Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas) 2) Ibu Nadia (Subdit AIDS, Kemenkes) 3) Ibu Tiara Nisa (Fasilitator SUFA wilayah Jakarta Barat, WHO) 4) Victor (KIOS Atma Jaya, perwakilan komunitas) Moderator: Octavery Kamil Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Saat ini LKB (Layanan Komprehensif Berkesinambungan) menjadi prinsip dasar penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia, yang di dalamnya ada komponenkomponen layanan seperti LASS (Layanan Alat Suntik Steril) dan PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon). Nilai lebih yang dimiliki oleh LKB bukan hanya pada layanan komprehensif yang terintegrasi tapi juga pada kerjasama dan jejaring antar penyedia layanan. LKB dilaksanakan di 504 Kabupaten Kota namun hanya 75 Kab/kota yang didukung oleh dana Global Fund (informasi detail mengenai nama 75 kab/kota dapat ditemukan di slide presentasi Kebijakan Pengendalian HIV dengan penggunaan strategis ARV oleh Ibu Nadia dari Subdit AIDS Kemenkes), sedangkan di luar itu harus mengandalkan dana mandiri dari APBD. Program SUFA adalah bagian dari pelaksanaan LKB yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik terkait akses terhadap terapi ARV karena semua pasien HIV yang datang untuk mengakses layanan kesehatan, terlepas berapapun tingkat CD4 nya dan dengan tingkat kesiapan seperti apapun, pada dasarnya berhak untuk mengikuti terapi ARV. Pelaksanaan program SUFA saat ini sedang diuji coba di 13 kabupaten/kota, salah satunya di Jakarta Barat. Perlu diingat bahwa SUFA bukanlah program baru melainkan lanjutan dari layanan terapi ARV yang sudah berjalan di Indonesia, dengan penambahan beberapa komponen baru dalam layanan, seperti layanan untuk pasangan sero-discordant. Saat ini ada beberapa kelompok yang diprioritaskan untuk menerima ARV, yaitu orang-orang yang berada dalam kelompok risiko tinggi (MARPs), ibu hamil HIV, ko-infeksi TB HIV, ko-infeksi hepatitis, dan pasangan serodiscordant. Diprioritaskan disini maksudnya adalah prioritas untuk menjangkau dan mengikutsertakan kelompok-kelompok tersebut mengikuti terapi ARV. Seperti program lainnya, SUFA tetap harus didukung dengan layanan pencegahan lainnya
seperti akses terhadap kondom. Dijelaskan lebih lanjut bahwa layanan distribusi kondom saat ini sudah dilakukan melalui puskesmas. Salah satu isu penting yang mendapat perhatian dari pelaksanaan SUFA adalah mengenai keterlibatan komunitas. Salah satu aspek di mana komunitas bisa berperan misalnya dalam hal mengkritisi pendanaan program. Meskipun saat ini budget untuk obat ARV sudah diamankan untuk beberapa tahun ke depan namun mengingat dana yang tersedia sangat terbatas, komunitas perlu mengkritisi penggunaan anggaran berlebih untuk hal-hal seperti misalnya perayaan hari AIDS nasional yang cenderung menghabiskan banyak uang. Komunitas menyambut baik program SUFA meskipun dengan catatan untuk memerhatikan beberapa komponen yang masih menjadi kekurangan dalam pelaksanaan, seperti belum terstandarnya ketentuan biaya retribusi di semua layanan, tidak meratanya kesiapan penyedia layanan, dan rendahnya kualitas layanan yang diberikan. Sejauh ini komunitas yang diwakili oleh para staf LSM dan juga aktivis di jaringan sudah mulai dilibatkan dalam rapat-rapat, mereka juga mengawal proses penyusunan SOP program dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program SUFA. Hubungan komunitas dengan para penyedia layanan juga digarisbawahi sebagai salah satu faktor penting yang perlu dibangun untuk memaksimalkan manfaat layanan. Peran komunitas di dalam program dirasa masih sangat kurang baik dari segi porsi maupun arah keterlibatan. Lebih jauh lagi, gerakan kelompok komunitas juga dirasa tidak tersinergi, masih berjalan sesuai dengan kepentingan kelompok masing-masing. Best Practices dan Hambatan Pelaksanaan SUFA di Indonesia Dari uji coba pelaksanaan program SUFA di Jakarta Barat dan 13 kabupaten/kota di Indonesia, berikut adalah beberapa isu penting yang digarisbawahi sebagai faktor penting yang perlu mendapat perhatian untuk mendukung keberhasilan program SUFA di Indonesia. Kesiapan pasien Faktor psikologis, atau lebih tepatnya kesiapan mental pasien untuk memulai terapi ARV muncul dalam diskusi sebagai salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan terapi. Dari hasil uji coba pelaksanaan program di Jakarta Barat ditemukan bahwa penjangkauan terhadap pasien yang HIV positif masih menjadi tantangan tersendiri; masih ada populasi kunci yang sulit untuk dijangkau untuk kemudian dihubungkan dengan layanan yang tersedia.
