1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan renang selama 65 menit setiap hari (kelompok kontrol) mengalami penurunan sel-sel spermatogenik baik Spermatogonium A, Spermatosit Pakiten, Spermatid 7 dan Spermatid 16, setelah diperiksa melalui pemeriksaan histologis (Tabel 5.17). Penurunan ini didapat setelah melakukan perhitungan rerata sel-sel spermatogenik pada pre-test kemudian dibandingkan dengan post-test kelompok kontrol yang menunjukkan perbedaan (penurunan) secara bermakna. Penurunan dari sel-sel spermatogenik ini disebabkan oleh degenerasi maupun kerusakan sel-sel spermatogenik yang terbentuk (Maneesh & Jayalekshmi, 2006). Kerusakan sel-sel spermatogenik ini dikarenakan oleh adanya radikal bebas yang terbentuk dari pelatihan fisik secara berlebihan yang dialami hewan coba. Hasil penelitian di atas sesuai dengan beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Indira, (2008) menunjukkan adanya penurunan sel-sel spermatogenik pada mencit yang menerima pelatihan fisik secara berlebih. Penurunan konsentrasi dan motilitas spermatozoa mencit setelah diberikan pelatihan fisik secara berlebih dilaporkan oleh Binekada (2002). Penelitian yang dilakukan oleh Maslachah (2008), menunjukkan bahwa pelatihan fisik yang berlebih juga menyebabkan peningkatan kadar MDA (Malondialdehide). Senyawa MDA menyebabkan kerusakan membran spermatozoa dan penurunan integritas membran spermatozoa sehingga akan terjadi penurunan kualitas spermatozoa (Hayati, et al. 2006). 69
2 Menurut Adiputra (2008), dinyatakan bahwa pelatihan fisik yang berlebih akan dapat berdampak kurang baik bagi sistem organ dalam tubuh, dalam penelitian ini khususnya berdampak bagi kesehatan reproduksi yaitu dalam proses spermatogenesis. Pelatihan fisik yang berlebih dapat menyebabkan timbulnya radikal bebas, dimana radikal bebas ini menyebabkan timbulnya stres oksidatif. Pelatihan fisik berlebih dapat meningkatkan radikal bebas karena beberapa hal antara lain seperti misalnya selama latihan fisik berlebih, seluruh tubuh mengkonsumsi oksigen (VO 2 ) menjadi 20 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat. Mitokondria adalah tempat utama pembentukan spesies oksigen reaktif (SOR) selama latihan melalui jalur tanspor elektron. Akibatnya akan terbentuk radikal bebas superoksida. Radikal bebas superoksida secara cepat akan direduksi menjadi hidrogen peroksida oleh enzim superokside dismutase oleh mitokondria. Bila molekul hidrogen peroksida ini bereaksi dengan logam transisi seperti Fe ++ dan CU ++ akan meningkatkan pembentukan radikal hidroksil. Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Selain hal itu, terjadi pula kondisi hipoksia relatif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal dan usus disebabkan redistribusi aliran darah ke otot yang bekerja. Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi xantin oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida (Saleh & Agarwal, 2002). Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel-sel spermatogenik melalui mekanisme peroksidasi komponen lipid dari membran sel (Saleh & Agarwal, 2002). Kerentanan spermatozoa dari proses lipid peroksidasi karena struktur dari
3 membran sel spermatozoa sangat tinggi kandungan asam lemak tak jenuh khususnya docosahexaenoic dimana penting dalam mengatur proses spermatogenesis dan fluiditas membran. Peroksidasi dari asam lemak tak jenuh yang terjadi pada membran sel spermatozoa adalah reaksi self-propagation, yang dapat meningkatkan disfungsi sel akibat hilangnya fungsi dan integritas membran (Sanocka & Kurpisz, 2004). Stress oksidasi akibat pelatihan fisik berlebih pada spermatozoa akan dapat menyebabkan gangguan pada proses oksidasi fosforilasi sehingga terjadi peningkatan produksi ROS spermatozoa. Peningkatan ROS ini dapat disebabkan juga karena antioksidan yang tersedia dalam sperma tidak mampu lagi mengubah oksigen reaktif menjadi senyawa yang netral (Hayati, et al. 2006). 6.2 Efek Beta Karoten Terhadap Spermatogenesis Mencit yang Mengalami Pelatihan Fisik Berlebih Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa pemberian beta karoten dengan dosis 0,1 mg dan 0,2 mg setiap hari selama 25 hari pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih (swimming stress) mencegah penurunan jumlah rerata sel-sel spermatogenik (spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7 dan spermatid 16) setelah diperiksa secara histologis (Tabel 5.9, Tabel 5.11, Tabel 5.13 dan Tabel 5.15). Perbedaan jumlah rerata sel-sel spermatogenik setelah perlakuan (post-test) ini didapatkan setelah diuji secara statistik (One Way Anova) yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok control dengan kedua kelompok perlakuan. Jumlah sel-sel spermatogenik pada kelompok
