BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1

dokumen-dokumen yang mirip
BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

BAB III PEMAAFAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEADAAN MABUK. A. Alasan Obyektif Pemaafan bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Fatwa-Fatwa Ramadhan untuk Wanita. 1. Pertanyaan: Apakah hukumnya menunda qadha puasa hingga setelah Ramadhan tahun depan?

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISA DATA. jual beli lada melalui perantara Tengkulak, diperkenankan oleh syara ; apabila

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV ANALISIS TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI HASIL BUMI DENGAN SISTEM PANJAR DI DESA JENARSARI GEMUH KENDAL

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH USHUL FIQIH Dosen pengampu: Ust Nurhamid S.Pd.I. Nama: Sugiarti Yuli Yeni Arofah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TENAGA KERJA DI BAWAH UMUR PADA LPK CINTA KELUARGA SEMARANG

Sumber sumber Ajaran Islam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia di dunia ini tidak lain

Assalamu alaikum wr. wb.

Ji a>lah menurut masyarakat Desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan

BAB IV. A. Mekanisme Penundaan Waktu Penyerahan Barang Dengan Akad Jual Beli. beli pesanan di beberapa toko di DTC Wonokromo Surabaya dikarenakan

BAB II KONSEPSI DASAR TENTANG JUAL BELI DALAM ISLAM.. yang berarti jual atau menjual. 1. Sedangkan kata beli berasal dari terjemahan Bahasa Arab

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB IV ANALISIS TERHADAP PASAL 19 AYAT 2 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH

waka>lah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan

BAB IV DENGAN UANG DI DESA LAJU KIDUL KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN

BAB IV ANALISIS JUAL BELI MESIN RUSAK DENGAN SISTEM BORONGAN DI PASAR LOAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin,

BAB IV BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. A. Ketentuan Cakap Hukum dalam Hukum Islam

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN 280. h Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2013), h.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS MENURUT EMPAT MAZHAB TERHADAP JUAL BELI CABE DENGAN SISTEM UANG MUKA DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN BANYUPUTIH KABUPATEN SITUBONDO

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN

BAB I PENDAHULUAN. Shalat telah diwajibkan pada malam Isra sebanyak lima puluh kali dalam

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH

RAHN, DAN KETENTUAN FATWA DEWAN SYARIAH

Tercantum Tulisan Mulia, Mohon Diletakkan Di Tempat Terhormat I. FIQIH PUASA PRAKTIS

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI SISTEM NOTA KURANG LEBIH (NKL) DI INDOMARET SUKODONO KARANGPOH CABANG GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan sesama atau lingkungannya (habl min

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV TINJAUAN MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP UTANG PIUTANG PADI PADA LUMBUNG DESA TENGGIRING SAMBENG LAMONGAN

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENANGUNG JAWAB ATAS TANGGUNGAN RESIKO IJARAH. perbolehkan penggunaanya, Jelas, mempunyai tujuan dan maksud, yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGGUNAAN AKAD BMT AMANAH MADINA WARU SIDOARJO. Pembiayaan di BMT Amanah Madina Waru Sidoarajo.

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

Dusta, Dosa Besar Yang Dianggap Biasa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD JI ALAH. Berarti: gaji/upah. 1 Ji'alah suatu istilah dalam ilmu fiqh,

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI SUKU CADANG MOTOR HONDA DI DEALER HONDA CV. SINARJAYA KECAMATAN BUDURAN KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBIAYAAN TALANGAN HAJI DI BANK SYARIAH MANDIRI SEMARANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

PUASA. Puasa dan Kategori Hukumnya

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

HUKUM SYARI AH. Disusun guna memenuhi tugas. Mata kuliah: Ushul Fiqh. Dosen pengampu: Dr. H. Fahruddin Aziz. Disusun oleh: Ahmad Yusuf ( )

BAB IV UPAH (IJARAH) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG DALAM BENTUK UANG DAN PUPUK DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. dengan makanan yang dikonsumsi oleh makhluk lain atau orang-orang yang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JASA PENGETIKAN SKRIPSI DENGAN SISTEM PAKET DI RENTAL BIECOMP

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB I PENDAHULUAN. dengan manusia diciptakan berpasangan antara laki-laki dengan perempuan

E٤٢ J٣٣ W F : :

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA

HUKUM JUAL BELI DENGAN BARANG-BARANG TERLARANG. Djamila Usup ABSTRAK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA TANAH TEGALAN YANG DI KELOLA KELOMPOK TANI DI DESA PUTAT KECAMATAN TANGGULANGIN KABUPATEN SIDOARJO

