199 KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Konstitutional Court Decision No. 46 / PUU-VIII / 2010 has provoked lively debate in society. Basically the decision of the Constitutional Court has changed the order of laws governing child out of wedlock. This research is a normative juridical research, using qualitative descriptive data analysis. The purpose of this study was to determine kedudukkan illegitimate child after the Constitutional Court decision No. 46 / PPU-VIII / 2010. Position the child out of wedlock after the Constitutional Court decision is a change in the editorial of Article 43 paragraph (1) uu 1 Year 1974 on Marriage B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehadiran anak merupakan suatu yang diinginkan dalam perkawinan. Mendapatkan keturunan merupakan salah satu tujuan pekawinan. Anak sebagai penerus keluarga dari orang tuanya. Kelahiran anak menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara anak dan orang tuanya. Hubungan hukum merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum yang mempertemukan antara hak dan kewajiban satu pihak dengan hak dan kewajiban pihakk lain ( R. Soeroso 2007:269). Hubungan hukum antara anak dan orang tuanya ini diatur dalam perundang-undangan, yang menjamin atas hak-hak anak yang meliputi hak untuk mendapat penghidupan yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapat status yang jelas dari orang tuanya, hak mendapat warisan. Adanya putusan Mahkamah VIII/2012 terkait kedudukan hukum anak luar nikah telah merubah tatanan aturan hukum yang mengatur anak luar nikah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. 2. Permasalahan a. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan Mahkamah
200 VIII/2010? b. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010? 3. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan Mahkamah VIII/2010. b. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan Mahkamah VIII/2010 C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bertitik beratkan pada data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan (Ronny Hanitijo Soemitro 1994:54). Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan semua data selanjutnya data-data tersebut dikelompokkan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas. D. PEMBAHASAN MASALAH 1. Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2010. Hubungan hukum antara anak dan orangtuanya diatur dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi hubungan hukum yang terbentuk antara anak dan orangtuanya harus didasarkan atas adanya perkawinan yang sah dari orang tuanya. Perkawinan yang sah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu Pada ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama Pada ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Jadi menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa perkawinan yang sah harus memenuhi 2 syarat yaitu : telah dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatat. Dicatat disini adalah bagi yang beragama Islam dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), bagi beragama selain Islam dicatat di Pencatatan Sipil (Catatan Sipil) Pencatatan perkawinan ini berfungsi untuk menjamin kepastian hukum. Dalam hal perkawinan yang telah dilakukan menurut
201 hukum masing-masing agama tetapi tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Pencatatan Sipil (Catatan Sipil), maka perkawinan tersebut tidak sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat perkawinan tidak sah, hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan tersebut tidak dijamin oleh negara. Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin siri, kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. Perkawinan tidak tercatat ini hanya memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tetapi tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) ) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian perkawinan semacam ini menjadi tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender, selanjutnya perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pencatatan perkawinan menjadi landasan hukum dalam hubungan hukum antara dua orang yang melangsungkan perkawinan. Pencacatan perkawinan ditinjau dari segi kemanfaatan umum maka pencacatan perkawinan menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Dengan dilakukan pencacatan perkawinan selain untuk mewujudkan ketertiban hukum juga dapat untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan perkawinan menurut ketentuan agama
202 perundang-un- maunpu dangan. Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 menguatkan pencacatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 ayat (2) ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai kewajiban administrasi yang berdasarkan undang-undang. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, pencacatan dimaksud sebagai kewajiban dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai prinsip negara hukum sebagaimana yang dimuat pada Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencacatan dianggap pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua, pencacatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksud agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan kemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna denga suatu akta autentik. Perkawinan yang tidak tercatat mengakibatkan perkawinan yang dilangsungkan menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum adalah perkawinan yang memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut undanng-undang yang berlaku. Perkawinan yang tidak tercatat maka akibat hukum dalam perkawinan berupa hak dan kewajiban tidak dapat dijamin oleh negara. Tidak tercatatnya perkawinan menyebabkan status suami istri, status anak, status harta bersama tidak mendapat perlindungan dari negara. Tidak adanya kekuatan hukum terhadap perkawinan mengakibatkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut
203 dapat dikatagorikan anak luar nikah. Jadi anak yang dapat dikatagorikan anak luar nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu : anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat oleh negara (di KUA atau Pencacatan Sipil). Ketentuan hukum terhadap Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2012, diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974, menyatakan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan 46/PUU-VIII/2010 Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 2 ayat(2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstional). Dasar dilakukan permohonan ini karena Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim telah menikah dengan Moerdiono tetapi tidak tercatat, sehingga status perkawinan dan hak-hak dari anak dari perkawinan menjadi jelas. Putusan Mahkamah Kontitusi bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Putusan Mahkamah VIII/2010, menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan harus dibaca sebagai berikut : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan Mahkamah VIII/2010 telah mengubah dasar hukum kedudukan anak luar nikah. Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, tidak tepat dan tidak adil jika seorang laki-laki yang telah menyebabkan hamilnya seorang wanita sehingga terjadi kelahiran dapat terlepas dari beban dan tanggung jawab sebagai bapaknya kepada anak tersebut.