4 post-test perlakuan 1 dan perlakuan 2 lebih tinggi bandingkan dengan post-test kelompok kontrol dan jumlah rerata sel-sel spermatogenik kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2 hampir sama dengan jumlah rerata sel-sel spermatogenik pre-test pada masing-masing kelompok. Tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah sel-sel spermatogenik post-test perlakuan 1 (pemberian beta karoten 0,1 mg) lebih rendah daripada jumlah rerata sel-sel spermatogenik pada perlakuan 2 (pemberian beta karoten 0,2 mg) (Tabel 5.9. sampai Tabel 5.16). Hal ini berarti pemberian beta karoten pada mencit yang mengalami pelatihan fisik secara berlebih dapat mencegah penurunan jumlah sel-sel spermatogenik. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Thyagaraju et al., (2008), bahwa pemberian suplemen beta karoten (provitamin A) selama satu bulan pada tikus yang mengalami diabetes yang diinduksi dengan Streptocotozin mampu mengurangi kerusakan jaringan pada testis akibat aktivitas senyawa oksigen reakitf (ROS). Ningtias dan Nugraha (2008) juga melaporkan bahwa pemberian beta karoten 15 mg dan 30 mg dalam bentuk wortel kukus dapat menurunkan kadar malondialdehid dalam plasma manusia yang terpapar polusi kendaraan bermotor. Ini menujukkan bahawa beta karoten dapat mencegah terjadinya peroksidasi lipid oleh radikal bebas. Beta karoten merupakan antioksidan yang memiliki aktifitas biologis menetralisir radikal bebas yang timbul dari reaksi normal biokimiawi tertentu ataupun dari eksogen. Beta karoten juga dapat meredam singlet oxygene, yang dapat memicu pembentukan rantai reaksi radikal bebas selanjutnya. (Roche, 2000).
5 Beta karoten sebagai antioksidan bekerja dengan memutus rantai radikal bebas dan bersifat lipofilik sehingga berperan pada membran sel termasuk sel spermatozoa untuk mencegah peroksidasi lipid (LPO). Peroksidai lipid adalah reaksi rantai yang timbul oleh radikal hidroksil terhadap asam lemak tak jenuh dari fosfilipid dan glikolipid yang menyusun membran sel. Beta karoten mengikat peroksil lipid membentuk senyawa radikal beresonansi yang stabil (Mayes (b), 2002). Beta karoten, vitamin E, vitamin C, glutation dan antioksidan lainnya berperan meredam ROS dengan memberi elektron (elektron donor) kepada ROS yang terbentuk, sehingga menjadi senyawa yang non radikal yang tidak berbahaya terhadap membran sel. Pemberian beta karoten pada pelatihan fisik berlebih dapat mencegah atau memutuskan rantai radikal superoksida menjadi radikal hidrogen peroksida (Mayes(b),2002). 6.3 Efek Pemberian Beta Karoten Terhadap Kualitas Tubulus Seminiferus Mencit yang Mengalami Pelatihan Fisik Berlebih Kelompok mencit yang diberikan pelatihan fisik berlebih menunjukkan adanya penurunan kualitas tubulus seminiferus dengan hilangnya sel-sel intermedia (kategori 3) di dalam tubulus seminiferus dan banyaknya kategori 4 yaitu penurunan spermatogensis dimana penurunan paling sedikit 75% jumlah sel spermatozoa yang terlihat dalam lumen tubulus dengan bentuk intermedia yang utuh. Pemberian beta karoten setiap hari selama 35 hari, kualitas tubulus menunjukkan hampir tidak adanya penurunan kualitas tubulus seminiferus
6 terutama pada kelompok perlakuan yang diberi beta karoten 0,2 mg (perlakuan 2) dibandingkan dengan kelompok yang diberi beta karoten 0,1 mg (perlakuan 1). Tidak adanya penurunan kualitas tubulus seminiferus juga didukung oleh asosiasi sel-sel spermatogenik pada tubulus seminiferus mulai dari membran basalis ke arah lumen yaitu spermatogonium, spermatosit dan spermatid. Terlihat asosiasi sel-sel spermatogenik yang normal dimana susunan sel rapat dan kompak. Lumen tampak terisi penuh oleh spermatozoa baik yang masih menempel pada sel sertoli maupun yang telah mengalami spermisi. Tentunya dengan kualitas tubulus yang baik, sel-sel spermatogenik pun akan berkembang dengan baik. Berbeda dengan kelompok kontrol (yang mendapat pelatihan fisik berlebih), terlihat asosiasi selsel spermatogenik sangat longgar, tidak teratur dan adanya kerusakan dari membran basalis tubulus seminiferus. Pada kelompok yang diberi beta karoten 0,1 mg asosiasi sel-sel spermatogenik tersusun agak longgar dan kurang teratur. Lumen tubulus seminiferus pada kelompok ini mengandung spermatozoa yang lebih sedikit sehingga lumen terlihat tidak penuh. Kualitas tubulus seminiferus kelompok yang diberi beta karoten 0,2 mg meunjukkan tidak adanya perbedaan dengan kelompok yang tidak mendapat pelatihan fisik berlebih (Tabel, 5.27). Hal ini menunjukkan bahwa beta karoten sebagai antioksidan dapat mencegah kerusakan tubulus seminiferus pelatihan fisik berlebih.