PILIHAN KEBIJAKAN UNTUK PENYELAMATAN RAMIN DI INDONESIA 1)

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI, PERTUMBUHAN, DAN REGENERASI RAMIN (Gonystylus spp.) DI HUTAN ALAM DI INDONESIA 1)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia DAFTAR PUSTAKA

PETA lalan MENU1U PENGELOLAAN RAMIN

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN RAMIN 1)

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

PENDAHULUAN Latar Belakang

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

Disampaikan Pada Acara :

Kota, Negara Tanggal, 2013

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT DI INDONESIA : KONDISI TERKINI DAN UPAYA REHABILITASI FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV APLIKASI PERMASALAHAN

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERDAGANGAN RAMIN (Gonystylus bancanus): PERSYARATAN CITES, JATAH TEBANGAN DAN EKSPOR

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

BUDIDAYA JELUTUNG RAWA (Dyera lowii Hook.F)

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen

RESPONS PERTUMBUHAN ANAKAN JELUTUNG MERAH

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) DI KHDTK TUMBANG NUSA, KALTENG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

Beberapa Permasalahan di Hutan dan Lahan Gambut

PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

I. PENDAHULUAN. karet dunia dengan mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

SUMBER BENIH RAMIN UNTUK MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI JENIS LANGKA RAWA GAMBUT KALIMANTAN TENGAH

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. maupun internasional. Menurut Departemen Kehutanan (Nadeak, 2009) sampai

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

Transkripsi:

PILIHAN KEBIJAKAN UNTUK PENYELAMATAN RAMIN DI INDONESIA 1) Oleh: Slamet Riyadhi Gadas 2) PENDAHULUAN Ramin adalah nama dagang salah satu jenis kayu dari Indonesia yang banyak diperdagangkan di dunia. Pohon ramin berasal dari genus Gonystylus, yang diperkirakan terdiri dari 20 30 jenis (species) akan tetapi hanya sekitar 10 jenis yang menghasilkan kayu dengan sebutan ramin. Di Indonesia jenis pohon ramin yang paling banyak dipanen dan diperdagangkan adalah dari jenis Gonystylus bancanus (Kade Sidiyasa, 2005; Tukirin Partomihardjo 2005). Di Indonesia pohon ramin jenis Gonystylus bancanus banyak tumbuh pada hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan. Di pulau Sumatera ramin banyak dijumpai pada hutan rawa gambut di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, sedangkan di Kalimantan banyak ditemukan di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kayu ramin mempunyai warna yang cerah, dengan tekstur agak halus dan merata serta mudah pengerjaannya, sehingga banyak digunakan untuk pembuatan furniture, komponen perumahan dan konstruksi ringan. Karena harga jual yang tinggi dan banyak diminati oleh industri pengolahan kayu di dunia, maka kayu ramin banyak dipanen. Akan tetapi pemanenannya dilakukan tanpa memperhatikan kaidah penyelamatan atau pelestariannya. Upaya peremajaan tegakan ramin melalui tanaman perkayaan juga belum dilakukan dengan baik. Akibatnya keberadaan pohon ramin di hutan produksi semakin langka. Ancaman terhadap kelestarian tegakan ramin semakin meningkat dengan maraknya kegiatan pembalakan liar (illegal logging) dan alih guna kawasan hutan yang tak terkendali setelah era refromasi tahun 1998. Penebangan 1 Disampaikan pada Workshop Nasional Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin, Bogor, 22 Pebruari 2006 2 Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi & Kebijakan Kehutanan 101