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PENCURIAN. A. Pengertian Pencurian dalam Hukum Pidana Islam

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Umun Bahasa Indonesia Edisi ke Empat, Jakarta,, 2008,hlm. 1076

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB IV ANALISIS BATAS UMUR ANAK DAN PEMENJARAAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu memiliki kepentingan

Transkripsi:

17 BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN A. Shihhah (Sah) Kata shihhah berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berarti sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1 Adapun dalam istilah syari at kata shihhah digunakan dalam hal ibadah dan akad-akad muamalah. Menurut fuqaha, kata shihhah dalam ibadah adalah gugurnya tuntutan-tuntutan atau gugurnya kewajiban mengerjakan. 2 Jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan syarat sahnya berarti sudah cukup, dan dengan melaksanakannya berarti telah bebas dari tanggungan. Sedangkan jika ibadah itu kurang dari syarat atau rukunya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakan semacam ini berarti belum bebas dari tanggungan. Adapun menyangkut masalah akad, para ahli fiqih sepakat bahwa akad yang sah adalah akad yang rukun dan semua sifat-sifatnya sempurna, yakni rukun dan syarat sahnya terpenuhi. Akad semacam inilah yang menjadi sebab timbulnya hukum. Oleh karena itu, akad yang sah menurut jumhur ulama adalah akad yang menjadi sebab timbulnya pengaruh 1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989, h. 212. 2 Saifuddin Bin Abi Al Hasan Ali Al-Amidi, Al-Ahkam Fi Ushul Al-Ahkam, Jilid 1, Beirut: Dar Al-Fikr, 1981, h. 100.

18 hukum, dan terpenuhi semua syarat yang menyempurnakannya, serta tidak ada mani yang menghalangi keabsahan sebab-sebabnya. 3 Menurut para ulama', setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalat bertujuan untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok, yaitu memenuhi tuntutan syara' dan mencapai mewujudkan kemaslahatan hidup. Menurut para ulama' dalam mazhab syafi'i kedua tujuan ini terdapat dalam ibadah maupun dalam muamalah yang diantaranya perjanjian, namun tujuan pertama lebih menonjol. Karena itu, setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan syara' maka dianggap batal demikian pula sebaliknya. Jadi, menurut para ulama dalam kalangan mazhab syafi'i, tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku sah atau batal. 4 B. Buthlan (Batal) Batal ialah tidak timbulnya konsekuensi yang bersifat syara'. Jika sesuatu yang dikerjakan adalah wajib, maka ia tidak gugur dari kewajiban itu dan tanggungannya tidak terbebas darinya. Dan jika ia merupakan sebab syar'i seperti kawin, talak, jual beli, hibah dan akad-akad lainnya, maka hukumnya tidak timbul darinya. Dan jika ia adalah syarat seperti bersuci untuk shalat, maka yang disyaratkan tidak terwujud. Hal itu disebabkan bahwasanya syar'i hanyalah menimbulkan berbagai 3 Muhammad Abu Zahrah, UshulAl- Fiqh, Terj. Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. ke-9, 2005, h. 82. 4 Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 248.

19 konsekuensi terhadap perbuatan, sebeb-sebab, dan syarat-syarat yang terwujud sebagaimana dituntut dan disyariatkan. Apabila tidak demikian, maka ia tidak diakui menurut syara'. 5 Para ahli fiqih telah sepakat bahwa tidak ada perbedaan antara ibadah yang tidak sah dengan ibadah yang batal dan yang rusak. Sedangkan dalam masalah akad, akad yang tidak sah adalah akad yang syarat dan rukun-rukunnya tidak terpenuhi. Para ulama berpendapat bahwa akad yang tidak sah hanyalah satu macam yaitu akad yang batal, jadi tidak ada perbedaan antara akad yang batal dan akad yang fasid. Akan tetapi ulama Hanafiyah mengatakan, apabila cacat terdapat dalam rukun akad maka akad itu menjadi batal dan tidak mengakibatkan timbulnya hukum. Sedangkan jika cacat itu terdapat pada suatu syarat dari beberapa syarat yang berhubungan dengan hukum, maka akad itu menjadi sebab yang sah dan berakibat timbulnya sebagian pengaruh hukum. 6 C. Fasad (Rusak) Secara etimologi, fasad berarti perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat). Dalam bahasa indonesia berarti rusak. Dalam pengertian terminologi menurut jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, 5 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 185. 6 Muhammad Abu Zahrah, Op. cit, h. 82.

