Perkembangan aset, DPK dan pembiayaan Sebagai penghimpun dana pertumbuhan setiap bank dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat, baik skala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah yang paling utama berhubungan dengan dana, karena tanpa dana bank tidak akan berfungsi apa-apa. 14 Oleh karena itu, bank syariah menghimpun dana masyarakat melalui dana pihak ketiga (DPK) 15 dalam bentuk; titipan, simpanan/investasi, dan partisipasi modal. Kemampuan bank syariah dalam menghimpun dana tidak perlu diragukan. Kinerja penghimpunan dana BPRS memang tidak secepat kinerja pertumbuhan pembiayaan. Tahun 2006 jumlah DPK yang terhimpun sebesar 717 juta rupiah atau naik sebesar 18% dari periode yang sama di 2005. Angka penghimpunan dana naik sekitar 27% dari tahun 2008 ke 2009 sehingga angka 14 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 47. 15 Selanjutnya dalam penelitian ini DPK digunakan untuk menyebutkan Dana Pihak Ketiga.

yang tercapai menjadi 1 miliar 250 juta rupiah. Kenaikan 35% terjadi dari 2009 ke 2010, dengan angka 1 miliar 603 juta rupiah. Akan tetapi, pertumbuhan DPK turun di akhir 2011, yaitu menjadi 29% atau hanya 1 miliar 902 juta rupiah. Salah satu alasan yang mendorong pertumbuhan DPK naik adalah kompetitif bagi hasil yang ditawarkan BPRS bagi nasabah, meski secara umum suku bunga pihak ketiga yang diberikan bank konvensional naik, namun peningkatan kinerja pembiayaan telah menjadi faktor penting penyebab bagi hasil tinggi. Secara teori, peningkatan DPK jika tidak diimbangi dengan penyaluran pembiayaan akan berdampak pada tingkat profitabilitas bank. Akan tetapi, efektivitas intermediasi BPRS tetap terjaga bahkan terus meningkat dengan financing to deposit ratio (FDR) selalu di atas 100%. Tabel 3. Profil Keuangan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Tahun Keterangan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total Aset 585.467 906.325 1.207.198 1.693.363 2.122.187 2.738.745 3.284.235 Tot.Pembiayaan 417.282 615.489 890.709 1.256.610 1.586.919 2.060.437 2.563.432 Total DPK 340.892 529.821 717.858 975.815 1.250.603 1.603.778 1.902.369 FDR 122.41% 118.10% 124.06% 128.78% 126.89% 128.47% 134.75% CAR - - 34.72% 30.28% 29.98% 27.46% 24.75% ROA 4.05% 3.79% 3.21% 2.76% 5.00% 3.49% 2.80% ROE 11.21% 9.82% 11.21% 14.77% 21.55% 14.29% 19.30% BOPO 70.63% 77.33% 76.58% 80.65% 64.69% 78.08% 75.75% NPF(nominal) 45.501 51.096 72.349 105.322 111.613 133.872 177.918 NPF(persentase) 10.90% 8.30% 8.11% 8.38% 7.03% 6.50% 7.05% Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia. Sejauh ini produk pembiayaan dengan sistem bagi hasil seolah-olah tidak berdaya untuk menjadi unggulan operasional perbankan syariah. Sehingga pembiayaan dengan sistem jual beli menjadi pengganti sebagai produk inti dari operasional bank syariah. Pembiayaan dengan sistem jual beli meliputi; murabahah, salam, dan istishna. Tercatat dalam data statistik Bank Indonesia yang tergambar dari tabel 4 di bawah ini, bahwa pembiayaan murabahah masih tetap menjadi unggulan perbankan syariah, termasuk BPRS. Memasuki akhir tahun 2005, pembiayaan murabahah pada BPRS sudah mencapai angka 337 juta rupiah, sedangkan musyarakah dan mudharabah

