BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KUALITAS BATUBARA DI PIT J, DAERAH PINANG, SANGATTA, KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian.

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB 1. PENDAHULUAN...

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB II METODE PENELITIAN

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

Bab V Pembahasan. Tesis

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Givandi Aditama*, Henarno Pudjihardjo, Ahmad Syauqi Hidayatillah. Departemen Teknik Geologi UNDIP, Jl. Prof Soedharto, SH.

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR

FASIES PENGENDAPAN BATUBARA SEAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB III DASAR TEORI BATUBARA

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv. SARI...v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI...

BAB II KAJIAN PUSTAKA

STUDI KEHADIRAN NATRIUM DALAM BATUBARA KASUS BATUBARA LATI, BERAU, KALIMANTAN TIMUR TESIS

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH SUNGAI BELINTANG DAN SUNGAI SAI, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH PAINAN, KABUPATEN PAINAN PROPINSI SUMATERA BARAT

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN UMUM

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENGANTAR GENESA BATUBARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1 GEOLOGI REGIONAL

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara yang dianalisis diambil di lapangan untuk Seam JR, BE, E2, ML dan L1, masing-masing seam diambil beberapa lokasi sampel dari inti bor yang mewakili dengan menggunakan metode channel sampling. Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Parameter yang digunakan dalam menginterpretasikan lingkungan pengendapan batubara adalah dengan menggunakan parameter berdasarkan model lingkungan batubara dari Diessel (1986) yaitu nilai TPI (Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index) yang kemudian diplot pada Diagram TPI GI. Penentuan lingkungan pengendapan batubara dengan metode analisis komposisi maseral didasarkan pada konsep bahwa komposisi maseral di dalam suatu lapisan batubara erat kaitannya dengan jenis tumbuhan asal dan kondisi lingkungan pengendapan pada saat pembentukan batubara, atau dengan kata lain adanya perubahan lingkungan pengendapan akan menyebabkan perbedaan tipe maseral batubara, sehingga analisis komposisi maseral dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan batubara (Daranin, 1995). 5.1.1 Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi Fasies dan lingkungan pengendapan batubara salah satunya dapat ditunjukkan dengan diagram pengawetan struktur jaringan (TPI) terhadap derajat gelifikasi (GI). Nilai TPI menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. Nilai GI merupakan perbandingan komponen yang tergelifikasi terhadap komponen yang terfusinitkan (Anggayana dan Widayat, 2007). Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 64

Harga TPI juga dapat menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses pembatubaraan, sementara itu GI berhubungan dengan kontinuitas kondisi gambut di bawah air. Dalam penelitian ini penulis akan melakukan interpretasi lingkungan pengendapan batubara untuk masing-masing seam batubara di daerah penelitian menggunakan parameter TPI dan GI. 5.1.1.1 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam JR Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam JR diperlihatkan pada Tabel 5.1. Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai antara 0,38 1,54. Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah) sehingga struktur jaringan lebih banyak yang terawetkan dengan baik, sedangkan nilai TPI < 1 menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar ph. Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam JR menunjukkan nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit. Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi. Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Nilai TPI GI Seam JR. Seam JR Kode Sampel TPI GI JR-M1 0,52 50,8 JR-M2 0,98 22,3 JR-M3 0,38 68,8 JR-M4 1,33 16,7 JR-M5 1,26 16,0 JR-M6 1,54 10,5 Untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapan batubara Seam JR, nilai TPI dan GI diplot pada Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) yang diperlihatkan pada Gambar 5.1. Dari hasil plot nilai TPI dan GI ini, menunjukkan kisaran lingkungan Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 65

pengendapan lower-upper delta plain. Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada stadium limno-telmatic (titik sampel JR-M1, JR-M2 dan JR-M3), sedangkan lingkungan upper delta plain pada stadium telmatic (titik sampel JR-M4, JR-M5 dan JR-M6). Gambar 5.1 Hasil Plot Nilai TPI GI Seam JR pada Diagram Diessel (1986). Lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI yang relatif tinggi dan didominasi subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta plain menunjukkan nilai GI yang relatif tinggi dan nilai TPI yang rendah serta didominasi maseral yang berasal dari tumbuhan perdu. 5.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam BE Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam BE diperlihatkan pada Tabel 5.2. Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,56 2,32. Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 66

tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah), serta menjadi indikasi bahwa jaringan tumbuhan terawetkan dengan baik, sedangkan nilai TPI < 1 menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar ph. Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam BE menunjukkan nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit. Harga GI ini akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, semakin besar nilai GI mengindikasikan tingkat oksidasi pada lingkungan tersebut semakin kecil. Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Nilai TPI GI Seam BE. Seam BE Kode Sampel TPI GI BE-M1 1,26 9,9 BE-M2 2,32 15,5 BE-M3 1,82 8,2 BE-M4 1,51 26,9 BE-M5 1,03 20,5 BE-M6 0,56 17,7 Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.2 selanjutnya diplot pada Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk batubara Seam BE diperlihatkan pada Gambar 5.2, dari diagram ini menunjukkan bahwa batubara BE terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta plain. Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada stadium marsh (titik BE-M5, BE- M6) yang didominasi maseral dari tumbuhan perdu. Pada lingkungan upper delta plain tersebar pada stadium telmatik (titik BE-M2, BE-M4), fen (BE-M1), dan wet forest swamp (BE-M3). Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 67

Gambar 5.2 Hasil Plot Nilai TPI GI Seam BE pada Diagram Diessel (1986). 5.1.1.3 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam E2 Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam E2 diperlihatkan pada Tabel 5.3. Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,36 1,63. Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah), sedangkan nilai TPI < 1, ini menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar ph dan dalam hal ini dibuktikan dengan tingginya maseral dari tumbuhan perdu dibandingkan dari tumbuhan kayu (sampel E2-M1 dan E2-M5). Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam E2 menunjukkan nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 68

yang menandakan selalu terjaganya kelembaban gambut atu gambut tersebut selalu tergenang air sehingga menghalangi berlangsungnya proses oksidasi. Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Nilai TPI GI Seam E2. Seam E2 Kode Sampel TPI GI E2-M1 0,36 63,6 E2-M2 1,63 14,2 E2-M3 1,40 10,0 E2-M4 1,35 22,8 E2-M5 0,46 78,4 Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.3 selanjutnya diplot pada Diagram Diessel untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk batubara Seam E2 diperlihatkan pada Gambar 5.3, dari diagram ini menunjukkan bahwa batubara E2 terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta plain. Gambar 5.3 Hasil Plot Nilai TPI GI Seam E2 pada Diagram Diessel (1986). Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 69

Pada lingkungan lower delta plain tersebar pada stadium limno-telmatic (sampel E2- M1 dan E2-M5) yang didominasi tumbuhan perdu, sedangkan lingkungan upper delta plain terbentuk pada stadium telmatic (sampel E2-M2 dan E2-M4) dan stadium fen (E2- M3). Lingkungan upper delta plain memiliki nilai TPI yang relatif tinggi serta didominasi oleh subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta plain menunjukkan nilai TPI yang relatif rendah dan GI relatif tinggi serta didominasi subgrup maseral detrovitrinit yang secara langsung masih terpengaruh oleh air laut. 5.1.1.4 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam ML Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam ML diperlihatkan pada Tabel 5.4. Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,83 2,36. Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah), sedangkan pada sampel ML-M2 dan ML-M4 mempunyai nilai TPI < 1, ini menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar ph. Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam ML menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar antara 8,0 17,7. Nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit dan gambut terjaga kelembabannya karena selalu tergenang oleh air. Harga GI berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, semakin besar nilai GI maka oksidasi di lingkungan tersebut rendah. Tabel 5.4 Hasil Perhitungan Nilai TPI GI Seam ML. Seam ML Kode Sampel TPI GI ML-M1 1,88 17,7 ML-M2 0,71 8,0 ML-M3 2,31 8,5 ML-M4 0,83 9,4 ML-M5 1,97 11,8 ML-M6 2,36 9,4 Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 70

Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.4 selanjutnya diplot pada Diagram Diessel untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk batubara Seam ML diperlihatkan pada Gambar 5.4, dari diagram ini menunjukkan bahwa batubara ML terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta plain. Pada lingkungan lower delta plain tersebar pada stadium fen (ML-M2 dan ML-M4) yang didominasi oleh tumbuhan perdu, sedangkan pada lingkungan upper delta plain terbentuk pada stadium telmatic (ML-M1, ML-M3, ML-M5 dan ML-M6). Lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI yang relatif tinggi dan didominasi subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta plain menunjukkan nilai GI yang relatif tinggi dan nilai TPI yang rendah serta didominasi maseral yang berasal dari tumbuhan perdu. Gambar 5.4 Hasil Plot Nilai TPI GI Seam ML pada Diagram Diessel (1986). Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 71

5.1.1.5 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam L1 Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam L1 ditunjukkan pada Tabel 5.5. Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 1,26 2,76. Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuhan kayu yang ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah dan menunjukkan jaringan tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Sedangkan nilai GI batubara Seam L1 menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar antara 6,1 30,3. Nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit. Harga GI berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, semakin besar nilai GI maka oksidasi di lingkungan tersebut rendah. Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Nilai TPI GI Seam L1. Seam L1 Kode Sampel TPI GI L1-M1 1,26 15,6 L1-M2 1,70 19,1 L1-M3 2,10 11,2 L1-M4 2,76 30,3 L1-M5 1,62 6,1 L1-M6 2,76 7,4 Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.5 selanjutnya diplot pada Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk batubara Seam L1 diperlihatkan pada Gambar 5.5, dari diagram ini menunjukkan bahwa batubara L1 terbentuk dalam kisaran lingkungan upper delta plain yang tersebar pada stadium telmatic (L1-M1, L1-M2, L1-M3, L1-M4 dan L1-M6) serta stadium wet forest swamp (L1-M5). Lingkungan upper delta plain memiliki nilai TPI dan GI yang relatif tinggi serta didominasi oleh subgrup maseral telovitrinit. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 72

Gambar 5.5 Hasil Plot Nilai TPI GI Seam L1 pada Diagram Diessel (1986). 5.1.1.6 Lingkungan Pengendapan Batubara Daerah Penelitian Berdasarkan analisis lingkungan pengendapan batubara menggunakan parameter Diagram TPI-GI Diessel (1986), lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian secara umum diinterpretasikan dalam kisaran lingkungan lower delta plain hingga upper delta plain. Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada stadium yang menyebar di limno-telmatic, marsh, dan fen, sedangkan pada lingkungan upper delta plain pada fasies telmatic dan wet forest swamp. Lingkungan pengendapan lower delta plain menunjukkan nilai TPI yang rendah dan nilai GI yang relatif tinggi dengan didominasi oleh sub-grup maseral berupa detrovitrinit, sedangkan lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI dan nilai GI yang relatif tinggi dengan didominasi oleh sub-grup maseral berupa telovitrinit. Pada lingkungan lower delta plain tumbuhan perdu lebih dominan daripada tumbuhan kayu, sehingga menyebabkan nilai TPI yang cenderung rendah, sedangkan pada Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 73

lingkungan pengendapan upper delta plain dicirikan oleh jenis tumbuhan yang bervariasi dengan dominasi oleh tumbuhan kayu, sehingga akan lebih banyak struktur jaringan tumbuhan yang terawetkan (nilai TPI cenderung tinggi). Lingkungan pengendapan batubara di lingkungan telmatic atau terrestrial merupakan lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh insitu, ditunjukkan oleh nilai GI dan TPI yang tinggi. Lingkungan pengendapan batubara di sekitar wet forest swamp ke arah fen, ditunjukkan oleh nilai GI yang sedang dan nilai TPI yang relatif tinggi (> 1), mengindikasikan bahwa lingkungan pengendapan batubara relatif lembab/basah atau selalu tergenang air dengan kondisi tumbuhan pembentuk batubara berkembang dengan baik (increased tree density). Adanya mineral pirit pada conto batubara menandakan bahwa lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga dapat mendukung penafsiran lingkungan pengendapan di lower delta plain yang merupakan lingkungan dengan pengaruh air laut. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut model lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986) tersebut ternyata lapisan-lapisan batubara di daerah penelitian tidak memiliki karakteristik lingkungan pengendapan tertentu yang membedakan antara satu lapisan batubara dengan lapisan batubara lainnya, dengan kata lain lapisan-lapisan batubara tersebut mempunyai lingkungan pengendapan yang relatif sama. Meskipun penentuan lingkungan pengendapan batubara menggunakan model lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986) telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk menafsirkan lingkungan pengendapan batubara di daerah lain, tetapi metode ini hanyalah sebuah interpretasi, sehingga perlu didukung data-data yang lain untuk Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 74