20 dan tidak ada sebabnya, atau ada mani terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu disebut fasad atau batal. 7 Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ada hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasad. Menurut mereka fasad adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad. Artinya, akad itu pada dasarnya adalah sah, tetapi sifat akad itu tidak sah. Misalnya, melakukan jual beli ketika panggilan shalat jum at berkumandang. Jual beli dan shalat jum at sama-sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada waktu yang sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau rusak. 8 Dengan demikian, ulama Hanafiyah membagi akad menjadi tiga macam yaitu akad yang sah, akad yang batal dan akad yang rusak. Akad yang batal tidak berakibat hukum padanya dan akad yang fasid adalah akad yang pada dasarnya sah tetapi sifat akad itu tidak sah. D. Taklif (Pembebanan) Seseorang dapat disebut sebagai mukallaf yaitu orang yang dibebani ketentuan-ketentuan hukum syara, apabila telah memenuhi persyaratanpersyaratannya. Persyaratan tersebut yaitu seorang mukallaf yang dituntut melaksanakan hukum syara mampu memahami dalil taklif, baik dalil yang bersumber dari Al-Qur an maupun Sunnah atau dengan melalui orang lain. Orang yang belum mampu memahami dalil taklif tentunya 7 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Cet.I, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1996, h. 273. 8 Nasrun Haroen, Ibid, h. 273.

21 tidak mungkin dapat melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat melaksanakannya sesuai dengan yang dimaksud syara. Kemampuan memahami dalil tentunya erat hubungannya dengan akal, karena akal merupakan dasar taklif, dan orang yang sempurna akalnya adalah orang yang sudah baligh dan tidak menderita penyakit yang menyebabkan akalnya hilang atau terganggu. Selain itu seorang mukallaf harus dapat menanggung beban taklif. 9 Adapun kemampuan menanggung beban itu terbagi menjadi dua macam yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada. 1. Ahliyyah (Kemampuan) Ahliyyah ialah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang tersebut pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melaksanakannya. Adapun Ahliyyah itu terbagi menjadi dua yaitu 10 : a. Ahliyyah Al-Wujub Ahliyyah Al-Wujub yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar keberadaannya karena ia sebagai seorang manusia. Keberadaan ahliyyah al-wujub ini bertahap sesuai dengan proses tahapan manusia. Mula-mula seseorang itu ada sebagai 9 A. Syafi i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 131-133. 10 Muhammad Abu Zahrah, op. cit, h. 505-507

22 janin, kemudian bayi yang belum cakap, kemudian anak-anak yang cakap, dan sebagai orang dewasa yang cakap atau tidak cakap. Sewaktu masih menjadi janin, ahliyyah al-wujub belumlah sempurna dan baru sempurna setelah seseorang lahir sebagai manusia. b. Ahliyyah Al-Ada Ahliyyah Al-Ada yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan dari kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, akan tetapi karena ia cakap (tamyiz). Kemampuan ini disebut sebagai kemampuan bekerja (muamalah). Masa datangnya ahliyyah alada ini menurut syara berlaku bersamaan dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil (berakal) dan baligh. Tolak ukur ahliyyah al-ada adalah akal. Apabila akal telah sempurna maka sempurna pula ahliyyah al-ada, bila kurang akal maka berkurang pula ahliyyah al-ada, dan bila akal tidak ada maka hilang pula ahdiyyah al-ada. Adapun ahliyyah al-ada sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu 11 : 1) Ahliyyah Al-ada Tam Yaitu periode di mana seseorang telah baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan 11 Abdul Wahhab Khallaf, Op. cit, h. 203.

23 hukum seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari maupun meninggalkan tuntutan- Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi basah dan bagi wanita apabila telah haid. 2) Ahliyyah Al-ada Naqish Yaitu ketika seseorang masih kecil sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan. 2. Awaridh Al-Ahliyyah (Halangan Atas Kemampuan) Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadist: Artinya: Diangkatkan kalam (tuntutan) dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia bermimpi, dan dari orang gila sampai ia sembuh(dari gilanya). (HR. Ahmad). 12 12 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Koleksi Hadist-Hadist Hukum, Jilid 2, Cet. II, Jakarta: Karya Unipress, 1993, h. 6.

