1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan merupakan rangkaian proses alami yang akan terjadi semua makhluk hidup. Semua manusia tentu lebih senang jika usia kronologisnya terlihat tidak sama dengan usia biologisnya, sehingga mereka terlihat lebih muda dari yang seharusnya. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk terlihat lebih muda dan memperpanjang usia harapan hidup, serta menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik. Saat ini jumlah populasi orang tua di kawasan Asia Pasifik meningkat secara signifikan, dari 410 juta orang pada tahun 2007, diperkirakan akan mencapai jumlah 733 juta orang pada tahun 2015 dan 1,3 miliar orang pada tahun 2050. Pada tahun 2025, diperkirakan 15% populasi dunia adalah orang tua. Indonesia sebagai negara dengan populasi terpadat ke-empat, dan pada tahun 2020 diperkirakan akan memiliki 11% populasi orang tua atau 28,8 juta orang (Amri, 2009). Pada manusia, setelah mencapai usia dewasa, seluruh komponen tubuh secara alamiah tidak akan dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan fungsi karena proses penuaan. Namun mengingat angka harapan hidup seseorang dapat semakin meningkat, maka pada tahun 1993 dicetuskan konsep baru Anti Aging Medicine (AAM). Konsep baru ini menyatakan pertama bahwa penuaan adalah suatu penyakit yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati sehingga dapat berfungsi kembali ke 1
2 keadaan semula. Dengan demikian manusia tidak lagi harus membiarkan begitu saja proses penuaan dengan segala keluhannya, dan bila perlu mendapatkan pengobatan atau perawatan. Kedua, manusia bukanlah orang hukuman yang pasrah terperangkap adalam takdir genetiknya. Ketiga manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2011). Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua, dan dengan semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya perubahan fisik, baik tingkat seluler, organ, maupun sistem pada tubuh, karena terjadinya proses penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008). Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Fowler, 2003). Dengan bertambahnya proses penuaan usia seseorang, dimana terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh ini dapat memicu munculnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah suatu penyakit yang timbul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003). Salah satu penyakit degeneratif metabolik yang akhir-akhir ini prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun adalah diabetes mellitus tipe 2. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 23 juta
3 orang atau sekitar 8% dari total populasi orang di Amerika Serikat menderita diabetes. Prevalensi diabetes total ini meningkat sebesar 13,5% dari tahun 2005 sampai tahun 2007. Saat ini diperkirakan ada sekitar 24% dari populasi menderita diabetes yang tidak terdiagnosis (Anonim, 2011). Di Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak pada awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak keempat di dunia, setelah Amerika Serikat, India dan China. Menurut perkiraan yang dikemukakan oleh World Health organization (WHO, 2005) Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 di dunia, dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, yang naik 2 tingkat jika dibandingkan dengan tahun 1995 (Suyono, 2005). Menurut laporan nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi diabetes mellitus tertinggi di daerah perkotaan yang ada di Indonesia terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku (11,1%) dan di beberapa kota seperti Jakarta mencapai 6,6 % dan Bali mencapai 5,7% (Depkes, 2008). Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup memproduksi insulin metabolisme glukosa darah dan tubuh yang tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011). Tipe diabetes yang banyak dialami adalah non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM/Tipe II). Adanya kegagalan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi penggunaan insulin di tingkat perifer menjadi penyebab
