BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

ANALISIS KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI INSTALASI FARMASI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA S K R I P S I

EVALUASI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT NIRMALA SURI SUKOHARJO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah sebagai salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

HANY DWI PRATIWININGSIH K

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Implikasinya tersedia berbagai jenis dan jumlah pilihan obat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN INFORMASI OBAT APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT ISLAM AMAL SEHAT SRAGEN SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI LIMA APOTEK KOTA SURAKARTA SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008).

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

SKRIPSI NURUL HASANAH IKASARI K Oleh :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP TERHADAP PELAYANAN APOTEK RUMAH SAKIT UMUM Dr. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE FEBRUARI MARET TAHUN 2010 SKRIPSI

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hal ini memerlukan suatu variabel yang dapat digunakan untuk

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam

ANALISIS KUALITAS INFORMASI OBAT UNTUK PASIEN DI APOTEK KOTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN DI APOTEK KIMIA FARMA 63 SURAKARTA TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. obat (Drug Oriented) ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam struktur kesehatan, apotek termasuk salah satu pilar penunjang yang sering menjadi korban ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan apotek yang menganggap apotek hanya mementingkan usaha komersial dan melupakan fungsi sosialnya. Pelayanan kefarmasian di apotek hendaknya memiliki tujuan pokok agar pasien mendapatkan obat yang bermutu baik dengan informasi yang selengkap-lengkapnya Pelayanan kefarmasian adalah pengelolaan dan penggunan obat secara rasional, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan secara menyeluruh, yang dilaksanakan secara langsung dan bertanggung jawab demi tercapainya peningkatan kualitas hidup manusia (Aziza, 2006). Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep, komunikasi - informasi - edukasi, obat resep, dan pengelolaan obat (Permenkes RI. No 35 Tahun 2014). Obat adalah produk khusus yang memerlukan pengamanan bagi pemakainya, sehingga pasien sebagai pemakai perlu dibekali informasi yang memadai untuk mengkonsumsi suatu produk obat. ldealnya petugas apotek baik diminta ataupun tidak harus selalu pro aktif memberikan pelayanan informasi obat sehingga dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli. lnformasi ini meliputi dosis, cara pakai tentang cara dan waktu menggunakan obat, jumlah pemakaian dalam sehari, cara menyimpan perbekalan farmasi di rumah (kantor), cara mengatasi efek samping yang mungkin akan terjadi (Ahaditomo, 2004) Apotek sebagai salah satu komponen distribusi yang terlibat dan berhubungan langsung dengan masyarakat atau konsumen baik dalam usaha pengobatan sendiri ataupun pengobatan oleh dokter, memiliki peran sangat penting dalam upaya kesehatan pada umumnya dan mutu pemakaian obat oleh masyarakat pada khususnya. Jika hal ini dibarengi dengan profesionalisme dan 1

2 komunikasi interaktif yang tinggi dengan masyarakat dalam proses pengobatan, maka hasilnya akan lebih efektif dan efisien (Harianto dkk, 2005). Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan adalah model kesenjangan kualitas jasa dengan metode servqual (service quality) yang dikembangkan oleh (Kotler, 2006). Servqual dikembangkan atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas layanan nyata yang mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan (expected service). Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu, sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, maka layanan dikatakan tidak bermutu. Apabila kenyataan sama dengan yang diharapkan, maka layanan disebut memuaskan. Oleh karena itu servqual didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima (Cronin dan Taylor, 2007). Penelitian Susyanti (2007) menjelaskan bahwa informasi pelayanan kefarmasian utama yang menjadi prioritas pasien adalah kelengkapan obat dan fasilitas pendukung apotek, namun pada kenyataannya kebutuhan informasi masih kurang dibanding kebutuhan akan kecepatan pelayanan, dan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien. Berdasarkan survei awal yang dilakukan terhadap apoteker di beberapa apotek di Surakarta, pemberian informasi obat memang telah dilaksanakan, namun untuk konsumen yang kritis masih merasa tidak puas dengan pemberian informasi obat dari apoteker. Sebagian apoteker berpendapat bahwa yang penting petugas apotek sudah melaksanakan kewajibannya saja yaitu melayani pembelian obat, sedangkan kebutuhan informasi obat dari konsumen tidak begitu diperhatikan, padahal konsumen membutuhkan informasi obat untuk menunjang penggunaan obat secara rasional. Berdasar kajian teori dan studi pendahulan, maka sangat penting kiranya untuk mengetahui penilaian konsumen seberapa besar petugas apotek dalam memberikan informasi obat yang dibeli sebelum pasien menerima obat sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pengobatan yang dilakukan.