mendukung metode analisis ini. Salah satu data pendukung untuk menentukan lingkungan pengendapan adalah berdasarkan ciri litologi batuan pembawa batubara atau struktur sedimen dalam suatu urutan stratigrafi. Gambar 5.6 merupakan pembandingan antara model lingkungan pengendapan batubara pada lingkungan lower delta plain dari Horne (1986) dengan profil litologi dari salah satu sumur pemboran (R20471), yang menunjukkan kesebandingan litologi penyusunnya sehingga dapat mendukung interpretasi lingkungan pengendapan batubara. Berdasarkan model ini lingkungan lower delta plain disusun atas perulangan litologi berupa (dari bawah ke atas) batubara, batulempung, lapisan tubuh batupasir, batulempung-batulanau, batupasir dan batubara. Gambar 5.6 Kesebandingan Model Lingkungan Lower Delta Plain (Horne, 1986) dengan Profil Litologi Sumur Bor R20471. Berdasarkan litologi di daerah penelitian yang terdiri atas perselingan batupasir dan batulanau / batulempung yang merupakan ciri endapan sedimen lingkungan upper delta plain. Di beberapa titik bor juga ditemukan ciri endapan sedimen lingkungan lower delta plain berupa batulanau dan batulempung yang diselingi oleh batupasir halus. Dari data litologi menunjukkan kisaran lingkungan pengendapan lower-upper delta plain. Dengan demikian data ini dapat mendukung interpretasi lingkungan pengendapan batubara melalui Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 75

metode analisis maseral berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986). Adanya lingkungan pengendapan batubara yang berbeda pada daerah yang sama kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah tersebut. Perubahan lingkungan dari lower delta plain ke upper delta plain bisa disebabkan akibat episode pasang-surut air laut secara bergantian atau proses tektonik berupa pengangkatan atau penurunan di daerah tersebut. Dalam penelitian ini penentuan lingkungan pengendapan batubara melalui analisis komposisi maseral didasarkan pada model lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986), yang telah diaplikasikan di beberapa lapangan batubara, juga telah digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu salah satunya yang dilakukan oleh Anggayana dan Widayat (2007) yang mengeluarkan publikasi hasil penelitian lingkungan pengendapan batubara di daerah Lati, Sub-Cekungan Berau, yang penulis gunakan sebagai bahan perbandingan dalam penafsiran lingkungan pengendapan batubara. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 76

5.2 ANALISIS KUALITAS BATUBARA Kualitas batubara yang akan dianalisis adalah kadar abu (ash), kandungan sulfur (total sulfur), dan nilai kalori (calorific value). Analisis kualitas dilakukan untuk batubara Seam JR, BE, ML dan L1, sedangkan untuk Seam E2 tidak dilakukan analisis karena tidak ada data kualitas untuk batubara Seam E2 di blok utara, sehingga tidak dapat dilakukan pembandingan kualitas. Dalam melakukan analisis kualitas batubara, sampel batubara diambil dari lokasi blok utara dan blok selatan untuk masing-masing seam, kemudian dilakukan analisis proksimat, kandungan sulfur dan nilai kalori. Perbedaan kualitas batubara di daerah penelitian dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan pengendapannya, seperti telah dibahas sebelumnya bahwa lingkungan pengendapan batubara terbentuk pada kisaran lingkungan lower delta plain hingga upper delta plain. 5.2.1 Kualitas Batubara Daerah Penelitian Tabel 5.6 di bawah ini menunjukkan nilai kualitas batubara untuk masing-masing seam batubara di blok utara. Data tersebut diperoleh dari hasil rata-rata nilai kualitas dari beberapa sampel batubara untuk masing-masing seam, yang digunakan untuk pembandingan. Tabel 5.6 Nilai Rata-rata Kualitas Batubara Blok Utara. CV (adb) Seam Ash (adb)% Sulfur (adb)% kcal/kg L1 6.40 1,88 7183,00 ML 6,76 1,92 7105,17 BE 6,35 2,69 6939,50 JR 7,18 2,56 6875,00 Kandungan abu dan sulfur batubara blok utara relatif tinggi. Kadar abu di blok utara mencapai lebih dari 6 %. Untuk kandungan sulfur batubara blok utara termasuk high sulfur, dengan kadar sulfur yang lebih dari 2 %. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 77