24 Hadits di atas menerangkan tentang beberapa orang yang dalam keadaan tersebut diangkat atau dibebaskan dari khitab atau dengan kata lain orang-orang tersebut tidak cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum. Adapun perkara yang menjadi penghalang terhadap ahliyyah itu dibagi menjadi dua yaitu samawiyah dan muktasabah, dengan penjelasan sebagai berikut 13 : a. Awaridh Samawiyah yaitu gila, dungu, ayan, mengigau, lupa, tidur, haidh, nifas dan mati. Atau dengan kata lain adalah halangan yang terjadi di luar kemampuan manusia. b. Awaridh Muktasabah dibagi menjadi dua yaitu yang berasal dari diri sendiri dan yang berasal dari orang lain. Adapun yang berasal dari diri sendiri seperti bodoh, mabuk, alpa dan safar. Sedangkan yang berasal dari orang lain adalah orang yang dipaksa. Adapun penjelasan dari beberapa penghalang yang bersifat samawiyah atau yang diluar kemampuan manusia adalah sebagai berikut: a. Gila dan Dungu Sebagian ulama memandang bahwa dungu itu merupakan bagian dari kondisi gila. Ketika orang gila terkadang sedikit sadar maka dia disebut dungu. Tetapi ia tetap dihukumi gila kecuali bila 13 Jalaluddin al-khabazi, Al-Mughni Fi Ushul Al-Fiqh, Cet. I, Makkah: Markaz Al-Bahst Al- Ilmi Wa Ihya At-Turast Al-Islami, 1403 H, h. 369.

25 kesadarannya sudah sempurna. Adapun sebagian besar ulama sepakat bahwa gila dan dungu merupakan hal yang berbeda. Gila adalah suatu penyakit yang menutup akal sehingga tidak mampu menangkap suatu obyek dengan benar disertai oleh kebingungan dan kekacauan. Sedangkan dungu adalah penyakit yang menutup akal sehingga tidak mampu menangkap suatu obyek dengan benar dalam keadaan tenang. Orang gila tidak terkena seluruh taklif yang bersifat fisik seperti shalat, haji, puasa, atau kafarat. Tetapi dalam kekayaannya bisa terkena beban harta, sehingga hartanya bisa menjadi tebusan atas kerusakan yang ia perbuat, begitu juga wajibnya zakat menurut fuqaha kecuali ulama Hanafiyah. Orang gila tidak pula bertanggung jawab atas pidana yang dia perbuat, dia tidak dikenai had apabila melakukan pidana yang mewajibkannya, kecuali tanggung jawab harta. 14 Dalam kitab Ushul al-fiqh al-islami juga disebutkan bahwa Imam Syafi i mengatakan sesungguhnya orang gila itu gugur dari kewajiban dalam semua ibadah, sehingga apabila orang gila itu sadar dalam pertengahan bulan Ramadhan maka ia tidak wajib mengqadha puasa yang telah berlalu. Akan tetapi orang dungu terkadang perkataannya seperti orang yang berakal dan kadang 14 Muhammad Abu Zahrah, Op. cit, h. 515.

26 menyerupai orang gila. Maka orang yang dungu dihukumi sebagaimana anak kecil yang mumayyiz. 15 b. Lupa Lupa adalah keadaan yang menghalangi seseorang mengingat beban hukum yang dikenakan kepadanya, atau membuatnya tidak melakukan suatu ibadah yang telah diniyatkan secara benar, seperti orang puasa yang makan karena lupa, atau orang yang lupa mengerjakan shalat pada waktunya. Dalam masalah ini ulama membedakan hak-hak yang harus dilakukan orang yang lupa menjadi dua 16 : 1) Hak Allah, yaitu dalam hal seseorang lupa terhadap hak-hak Allah maka Allah akan menghapus dosanya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadist shahih bahwa hukum Allah dilepas atas orang yang lupa sampai ia ingat. 2) Hak-hak manusia, bila seseorang lupa melaksanakan hak-hak manusia pada waktunya, maka tidak bisa dianggap gugur atau bebas. Lupa tidak dianggap sebagai alasan untuk dimaafkan dalam masalah ini, sehingga tidak bisa diterima alasan seseorang yang melakukan tindakan karena lupa, dan ia tetap dikenai hukuman karenanya. 15 Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Jilid 1, Beirut: Dar Al-Fikr, 1986, h. 169. 16 Muhammad Abu Zahrah, Op. cit, h. 517

