KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

dokumen-dokumen yang mirip
HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010

BAB I PENDAHULUAN. sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki dengan

PEMAHAMAN AKTIVIS PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN (STUDY DI MALANG)

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI. TENTANG STATUS ANAK di LUAR NIKAH

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN

ANALISIS KEDUDUKAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM KEWARISAN

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak bersentuhan dengan titah dan perintah agama atau kewajiban yang

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. STUDI KOMPARASI PERKAWINAN SIRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN Oleh : Natasia Abigail Gaus 2

PUTUSAN MK NO 46/ PUU-VIII/2010, MEROMBAK HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

Monica Putri M.C. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia

ANALISIS TERHADAP ISTBAT NIKAH OLEH ISTRI YANG DI POLIGAMI SECARA SIRRI (Studi Putusan Mahkamah Syar iah Nomor: 206/Pdt.G/2013/MS.

KEDUDUKAN ISTRI DAN ANAK DALAM PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN MENJADI ANAK SAH

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti

A. Tenripaang Chairan. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare

EMELDA SAVIONITA 1 EMELDA SAVIONITA ABSTRACT

Judicial Review atas UU No. 1/1974 dan Implikasi Hukumnya. Lina Kushidayati

STATUS ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR: 46/PUU-VIII/2010

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

Outer Children Marriages Status After Constitutional Court Decision No: 46/PUU- VII/2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP HAK WARIS ANAK PERKAWINAN SIRI

Analisis Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak Luar Kawin

BAB II LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. A. Anak Luar Nikah dalam Mahkamah Konstitusi

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

MOHAMAD ROULLY PARSAULIAN LUBIS ABSTRACT

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

STATUS ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU -VIII/2010

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari

BAB V PENUTUP. atas, penulis mempunyai kesimpulan sebagai berikut: Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg, keduanya memberikan hubungan anakbapak

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. (uji materil) undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1 Hatinya yang

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MK TENTANG STATUS ANAK DI LUAR KAWIN

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

Farhan Asyhadi 1.

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan isi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Prinsip Tanggung Jawab Orangtua Biologis terhadap Anak Di Luar Perkawinan

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

NAFKAH ANAK LUAR KAWIN MENURUT KONSEP HIFZHU AL-NAFS THE ALIMONY OF CHILD BORN OUT OF WEDLOCK UNDER THE CONCEPT OF HIFZHU AL-NAFS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PEMBUKTIAN ANAK DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO : 46/PUU-8/2010

HAK WARIS ANAK DILUAR NIKAH A. PENDAHULUAN DITINJAU MENURUT UU 1 TAHUN

KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIDAK SAH SEBELUM DAN SETELAH PUTUSAN MAHKMAAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU/VII/2010. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai

BAB IV PENUTUP. 1. Pendapat hakim Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu mengenai hubungan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

PENDAPAT HAKIM PA BANGKALAN DAN PA SIDOARJO MENGENAI STATUS ANAK LUAR KAWIN

JURNAL IMPLIKASI PUTUAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga tinggi negara yang juga

Pandangan Hakim Pengadilan Agama Palembang Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status Anak di Luar Nikah

ULJ 4 (1) (2015) UNNES LAW JOURNAL.

Transkripsi:

199 KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Konstitutional Court Decision No. 46 / PUU-VIII / 2010 has provoked lively debate in society. Basically the decision of the Constitutional Court has changed the order of laws governing child out of wedlock. This research is a normative juridical research, using qualitative descriptive data analysis. The purpose of this study was to determine kedudukkan illegitimate child after the Constitutional Court decision No. 46 / PPU-VIII / 2010. Position the child out of wedlock after the Constitutional Court decision is a change in the editorial of Article 43 paragraph (1) uu 1 Year 1974 on Marriage B. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehadiran anak merupakan suatu yang diinginkan dalam perkawinan. Mendapatkan keturunan merupakan salah satu tujuan pekawinan. Anak sebagai penerus keluarga dari orang tuanya. Kelahiran anak menimbulkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara anak dan orang tuanya. Hubungan hukum merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum yang mempertemukan antara hak dan kewajiban satu pihak dengan hak dan kewajiban pihakk lain ( R. Soeroso 2007:269). Hubungan hukum antara anak dan orang tuanya ini diatur dalam perundang-undangan, yang menjamin atas hak-hak anak yang meliputi hak untuk mendapat penghidupan yang layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapat status yang jelas dari orang tuanya, hak mendapat warisan. Adanya putusan Mahkamah VIII/2012 terkait kedudukan hukum anak luar nikah telah merubah tatanan aturan hukum yang mengatur anak luar nikah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. 2. Permasalahan a. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan Mahkamah

