BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular seperti Malaria, TB, Kusta dan sebagainya. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Berdasarkan laporan WHO jumlah penderita baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 kasus. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (1 60.132) diikuti regional Amerika ( 36.832), regional Afrika (12.673) dan sisanya berada di regional lain di dunia. Indonesia merupakan negara nomor 3 di dunia dengan kasus kusta terbesar setelah India dan Brazil sebesar 20.032 kasus baru (Kemenkes, 2012) Pada tahun 1991 World Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000. Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000, namun demikian berdasarkan data yang dilaporkan jumlah penderita baru sampai saat ini tidak menunjukan adanya penurunan yang bermakna. Kondisi ini juga terjadi negara-negara lain di dunia, sehingga pada tahun 2006 ILEP/WHO mengeluarkan Strategi Global atau Enhanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015) untuk menurunkan beban penyakit dan kesinambungan program pengendalian penyakit kusta (Kemenkes RI, 2012). 1
2 140000 120000 100000 80000 Elimination 60000 Dapsone monotherapy MDT era 40000 20000 0 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 tw 1 2013 Prevalens Kasus Baru Sumber : Subdit Kusta dan Frambusia Dit.PPML Ditjen PP & PL (2013) Gambar 1. Prevalensi dan Kasus Baru Kusta Indonesia tahun 1970-2013 Static Focal-point nasional dalam pengendalian kusta di Indonesia adalah Sub Direktorat Kusta dan Frambusia Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Kebijakan nasional dan strategi pengendalian kusta di Indonesia adalah: 1. Di daerah endemik tinggi ( PR > 1/10.000 penduduk) dibutuhkan akselerasi kegiatan dengan perencanaan pelayanan kesehatan terpadu, penyuluhan yang intensif, penemuan penderita secara aktif, ada petugas penanggung jawab program khusus dan pengembangan kemitraan yang intensif. 2. Di daerah endemik rendah ( PR < 1/10.000 penduduk) dengan penemuan penderita baru ( CDR) > 5/100.000 penduduk, semua puskesmas akan meneruskan pelayanan kepada penderita kusta, komitmen politis harus ditingkatkan untuk memelihara pelayanan rutin dengan perhatian khusus di daerah fokus.
3 3. Di daerah endemik rendah ( PR <10.000 penduduk) dengan penemuan penderita baru (CDR) < 5/100.000 penduduk, pelayanan penderita kusta diberikan oleh 1 3 puskesmas per kabupaten. Puskesmas lainnya medeteksi suspek dan merujuk. Setiap tahunnya melalui Subdit kusta dan Frambusia Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PPML) mengeluarkan buku Pedoman Nasional Pengendalian Kusta, buku tersebut merupakan panduan petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan pengendalian kusta di propinsi yang disesuaikan dengan berkembangnya keadaan atau kondisi kesehatan yang terjadi di daerah. Dari hasil pelaksanaan bimbingan teknis serta monitoring dan evaluasi program ditemukan sering terlambatnya penemuan kasus kusta sedini mungkin, akses layanan yang belum merata, stigma diskriminasi dan pengetahuan yang rendah serta koordinasi dan sinkronisasi antara pusat dan daerah yang masih rendah dalam pelaksanaan program kusta. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian indikator nasional angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk pada tahun 2011 dengan target < 5 namun baru mencapai 8,03, sementara pada tahun 2012 dengan target < 5 mencapai 5,03. Pencapaian indikator angka kecacatan tingkat dua kusta pada tahun 2011 target 0,9 per 100.000 namun baru mencapai 0,83, pada tahun 2012 target 0,8 mencapai 0,87. Pencapaian indicator setiap tahun belum memenuhi harapan karena masih di bawah target Rencana Strategi (Renstra) Kementerian Kesehatan /Rencana Aksi Program (RAP) Ditjen PP dan PL/Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat PPML (Kemenkes RI, 2012). Data Kemenkes RI menunjukan bahwa anggaran tahun 2013, dana kegiatan program kusta bersumber dari APBN, WHO dan NLR adalah sebesar Rp.3,4 milyar. Dana tersebut sebagian besar dipergunakan di wilayah kantong-kantong endemik kusta seperti Jawa, NTT dan Papua dengan komponen pembiyaan meliputi pelatihan petugas kusta, monitoring dan evaluasi, intensifikasi penemuan kasus kusta, aktivitas pendistribusian MDT kusta, biaya pengiriman, administrasi dan manajemen, dan lain-lain. Upaya untuk mendukung peningkatan capaian indikator program kesehatan di daerah, Pemerintah melalui undang-undang No. 22 Tahun 1999 dengan
4 amandemennya UU No.32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun tahun 2007 telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk melaksanaan pembangunan di kabupaten/kota. Pada sektor kesehatan terjadi pelimpahan dari Kementerian Kesehatan kepada Dinas Kesehatan propinsi dan kabupaten/kota yang berakibat pada perubahan struktur, fungsi dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, menuntut perubahan peran dan tanggung jawab yang baru dari organisasi kesehatan di daerah. Proses desentralisasi pelayanan kesehatan merupakan masalah yang kompleks, tidak menyangkut transfer dan rotasi personil tetapi kompetensi, administrasi dan pembiayaan, serta seluruh aspek yang berhubungan dengan pelayanan mulai dari pelayanan penggerakan pelaksanaan dan evaluasi. Proses desentralisasi peran pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai otoritas yang kuat, sangat menentukan implementasi dari struktur manajemen, jabatan dan pembiayaan. Hal ini akan membawa konsekuensi pada program-program sesuai dengan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat dan berpengaruh terhadap hasil yang akan dicapai. Pelaksanaan pembangunan di daerah memerlukan strategi serta keterpaduan dari berbagai pihak yaitu memadukan perencanaan, penggerakkan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kegiatan. Selama pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tahun 2000-2007, dalam situasi yang tidak siap tersebut terjadi dampak-dampak negatif desentralisasi muncul seperti yang dialami di berbagai negara antara lain, kegagalan sistem, kekurangan koordinasi, sumber daya yang tidak cukup, jenjang karier Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak baik, sampai pengaruh politik yang menjadi terlalu besar (Trisnantoro, 2009). Kabupaten Subang mempunyai luas wilayah 2.051.76 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 1.521.063 orang dengan jumlah puskesmas sebanyak 40 buah yang tersebar di 30 kecamatan. Penyakit kusta di Jawa Barat khususnya di Kabupaten Subang merupakan masalah kesehatan di masyarakat, dimana new case detection rate diantara 5/100.000 penduduk. Penyakit kusta
5 masih menimbulkan keresahan bagi individu dan masyarakat. Angka prevalensi (angka kesakitan) mengalami penurunan < 1/10.000 penduduk dengan penemuan kasus penderita baru diantara 100.000 penduduk New NCDR mengalami fluktuasi setiap tahunnya, pada tahun 2008 13,2/100.000 penduduk, pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 8,5/100.000 penduduk, sedangkan pada tahun 2010 naik menjadi 10,3/100.000 penduduk, dan pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 9,85/100.000 penduduk, namun pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 10,9/100.000 penduduk. Pada tahun 2012 kegiatan penemuan secara aktif yang mendapat dukungan dana dari Nedherlan Leprosy Relief (NLR) dilakukan seperti pemeriksaan kontak di 8 wilayah kerja puskesmas. Dari 25 kasus indeks, diperiksa 486 kontak. Hasil pemeriksaan tersebut adalah hasil positif kusta tipe kusta kering/pausi Basiler (PB) : 1 orang dan kusta basah/multi Basiler (MB) : 3 orang, semuanya adalah orang dewasa dengan cacat tingkat 0 : 2 orang, cacat tingkat 1 : 1 orang