27 c. Tidur dan Ayan Pengertian dari tidur adalah hilangnya kemampuankemampuan dan pergerakan yang ia kehendaki dan diwajibkan mengerjakan kewajiban yang ia tinggalkan pada saat ia terbangun. 17 Jadi orang yang tidur akan dikenai taklif ketika ia sudah bangun dan wajib mengganti kewajiban yang ia tinggalkan pada saat tidur. Sebagai contoh, orang tidur dan belum menjalankan shalat, maka wajib mengerjakan shalat yang ia tinggalkan saat tidur. Ayan disebut sebagai penyakit yang menghalangi seseorang untuk memahami khitab dan penyakit itu lebih besar pengaruhnya dari pada dalam keadaan tidur. 18 Artinya, dalam keadaan ayan, pengaruh yang mengakibatkan ketidakfahaman terhadap sesuatu itu lebih besar dari pada ketika dalam keadaan tidur. Adapun penjelasan dari beberapa penghalang yang bersifat muktasabah adalah sebagai berikut: a. Bodoh (jahil) Hukum Islam telah dijelaskan dalam sumber-sumbernya, baik dalam al-qur an, Sunnah, maupun ijma ulama, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya dengan alasan 17 Wahbah Zuhaili, Op.cit, h. 172. 18 Wahbah Zuhaili, Ibid, h. 172

28 tidak tahu. Adapun sifat paham atau mengetahui tentang hukum itu dapat dibagi ke dalam dua bentuk 19 : 1) Pengetahuan bersifat umum yang tidak mungkin seseorang mengatakan ketidaktahuannya, kecuali orang yang akalnya tidak memungkinkan untuk mengetahuinya, seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji dan zakat, juga dalam hal bahwa berzina, mencuri, membunuh dan minum khamar itu haram hukumnya. Pengetahuan seperti ini dapat ditemukan dalam buku-buku agama dan telah disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya meskipun tidak mempelajari secara khusus. 2) Pengetahuan secara khusus yaitu yang menyangkut furu b. Mabuk ibadah atau pengetahuan yang tidak mungkin dicapai kecuali orang-orang yang mempelajarinya secara khusus atau para ulama. Mabuk ialah tertutupnya akal yang disebabkan karena meminum atau memakan sesuatu yang mempengaruhi daya akal, baik dalam bentuk cairan atau bukan. Mabuk menyebabkan pembicaraan tidak menentu seperti igauan orang tidur dan secara fisik ia sehat. 20 Mabuk itu dibagi menjadi dua macam 21 : 1) Mabuk karena mubah, seperti mabuknya orang yang dalam keadaan darurat, orang yang dipaksa mabuk, dan orang yang 19 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, cet I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 375. 20 Amir Syarifuddin, Ibid, h. 371. 21 Wahbah Zuhaili, Op. cit, h. 179.

29 mabuk karena meminum obat. Dan orang seperti ini dihukumi sebagaimana orang ayan, yang menghalangi semua bentuk perbuatannya, karena itu merupakan penyakit. 2) Mabuk dengan cara yang haram, dan ia adalah mabuk yang disebabkan karena mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan. Dan secara ijma ia tidak menghalangi terjadinya khitab. Dan orang yang mabuk ini wajib dikenai hukum-hukum syara seluruhnya. Maka sah talaknya, pembebasannya, jual belinya, dan persaksian-persaksiannya dan seluruh tasharrufnya atau perbuatan-perbuatannya. Hal ini dikarenakan orang yang mabuk itu menghilangkan kemampuannya untuk memahami khitab dengan jalan kemaksiatan. Maka ia akan dihukum dengan perbuatan-perbuatannya dan juga dihukum karena mabuk. c. Alpa (khata ) Adalah menyengaja melakukan suatu perbuatan pada tempat yang dituju oleh suatu kejahatan. Seperti orang yang berkumur dalam keadaan sedang berpuasa, kemudian tanpa sengaja air masuk ke dalam perutnya. Seorang pemburu yang hendak menembak burung, akan tetapi secara tidak sengaja mengenai orang hingga mati. Hal tersebut juga merupakan kejahatan, namun