PROSIDING Workshop Nasional 2006 secara liar kayu ramin tidak hanya terjadi di hutan produksi, tetapi sudah merambah ke hutan lindung dan kawasan pelestarian, seperti yang terjadi di taman nasional Berbak (Jambi), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Gunung Palung dan Danau Sentarum (Kalimantan Barat). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan tegakan ramin, mulai dari pengendalian pembalakan, operasi pemberantasan pembalakan liar dan penyelundupan kayu, pengembangan teknik budidaya, serta pengendalian perdagangan antar bangsa dengan memasukkan ramin sebagai mata dagang yang dilindungi dalam Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) Appendix II, namun upaya tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Sampai saat ini, penebangan tegakan ramin di kawasan hutan masih berlanjut, termasuk di kawasan penyelamatan. Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan secara ringkas beberapa pilihan kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah, terutama Departemen Kehutanan, untuk menyelamatkan keberadaan tegakan jenis ramin di Indonesia. POTENSI, PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN RAMIN Sumatera dan Kalimantan adalah dua pulau besar di Indonesia yang menjadi tempat tumbuh jenis Ramin di Indonesia. Vegetasi pada hutan rawa gambut di kedua pulau tersebut memang ditumbuhi pohon jenis ramin dengan potensi yang cukup tinggi di samping pohon dari jenis Dipterokarpa. Berdasarkan hasil kajian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (2005) terhadap laporan cruising beberapa perusahaan hak pengusahaan hutan diketahui bahwa tegakan ramin di hutan produksi di Sumatera tersebar di Riau (di wilayah kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Bengkalis, Dumai, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak dan Pelalawan) dan di Jambi (kabupaten Tanjung Jabung), sedangkan di Kalimantan tersebar di Kalimantan Barat (terutama di wilayah kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, dan Ketapang) dan di Kalimantan Tengah (di wilayah kabupaten Kota Waringin Barat, Kota Waringin Timur, Palangkaraya dan Barito Selatan). Tegakan ramin juga banyak tersebar di kawasan pelestarian, misalnya di suaka margasatwa Kerumutan, Danau Pulau Besar, Bukit Batu (di Riau), taman nasional Berbak (Jambi), taman nasional Sembilang dan suaka margasatwa Padang Sugihan (Sumatera Selatan), suaka alam Muara Kendawangan, taman nasional Gunung Palung dan Danau Sentarum (Kalimantan Barat), taman nasional Tanjung Puting dan Sebangau (Kalimantan Tengah). 102

Menurut Lim, Suhartono dan Chen (2004) pembalakan (logging) ramin di Indonesia dan Malaysia sudah dilakukan sejak tahun 1930-an. Akan tetapi produksi kayu bulat ramin di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hasil kajian Bismark et al (2005) menunjukkan bahwa pada tahun 1995/1996 produksi kayu bulat ramin dari lima provinsi di Indonesia (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah) mencapai sekitar 660 ribu m 3, tetapi tahun 2000 produksinya menurun menjadi sekitar 130 ribu m 3, dan tahun 2004 produksi yang dilaporkan hanya sekitar 5.000 m 3. Pada awal tahun 1980-an kayu ramin merupakan salah satu andalan ekspor kayu gergajian Indonesia. Sekitar tahun 1983 rata-rata volume ekspor tahunan sekitar 600 ribu m 3 dengan nilai ekspornya USD 119 juta (Bismark et al, 2005). Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi kayu bulat ramin pada tahun tersebut mencapai sekitar 1,5 juta m 3. Kayu olahan ramin dari Indonesia sebagian besar diekspor ke Jepang, Taiwan, Itali, Singapura, Cina dan USA. Akan tetapi ekspor kayu ramin terlihat cenderung menurun dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor kayu gergajian ramin tahun 1995 hanya bernilai USD 22 juta, dan pada tahun 2001 nilai ekspor tersebut menjadi hanya sekitar USD 3,5 juta. Lim, Suhartono dan Chen (2004) memperkirakan turunnya produksi dan ekspor kayu ramin yang resmi tersebut disebabkan potensi kayu ramin yang layak tebang di hutan alam berkurang akibat pembalakan yang tak terkendali dan peremajaannya yang kurang berhasil, serta adanya pembatasan (quota) terhadap volume kayu ramin yang dapat dipanen. Kajian Bismark et al (2005) memperlihatkan bahwa potensi kayu ramin pada tahun 1983 ditaksir sekitar 89 juta m 3 untuk pohon dengan garis tengah 50 cm atau lebih, dan sekitar 131 juta m 3 untuk yang garis tengahnya 35 cm atau lebih. Dengan berkurangnya luas hutan rawa gambut dan kegiatan pembalakan ramin yang tak terkendali potensi kayu ramin dengan garis tengah 35 cm atau lebih ditaksir hanya tinggal sekitar 15 juta m 3. Setelah era pembaruan kegiatan pembalakan liar menjadi semakin sulit dikendalikan, termasuk pembalakan tegakan ramin. Bahkan pembalakan liar tersebut tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi sudah merambah ke kawasan hutan yang seharusnya diselamatkan, seperti hutan lindung, suaka alam dan taman nasional. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan tegakan ramin telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. 103