200 VIII/2010? b. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010? 3. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan Mahkamah VIII/2010. b. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan Mahkamah VIII/2010 C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bertitik beratkan pada data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan (Ronny Hanitijo Soemitro 1994:54). Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan semua data selanjutnya data-data tersebut dikelompokkan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas. D. PEMBAHASAN MASALAH 1. Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2010. Hubungan hukum antara anak dan orangtuanya diatur dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi hubungan hukum yang terbentuk antara anak dan orangtuanya harus didasarkan atas adanya perkawinan yang sah dari orang tuanya. Perkawinan yang sah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu Pada ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama Pada ayat (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Jadi menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa perkawinan yang sah harus memenuhi 2 syarat yaitu : telah dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatat. Dicatat disini adalah bagi yang beragama Islam dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), bagi beragama selain Islam dicatat di Pencatatan Sipil (Catatan Sipil) Pencatatan perkawinan ini berfungsi untuk menjamin kepastian hukum. Dalam hal perkawinan yang telah dilakukan menurut

201 hukum masing-masing agama tetapi tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Pencatatan Sipil (Catatan Sipil), maka perkawinan tersebut tidak sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat perkawinan tidak sah, hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan tersebut tidak dijamin oleh negara. Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin siri, kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. Perkawinan tidak tercatat ini hanya memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tetapi tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) ) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian perkawinan semacam ini menjadi tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender, selanjutnya perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pencatatan perkawinan menjadi landasan hukum dalam hubungan hukum antara dua orang yang melangsungkan perkawinan. Pencacatan perkawinan ditinjau dari segi kemanfaatan umum maka pencacatan perkawinan menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Dengan dilakukan pencacatan perkawinan selain untuk mewujudkan ketertiban hukum juga dapat untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan perkawinan menurut ketentuan agama

202 perundang-un- maunpu dangan. Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 menguatkan pencacatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 ayat (2) ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai kewajiban administrasi yang berdasarkan undang-undang. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, pencacatan dimaksud sebagai kewajiban dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai prinsip negara hukum sebagaimana yang dimuat pada Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencacatan dianggap pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua, pencacatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksud agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan kemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna denga suatu akta autentik. Perkawinan yang tidak tercatat mengakibatkan perkawinan yang dilangsungkan menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum adalah perkawinan yang memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut undanng-undang yang berlaku. Perkawinan yang tidak tercatat maka akibat hukum dalam perkawinan berupa hak dan kewajiban tidak dapat dijamin oleh negara. Tidak tercatatnya perkawinan menyebabkan status suami istri, status anak, status harta bersama tidak mendapat perlindungan dari negara. Tidak adanya kekuatan hukum terhadap perkawinan mengakibatkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut

203 dapat dikatagorikan anak luar nikah. Jadi anak yang dapat dikatagorikan anak luar nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu : anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat oleh negara (di KUA atau Pencacatan Sipil). Ketentuan hukum terhadap Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2012, diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974, menyatakan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan 46/PUU-VIII/2010 Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 2 ayat(2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstional). Dasar dilakukan permohonan ini karena Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim telah menikah dengan Moerdiono tetapi tidak tercatat, sehingga status perkawinan dan hak-hak dari anak dari perkawinan menjadi jelas. Putusan Mahkamah Kontitusi bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Putusan Mahkamah VIII/2010, menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan harus dibaca sebagai berikut : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan Mahkamah VIII/2010 telah mengubah dasar hukum kedudukan anak luar nikah. Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, tidak tepat dan tidak adil jika seorang laki-laki yang telah menyebabkan hamilnya seorang wanita sehingga terjadi kelahiran dapat terlepas dari beban dan tanggung jawab sebagai bapaknya kepada anak tersebut.