30 kejahatannya terletak pada ketidakhati-hatiannya dalam berbuat, bukan kejahatan dalam materi perbuatan. 22 Menurut Syekh Muhammad al-khudhori hak-hak yang bersangkutan dengan khata atau kesalahan itu terbagi menjadi dua macam: hak-hak Allah SWT dan hak-hak hamba. Adapun hak-hak yang berhubungan dengan Allah SWT maka dapat dijadikan sebagai alasan atau udzur. Hal ini berlaku dalam ibadah dan juga jinayah. Dan kesalahan yang menyangkut hak-hak hamba atau perorangan maka tidak dapat dijadikan sebagai alasan atau udzur. 23 Sebagai contoh dalam hal ibadah yaitu seseorang yang berkumur ketika wudhu sedangkan ia dalam keadaan puasa, dan tanpa sengaja air itu masuk ke dalam perut, maka kesalahan itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk tetap berpuasa dan tidak membatalkannya. Demikian juga orang yang tidak sengaja atau karena salah menggauli seorang wanita yang ia kira adalah istrinya, maka ia tidak berdosa sebagaimana dosa orang yang berbuat zina. Dan dalam hak yang menyangkut perorangan seperti pembunuhan karena kesalahan, ia tetap tidak bisa bebas seutuhnya dari hukuman, dan tetap mendapatkan hukuman tetapi tidak seberat orang yang melakukan pembunuhan secara sengaja. 22 Amir Syarifuddin, Op. cit, h. 377. 23 Syekh Muhammad Khudhori, Ushul Al-Fiqh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1988, h. 105.

31 d. Paksaan (ikrah) Ikrah adalah membuat seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak ia kehendaki, paksaan itu dapat berupa perkataan atau perbuatan. 24 Atau dengan kata lain memaksa seseorang untuk berkata atau berbuat sesuatu yang tidak ia kehendaki. Adapun ulama Hanafiyah membagi ikrah atau paksaan ke dalam dua bentuk yaitu 25 : 1) Ikrah mulji Yaitu keterpaksaan yang tidak memungkinkan bagi orang yang dipaksa melepaskan dirinya dari ancaman si pemaksa. Paksaan dalam bentuk ini di samping menghilangkan kerelaan untuk berbuat, juga merusak atau meniadakan alternatif lain. Alat pemaksanya ialah sesuatu yang menyebabkan kematian atau merusak anggota badan. 2) Ikrah ghairu mulji Yaitu paksaan yang masih memungkinkan pihak yang dipaksa untuk menghindarkan diri dari melakukan perbuatan yang dipaksakan. Sebab yang menjadikan seseorang terpaksa dalam hal ini adalah dalam bentuk pukulan yang tidak membawa kepada kematian atau kerusakan anggota badan. Paksaan dalam bentuk ini memang menghilangkan kerelaan, tetapi 24 Syekh Muhammad Khudhori, Ibid, h. 105. 25 Amir Syarifuddin, Op. cit, h. 381.

32 tidak menghilangkan alternatif, dalam arti masih dapat memilih alternatif untuk tidak melakukan apa yang terlarang. E. Pendapat Ulama Tentang Sah dan Batalnya Perbuatan Orang Mabuk Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang akad dan perbuatan orang mabuk akibat hal yang diharamkan dengan kemauan sendiri, apakah ia bertanggung jawab secara sempurna atau tidak, dalam hal ini ada dua pendapat 26 : Pertama, bahwa orang yang mabuk itu dikenai hukuman secara sempurna atas perkataan dan perbuatannya. Jadi akadnya berlaku, talaknya bisa jatuh dan akan diqishas atau di hukum had bila melakukan tindak pidana yang mewajibkannya. Hal ini didasarkan atas prinsip bahwa dosa yang satu tidak bisa membebaskan dosa yang lain. Maka bila orang mabuk menuduh zina atau qadzaf dia akan dikenai hukuman mabuk dan qadzaf, bila membunuh maka akan dikenai hukuman mabuk dan membunuh, dan begitu seterusnya tidak ada alasan untuk mengampuni dosa-dosa yang dilakukan karena mabuk. Bila mabuk merupakan sebab dari tindak kejahatan, maka berarti dia telah melakukan sebab yang sudah diketahui akibatnya. Jadi perbuatan maksiat tidak bisa menjadi alasan untuk meringankan atau bebasnya hukum. Demikian itu adalah pendapat mazhab Hanafi yang disepakati sebagian ulama mazhab Syafi i dan sebagian besar ulama mazhab Maliki. 26 Muhammad Abu Zahrah, Op. cit, h. 521.

33 Kedua, bahwa orang yang mabuk tidak sadar akan perkataannya maka tidak sah akadnya, karena dasar akad adalah rela. Dalam keadaan tidak sadar tentu orang mabuk tidak bisa dikatakan rela. Begitu juga dia tidak terkena hukuman yang dapat gugur karena samar atau syubhat, seperti qishas dan had. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad, Imam Syafi i dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.