PROSIDING Workshop Nasional 2006 UPAYA PENYELAMATAN RAMIN Upaya penyelamatan tegakan ramin sudah dimulai dengan pengaturan teknik penebangan melalui sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dimana ada ketentuan rotasi tebang (cutting cycle), pohon yang boleh ditebang dibatasi ukuran garis tengah setinggi dada-nya (40 cm atau lebih), jumlah pohon yang boleh ditebang per hektar juga dibatasi, adanya kewajiban memelihara pohon inti, melakukan tanaman perkayaan pada daerah tertentu, dan menerapkan teknik pembalakan yang ramah lingkungan. Apabila aturan-aturan tersebut diterapkan secara benar diharapkan tegakan ramin akan terpelihara dan peremajaannya akan berlangsung dengan baik, sehingga pada rotasi berikutnya sudah tersedia pohon yang layak untuk dipanen kembali. Terhadap kegiatan pembalakan liar pemerintah juga sudah melakukan berbagai upaya untuk memberantas pembalakan dan perdagangan kayu liar, antara lain melalui pembentukan tim pengamanan hutan terpadu (TPTH), berbagai bentuk operasi penanggulangan pembalakan liar dan penyelundupan kayu, misalnya operasi Wanalaga dan Wanalestari. Untuk menyelamatkan tegakan ramin pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan jenis ramin dalam Appendix III CITES yang berlaku resmi sejak 6 Agustus 2001 (Samedi, 2005). Sejalan dengan upaya tersebut, dilakukan penghentian sementara (moratorium) penebangan ramin melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/2001, kecuali untuk HPH yang mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan alam lestari. Upaya penyelamatan ramin dilakukan lebih lanjut dengan melakukan pelarangan ekspor kayu gergajian ramin (dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 1613/2001). Akan tetapi upaya tersebut belum memuaskan hasilnya. Pembalakan liar dan penyelundupan ramin ke luar negeri dalam bentuk kayu bulat maupun olahan tetap berlanjut. Oleh sebab itu pada bulan Oktober 2004 Pemerintah Indonesia mengusulkan jenis ramin dimasukkan dalam Appendix II CITES. Usulan tersebut diterima dan berlaku resmi 15 Januari 2005. Sejak dimasukkannya ramin dalam Appendix III CITES, ijin penebangan ramin hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sertifikasi pengelolaan hutan alam lestari. Sampai saat ini di Indonesia hanya PT. Diamond Raya Timber di Riau yang memenuhi syarat tersebut. Karena areal HPH perusahaan tersebut mempunyai potensi ramin yang cukup besar maka hanya perusahaan tersebut mendapatkan ijin pemanenan ramin di bawah pengawasan CITES (Tukirin Partomihardjo, 2005). 104