dan cacat tingkat 2 : 1 orang. Proporsi cacat tingkat 2 pada kasus baru yang ditemukan dari hasil kegiatan survey kontak adalah 25%. NCDR yang terus meningkat juga dipengaruhi oleh tingginya sumber penularan dalam hal ini masih tingginya proporsi MB pada penderita baru setiap tahunnya yaitu, pada tahun 2008 proporsi MB pada kasus baru 84,4%, Proporsi MB pada kasus baru mengalami penurunan menjadi 75,9% pada tahun 2009 dan kembali meningkat menjadi 77% pada tahun 2010, pada tahun 2011 kembali naik menjadi 85%, pada tahun 2012 proporsi MB kasus baru turun menjadi 82,82% hal ini tetap menggambarkan bahwa 2-5 sampai 10 tahun kemudian akan terjadi ledakan penemuan kasus kembali, mengingat tingginya proporsi MB dan tingginya penularan penyakit kusta pada anak dibawah umur 15 tahun yaitu diatas 5% pertahunnya ini berarti penemuan penderita secara dini tetap harus dilaksanakan guna memutus mata rantai penularan penyakit kusta dan mencegah cacat pada penderita kusta. Dapat dilihat bahwa proporsi cacat tingkat 1 terus meningkat diatas 5% setiap tahunnya pada penderita baru, pada tahun 2008 sebesar 26,3%, pada tahun 2009 mengalami penurun menjadi 13,9%, pada tahun 2010 meningkat menjadi
6 31,5%, namun pada tahun 2011 mengalami penurun menjadi 21,7% dan pada tahun 2012 menurun menjadi 19,6%. Demikian juga dengan proporsi cacat tingkat 2 yang diharapkan dibawah 5%, namun hasilnya cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan 18,3%, pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 8,5%, pada tahun 2010 meningkat menjadi 19,7%, pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadai 10,9%, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 12,3%. Kondisi ini tetap memerlukan kerja keras petugas dilapangan agar penderita dapat ditemukan sedini mungkin sehingga deteksi dini akibat penyakit kusta dapat segera ditangani dan pada akhirnya angka kecacatan dapat diturunkan sampai dibawah 5%. Dan sesuai dengan komitmen global bahwa angka cacat tingkat 2 pada penderita baru menurun 25% pada 2015 dibanding tahun 2012. Pada akhir tahun 2012, Kabupaten Subang merupakan kabupaten dengan urutan ke lima setelah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon untuk kabupaten endemis di wilayah Propinsi Jawa Barat, telah terjadi peningkatan kembali untuk angka prevalensi penyakit kusta dari 0,86/10.000 penduduk pada akhir tahun 2011 menjadi 1/10.000 penduduk pada akhir tahun 2012 dan new case detection rate 9,85/100.000 penduduk pada tahun 2011 menjadi 10,9/100.000 penduduk pada tahun 2011 (Dinkes Subang, 2013). Tabel 1. Sumber : Subdit Kusta dan Frambusia Dit.PPML Ditjen PP & PL (2013) No Kabupaten /Kota Penduduk 2012 Penderita Terdaftar Pada Desember PR/10.00 0 PB MB Total A D A D 1. Kab. Ciamis 1.590.980 1 7-42 50 0,31 2. Kab. Kuningan 1.075.104-7 - 65 72 0,67 3. Kab. Cirebon 2.146.074 5 17 22 250 294 1,37 4. Kab. Majalengka 1.210.982 - - 5 79 84 0,69 5. Kab.Sumedang 1.135.331 - - - 16 16 0,14 6. Kab. Indramayu 1.727.221 11 32 29 269 341 1,97 7. Kab. Subang 1.492.013 3 14 7 122 146 1,00 8. Kab. Purwakarta 885.051 1-2 36 39 0,44 9. Kab. Kerawang 2.208.982 5 14 29 257 305 1,38 10. Kab. Bekasi 2.730.770 7 13 25 241 286 1,05 Sumber : Subdit Kusta dan Frambusia Dit.PPMLDitjen PP & PL (2012) Keterangan : A = Anak, D = Dewasa
