BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak hak dan kewajiban kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil (Retnowulan dan Iskandar, 2002 : 1). Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya dalam suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir, jika perlu dengan paksaan. Dengan demikian maka hak hak dan kewajiban kewajiban yang diberikan oleh hukum materiil, dapat diwujudkan lewat pengadilan (R. Subekti, 1989 : 8). Proses persidangan ini merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan dalam perkara perdata. Proses pemeriksaan persidangan perkara perdata di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim, secara umum diatur dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg). a. Tindakan Sebelum Sidang 1) Penunjukan Majelis Hakim Pasal 121 dan 122 HIR serta Pasal 145 dan 146 Rbg menerangkan jika gugatan oleh panitera telah dicatat dalam daftar, maka ketua pengadilan negeri menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa perkara perdata. Ketua majelis hakim tersebut kemudian menentukan hari dan jam perkara itu 11
12 akan diperiksa di muka pengadilan negeri. Penentuan hari persidangan harus memperhatikan jarak antara tempat tinggal kedua pihak yang berperkara dan tempat sidang pengadilan negeri tersebut. Selambat lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai, pihak pihak yang berperkara sudah menerima surat panggilan secara sah (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 85). 2) Cara Pemanggilan Pihak Pihak Pemanggilan dilaksanakan oleh juru sita atau petugas lain yang bertugas sebagai juru sita pengganti dan harus dilakukan berdasarkan surat perintah pemanggilan. Pemanggilan harus dilakukan secara patut (Harjono. 2014 : 14). Pasal 390 HIR menentukan bahwa tiap tiap surat juru sita harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat tinggalnya. Jika tidak bertemu dengan orang itu, maka juru sita harus bertemu dan berbicara dengan kepala desa yang bersangkutan. Jika orang tersebut tidak diketahui tempat tinggalnya, maka surat juru sita disampaikan kepada bupati/walikota dalam wilayah hukum tempat tinggal penggugat. Apabila pihak pihak yang berperkara sudah dipanggil secara patut, mereka perlu memenuhi panggilan tersebut. HIR dan Rbg telah mengatur sanksi bagi pihak yang tidak hadir di muka sidang, juga tidak mengirimkan wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut (Abdulkadir Muhammad. 2008 : 88). b. Pemeriksaan Perkara 1) Pemeriksaan oleh Majelis Hakim Pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan dilakukan oleh satu tim hakim yang berbentuk majelis hakim, diatur dalam Pasal 11 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Majelis hakim terdiri atas tiga
13 orang hakim, seorang bertindak sebagai hakim ketua majelis dan lainnya sebagai hakim anggota. Majelis hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. Pada perkara perdata tidak ada jaksa penuntut umum karena yang berperkara itu adalah pihak pihak yang berkepentingan secara pribadi. Jaksa hadir dalam perkara perdata hanya jika berkepentingan sebagai pengacara Negara. 2) Peradilan yang Terbuka Untuk Umum Sebelum perkara mulai disidangkan maka ketua majelis hakim harus menyatakan bahwa sidang dibuka dan terbuka untuk umum kecuali undang undang menentukan lain. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusan hakim batal demi hukum (Pasal 13 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Untuk sidang yang pemeriksaannya tertutup untuk umum karena terdapat hal hal yang tidak perlu didengar atau diketahui oleh umum, putusannya tetap harus dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. 3) Acara Gugur atau Verstek Pasal 124 HIR mengatur perihal gugurnya gugat apabila penggugat tidak datang dan juga tidak mengirim kuasanya untuk menghadap Pengadilan Negeri pada sidang pertama, meskipun telah dipanggil secara patut. Karena gugat gugur, penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara (R.Subekti. 1989 : 54). Penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi setelah membayar biaya perkara. Ketua majelis hakim masih bisa mempertimbangkan agar penggugat yang tidak hadir itu bisa dipanggil sekali lagi dan menunda sidang.