Upaya penyelamatan ramin melalui pembudidayaan juga dikembangkan. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Hutan Tanaman di Banjarbaru dan berbagai lembaga penelitian menunjukkan bahwa bibit ramin dapat diperbanyak melalui teknik stek pucuk (Istomo, 2005). Hal tersebut tentunya sangat membantu mengatasi masalah pembibitan ramin, mengingat bahwa ramin tidak berbuah sepanjang tahun dan bijinya tidak tahan lama untuk dapat disimpan. Sekalipun teknik budidaya ramin tidak terlalu sulit, namun pengembangan tanaman ramin belum menarik karena jenis tersebut lambat pertumbuhannya. Kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan atau riap garis tengah jenis ramin hanya sekitar 0,5 cm per tahun, artinya diperlukan waktu sekitar 80 tahun agar pohon ramin mencapai garis tengah sekitar 40 cm. Uraian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa berbagai kebijakan dan upaya telah dilakukan untuk melestarikan ramin, namun sebagaimana dinyatakan oleh Tukirin Partomihardjo (2005) kebijakan dan upaya tersebut belum berhasil menghadapi ancaman kepunahan jenis ramin. Pada kenyataannya penebangan kayu secara liar di hutan produksi dan kawasan pelestarian, termasuk penebangan di hutan rawa gambut yang merupakan tempat tumbuhya utama ramin, masih berlanjut. PILIHAN KEBIJAKAN PENYELAMATAN RAMIN Untuk dapat menyelamatkan tegakan atau pohon ramin, maka ada beberapa pilihan kebijakan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan. 1. Memacu penerapan pengelolaan hutan alam secara lestari pada areal pengusahaan hutan yang masih mempunyai potensi tegakan ramin cukup tinggi. Pada saat ini hanya ada satu perusahaan yang dinilai mampu melakukan secara lengkap dan benar dalam pengelolaan hutan alam secara lestari. Untuk itu Departemen Kehutanan harus melakukan inventarisasi ulang (re-inventory) terhadap hutan produksi rawa gambut untuk mengetahui potensi tegakan raminnya. Bila tegakan ramin masih cukup banyak dan layak secara ekonomis, maka segera ditawarkan kepada perusahaan atau badan usaha untuk melakukan pengelolaan atau pemanfaatan kayu di hutan produksi tersebut, dan dibina agar mampu menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan alam lestari. Intinya, Departemen Kehutanan harus dapat memperbanyak jumlah badan atau unit usaha yang dapat mengelola atau memanfaatkan tegakan ramin di hutan produksi. 105

PROSIDING Workshop Nasional 2006 2. Menetapkan beberapa areal hutan rawa gambut untuk menjadi kawasan yang dilindungi sebagai sumber benih/bibit ramin. Sebagian areal hasil inventarisasi ulang yang mempunyai potensi tegakan ramin cukup baik bila perlu ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi untuk sumber benih atau bibit. Penetapan areal perlu tersebar diberbagai wilayah agar benih/bibit yang dikembangkan mempunyai sifat genetik yang cukup beragam. Areal sumber benih/bibit ini harus diamankan secara intensif dari pencurian kayu raminnya. 3. Melakukan pemulihan kembali hutan sekunder pada hutan rawa gambut dengan pembinaan permudaan alam ramin atau penanaman. Karena cukup banyak hutan produksi di areal rawa gambut, yang pada mulanya banyak menghasilkan ramin, telah menjadi hutan sekunder maka Departemen Kehutanan perlu memulihkan kembali hutan tersebut menjadi hutan produksi ramin yang potensi raminnya seperti semula atau lebih tinggi. Hal ini hanya mungkin dilakukan apabila dilakukan pembinaan intensif terhadap permudaan alam yang tersedia atau dilakukan penanaman pengkayaan (enrichment planting) secara tersebar merata atau dalam jalur. Kegiatan in tampaknya hanya mungkin dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha pemerintah (pusat ataupun daerah), sebab sangat sulit diharapkan kemauan tersebut datang dari usaha swasta, mengingat perlu waktu lama untuk dapat memanen kayunya. Departemen Kehutanan harus mengusahakan agar dana reboisasi yang didapat dari pemanenan hutan alam, khususnya dari pemanenan kayu ramin, kembali dalam porsi cukup besar untuk memulihkan tegakan ramin. 4. Memulihkan kembali tegakan ramin di kawasan pelestarian Kawasan hutan rawa gambut yang seharusnya dilindungi, seperti cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional, cukup banyak yang rusak karena pembalakan liar untuk mencuri kayu ramin. Seperti halnya butir 2 di atas, kawasan tersebut perlu dipulihkan kembali dengan pembinaan intensif terhadap permudaan alam atau penanaman. Kegiatan pemulihan tegakan ramin tampaknya ini juga harus dilakukan oleh pemerintah atau badan/unit usaha yang ditunjuk oleh pemerintah guna melakukan upaya pemulihan tegakan ramin, tentunya dengan dana dari pemerintah. Setelah tegakan ramin dapat dipulihkan maka tegakan tersebut kelak tidak untuk dipanen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk sumber bibit. 5. Mengembangkan jenis pohon yang dapat menggantikan kayu ramin. Falsafah dari kebijakan ini adalah membanjiri pasokan kayu dengan jenis kayu yang mempunyai corak dan sifat pengerjaan serupa dengan kayu ramin, tentunya dengan harapan bahwa upaya tersebut dapat mengurangi tekanan terhadap permintaan kayu ramin. Beberapa 106