7 Penemuan penderita kusta dilakukan secara aktif (aktive case finding) seperti rapid village survey dan kontak survey serta pasif ( pasive case finding) yaitu dilakukan pada pasien yang datang ke puskesmas. Agar penemuan penderita kusta berjalan efektif, perlu adanya koordinasi antara sektor kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, laboratorium kesehatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan sektor non kesehatan seperti: departemen sosial, lembaga swadaya masyarakat (lsm), perusahaan dan masyarakat itu sendiri. Berdasarkan telaah dokumen pada laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang tahun 2012, jumlah kasus kusta di Kabupaten Subang Jawa Barat yang tinggi dan hasil pengamatan peneliti pada laporan tahunan pengelola program kusta ditemukan bahwah: 1), Belum sepenuhnya pemerintah daerah menjalankan komitmen politis ke dalam tindakan 2), Sistem pencatatan dan pelaporan yang belum optimal 3), Minimnya kegiatan supervisi 4), Masih banyak petugas yang belum terlatih 4), Belum adanya keselarasan dalam menjalankan kegiatan program. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di latar belakang, mengenai program pengendalian penyakit kusta, peneliti ingin meneliti kegiatan program kusta dari aspek manajemen dengan fokus koordinasi yang meliputi input, proses dan output koordinasi. Maka masalah peneliti adalah Bagaimanakah proses Koordinasi dalam penemuan kasus kusta di Kabupaten Subang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengevaluasi pelaksanaan koordinasi dalam penemuan kasus kusta dalam rangka program pengendalian kusta di Kabupaten Subang. 2. Tujuan Khusus a. Bagaimana input koordinasi dalam penemuan kasus kusta yang meliputi : tenaga, dana, sarana, logistik dan kebijakan
8 b. Bagaimana proses koordinasi dalam penemuan kasus kusta yang meliputi : komunikasi, kepemimpinan, supervisi, prosedur kerja dan standarisasi ketrampilan c. Bagaimana output koordinasi dalam penemuan kasus kusta yang meliputi : Kecukupan tenaga yang dilatih, persentase penamuan kasus sukarela, kualitas pelayanan dan pengetahuan tentang kusta dan Kesinambungan program. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Bagi pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan, untuk peningkatan koordinasi khususnya bidang kesehatan di Kabupaten Subang. Bagi Institusi Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan untuk pengevaluasian dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengendalian dan surveilens epidemiologi serta kebijakan dalam menerapkan koordinasi yang baik khususnya kegiatan penemuan kasus kusta. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit kusta b. Sebagai bahan kajian dalam menyusun pedoman perencanaan program pemberantasan dan surveilens epidemiologi dalam pengendalian kusta c. Bagi peneliti sendiri merupakan media belajar dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama pendidikan, sehingga dapat memacu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi koordinasi dalam penemuan kasus kusta di Kabupaten Subang, Jawa Barat belum pernah dilakukan, tetapi untuk penelitian
9 yang berhubungan dengan evaluasi program yang pernah dilakukan adalah: Tabel 2. Keaslian Penelitian Peneliti Judul Persamaan Perbedaan Sunantyo Koordinasi Kerja Sektoral Jenis penelitian : Kerangka teori, (2012) Tim Pembina Kota Sehat Kualitatif konsep, Judul dan pada Program Kota Sehat lokasi penelitian Kota Yogyakarta Budiarni (2005) Koordinasi Kegiatan Program TB Paru di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur Jenis penelitian : Kualitatif Kerangka teori, konsep, Judul dan lokasi penelitian Bahri (2009) Evaluasi Program Pencegahan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual HIV/AIDS pada Pekerja Seks di Kota Banjarmasin Jenis penelitian : Kualitatif Variable : Input,Proses, Outcame Kerangka teori Kerangka kosep,judul lokasi penelitian. dan Abas (2010) Evaluasi program karantina dan surveilans epidemiologi faktor risiko pesawat dari luar negeri di KKP kelas II Semarang Jenis penelitian :Kuantitatif Kerangka teori, konsep, Judul dan lokasi penelitian Ardyanto (2011) Evaluasi Program Pengawasan kedatangan kapal dari luar negeri dalam pencegahan factor risiko dalam Public Health Emergencyof International Concern (PHEIC) di KKP Kelas II Ambon Jenis penelitian :Kuantitatif Kerangka teori, konsep, Judul dan lokasi penelitian