204 Kewajiban atas kedua orangtuanya untuk mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak merupakan suatu akibat yang harus ditanggung oleh kedua orang tuanya, tidak hanya bagi ibu dan keluarga ibunya. Putusan Mahkamah VIII/2010 mempunyai tujuan melindungi hak-hak anak, sebagaimana pertimbangan nomor 13, yaitu : Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah sering kali mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyatakan anak luar nikah mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan bapaknya. Selanjutnya menurut putusan 46/PUU-VIII/2010, menyatakan hubungan keperdataan antara anak dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. Putusan Mahkamah VIII/2010, menimbulkan keraguan umat muslim dalam mengartikan anak luar nikah. Anak luar nikah menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat. Anak dari perkawinan yang tidak tercatat ini meliputi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang biasa di masyarakat disebut sebagai kawin siri, kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, kawin kiyai yang sebagaimana terjadi pada Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono ), dan anak yang lahir dari orang tua yang sama sekali tidak memiliki hubungan perkawinan (anak hasil zina). Mahkamah Kontitusi tidak membedakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut agama (kawin siri, kawin modin) dengan anak yang lahir dari hubungan perzinahan (anak yang lahir dari orang tua yang sama sekali tidak memiliki hubungan perkawinan). Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, sebagai respon atas putusan 46/PUU-VIII/2010. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan

205 Terhadapnya tersebut membedakan antara anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dengan hubungan perkawinan (zina). Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan diluar pernikahan yang sah menurut agama Islam. Anak yang dikatagorikan sebagai anak hasil zina, tidak mempunyai hubungan nazab dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nazab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, berpendapat ayah biologis tetap dibebankan tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak hasil zina. Laki-laki yang telah menyebabkan kelahiran seoarang anak tetap harus bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012 tersebut menyatakan, untuk mencukupi kebututuhan anak maka pemerintah dapat menggunakan dengan memberi hukuman kepada ayah biologis. Bentuk hukuman bagi ayah biologis dapat dilihat pada Bagian Ketentuan Nomor 5 dalam Fatwa Nomor : 11 tahun 2012 tersebut, yaitu : Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan kewajiban untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut. b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah Selanjutnya pada Bagian Ketentuan Nomor 6 Fatwa Nomor : 11 tahun 2012, Tentang Kedudukan Anak hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, menyatakan adanya pembebanan kewajiban kepada ayah biologis bukan merupakan bentuk adanya pengakuan hubungan keperdataan antara anak dengan ayahnya, yang teks lengkapnya yaitu Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan nazab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Dengan demikian hubungan keperdataan dari seorang anak dengan ayahnya berdasarkan adanya hubungan darah hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya terikat perkawinan yang sah menurut agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat. Bagi anak yang lahir dari orang tua yang tidak terikat perkawinan mendapatkan hubungan keperdataan dengan ayahnya. E. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Kedudukan hukum anak luar nikah sebelum putusan 46/PUU-VIII/2010, diatur pada Pasal 43 ayat (1)

206 Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyatakan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya b. Kedudukan hukum anak luar nikah pasca putusan 46/PUU-VIII/2010, diatur pada Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang teksnya telah dirubah menjadi Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya 2. Saran-saran a. Perkawinan hendaknya dilaksanakan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. b. Pemerintah hendaknya segera membuat Peraturan Pelaksana (PP) yang mengatur pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang sudah diubah Mahkamah Konstitusi. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005. Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002 R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Ronney Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, 1994. Witanto, Hukum Keluarga : Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan,Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2012. Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Mahkamah Konstitusi, Putusan tanggal 17 Pebruari 2012.