penelitian menunjukkan bahwa kayu karet (Hevea brasiliensis), pulai (Alstonia sp.), jelutung (Dyera sp.), pinus (Pinus merkusii), agatis (Agathis sp.) dan perupuk (Lophopetalum sp.), mempunyai kemiripan warna, arah serat dan tekstur dengan kayu ramin. Jenis-jenis tersebut juga tidak sulit dibudidayakan dan lebih cepat tumbuh dibandingkan pohon ramin, sehingga lebih menarik untuk dikembangkan menjadi hutan tanaman. KESIMPULAN DAN SARAN Ramin adalah jenis kayu perdagangan Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Jenis yang banyak tumbuh di hutan rawa gambut tersebut saat ini terancam kelestariannya karena pembalakan yang tak terkendali maupun perusakan terhadap kawasan tempat tumbuhnya. Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah, melalui pengendalian pembalakan, operasi pemberantasan illegal logging dan perdagangan illegal, pengendalian perdagangan internasional dengan memasukkan jenis ramin dalam Appendix II CITES, penerapan sertifikasi pengelolaan hutan alam lestari, dan pengembangan budidaya ramin, namun upaya tersebut belum mampu menahan ancaman kepunahan jenis ramin. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan perlu mengambil beberapa kebijakan penting untuk menyelamatkan tegakan ramin di Indonesia, yaitu: 1. Memacu penerapan sistem pengelolaan hutan alam lestari untuk hutan produksi rawa gambut penghasil ramin; 2. Menetapkan beberapa areal hutan rawa gambut untuk sumber benih/ bibit ramin; 3. Melakukan rehabilitasi terhadap hutan produksi sekunder di areal hutan rawa gambut; 4. Melakukan rehabilitasi terhadap kawasan penyelamatan/pelestarian yang rusak akibat pembalakan ramin; 5. Mengembangkan atau membudidayakan jenis-jenis pohon yang kayunya dapat menggantikan ramin. Agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat berjalan baik maka unsur-unsur di Departemen Kehutanan perlu bersatu untuk dapat memahami dan melakukan peran sesuai mandat, fungsi dan tanggung jawabnya. Departemen Kehutanan juga harus menjalin kerjasama erat dan membangun kesepahaman dengan pemerintah daerah, lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi dan kelompok-kelompok masyarakat. 107

PROSIDING Workshop Nasional 2006 BAHAN ACUAN Bismark et al (2005). Potency, Distribution and Conservation of Ramin in Indonesia, Technical Report ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F) Ramin. Forests & Nature Conservation Research and Development Center. Bogor, Indonesia Istomo (2005). Evaluasi Penanaman Ramin di Indonesia: Kendala dan Program Kegiatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Ramin, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September 2005. Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Lim Teck Wyn, Tonny Soehartono and Chen Hin Keong (2004). Framing the Picture: An Assessment of Ramin Trade in Indonesia, Malaysia and Singapore. Traffic Southeast Asia, Kuala Lumpur Malaysia. Partomihardjo, Tukirin (2005). Potret Potensi Ramin di Pulau Sumatera dan Ancaman Kepunahan, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September 2005. Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Samedi (2005). Kontrol Perdagangan Ramin Internasional, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September 2005. Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Sidiyasa, Kade (2005). Potensi Botani, Ekonomi dan Ekologi Ramin, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September 2005. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. 108