masing-masing baru bernilai 40 juta rupiah dan 24 juta rupiah. Pertumbuhan murabahah yang sangat signifikan terjadi pada akhir 2008, mencapai 1 miliar rupiah atau naik sebesar 30% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan total pembiayaan bagi hasil pada periode yang sama hanya berkisar 197 juta rupiah. Memasuki September 2011 penyaluran pembiayaan murabahah tumbuh lebih dari 100% dibanding akhir 2008, sehingga mencapai angka di atas 2 miliar rupiah. Sedangkan pada periode yang sama pembiayaan dengan skim bagi hasil hanya tumbuh 33% atau menjadi 333 juta rupiah. Tabel 4. Komposisi Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Pembiayaan Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sep 2011 Mudharabah 24.237 26.351 41.714 42.952 52.781 65.471 77.476 Musyarakah 40.005 65.324 90.483 113.379 144.969 217.954 255.598 Murabahah 337.566 505.633 716.240 1.011.743 1.269.900 1.621.626 2.031.305 Salam 30 30 0 38 105 45 51 Istisna 1.844 1.351 13.467 24.683 32.766 27.598 23.798 Ijarah 6.816 6.783 3.681 5.515 7.803 13.499 15.695 Qardh 6.686 9.969 19.038 40.308 50.018 63.000 75.498 Multijasa 0 0 6.106 17.985 28.578 51.344 79.051 Total 417.282 615.489 890.709 1.256.610 1.586.919 2.060.437 2.563.432 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia. Fenomena seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada perbankan syariah di Indonesia saja, namun juga terjadi pada keseluruhan bank syariah di dunia. Bahkan sejak awal tahun 1984 pembiayaan dengan akad murabahah di Pakistan mencapai sekitar 87% dari total pembiayaan dalam investasi deposito profit and loss sharing. Di Dubai Islamic Bank, pembiayaan murabahah mencapai 82% dari total pembiayaan selama tahun 1989. Di Islamic Development Bank (IDB), selama kurang lebih 10 tahun sebanyak 73% dari seluruh pembiayaan adalah menggunakan akad murabahah, yaitu dalam bentuk pembiayaan dagang luar negeri. Meskipun demikian, hal ini tidak menjadi persoalan inti bagi perbankan syariah. Sah-sah saja jika portofolio pembiayaan pada bank syariah didominasi akad murabahah. Beberapa alasan yang melatarbelakangi kondisi ini, antara lain: pertama, murabahah relatif lebih mudah dengan risiko lebih rendah dibanding dengan pembiayaan mudharabah dan musyarakah; kedua, mark-up

dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan bank konvensional; ketiga, murabahah menjauhkan dari adanya ketidakpastian pendapatan; keempat, murabahah tidak memberi kemungkinan bagi bank untuk mencampuri urusan manajemen nasabah; dan kelima, paradigma berpikir masyarakat yang masih terpaku pada bank konvensional dalam menyalurkan pinjaman atau kredit. Terjadinya pergeseran posisi utama atas pembiayaan dengan basis bagi hasil menjadi pembiayaan berbasis jual beli, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: 16 pertama, risiko investasi relatif tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi; kedua, masalah principal-agent, dimana mudharib tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan shahibul maal; ketiga, kompetensi sumber daya manusia perbankan syariah yang masih rendah untuk melakukan investasi pola bagi hasil; dan keempat, ketidaktersediaan informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor industri yang menjadi target investasi. Selain beberapa indikator yang telah dipaparkan di atas, peningkatan kinerja BPRS juga tercermin dari angka pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF). 17 Kondisi ini menunjukkan bahwa BPRS semakin hati-hati dalam menyalurkan pembiayaan serta kemampuan pengelolaan risiko yang semakin membaik. Berikut gambar yang menunjukkan kondisi NPF BPRS selama beberapa tahun terakhir. 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 Pembiayaan NPF 500000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 16 Laporan Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: 2002), h. 15. 17 Untuk selanjutnya dalam penelitian ini NPF digunakan untuk menyebutkan non performing financing.