14 Majelis hakim memilih tindakan menunda sidang jika menurut pertimbangannya ada alasan yang patut diperhatikan, antara lain : a) perkara itu sangat penting; b) tidak hadirnya penggugat karena sakit; atau c) panggilan tidak sampai (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 93). Apabila pada sidang hari pertama yang tidak hadir adalah tergugat dan tidak juga mengirimkan kuasanya untuk hadir, padahal sudah dipanggil secara patut, gugatan dapat dikabulkan tanpa hadirnya tergugat (verstek). Persoalan mengenai verstek diatur dalam Pasal 125 HIR. 4) Mediasi antara Pihak Pihak Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Harjono, 2014 : 15). Pada sidang pertama jika para pihak hadir, maka majelis hakim mengusahakan agar para pihak yang berperkara menyelesaikan perkaranya dengan jalan damai. Menurut ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR, hakim sebelum memeriksa perkara perdata, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi berbunyi pada pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh mediasi dengan itikad baik. Proses mediasi diluar pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang undangan, pengaturannya hanya terbatas pada penggunaan mediasi, tetapi tidak tentang proses penyelenggaraan mediasi. Oleh sebab itu proses mediasi didasarkan atas pengalaman praktisi mediasi dan penelitian para ahli (Asmawati, 2014 : 61). Upaya mendamaikan tidak hanya pada permulaan sidang pertama, tetapi juga sepanjang pemeriksaan perkara, bahkan sampai pada sidang terakhir sebelum ketua majelis hakim
15 mengetukkan palu putusannya (Pasal 130 ayat (1) HIR). Dapat atau tidaknya perdamaian tercapai bergantung pada kebijaksanaan majelis hakim dan kesadaran serta kemauan pihak pihak yang berperkara (Soepomo, 1963 : 61). Apabila perdamaian di muka sidang pengadilan dapat dicapai, acara berakhir dan majelis hakim membuat akta perdamaian (certificate of reconciliation). Akta perdamaian mempunyai kekuatan mengikat (binding force of excecution) dan dijalankan sama dengan putusan hakim (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 102). 5) Jawaban Tergugat Jawaban tergugat diajukan setelah usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil. Dalam HIR tidak diwajibkan tergugat untuk menjawab gugatannya. Jawaban dapat dilakukan secara tertulis ataupun lisan. Apabilajawaban yang diajukan secara tertulis, maka akan dijawab kembali secara tertulis oleh penggugat, yaitu dengan mengajukan replik. Setelah itu tergugat mengajukan duplik sebagai tanggapan tergugat terhadap replik penggugat. Sidang lalu dilanjutkan pengajuan bukti bukti untuk memperkuat dalil masing masing pihak (penggugat dan tergugat). Kemudian penyerahan kesimpulan hasil sidang dari kedua belah pihak. Dalam jawaban tergugat terdapat dari tiga kemungkinan isi, yaitu tangkisan (eksepsi), jawaban mengenai pokok perkara (verweer ten principale) dan rekonpensi (Harjono. 2014 : 19). Eksepsi adalah perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok perkara, tetapi hanya mengenai soal acara belaka (Wirjono Prodjodikoro. 1962 : 58). Menurut ilmu hukum acara perdata mengembangkan jawaban eksepsi dengan menggolongkannya menjadi tiga jenis, yaitu :
16 a) Eksepsi tolak (declinatoir exceptie, declinatory exception) Eksepsi yang bersifat menolak agar pemeriksaan perkara jangan diteruskan. Eksepsi ini dapat berupa eksepsi tidak berwenang memeriksa gugatan, batalnya gugatan, perkara sudah pernah diputus dan penggugat tidak berhak mengajukan gugatan serta banding. b) Eksepsi tunda (dilatoir exceptie, dilatory exception) Eksepsi yang bersifat menunda diteruskannya perkara. Eksepsi ini dapat berupa eksepsi mengenai adanya penundaan pembayaran dari penggugat sehingga tuntutan belum dapat dikabulkan. c) Eksepsi halang (peremptoir exceptie, peremptory exception) Eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan penggugat tetapi telah mendekati pokok perkara. Eksepsi ini dapat berupa eksepsi tentang lampau waktu dan tentang penghapusan utang (Abdulkadir Muhammad. 