Mengingat masa berjalannya program masih terlalu pendek, mungkin masih terlalu dini untuk mencoba melihat praktik-praktik terbaik (best practices) dalam pelaksanaan program, namun kemajuan dari apa yang dilakukan bisa dikatakan terlihat sangat menjanjikan. Seperti yang terlihat pada kasus percepatan tes HIV ibu hamil pada Pre-SUFA, dari 609 (Januari -Juni 2013) menjadi 10.840 (Juli - Desember 2013) keterangan lengkap bisa dilihat di slide presentasi Roll-out SUFA di Jakarta Barat oleh Mbak Tiara dari WHO. Kesiapan penyedia layanan Tidak meratanya kesiapan penyedia layanan dirasa sebagai salah satu faktor penghambat pelaksanaan program. Tenaga kesehatan di lapangan yang belum mendapat pelatihan seringkali tidak percaya diri untuk menawarkan tes HIV kepada pasien karena tidak merasa memiliki kapasitas yang cukup untuk memberikan layanan tersebut, mereka juga merasa khawatir pasien akan tersinggung jika ditawarkan untuk tes HIV. Pengembangan kapasitas tenaga kesehatan digarisbawahi sebagai salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas layanan yang dapat mendukung keberhasilan program. Tidak terstandarnya prosedur operasional terkait layanan Dari diskusi yang berlangsung tampak bahwa masih ada kebingungan mengenai aturan yang berlaku terkait pelaksanaan program. Salah satu yang paling sering mendapat perhatian adalah mengenai aturan pembayaran biaya retribusi yang berbeda-beda sehingga ada pasien yang bisa mengakses layanan secara gratis namun ada yang masih harus membayar. Keberadaan peraturan daerah yang masih mengharuskan pasien untuk membayar biaya retribusi disebutkan sebagai salah satu faktor penentu. Diinformasikan juga bahwa saat ini negosiasi internal di Subdit HIV Kemenkes masih terus berlangsung untuk membebaskan pasien HIV dari biaya untuk mengakses layanan ARV di beberapa rumah sakit vertikal seperti RS Sardjito. Pengawasan terhadap kepatuhan minum obat Sudah diketahui secara luas bahwa faktor kepatuhan pasien dalam terapi ARV merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan terapi namun selama ini belum ada sistem monitoring terhadap kepatuhan pasien minum ARV. Pada prakteknya di lapangan, isu terkait pemilihan pengawas minum obat (PMO) bagi pasien menjadi salah satu hambatan; diinformasikan oleh penyedia layanan di puskesmas bahwa pasien seringkali menolak untuk didampingi oleh PMO yang ditunjuk oleh penyedia layanan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi ini adalah pasien khawatir status HIV nya diketahui. Ditekankan oleh salah satu pembicara yang mewakili komunitas bahwa
konsep pendampingan oleh PMO harus dibangun di dalam keluarga pasien sendiri karena mereka adalah sistem dukungan terdekat yang dimiliki pasien. Keberadaan sistem dukungan lain seperti Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) adalah sistem pendukung eksternal yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun dan memperkuat sistem dukungan internal (yang dibangun di dalam keluarga). Oleh sebab itu, komunitas dianggap memegang peranan penting untuk bisa menjalankan fungsi PMO dan manajer kasus namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana praktiknya di lapangan (apa yang menjadi hambatan, faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan, dsb). Sistem monitoring program Pentingnya keberadaan sistem monitoring dan evaluasi program digarisbawahi sebagai komponen krusial untuk mengukur pencapaian program dan melihat kebutuhan yang dapat mendukung keberhasilan program. DItambahkan juga bahwa sistem pencatatan dan pelaporan ARV (misalnya penyebab pasien terlambat ARV, faktor yang mempengaruhi kepatuhan), monitoring dan manajemen untuk pasien yang mangkir yang belum berjalan baik menjadi hambatan untuk mengukur pencapaian pasien dan program