204 Kewajiban atas kedua orangtuanya untuk mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak merupakan suatu akibat yang harus ditanggung oleh kedua orang tuanya, tidak hanya bagi ibu dan keluarga ibunya. Putusan Mahkamah VIII/2010 mempunyai tujuan melindungi hak-hak anak, sebagaimana pertimbangan nomor 13, yaitu : Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah sering kali mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan anak luar nikah mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan bapaknya. Selanjutnya menurut putusan 46/PUU-VIII/2010, menyatakan hubungan keperdataan antara anak dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. Putusan Mahkamah VIII/2010, menimbulkan keraguan umat muslim dalam mengartikan anak luar nikah. Anak luar nikah menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat. Anak dari perkawinan yang tidak tercatat ini meliputi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang biasa di masyarakat disebut sebagai kawin siri, kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, kawin kiyai yang sebagaimana terjadi pada Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono ), dan anak yang lahir dari orang tua yang sama sekali tidak memiliki hubungan perkawinan (anak hasil zina). Mahkamah Kontitusi tidak membedakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut agama (kawin siri, kawin modin) dengan anak yang lahir dari hubungan perzinahan (anak yang lahir dari orang tua yang sama sekali tidak memiliki hubungan perkawinan). Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, sebagai respon atas putusan 46/PUU-VIII/2010. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan
205 Terhadapnya tersebut membedakan antara anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dengan hubungan perkawinan (zina). Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan diluar pernikahan yang sah menurut agama Islam. Anak yang dikatagorikan sebagai anak hasil zina, tidak mempunyai hubungan nazab dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nazab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, berpendapat ayah biologis tetap dibebankan tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak hasil zina. Laki-laki yang telah menyebabkan kelahiran seoarang anak tetap harus bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012 tersebut menyatakan, untuk mencukupi kebututuhan anak maka pemerintah dapat menggunakan dengan memberi hukuman kepada ayah biologis. Bentuk hukuman bagi ayah biologis dapat dilihat pada Bagian Ketentuan Nomor 5 dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012 tersebut, yaitu : Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan kewajiban untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut. b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah Selanjutnya pada Bagian Ketentuan Nomor 6 Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, menyatakan adanya pembebanan kewajiban kepada ayah biologis bukan merupakan bentuk adanya pengakuan hubungan keperdataan antara anak dengan ayahnya, yang teks lengkapnya yaitu Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan nazab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Dengan demikian hubungan keperdataan dari seorang anak dengan ayahnya berdasarkan adanya hubungan darah hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya terikat perkawinan yang sah menurut agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat. Bagi anak yang lahir dari orang tua yang tidak terikat perkawinan mendapatkan hubungan keperdataan dengan ayahnya. E. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2010, diatur pada Pasal 43 ayat (1)
206 Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya b. Kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan 46/PUU-VIII/2010, diatur pada Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang teksnya telah dirubah menjadi Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya 2. Saran-saran a. Perkawinan hendaknya dilaksanakan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. b. Pemerintah hendaknya segera membuat Peraturan Pelaksana (PP) yang mengatur pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang sudah diubah Mahkamah Konstitusi. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005. Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002 R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Ronney Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1994. Witanto, Hukum Keluarga : Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan,Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2012. Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Mahkamah Konstitusi, Putusan tanggal 17 Pebruari 2012.