4 terjadinya diabetes melitus tipe II ini. Peningkatan glukosa darah sewaktu adalah salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit diabetes. Glukosa darah sewaktu ini dapat meningkat karena adanya aktivitas dari α-glukosidase, suatu enzim yang membantu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi karbohidrat sederhana seperti maltosa dan glukosa darah (Bhat et al., 2011). Salah satu tujuan terapeutik pada terapi antidiabetes adalah dapat menurunkan absorpsi glukosa di gastrointestinal, dengan menghambat aktivitas enzim pencernaan karbohidrat seperti alfa glucosidase (Narkhede et al., 2011). Penghambatan aktivitas dari alfa glukosidase, enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dalam pencernaan, dapat secara signifikan menurunkan kadar serum glukosa darah sewaktu dalam tubuh. Penelitian yang dilakukan Marles dan Farnworth (1996) menunjukkan bahwa ada lebih dari 1200 species tanaman obat yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap diabetes dan 50% dari tanaman tersebut telah dibuktikan secara ilmiah memiliki efek antihiperglikemi. Beberapa tanaman obat yang terdapat di Indonesia antara lain Java tea (Orthosiph naristatus), kayu secang (Caesalpinia sappan), jahe (Zingiber officinales) dan kaffir lime (Citrus hystrix) (Wijaya et al., 2011). Beberapa anggota dari spesies Verninoa (family Asteraceae) dalam beberapa tahun terakhir ini digunakan untuk pengobatan. Daun Afrika Selatan yang sering juga disebut African Bitter Leaf (Vernonia amygdalina) adalah salah satu yang dapat ditemukan di Asia terutama Singapore dan Malaysia, Afrika dan Amerika utara dan Amerika selatan. Tanaman ini juga mudah ditemukan di Indonesia. Daun Afrika Selatan (Vernonia amygdaline) merupakan anggota spesies tanaman hijau (Vernoniaea), yang umumnya mudah sekali tumbuh di
5 semua daerah, baik itu daerah panas dan daerah yang berhawa sejuk. Bagian paling penting yang berperan untuk pengobatan adalah bagian daunnya. Daunnya berwarna hijau tua dengan permukaan yang licin dan halus, di sisi belakangnya dengan warna yang lebih terang, bentuknya berkelok dengan ukuran 1,3 7 cm. (Hostettmann et al., 2000). Menurut analisis yang dilakukan daun Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina) mengandung beberapa komponen, antara lain tanin, saponin, polifenol terutama asam quinic, asam klorogenik dan luteolin serta antioksidan dan alkaloid, xeronin dan vitamin C (Tiwari dan Rao, 2009). Peran senyawa flavonoid dalam mengendalikan glukosa darah yaitu meningkatkan pengeluaran insulin yang dihasilkan oleh sel beta Pulau Langerhans pankreas dengan cara meningkatkan metabolisme Ca 2+ dan meregenerasi pulau Langerhans pankreas melalui sel beta. Melalui interaksi dengan ATP sensitif K channel pada membrane sel-sel beta menimbulkan depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca, maka ion Ca 2+ akan masuk ke dalam sel beta kemudian merangsang granula yang berisi insulin dan menyebabkan terjadinya sekresi insulin (Wibudi et al., 2008). Senyawa aktif lain yang terdapat dalam daun Afrika Selatan adalah saponin yang bermanfaat dalam menurunkan glukosa darah. Mekanisme kerja saponin dalam menghambat peningkatan glukosa darah adalah dengan cara menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase (enzim dalam pencernaan yang bertanggung jawab terhadap perubahan karbohidrat menjadi glukosa). Saponin menghambat penyerapan molekul zat gizi yang lebih kecil seperti glukosa dengan cara menghambat sistem transporter glukosa (Rotblatt dan Zimet, 2002).
6 Peran polifenol dalam daun Afrika Selatan sebagai antioksidan mampu melindungi sel beta pankreas dari efek toksik radikal bebas yang diproduksi di bawah kondisi hiperglikemia kronis. Polifenol juga mampu memperbaiki sel beta pankreas dan menjaga kandungan insulin di dalamnya. Pada sel-sel yang memiliki reseptor insulin (sel otot, sel adipose, sel hati), pengikatan radikal bebas akan meningkatkan insulin sinyal pada translokasi GLUT 4 intraseluler ke membrane sel sehingga mampu mengambil glukosa dari darah (Cartailler, 2004). Dalimartha (2005) menyebutkan bahwa tanin diketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan lemak, sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan, senyawa ini juga mempunyai aktivitas hipoglikemik yaitu dengan meningkatkan glikogenesis. Xeronin berfungsi untuk meregenerasi sel dan reseptor sel tubuh, termasuk pankreas yang menghasilkan insulin sebagai regulator glukosa darah (Wang et al., 2002; Heinicke, 2008). Daun Afrika Selatan belum memberikan efek buruk terhadap struktur histologis hepar maupun ginjal. Hal ini dibuktikan dengan penelitian daun Afrika Selatan dengan dosis 600mg/kgBB, yang diberikan oral kepada 15 ekor mencit jantan dewasa selama 10 hari (Nimenibo, 2003). Hasil penelitian selama 28 hari dengan pemberian ekstrak daun Afrika Selatan sebesar 600mg/kgBB menunjukkan organ hati pada mencit menyebabkan megalositosis pada inti sel dan degenerasi sel, serta pada organ ginjal menyebabkan dilatasi sebagian tubuli, namun secara keseluruhan dibuktikan bahwa ekstrak daun Afrika Selatan belum memberikan efek yang buruk (Eleyinmi et al., 2008).
