BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.21/Menhut-II/2009 TANGGAL : 19 Maret 2009 I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hasil Hutan Non Kayu Hasil hutan dibagi menjadi dua bagian yaitu hasil hutan kayu dan hasil

TINJAUAN PUSTAKA. tropika yang terdiri dari sub ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah, sub

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 21/Menhut-II/2009 TENTANG

TOPIK: PERTANIAN NON PANGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

Gambar 2.5 Diagram Analisis SWOT

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional ini meliputi pengertian yang digunakan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun

KULIAH KE 9: PERTANIAN PANGAN DAN NON-PANGAN KBLI 2009 PENGERTIAN PERTANIAN 9/6/2016 A PERTANIAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN

PELUANG PENGEMBANGAN HHBK PRIORITAS DAERAH DI WILAYAH KPH MODEL DI INDONESIA. TIM PENELITI HHBK DR. TATI ROSTIWATI, M.Si. YETTI HERYATI, S.HUT, M.Sc.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

MATERI 3 ANALISIS PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.

MENGGALAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI PRODUK UNGGULAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

KULIAH KE 9: PERTANIAN PANGAN DAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Tanaman Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB III METODOLOGI. (BPS) dan instansi terkait lainnya. Data yang digunakan adalah PDRB atas dasar

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu

TINJAUAN PUSTAKA Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Defenisi Operasional Penelitian

PERTANIAN NON PANGAN

III. METODE PENELITIAN. survei. Menurut Masri Singarimbun (1989:4), penelitian survei dapat digunakan

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI KAJIAN

ABSTRAK. Kata Kunci: Analisis SWOT, Perencanaan Pemasaran Strategis. Universitas Kristen Maranatha

ANALISIS PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN ISKANDARINI. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

3. METODOLOGI PENELITIAN

PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYUR-SAYURAN DI KABUPATEN KARIMUN RIAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN. I S K A N D A R I N I Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Analisis SWOT (strengths-weaknessesopportunities-threats)

Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi

SURYA AGRITAMA Volume 5 Nomor 2 September 2016 STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA KERUPUK KETELA DI KECAMATAN KEMIRI KABUPATEN PURWOREJO

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

Kayu bawang, faktor-faktor yang mempengaruhi, strategi pengembangan.

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. yang harus di kembangkan dalam Pariwisata di Pulau Pasaran.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Produk Unggulan dan Kriteria Produk Unggulan

Analisis SWOT Deskriptif Kualitatif untuk Pariwisata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GBPP DAN SAP HASIL HUTAN BUKAN KAYU HHT 341

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang

DAFTAR ISI Silvia Sely Murthy, 2014 Analisis rantai nilai dan strategi pengembangan industri kreatif di kota bandung dan cimahi.

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL BISNIS STMIK SUMEDANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT ANALYSIS

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup

Lampiran 1. Indikator dan Parameter Penilaian SWOT pada Pemasaran. Agroindustri Tahu Isi Goreng di Kecamatan Medan Polonia

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL HUTAN NON KAYU:

BAB III. METODE PENELITIAN 1.1. METODE DAN PROSEDUR PELAKSANAAN STUDI. merumuskan studi ini adalah metode deskriptif kualitatif.

2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hi

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

PENDAHULUAN. Supriadi R 1), Marhawati M 2), Arifuddin Lamusa 2) ABSTRACT

KLASIFIKASI BAHAN HASIL PERTANIAN (KULIAH KE 1)

METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TUNJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2017, No Kehutanan tentang Kerja sama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tent

BAB III METODE PENELITIAN

VII. FORMULASI STRATEGI

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem dikarenakan hubungan antara masyarakat tumbuh tumbuhan pembentuk hutan, binatang liar, dan lingkungannya tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan sangat erat kaitannya, serta tidak dapat dipisahkan karena saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Beberapa definisi hutan yang lazim digunakan : 1. Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem (Kadri, dkk 1992). 2. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan di luar hutan (Soerianegara, dkk 1982). 3. Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan yang dinamis (Marit, 2008). Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sedangkan pada pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut : hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Himpunan Peraturan Perundang Undangan Tentang Kehutanan dan Illegal Logging, 2007).