Gambar 2. Perkembangan Pembiayaan dan NPF Rasio NPF atau pembiayaan bermasalah BPRS posisi Desember 2005 masih cukup tinggi, mencapai angka 45 juta rupiah atau pada level 10.90% dengan jumlah pembiayaan 417 juta rupiah. Kondisi ini terus mengalami penurunan, hingga pada akhir 2007 level NPF berada pada angka 8.11% atau 72 juta rupiah disaat pencapain pembiayaan sebesar 890 juta rupiah. Akan tetapi, periode yang sama tahun 2008 NPF kembali naik pada level 8.38% atau 105 juta dengan pembiayaan 1 miliar 256 juta rupiah. Dua tahun kemudian, periode yang sama di 2010 kembali menurun mencapai level 6.50% atau 133 juta dengan pembiayaan lebih dari 2 miliar rupiah. Memasuki trimester terakhir 2011, level NPF kembali meningkat menjadi 7.05% atau 177 juta dan pembiayaan 2 miliar 563 juta rupiah. Menurut Direktorat Perbankan Syariah, salah satu hal yang menjadi permasalahan bagi BPRS selama beberapa tahun terakhir adalah berkaitan dengan risiko kredit dan risiko operasional. Risiko pembiayaan BPRS cenderung meningkat antara lain disebabkan oleh mekanisme penyaluran pembiayaan yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) terutama analisis kondisi usaha dan kemampuan keuangan calon nasabah yang relatif masih lemah dan hanya mengandalkan agunan, distribusi penyaluran pembiayaan belum merata dan terpusat pada nasabah inti yang sebagian di antaranya dilakukan dengan praktek-praktek yang tidak sehat dalam rangka menghindari pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) melalui pemecahan rekening atau atas nama orang lain. 18 Aspek operasional, beberapa bank masih mengalami kendala dalam penghimpunan dana dari masyarakat yang relatif aman dan murah, sehingga sumber dana berasal dari antar bank berupa penempatan maupun pembiayaan yang relatif berbiaya lebih tinggi dan sangat mempengaruhi kondisi likuiditas bank. Selain itu permasalahan utama yang masih dihadapi adalah persaingan yang semakin ketat baik dari perbankan maupun lembaga keuangan non bank, 18 Direktorat Perbankan Syariah, Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, http//www.bi.go.id, (Diakses tanggal 10 April 2012), h. 25.

kualitas sumber daya manusia BPRS yang belum memadai, serta penerapan good corporate governance oleh BPRS yang masih rendah. 19 Terkonsentrasinya pembiayaan BPRS membuat risiko kredit dapat bersifat sistematik dan berdampak pada laba rugi bank serta kecukupan permodalan. Memburuknya kualitas aktiva produktif tentu akan mengurangi laba dan berdampak pada aspek permodalan BPRS yang tercermin dari angka CAR. 20 Selama lima tahun terakhir rasio CAR terus mengalami penurunan, meski masih berada di atas batas ketentuan. Kecukupan modal minimum BPRS tahun 2007 mampu mencapai angka 34.72%. Akan tetapi di akhir 2009 turun sekitar 4.7% sehingga menjadi 29.98%. Persentase ini terus menggalami penurunan hingga memasuki semester empat 2011 menjadi 24.75% atau turun sebesar 10% dari periode yang sama tahun 2005. Peningkatan pertumbuhan pembiayaan disertai dengan membaiknya kinerja pembiayaan tersebut telah mampu meningkatkan profitabilitas BPRS, sebagaimana hal ini tercermin dari Return On Asets (ROA) dan Return On Equity (ROE). Membaiknya kinerja pembiayaan tercermin dari persentase NPF. Sedangkan penurunan beban biaya yang dicadangkan untuk penyisihan penghapusan aktiva produktif tercermin dari angka Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO). Berikut gambaran profitabilitas dan permodalan BPRS. 19 Ibid., h. 26. Ratio. 20 Untuk selanjutnya dalam penelitian ini CAR digunakan untuk menyebutkan Capital Adequacy