7 Pemberian ekstrak daun Afrika Selatan diharapkan dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah, sebagai salah satu tindakan anti aging, yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Penelitian ini dilakukan menggunakan ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina), yang diekstraksi menggunakan etanol, diberikan kepada tikus diabetes yang diinduksi dengan nicotinamid dan streptozotocin. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pemberian ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amydalina) secara oral dapat meningkatkan kadar insulin puasa tikus diabetes melitus? 2. Apakah pemberian ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina) secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada tikus diabetes melitus? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pemberian ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina) dapat membantu mengontrol kadar glukosa darah. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk membuktikan pemberian ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina) secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah post prandial
8 pada tikus diabetes melitus. 2. Untuk membuktikan pemberian ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina) secara oral dapat meningkatkan kadar insulin puasa pada tikus diabetes melitus. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Ilmiah : memberikan informasi mengenai efektivitas konsumsi ekstrak daun Afrika Selatan (Verninoa amygdalina) yang dikonsumsi terhadap penurunan kadar glukosa darah post prandial pada tikus hiperglikemia, serta kemungkinan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat klinis : dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan, yang dapat membantu pengobatan utama secara medis terhadap penyakit diabetes melitus setelah dilakukan clinical trial terlebih dahulu. 3. Manfaat sosial : sebagai acuan masyarakat untuk memahami manfaat dari konsumsi ekstrak daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina).
9 jantan dewasa selama 10 hari (Nimenibo, 2003). Hasil penelitian menunjukkan selama 28 hari bahwa organ hati pada mencit yang diberikan ekstrak daun Afrika Selatan dengan dosis 600mg/kgBB menyebabkan megalositosis pada inti sel dan degenerasi sel, serta pada organ ginjal menyebabkan dilatasi sebagian tubuli, namun secara keseluruhan dibuktikan bahwa ekstrak daun Afrika Selatan belum memberikan efek yang buruk (Eleyinmi et al., 2008). Atangwho (2009) pada penelitiannya membandingkan komposisi fitokimia 3 tanaman yang memiliki efek antidiabetik yaitu Azadirachta indica, Vernonia amygdalina (Daun Afrika Selatan) dan Gongronema latifolium. Terbukti bahwa daun Afrika Selatan paling tinggi mengandung komponen kadar saponin dan polifenol, fungsi saponin disini adalah menghambat peningkatan glukosa darah dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase, yaitu enzim dalam pencernaan yang bertanggung jawab terhadap perubahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa (Rotblatt dan Zimet, 2002). Atangwho et al., (2011) juga membuktikan secara pemeriksaan histopatologi organ pankreas tikus dengan pewarnaan HE dan GAF, bahwa terjadi perbaikan pada sel sentroasinar, duktus ekskretorius dan sel islet pankreas dengan pemberian ekstrak daun Afrika Selatan dengan dosis 200mg/kgBB selama 28 hari. Bahkan didapatkan tidak adanya perbaikan pada sel beta pankreas saat diberikan perlakuan Insulin 5IU/kgBB. Perbaikan sel beta pankreas terjadi karena komponen polifenol yang mampu melindungi sel beta pankreas dari kerusakan radikal bebas yang diproduksi dibawah kondisi hipergikemia kronis (Cartailler, 2004).