Peranan HHBK akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan HHBK sebagai produk selain kayu yang berasal dari bahan biologis diperoleh dari hutan dan pepohonan yang tumbuh di sekitar hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan semakin cenderung kepada pengelolaan kawasan (ekosistem hutan secara utuh), juga telah menuntut diversifikasi hasil hutan selain kayu (Harun, 2009). Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009, jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu : 1. HHBK Nabati HHBK nabati meliputi semua hasil nonkayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman, dikelompokkan dalam : a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, getah tusam; b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kulit manis, kayu putih, kenanga; c. Kelompok minyak lemak, pati, dan buah buahan, antara lain buah merah, rebung bambu, durian, kemiri, pala, vanili; d. Kelompok tannin, bahan pewarna, dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca, pinang, gambir; e. Kelompok tumbuhan obat obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan; f. Kelompok palma dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tahiti;

g. Kelompok alkaloid, antara lain kina; h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun. 2. HHBK Hewani Kelompok hasil hewan meliputi : a. Kelas hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya). b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, lebah madu). Ada beberapa manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), antara lain : 1. Manfaat HHBK Nabati Berbagai jenis tanaman penghasil HHBK merupakan tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species) yang dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat setempat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Jenis tanaman tersebut diantaranya adalah : a. Jenis tanaman penghasil HHBK sebagai sumber devisa negara yaitu gaharu, jernang, rotan, bambu, nilam, cendana, shellac, vanili, kopal, lada, masoyi, damar, ylangylang, lengkuas dan temu lawak. b. Jenis tanaman penghasil HHBK yang memberikan manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan pendapatan rutin bagi masyarakat sekitar hutan yaitu damar, getah pinus, kayu putih, sagu, kemiri, jelutung, gemor, nilam, lada, kopal, vanili, ylang-ylang, murbei.

c. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk rehabilitasi lahan dan hutan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air adalah agathis, kemiri, pinus, meranti, kayu putih, nimbi, ekaliptus, kelimo, akasia. d. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk mencegah atau mengurangi perladangan berpindah yaitu rotan, jernang, kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, terubuk, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias. e. Jenis tanaman penghasil HHBK untuk mencegah laju urbanisasi dengan menyediakan lapangan pekerjaan dari budidaya tanaman kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias, kenanga. 2. Manfaat HHBK Hewani Pemanfaatan jenis HHBK hewani selama ini masih terbatas pada beberapa jenis hewan dan fokus pengelolaannya masih berorientasi untuk keperluan konservasi. Pemanfaatan HHBK hewani antara lain sebagai penghasil lemak dan protein, bahan kulit, serat hewani dan madu serta beberapa jenis dimanfaatkan untuk hobi dan hiasan atau peliharaan. (Anonimus, 2009a). 2.2 Landasan Teori Pada dasarnya, keberadaan komoditas unggulan pada suatu daerah akan memudahkan upaya pengembangan agribisnis. Hanya saja, persepsi dan memposisikan kriteria serta instrumen terhadap komoditas unggulan belum sama. Akibatnya, pengembangan komoditas tersebut menjadi salah urus bahkan menjadi

kontra produktif terhadap kemajuan komoditas unggulan dimaksud. Berikut adalah pengelompokan komoditas unggulan, sebagai rujukan untuk menempatkan posisi produk agro dari sisi teori keunggulan komoditas, antara lain : a. Komoditas unggulan komparatif : komoditas yang diproduksi melalui dominasi dukungan sumber daya alam, di mana daerah lain tak mampu memproduksi produk sejenis. Atau pula, komoditas hasil olahan yang memiliki dukungan bahan baku yang tersedia pada lokasi usaha tersebut. b. Komoditas unggulan kompetitif : komoditas yang diproduksi dengan cara yang efisien dan efektif. Komoditas tersebut telah memiliki nilai tambah dan daya saing usaha, baik dari aspek kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas dan harga. c. Komoditas unggulan spesifik : komoditas yang dihasilkan dari hasil inovasi dan kompetensi pengusaha. Produk yang dihasilkan memiliki keunggulan karena karakter spesifiknya. d. Komoditas unggulan strategis : komoditas yang unggul karena memiliki peran penting dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Sebagai perbandingan, komoditas unggulan akan lebih mudah dan lebih rasional untuk dikembangkan jika memandang komoditas unggulan dari kebutuhan pasar. Dilihat dari sisi positif, jika mengelompokkan komoditas unggulan berdasarkan potensi pasarnya, mengingat ukuran keberhasilan komoditas unggulan dapat diukur dari perannya dalam memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha. Selain itu, memberikan kontribusi dalam pengembangan struktur ekonomi, dan