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 3. Profitabilitas dan Permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat muslim belum seutuhnya menggunakan bank syariah sebagai mitra semata-mata karena alasan halal-haram saja. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pembiayaan atau nasabah yang ingin memperoleh pembiayaan dari bank syariah di saat suku bunga fluktuatif. Tingkat suku bunga yang relatif tidak berubah dengan kondisi perekonomian yang semakin baik pada dasarnya akan menguntungkan posisi perbankan syariah, khusus dalam hal daya saing produk pendanaan. Karena pertumbuhan ekonomi yang membaik merepleksikan kerja sektor riil nasional yang juga membaik. Dimana kinerja tersebut akan tergambar dari tingkat return (bagi hasil) produk pendanaan yang semakin kompetitif. Jika nasabah pendanaan bank, khusus nasabah mengambang (floating customers) mengalihkan dananya ke bank syariah yang menawarkan return lebih tinggi, maka diperkirakan kondisi ini dapat mendorong pertumbuhan DPK BPRS, meskipun sangat tergantung pada upaya pemerintah dalam memelihara tingkat inflasi. Berikut data yang menggambar suku bunga/bi rate dan margin murabahah BPRS empat tahun terakhir. CAR ROA ROE BOPO NPF

25.00% 20.00% 15.00% 10.00% TSB MRG 5.00% 0.00% 2008 2009 2010 2011 Gambar 4. Perkembangan BI rate dan Margin Murabahah Disisi lain perubahan suku bunga atau BI rate secara tidak langsung tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap penetapan margin murabahah, karena margin murabahah ditetapkan di awal pembiayaan tanpa bisa diubah sebelum jatuh tempo, meski suku bunga berubah. Namun demikian secara tidak langsung tetap memiliki pengaruh terhadap jumlah pembiayaan melalui dana pihak ketiga. Dilatarbelakangi berbagai permasalahan di atas, maka penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Murabahah Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah menarik untuk diteliti. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, terdapat beberapa faktor atau variabel yang mempengaruhi pembiayaan murabahah pada perbankan syariah, faktor tersebut antara lain: 1. Persentase margin murabahah, 2. Jumlah dana pihak ketiga (DPK), 3. Jumlah non performing financing (NPF), 4. Persentase ketersediaan modal minimum/car, 5. Tingkat suku bunga/bi rate.

Variabel persentase margin murabahah adalah besarnya tingkat persentase keuntungan yang diharapkan (margin) yang ditetapkan BPRS setiap bulan terhadap jenis pembiayaan murabahah. Variabel jumlah DPK adalah seluruh jumlah dana pihak ketiga yang dapat dihimpun BPRS baik dari produk giro, deposito atau tabungan dalam bentuk rupiah dan valas. Variabel NPF adalah sejumlah pembiayaan bermasalah yang meliputi kolektibilitas dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet setiap bulan pada BPRS. Variabel modal minimum/car adalah besarnya persentase ketersediaan modal minimum dan tergambar dari nilai CAR BPRS setiap bulan. Variabel suku bunga/bi rate adalah persentase suku bunga yang ditetapkan bank Indonesia sebagai acuan bagi dunia perbankan dalam mengambil berbagai kebijakan. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan dibatasi pada enam variabel yaitu lima variabel bebas (dependent variable) dan satu variabel terikat (independent variable). Variabel bebas terdiri dari Margin, DPK, NPF, CAR, dan Tingkat Suku Bunga. Sedangkan variabel terikat adalah pembiayaan murabahah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Variabel margin adalah persentase margin murabahah yang ditetapkan BPRS setiap bulan selama periode 2008-2011. Variabel DPK adalah seluruh jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun BPRS selama periode 2008-2011. Variabel NPF adalah seluruh jumlah pembiayaan bermasalah yang meliputi kolektibilitas dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet pada BPRS selama periode 2008 sampai 2011. Variabel CAR adalah persentase modal minimum/car yang dimiliki BPRS setiap bulan selama periode 2008 sampai 2011. Variabel suku bunga/bi rate adalah persentase suku bunga yang ditetapkan bank Indonesia periode 2008 sampai 2011.

Variabel pembiayaan murabahah adalah jumlah dana yang telah disalurkan BPRS melalui akad murabahah selama periode 2008 sampai 2011. D. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah Margin, DPK, NPF, CAR, dan tingkat suku bunga secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembiayaan murabahah pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah? E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Margin, DPK, NPF, CAR, dan tingkat suku bunga secara bersama-sama