BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

P U T U S A N. Nomor :102/PID.SUS/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

P U T U S A N. Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN TINGGI MEDAN

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 762/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara: 1. Penyidik : s/d ; 2. Perpanjangan Penuntut Umum : s/d ;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

P U T U S A N. Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PENGADILAN TINGGI MEDAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

ALUR PERADILAN PIDANA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

P U T U S A N Nomor : 322/PID/2012/PT-MDN

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

P U T U S A N. Nomor : 475/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Marwan Effendy, 2007:127). Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, 12

1 karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambrenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. b. Pengertian Penuntut Umum Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (KUHAP Pasal 1 butir 6a). Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (KUHAP Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13) Jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi, Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus Jaksa (Bambang Waluyo, 2008:57).

2 c. Wewenang Penuntut Umum Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP mealui Pasal 14, yaitu: 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik Pembantu; 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik; 4. Membuat surat dakwaan; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7. Melakukan penuntutan; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10. Melaksanakan menetapan Hakim. 2. Tinjauan tentang Upaya Banding Putusan yang diambil peradilan tingkat banding adalah putusan tingkat kedua dan tingkat terakhir. Pengadilan Tinggi sebagai institusi peradilan tingkat banding merupakan instansi

3 peradilan tingkat kedua dan terakhir. Secara institusional, putusan tingkat terakhir peradilan adalah wewenang peradilan tingkat banding, sedang Mahkamah Agung adalah instansi peradilan kasasi terhadap putusan tingkat terakhir dari instansi peradilan yang lain (M. Yahya Harahap, 2010:449) Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Upaya banding yang secara formal dibenarkan undangundang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yang ditentukan Pasal 67 Jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Menurut M. Yahya Harahap (2012: 453) bahwa alasan permintaan banding dapat diperinci sebagai berikut: (1) Dapat Dikemukakan Pemohon Secara Umum ; (2) Dapat Dikemukakan Secara Terperinci ; (3) Permintaan Banding Dapat Ditujukan Terhadap Hal Tertentu. Selain itu permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, antara lain (M. Yahya Harahap, 2012: 453-455): (1) Putusan menjadi mentah kembali; (2) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding; (3) Putusan yang dibanding tidak mempunyai daya eksekusi.

4 3. Tinjauan Tentang Putusan a. Pengertian Putusan Pengertian putusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap (2012:347) putusan adalah hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebagaimana penjelasan di atas, putusan merupakan hasil permusyawaratan Majelis Hakim, adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh Majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya musyawarah yang dilakukan Majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang menjelaskan bahwa musyawarah diawali dengan Hakim Ketua Majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya keputusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;

5 2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah yang didakwakan terhadap Terdakwa di persidangan oleh Penuntut Umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, profesional, dan bertanggung jawab serta harus independen tidak terpengaruh dari pihak manapun. Selain mengenai substansi isi materi dalam putusan, Hakim juga harus berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak melanggar aturan mengenai tentang tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Syarat Formil Putusan Dalam KUHAP diatur mengenai syarat suatu putusan agar sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara pidana adalah: 1) Memuat hal-hal yang diperintahkan oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal

6 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai l KUHAP mengatur mengenai hal-hal yang harus diperhatikan agar putusan tidak batal demi hukum yaitu (M. Yahya Harahap, 2012: 359-370): a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Hukum ditegakkan bukan atas nama hukum atau penguasa, tetapi atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berkaitan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu keadilan berdasarkan ketuhanan. b) Identitas Terdakwa Dalam putusan harus diuraikan identitas terdakwa secara jelas dan terang guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili. Identitas terdakwa ini meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan Penuntut Umum Pasal 197 ayat (1) huruf c mengatur bahwa putusan memuat keseluruhan isi surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa

7 Fakta dan keadaan harus diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta atau keadaan yang memberatkan atau meringankan terdakwa harus jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Kesimpulan tuntutan pidana atau rekuisitor Penuntut Umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan. Dasar-dasar hukum alasan kesimpulan tuntutan pidana diuraikan serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta alat pembuktian. f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal Pasal 197 ayat (1) huruf g mengatur bahwa putusan pengadilan negeri harus memuat tanggal hari musyawarah dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan. h) Pernyataan kesalahan Terdakwa Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan

8 tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Penjelasan tentang surat palsu Jika dalam persidangan ditemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalsuan itu dijelaskan dalam putusan, dimana letaknya kepalsuan itu. k) Perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus dan nama panitera. Apabila dalam suatu putusan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini tidak dipenuhi maka mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) yang berbunyi Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Betapa besarnya dampak yang ditimbulkan apabila suatu putusan tidak memuat ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l KUHAP sehingga putusan yang dilahirkan tidak mempunyai kekuatan hukum dan daya eksekusi, yang mengakibatkan keadaan Terdakwa kembali seperti semula seperti sebelum didakwa.

9 c. Bentuk-bentuk Putusan Ada bermacam-macam bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan bentuk-bentuk putusan bisa saja dipengaruhi oleh penilaian Hakim terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Putusan bebas, berarti Terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal. Pengertian Terdakwa diputus bebas, Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Jika ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas adalah putusan yang tidak memenuhi asas pembuktian menurut undangundang secara negatif dan tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. 2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

10 Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti secara sah menurut segi pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang didakwakan tersebut bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan terdapat keadaankeadaan yang istimewa yang menyebabkan Terdakwa tidak dapat dihukum, misalnya dikarenakan adanya alasan pemaaf sebagaimana terdapat dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP (Leden Marpaung, 2011: 135). 3) Putusan Pemidanaan Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan adalah Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 354). Putusan ini dijatuhkan karena berdasarkan pembuktian di persidangan dengan didukung dengan sedikitnya dua alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, ternyata dapat diketahui bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Sehingga hal tersebut

11 memberikan keyakinan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara bahwa Terdakwalah pelaku tindak pidana. 4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan Penuntut Umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: 357-358). 5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Menurut Leden Marpaung (2011: 134) putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena terdapat beberapa alasan, yaitu: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik pengaduan); b) Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).

12 6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang bunyinya Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal, apabila Penuntut Umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 359). 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu strafbaarfeit, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. Straf berarti pidana, baar berarti dapat atau boleh, feit adalah pebuatan (Adami Chazawi, 2002; 69). Menjelaskan bahwa Tindak Pidana/strafbaarfeit adalah Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan lainnya,

13 terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 72). Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum Sedangkan syarat-syarat dari Tindak Pidana Tersebut adalah dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik Dapat dipertanggung jawabkannya pelaku atas perbuatannya Tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997;187). Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50). Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhuungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi: a. Kesengajaan

14 b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c. Ada atau tidaknya perencanaan d. Adanya perasaan takut. 2) Unsur Objektif Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi: 3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku 5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) (Dharana Lastarya, 2006:15). Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang

15 bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Erwin Mappaseng, 2002:2). Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut (Erwin Mappaseng, 2002:3): a. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (contoh: heroin/putaw, kokain, ganja). b. Narkotika Golongan II Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh, morfin, petidin). c. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh: Kodein) Berdasarkan pasal Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.

16 Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di antaranya sebagai berikut : Narkotika : Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melibihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanan denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

17 Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

18 Selanjutnya dalam ketentuan pidana Pasal 127 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa : (1) Setiap Penyalahguna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.

19 B. Kerangka Pemikiran Perkara Tindak Pidana Narkotika Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Yogyakarta Putusan Putusan Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana Narkotika Upaya Hukum Banding Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding - Dikabulkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran

20 Penjelasan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran di atas, menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK). Bahwa terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika ini pada Pengadilan Negeri Yogyakarta diputus Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian Penuntut Umum mengajukan permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta karena merasa belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menjelaskan hal-hal yang menjadi alasan pengajuan upaya hukum banding. Oleh karena alasan yang telah diajukan, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki, Menyimpan, Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan alasan yang diuraikan oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta mengabulkan permintaan Banding dan membatalkan putusan sebelumnya dalam perkara ini. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menyatakan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang telah Penuntut Umum ajukan dalam memori Banding. Sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

21 Dari perbedaan putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa antara Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta maka diketahui adanya argumentasi hukum Penuntut Umum yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Selain itu juga terdapat implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana Narkotika sehingga penulis memandang perlu adanya suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK.

22