2008 : 110). HIR hanya mengenal satu macam eksepsi saja yaitu eksepsi mengenai tidak berkuasanya hakim. Pasal 125 ayat (2), Pasal 132. Pasal 133 dan Pasal 134 HIR hanya memperkenalkan eksepsi kompetensi absolut dan relatif. Kedua macam eksepsi di atas termasuk eksepsi yang menyangkut acara dalam hukum acara perdata disebut eksepsi prosesuil (Laura Anastasya. 2009 : 36). Rekonvensi (gugatan balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat, karena terdapat hubungan hukum lain, di samping gugatan konvensi (Harjono. 2014 : 19). Rekonvensi sifatnya insidental saja karena tergugat baru dapat melakukan rekonvensi apabila secara kebetulan
17 penggugat juga pernah melakukan wanprestasi terhadap tergugat. Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a dan 132b HIR. Terhadap setiap gugatan, tergugat dapat mengajukan rekonvensi, kecuali dalam tiga hal yaitu : a) Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas, sedangkan rekonvensi ditujukan kepada diri penggugat pribadi dan sebaliknya. b) Rekonvensi tidak boleh diajukan jika pengadilan negeri yang memeriksa gugatan penggugat tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi. c) Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila mengenai perkara tentang pelaksanaan putusan pengadilan (Abdulkadir Muhammad. 2008 : 114). 6) Pemeriksaan Bukti Surat dan Saksi Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan fakta fakta yang menyatakan bahwa suatu peristiwa hukum benar sudah terjadi (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 125). Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari cukup kebenaran formil. Hakim hanya sebatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Hakim dalam proses perkara perdata bersifat pasif (M. Yahya Harahap, 2006 : 498 499). Ketentuan mengenai pembuktian perdata diatur dalam Pasal 162 164 HIR. Pasal 163 HIR mengatur barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak perbuatan orang lain, haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu. Dalam kata lain, berlaku asas siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus membuktikan.
18 Ada 5 macam alat alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR, yaitu : a) bukti surat; b) bukti saksi; c) persangkaan; d) pengakuan; e) sumpah. 2. Tinjauan mengenai Sita Jaminan Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita dan penyitaan. Beberapa pengertian penyitaan yaitu : a. tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan, b. tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim, c. barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut (M. Yahya Harahap. 2006 : 282). Tujuan utama penyitaan adalah agar barang harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau penghibahan dan sebagainya. Penyitaan juga dimaksudkan agar objek tersebut tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga (M. Yahya Harahap. 2006 : 285). Sita jaminan adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan penggugat untuk mengamankan barang yang sedang disengketakan agar tidak dirusak, dihilangkan, atau dipindahtangankan sebelum perkara itu berakhir (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 60). Macam macam sita jaminan dalam hukum acara perdata yaitu :
19 a. Conservatoir Beslag Mengenai conservatoir beslag diatur dalam Pasal 227 HIR, Pasal 261 Rbg atau 721 Rv. Permohonan sita jaminan oleh penggugat biasanya dicantumkan dalam surat gugatan beserta dengan alasan alasannya. Berdasarkan Pasal 227 HIR, ketentuan ketentuan mengenai sita conservatoir yaitu : 1) harus ada sangkaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang barangnya; 2) barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat; 3) permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan; 4) permohonan harus diajukan dengan surat tertulis; 5) sita conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak atau yang tidak bergerak. Penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya terbatas pada sengketa perkara wanprestasi. Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela, pelunasan utang atau ganti rugi itu, diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang. Tindakan penyitaan barang milik tergugat sebagai debitur bukan untuk diserahkan dan dimiliki penggugat, tetapi diperuntukkan melunasi pembayaran utang tergugat kepada penggugat (M. Yahya Harahap, 2006 : 339). Sita conservatoir merupakan tindakan pendahuluan untuk sita eksekutorial dan pelelangan. Apabila gugatan penggugat dikabulkan, artinya sita jaminan disahkan atau dikuatkan. Apabila gugatan ditolak, diperintahkan untuk mencabut penyitaan tersebut. b. Revindicatoir Beslag Sebenarnya bukan hanya barang barang tergugat saja yang dapat disita, terhadap barang bergerak milik penggugat yang
20 berada dalam kuasa tergugat dapat pula diletakkan sita. Sita ini kemudian disebut sita revindicatoir (revindicatoir beslag) (Retnowulan dan Iskandar, 2002 : 98). Revindicatoir beslag mempunyai kekhususan yaitu objek terbatas pada barang bergerak yang berada di tangan orang lain (tergugat) tanpa hak dan diajukan oleh pemilik barang agar dikembalikan kepadanya (M.Yahya Harahap, 2006 : 326). Ketentuan ketentuan mengenai sita revindicatoir dalam Pasal 226 HIR yaitu : 1) harus berupa barang bergerak; 2) barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat; 3) permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan; 4) permohonan dapat diajukan dengan surat tertulis atau lisan; 5) barang tersebut harus dapat diterangkan dengan seksama dan terperinci. Dalam permohonan sita revindicatoir tidak diatur syarat mengenai permohonan penyitaan didasarkan pada adanya dugaan atau persangkaan yang beralasan kalau tergugat akan menggelapkan atau melenyapkan barang sengketa. Dengan demikian, permohonan sita dianggap memenuhi syarat tanpa adanya alasan atau fakta fakta yang mengindikasikan tergugat akan menggelapkan barang sengketa tersebut (M. Yahya Harahap, 2006 : 330). c. Marital Beslag. Marital beslag atau sita harta bersama merupakan sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Sita marital dikenal dalam hukum acara perdata barat dan diatur dalam Pasal 832a Rv. Di Indonesia pengaturan mengenai sita marital diatur dalam Pasal 190 Kitab Undang Undang Hukum
21 Perdata (semenjak berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku, namun dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukannya sebagai hukum adat tertulis), Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1973, Pasal 78 huruf c Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 3. Tinjauan mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Proses penyelesaian suatu perkara tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 KUH Perdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, ini berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya mengikat kepada para pihak penggugat dan tergugat. Tidak boleh merugikan pihak lain atau pihak ketiga (M. Yahya Harahap, 2006 : 299). Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga terhadap sita, baik sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindikasi (revindicatoir beslag) dan sita eksekusi (executorial beslag). Selain itu, perlawanan terhadap eksekusi diajukan dalam hal : a. Perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga tidak hanya dapat dilakukan atas dasar hak milik, akan tetapi juga dilakukan atas dasar hak hak lainnya seperti hak pakai, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak tanggungan, hak sewa dan lain lain. b. Perlawanan pihak ketiga tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang melaksanakan eksekusi (Pasal 195 Ayat (6) dan (7) HIR atau Pasal 206 Ayat (6) dan (7) Rbg). c. Perlawanan ini pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 Ayat (3) HIR atau Pasal 225 Rbg dan Pasal 227 Rbg), kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidak tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri.