3 Oleh karena itu peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai kualitas informasi obat dengan resep di apotek Kota Surakarta. B. Perumusan Masalah Apakah informasi obat yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien di apotek kota Surakarta sudah berkualitas? C. Tujuan Penelitian Mengetahui kualitas informasi obat untuk pasien di apotek kota Surakarta. D. Tinjauan Pustaka 1. Kualitas Informasi Obat Informasi obat dan pengobatan selalu diperlukan dari waktu ke waktu ke dalam sistem pelayanan kesehatan baik oleh pemegang kebijakan, pengelola pelayanan, pelaku atau bahkan pasien dan masyarakat pada umumnya. Sistem pelayanan informasi obat dan pengobatan seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system pelayanan kesehatan itu sendiri (Anief, 2005). Kegiatan yang harus dijalankan dalam pelayanan informasi obat antara lain (Kepmenkes, 2004): a. memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif. b. menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka. c. membuat buletin, leaflet, label obat. d. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya. e. mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian. Tanggung jawab dan tugas apoteker di apotek adalah: pertama, bertanggung jawab atas obat dengan resep. Apoteker mampu menjelaskan tentang obat pada pasien, sebab; (a) tahu bagaimana obat tersebut diminum, (b) tahu reaksi efek samping obat yang mungkin ada, (c) tahu stabilnya obat dalam

4 bermacam-macam kondisi, (d) tahu toksisitas obat dan dosisnya, dan (e) tahu cara dan rute pemakaian obat. Kedua, tanggung jawab apoteker untuk memberi informasi pada rakyat dalam memakai obat bebas dan bebas terbatas (OTC). Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self diagnosis atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep dokter. Apoteker menentukan apakah self diagnosis/self medication dari penderita dapat diberi obatnya atau konsultasi ke dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan semakin bertambah (Anief, 2005). Selain itu disebutkan bahwa dokter dan professional kesehatan lainnya harus konsisten sepenuhnya dengan data penelitiannya ilmiah atau dengan sumber informasi lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam hal pelayanan, apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Pelayanan resep adalah menjadi tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawabnya dan keahlian profesionalnya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberi informasi tentang penggunaan obat secara tepat, aman, rasional kepada pasien atas permintaan masyarakat. Apoteker pengelola apotek, sedang apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (Daftar OWA) juga ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (ISFI, 2006). Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya. Informasi yang merupakan sumber daya strategis bagi organisasi atau suatu entitas yang mendukung kelangsungan hidup bagi organisasi. Oleh karena itu informasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan organisasi. Pengukuran kualitas informasi ditentukan oleh delapan hal yaitu (Mardiyanti, 2007): a. ketersediaan (availability) yaitu tersedianya informasi itu sendiri. Informasi harus dapat diperoleh (accessible) bagi orang yang hendak memanfaatkannya. b. mudah dipahami (comprehensibility) yaitu informasi harus mudah dipahami oleh pembuat keputusan, baik itu informasi yang menyangkut pekarjaan rutin

5 maupun keputusan-keputusan yang bersifat strategis. Informasi yang berbelitbelit hanya akan membuat kurang efektifnya keputusan manajemen. c. relevan (relevance) yaitu informasi tersebut harus mempunyai manfaat untuk penerimanya. d. bermanfaat yaitu informasi harus bermanfaat bagi organisasi. Karena itu informasi juga harus dapat tersaji ke dalam bentuk-bentuk yang memungkinkan pemanfaatan oleh organisasi yang bersangkutan. e. informasi harus akurat yaitu informasi harus bebas dari kesalahan dan tidak menyesatkan serta harus jelas mencerminkan waktunya. f. tepat waktu (time liness) yaitu informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. g. keandalan (reliability) yaitu informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan kebenarannya. Pengolah data atau pemberi informasi harus dapat menjamin tingkat kepercayaan yang tinggi atas informasi yang disajikannya. h. konsisten yaitu informasi tidak boleh mengandung kontradiksi didalam penyajiannya karena konsistensi merupakan syarat penting bagi dasar pengambilan keputusan. Pendapat lainnya Azia (2006) menyatakan kualitas informasi ditentukan oleh tujuh hal yaitu: 1). aksesibilitas yaitu informasi mudah didapatkan oleh pengguna informasi. Hal ini berkaitan dengan aktualisasi dari nilai informasinya. 2). kelengkapan yaitu berkaitan dengan kelengkapan isi dari informasi, dalam hal ini tidak hanya menyangkut volume tetapi juga kesesuaian dengan harapan pengguna informasi. 3). ketelitian yaitu berkaitan dengan kesalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pengolahan data menjadi informasi. 4). ketepatan makna yaitu kesesuaian antara informasi yang dihasilkan dengan kebutuhan pemakai. 5). ketepatan waktu yaitu penyampaian informasi dan aktualisasi dilakukan tepat waktu.