pemenuhan kebutuhan masyarakat. Adapun pengelompokan komoditas tersebut, dapat disusun sebagai berikut : a. Komoditas unggulan pasar ekspor : komoditas yang telah mampu memenuhi persyaratan perdagangan di pasar ekspor. Ini menyangkut aspek keamanan, kesehatan, standard, dan jumlah yang memadai, sehingga komoditas tersebut diminati negara pengimpor. b. Komoditas unggulan pasar tradisional : komoditas yang mampu memenuhi keinginan selera konsumen lokal, baik dari aspek cita rasa, bentuk, ukuran, kualitas harga, dan budaya lokal. c. Komoditas unggulan pasar modern : komoditas yang telah memiliki daya saing tinggi dari aspek harga, kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, serta biasa dibutuhkan oleh berbagai kalangan konsumen secara internasional. d. Komoditas unggulan pasar industri : komoditas yang merupakan bahan baku utama industri manufaktur agro. e. Komoditas unggulan pasar antar pulau : komoditas yang dibutuhkan oleh pasar antar pulau karena komoditas tersebut tak mampu diproduksi di pulau tersebut. f. Komoditas unggulan pasar khusus : komoditas yang memang dipesan oleh pasar tertentu lengkap dengan spesifikasinya. (Yuhana, 2008).

Hal terpenting bagi ukuran komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, sangat perlu diketahui apakah komoditas dari hutan tanaman yang ada saat ini memiliki salah satu atau keduanya dari kriteria keunggulan tersebut. Keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman (efisiensi ekonomi) didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas untuk memperoleh keuntungan ekonomi pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi kebijakan). Berbeda dari keunggulan komparatif, maka keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas dalam menghasilkan keuntungan finansial pada pasar yang dihadapi secara riil. Analisis keunggulan kompetitif didasarkan pada sistem harga-harga pada pasar yang berlaku (dihadapi). Hal ini berarti sistem pasar baik pasar input, faktor domestik maupun pasar komoditas telah dipengaruhi oleh intervensi kebijakan pemerintah (Rukmantara, 2006). Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relevan digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (areal tanam atau areal panen), produksi atau produktivitas (Hendayana, 2003). Jenis HHBK unggulan adalah jenis tanaman penghasil HHBK yang dipilih berdasarkan kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan. Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan di setiap kabupaten/kota dan merupakan jenis tanaman yang diprioritaskan untuk dikembangkan baik budidaya, pemanfaatan,

dan pengolahannya sampai dengan pemasarannya sehingga menjadi jenis HHBK yang dapat memberikan kontribusi ekonomi suatu daerah secara berkelanjutan (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009). Strategi berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti seni berperang. Suatu strategi mempunyai dasar dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi, pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan (Umar, 2001). Proses penyusunan perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu : 1. Tahap pengumpulan data 2. Tahap analisis 3. Tahap pengambilan keputusan Tahap pengumpulan data Tahap ini pada dasarnya tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan data internal. A. Matrik Faktor Strategi Eksternal Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih dahulu faktor strategi eksternal (EFAS). Berikut ini adalah cara cara pennetuan faktor strategi eksternal (EFAS) : a. Susunlah dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman).

b. Beri bobot masing masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis. c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating + 4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating + 1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancamannya sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit ratingnya 4. d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). e. Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor faktor strategis eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama (Rangkuti, 2008).

B. Matrik Faktor Strategi Internal Setelah faktor faktor strategis internal suatu perusahaan diidentifikasi, suatu tabel IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor faktor strategis internal tersebut dalam kerangka Strength and Weakness perusahaan. Tahapnya adalah : a. Tentukan faktor faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan perusahaan dalam kolom 1. b. Beri bobot masing masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan. (Semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00). c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari + 1 sampai dengan + 4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata rata industri atau dengan pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatif, kebalikannya. d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor). e. Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan

bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor faktor strategis eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama (Rangkuti, 2008). Tahap Analisis Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan perusahaan, tahap selanjutnya adalah adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model model kuantitatif perumusan strategi. Dalam hal ini digunakan matriks SWOT (Rangkuti, 2008). Matriks Threats-Opportunities-Weaknesses-Strengths (TOWS/SWOT) dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategis, antara lain strategi SO (Strength-Opportunity), strategi WO (Weakness- Opportunity), strategi ST (Strength-Threat), dan strategi WT (Weakness-Threat) (Umar, 2001). 2.3 Kerangka Pemikiran Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan (Anonimus, 2008). HHBK dapat berasal dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan / lahan milik atau hutan rakyat. HHBK yang berasal dari kawasan hutan menurut Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan perubahannya dibedakan menjadi : (a) HHBK yang berasal dari hutan lindung dan dikenal dengan nama pemungutan, (b) HHBK yang berasal dari hutan produksi baik hutan alam maupun hutan tanaman dikenal dengan istilah pemanfaatan. Pemungutan HHBK yang berasal dari hutan lindung antara lain berupa : rotan, madu, getah, buah, jamur, dan sarang burung walet. Pemanfaatan HHBK yang berasal dari hutan produksi antara lain berupa pemanfaatan : a. Rotan, sagu, nipah, bambu yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, dan pemasaran hasil. b. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. (Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II, 2009) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumber daya hutan dengan beragam hasil HHBK yang dapat diperoleh. Potensi ini menjadi prospek yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Akan tetapi, untuk mengetahui komoditas basis HHBK yang ada dalam suatu wilayah,

maka perlu dilakukan analisis Location Quotient (LQ). Hal ini perlu dilakukan agar selanjutnya dapat ditetapkan apakah komoditas basis yang telah diperoleh termasuk dalam komoditas unggulan HHBK atau tidak. Suatu komoditas HHBK disebut sebagai komoditas basis bila produksi suatu komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat di suatu daerah yang definitif melebihi kebutuhan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, suatu komoditas basis merupakan komoditas yang diekspor suatu daerah ke daerah lain termasuk ke pasar internasional. Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan dengan metode description scoring, yaitu melalui pengukuran nilai indikator dari tiap kriteria untuk jenis yang akan ditetapkan keunggulannya. Aspek penilaian mencakup kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi. Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 4 (empat) unggulan, yakni unggulan nasional, unggulan provinsi, unggulan lokal (kabupaten/kota setempat), dan bukan unggulan yang dapat dipergunakan sebagai arahan dalam mengembangkan jenis HHBK di tingkat pusat dan daerah. Kriteria ekonomi adalah aspek yang mengukur besaran ekonomi dari jenis HHBK yang sedang dievaluasi. Parameter ekonomi mempunyai bobot terbesar (35%) dalam pemilihan komoditas unggulan HHBK. Kriteria biofisik dan lingkungan mempunyai bobot 15% dalam pemilihan komoditas unggulan HHBK. Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penetapan tingkat keunggulan

suatu komoditas HHBK karena menyangkut unsur pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangan HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 20% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Kriteria sosial sebagai salah satu kriteria dalam penetapan tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK merupakan keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan lokal, di mana parameter ini mempunyai bobot 15% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan HHBK tersebut baik dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan baku maupun dalam peningkatan nilai tambah HHBK tersebut, di mana parameter ini mempunyai bobot 15% dalam penetapan komoditas unggulan HHBK. Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people). Pemberdayaan yang dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai. Posisi masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program pengembangan (Harun, 2009). Penyusunan strategi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dapat dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT (Strengths Weakness Opportunities Threats). Di mana terlebih dahulu dikumpulkan faktor faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor faktor internal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

yang dihasilkan oleh suatu daerah, sehingga dapat disusun strategi pengembangan yang sistematis dan berdaya guna. Untuk lebih memperjelas mengenai penetapan komoditas unggulan HHBK serta strategi pengembangannya, maka dapat dilihat skema kerangka pemikiran berikut ini.

Komoditas HHBK Komoditas Basis HHBK Jenis HHBK Unggulan : 1. Unggulan Nasional 2. Unggulan Provinsi 3. Unggulan Kabupaten 4. Tidak Unggul Analisis Komoditas Basis (Metode LQ) Analisis Komoditas Unggulan (Metode description scoring dengan menggunakan kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi). Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No.P.21/Menhut- II/2009 Analisis Stratejik (Matriks SWOT) Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan HHBK Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan : = Menyatakan hubungan = Menyatakan proses

2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan penelitian penelitian sebelumnya, dapat dibentuk hipotesis, antara lain : 1). Tidak semua komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di daerah penelitian tergolong komoditas basis. 2). Tidak semua komoditas basis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di daerah penelitian tergolong komoditas unggulan di tingkat provinsi.