secara keseluruhan. Akurasi data estimasi jumlah ODHA dan definisi kelompok berisiko Dalam diskusi juga muncul isu mengenai akurasi data estimasi jumlah ODHA. Selama ini estimasi jumlah ODHA yang digunakan seringkali terlalu tinggi sehingga menjadi permasalahan dalam perencanaan pendanaan GF. Namun dijelaskan lebih lanjut bahwa saat ini pemerintah cukup percaya diri dengan estimasi yang digunakan karena target yang dipasang untuk GF hanya 60% dari estimasi. Selain itu dijelaskan juga bahwa saat ini hanya metode estimasi tersebut yang bisa digunakan karena dibutuhkan dana yang besar untuk mengadakan survei nasional dan dana tersebut lebih baik digunakan untuk membangun layanan. Definisi mengenai kelompok pria berisiko tinggi atau high risk men juga dipertanyakan oleh peserta dan dijelaskan oleh perwakilan subdit AIDS Kemenkes. Saat ini sedang didiskusikan kembali pendefinisian yang lebih akurat untuk menentukan siapa yang bisa dikategorikan ke dalam kelompok ini. Kemitraan LSM (komunitas) dengan penyedia layanan
Dengan prinsip LKB, kerja sama antara komunitas yang diwakili oleh LSM dengan penyedia layanan menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan keberhasilan program penanggulangan HIV. Dari praktik di lapangan terlihat bahwa hubungan ini belum terjalin baik, bahkan ditemukan juga kasus dimana penyedia layanan merasa jera bekerja sama dengan komunitas karena pengalaman tidak menyenangkan dalam hubungan kerja sama sebelumnya. Kemitraan LSM dengan penyedia layanan sebagai tim CST sebenarnya sudah ada, tapi pada praktiknya belum bekerja sebagai mitra yang setara. Etika terkait kerahasiaan status HIV Isu mengenai kerahasiaan status HIV pasien juga menjadi salah satu topik hangat yang dibicarakan terkait dengan kasus tereksposnya salah satu anak yang berstatus HIV positif di PKM Tambora ke media. Namun dijelaskan oleh salah satu staf di PKM Tambora yang hadir bahwa kasus tersebut adalah kesalahpahaman. Muncul juga dalam diskusi bahwa isu kerahasiaan status HIV seringkali menjadi tantangan tersendiri untuk mengakses perawatan. Informasi mengenai status dibutuhkan untuk menentukan perawatan yang dibutuhkan, misalnya pada kasus pasien TB-HIV. Beberapa peserta juga mempertanyakan prosedur dan etika terkait disclosure status HIV untuk kasus anak dalam hubungannya dengan rujukan ke layanan kesehatan dan juga asuransi kesehatan. Salah satu staf Subdit HIV Kemenkes menyatakan bahwa biasanya status HIV memang dicantumkan dalam kode supaya diketahui sejak awal perawatan yang dibutuhkan dan besarnya biaya perawatan yang harus ditanggung. Distribusi dan ketersediaan ARV Mengingat distribusi dan ketersediaan obat ARV masih seringkali menjadi hambatan dalam pelaksanaan program, isu ini adalah salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian. Dijelaskan juga bahwa Indonesia selama ini masih mengimpor ARV dari negara lain dengan alasan harga yang lebih ekonomis dibandingkan dengan jika Indonesia mencoba memproduksi sendiri. Peran komunitas dan upaya koordinasi yang lebih bersinergi Peran aktif komunitas dalam program dirasa masih menyebar, kurang terarah, dan tidak tersinergi. Upaya dan gerakan organisasi berbasis komunitas memerlukan pemimpin yang bisa mengarahkan upaya-upaya ini untuk memperkuat peran komunitas dalam program. KPAP/K sebagai lembaga yang berwenang diharapkan dapat melakukan upaya koordinasi yang lebih nyata antara penanggung jawab program di Kemenkes, para
pemangku kepentingan dan komunitas agar masing-masing dapat berperan sesuai kapasitasnya. Digarisbawahi dalam diskusi bahwa penanggulangan HIV memerlukan upaya yang komprehensif dan tidak dapat mengandalkan Kemenkes sebagai satu-satunya aktor sehingga dukungan pihak lain yang berkepentingan sangat diperlukan.