6 6). kejelasan yaitu informasi dalam bentuk atau format disajikan dengan jelas. 7). fleksibilitas yaitu berkaitan dengan tingkat adaptasi dari informasi yang dihasilkan terhadap kebutuhan berbagai keputusan yang akan diambil dan terhadap sekelompok pengambilan keputusan yang berbeda. Menurut Medscape Drug Reference (MDR) informasi obat itu sendiri meliputi : cara pakai, efek samping, kontraindikasi, dosis, interaksi obat, indikasi, mekanisme aksi, penggunaan pada ibu hamil dan menyusui. 2. Tinjauan Umum Tentang Apotek Menurut PP No. 51 Tahun 2009, tentang pekerjaan kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Berdasarkan survei tersebut diharapkan pengelola apotek untuk memberikan informasi yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat minimal selama proses dispensing disediakan waktu khusus untuk menyampaikan informasi tersebut. Penyerahan obat ke pasien tidak sekedar bagian dari proses distribusi yang menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan obat oleh pasien tapi juga ada kontribusi dispenser terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat dalam penggunaan obat. Hal ini meningkatkan pemahaman masyarakat pengguna obat sangat beragam dan mengingat semakin luasnya peredaran obat. Menurut Permenkes RI. No 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah : a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, b. sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, c. sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika, d. sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan fanmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Permenkes RI. No 35 Tahun 2014 disebutkan dan diatur tentang yang dimaksud dengan pengelolaan apotek yang meliputi:

7 a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan betuk pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat, b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan pembekalan farmasi lainya, c. pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi. Permenkes RI. No 35 Tahun 2014 menjelaskan yang dimaksud dengan pelayanan informasi adalah meliputi : a. pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. b. pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan atau bahaya mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya. Apoteker adalah profesional kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan masyarakat. Karena itu apoteker sebagai salah satu bentuk sarana pelayanan kesehata yang berkewajiban untuk menyediakan dan menyalurkan obat yang aman serta rasional. Apoteker harus meningkatkan fungsi perannya dengan selalu memperhatikan aspek kemanusiaan serta etika pelayanan kesehatan. Permenkes RI. No 35 Tahun 2014 tentang Apotek ialah mengubah fungsi apotek dari bentuk usaha dagang menjadi tempat pengabdian profesi bagi apoteker. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, maka tangung jawab pengabdian profesi dan wewenang pengelolaan apotek sepenuhnya berada di tangan apoteker. Dengan wewenang tersebut, apoteker dapat meningkatkan pelayanan farmasi yang baik berdasarkan konsep pel;ayanan farmasi yang baik berdasarkan konsep pelayanan farmasi yang baik. Untuk tujuan pelayanan farmasi yang baik tersebut pada tahap mela dalam pelaksanaan PFB (pelayanan farmasi yang baik) di apotek perlu dilakukan hal-hal berikut (Siregar, 2004) : a. Perlu ditetapkan dan diterapkan standar praktek apoteker berdasarkan konsep pelayanan farmasi yang baik. b. Untuk meningkatkan kepatuhan penderita, apoteker wajib memberi informasi dan atau konseling kepada penderita tentang obatnya terutama hal yang perlu dketahui penderita.

8 c. Apoteker wajib memberi informasi obat dan informasi kesehatan kepada masyarakat baik secara aktif maupun pasif. Informasi obat lebih ditentukan pada penggunaan obat baik dalam pengibatan sendiri misalnya resiko lewat dosis, terjadinya interaksi antara berbagai obat yang dipakai sekaligus, petunjuk penggunaan, mengkondisikan dosis yang lazim, peringatan terhadap penggunaan obat yang salah, bahaya penyalahgunaan obat, dan sebagainya. d. Apoteker wajib membina hubungan professional yang baik dengan para dokter dengan memberikan informasi obat atau nasehat jika diperlukan. Seperti indikasi, keberadaan, farmakologi, farmakokinetik, reaksi yang merugikan, dosis umum, hal yang perlu didistribusikan pada penderita. e. Apoteker wajib mempelajari tiap resep yang masuk ke apoteker dan jika perlu dapat memberi informasi dan atau saran kepada dokter penulis resep tersebut, untuk kepentingan penderita. f. Apoteker wajib mengambil bagian dalam kampanyenya baik tingkat lokal maupun tingkat nasional terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan obat, seperti kerasionalan penggunaan obat, penyalahgunaan obat, penyalahgunaan alkohol dan pencegahan keracunan tentang hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan lain seperti, penyakit diare, penyakit paru, lepra, penyakit hubungan seksual seperti sifilis serta AIDS, keluarga berencana, pencegahan penyakit malaria seperti imunisasi, pencegahan penyakit malaria dan penyakit kebutaan dan sebagainya. g. Pelayanan kefarmasian untuk rumah Wredha perlu dilakukan. Pelayanan ini akan bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk yang berusia lanjut. Pelayanan itu antara lain memberikan konseling pada masyarakat yang berusia lanjut dan yang tidak dapat atau sulit datang ke apotek. h. Apoteker dapat mengadakan survai atau penelitian sosial yang berhubungan dengan pengobatan. Misalnya pemantauan penggunaan obat, menganalisis resep untuk memantau reaksi yang membahayakan, pemantauan hasil dan sebagainya.