22 d. Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum (Mahkamah Agung, 2008 : 101). Dasar hukum yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial adalah Pasal 195 ayat (6) dan (7), Pasal 207 dan Pasal 208 HIR serta Pasal 379 dan Pasal 382 Rv. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan tidak diatur secara khusus dalam HIR. Namun dalam prakteknya menurut yurispudensi, putusan Mahkamah Agung RI tanggal 31 Oktober 1962 Nomor 06K/Sip/1962, perlawanan pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita tersebut dapat diterima (Yamin Awie, 2010. www.pta-semarang.go.id/ derdenverzet-hm-yamin-awie.pdf diakses pada tanggal 19 November 2015 pukul 13.07). Resistance third party against execution based on property rights. Resistance can also be done based on the goods to be executed has been pledged to a third party (M. Fitriadi et.al., 2015 : 229). Syarat formil kompetensi relatif perlawanan didasarkan pada faktor eksekusi dijalankan. Pasal 379 Rv mengatakan perlawanan ini diperiksa hakim yang menjatuhkan putusan itu perlawanan diajukan dengan suatu pemanggilan untuk menghadap sidang terhadap semua pihak yang telah mendapat keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam peraturan ini. Menurut Taufik Makarao (2004 : 211), dalam praktek terdapat dua macam perlawanan pihak ketiga, yaitu : a. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi Perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi adalah perlawanan pihak ketiga atas suatu penyitaan terhadap suatu benda atau barang karena putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. b. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan
23 pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Sita dapat berbentuk conservatoir beslag atau revindicatoir beslag. Jika pihak ketiga merasa bahwa barang tersebut adalah miliknya, maka pihak ketiga tersebut dapat melakukan perlawanan. Pada umumnya yang dimohonkan oleh pelawan dalam perlawanannya adalah : a. Agar dinyatakan bahwa perlawanan tersebut adalah tepat dan beralasan. b. Agar dinyatan bahwa pelawan adalah pelawan yang benar. c. Agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang bersangkutan diperintahkan untuk diangkat. d. Agar para terlawan dihukum untuk membayar biaya perkara. Jika pelawan dapat membuktikan bahwa barang yang disita adalah miliknya, maka keempat hal yang diminta tersebut akan dikabulkan. Namun jika pelawan tidak dapat membuktikannya maka perlawanan tersebut dinyatakan tidak beralasan (Retnowulan dan Iskandar, 2002 : 177). Terhadap putusan perlawanan dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
24 B. Kerangka Pemikiran PENGGUGAT a GUGATAN PERDATA PENGADILAN TERGUGAT PROSES BERACARA PUTUSAN PENETAPAN SITA JAMINAN DERDEN VERZET PERLAWANAN DITOLAK PENGADILAN NEGERI BANDING PENGADILAN TINGGI MENGUATKAN KASASI PERLAWANAN DITERIMA MAHKAMAH AGUNG PERTIMBANGAN HAKIM AGUNG DALAM PEMBATALAN SITA JAMINAN Gambar 2. Kerangka Pemikiran AKIBAT HUKUM PEMBATALAN SITA JAMINAN
25 Keterangan Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berfikir Penulis dalam menyusun penelitian hukum. Berdasarkan alur tersebut dapat dijelaskan bahwa penggugat mengajukan gugatan perdata kepada tergugat disertai dengan permohonan sita jaminan di Pengadilan Negeri. Gugatan yang telah diajukan kemudian diproses dari pemeriksaan hingga dijatuhkannya putusan. Putusan tersebut menyatakan bahwa permohonan sita jaminan dikabulkan, namun setelah diletakkannya sita jaminan terdapat pihak ketiga yang berasal dari luar yang bukan merupakan pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut merasa bahwa dirinya dirugikan karena objek sita adalah hak miliknya. Pihak ketiga tersebut kemudian melakukan perlawanan untuk melawan penetapan sita jaminan itu dan diajukan ke Pengadilan Negeri. Pada tingkat pertama, perlawanan tersebut ditolak oleh hakim. Pihak ketiga kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim Pengadilan Tinggi kemudian menguatkan putusan Pengadilan Negeri kemudian pelawan memohon kasasi. Mahkamah Agung menerima perlawanan tersebut dan membatalkan penetapan sita jaminan yang telah diletakkan. Oleh sebab itu penulis mencoba mengkaji apakah dasar dari pertimbangan hakim agung dalam memutus upaya hukum derden verzet terhadap sita jaminan di tingkat banding serta untuk mengetahui apa akibat hukum dari pembatalan sita jaminan tersebut.