Tabel 5.7 Nilai Rata-rata Kualitas Batubara Blok Selatan. Seam Ash (adb)% Sulfur (adb)% CV (adb) kcal/kg L1 1,77 0,49 7562,17 ML 2,59 0,69 7354,00 BE 2,60 0,88 7486,83 JR 1,86 0,39 7299,50 Data kualitas batubara blok selatan ditunjukkan pada Tabel 5.7. Data kualitas ini merupakan hasil rata-rata nilai kualitas dari beberapa sampel batubara untuk masingmasing seam batubara di blok selatan. Kandungan abu batubara blok selatan relatif rendah, dengan kadar abu di bawah 3% dengan kisaran nilai antara 1,77 2,60%. Untuk kadar sulfur juga sangat rendah termasuk low sulfur, karena kandungan sulfur sulfur di blok selatan kurang dari 1%. Gambar 5.7 Grafik Perbandingan Kadar Abu Blok Utara dengan Blok Selatan. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 78

Gambar 5.8 Grafik Perbandingan Kadar Sulfur Blok Utara dan Blok Selatan. Gambar 5.9 Grafik Perbandingan Nilai Kalori Blok Utara dengan Blok Selatan. 5.2.2 Analisis Kualitas Batubara di Pit J Dari keempat seam batubara yang dianalisis dapat disimpulkan beberapa hal yaitu, secara umum untuk kandungan sulfur dalam batubara blok batubara utara tergolong high sulfur, sedangkan batubara blok selatan tergolong low sulfur. Untuk kandungan abu batubara di blok utara cenderung lebih tinggi daripada abu batubara di blok selatan, sedangkan untuk nilai kalori batubara di blok utara memiliki nilai kalori lebih rendah daripada kalori batubara di blok selatan. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 79

5.2.2.1 Analisis Kandungan Abu (Ash) Gambar 5.7 merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan kadar abu batubara rata-rata antara blok utara dengan blok selatan untuk masing-masing seam. Sebaran nilai kadar abu (Ash) batubara Pit J diperlihatkan pada Peta Sebaran Kadar Abu (Lampiran D). Dari data tersebut menunjukkan batubara untuk semua seam JR, BE, ML dan L1 di blok utara memiliki kadar abu yang lebih tinggi daripada batubara blok selatan. Abu batubara (ash) merupakan residu bahan anorganik yang tertinggal atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar. Kandungan abu batubara ini dapat berasal dari material anorganik dari tumbuhan pembentuk batubara itu sendiri atau merupakan material detritus halus yang ikut terendapkan sewaktu batubara terbentuk. Kandungan abu (ash) dapat juga terbentuk setelah batubara diendapkan yang berasal dari material selain batubara yang biasanya merupakan material pengotor yang mengisi cleat batubara. Rekahan atau cleat pada batubara ini terbentuk karena retakan hasil dari gerakan, yang merupakan sisi pemecahan batubara akibat oksidasi atau pelapukan, bisa juga karena gaya struktur geologi yang mengakibatkan tekanan pada batubara tersebut. Adanya variasi kandungan abu dalam batubara salah satunya dapat dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian berada pada kisaran lower upper delta plain. Perbedaan lingkungan pengendapan akan menyebabkan perbedaan suplai material detrital halus yang diendapkan. Menurut Diessel (1992), pada lingkungan lower delta plain akan menghasilkan batubara dengan kandungan abu lebih tinggi daripada kandungan abu batubara dari lingkungan upper delta plain. Pada lingkungan lower delta plain umumnya suplai material detrital halus akan lebih banyak daripada lingkungan upper delta plain. Adanya suplai material detrital halus berupa endapan anorganik, akan ikut terendapkan bersama dengan tumbuhan pembentuk batubara, sehingga batubara yang terbentuk akan mengandung banyak pengotor. Kadar pengotor batubara inilah yang akan menyebabkan tingginya kadar abu batubara sewaktu dibakar nantinya. Sedangkan batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 80

umumnya kadar abunya rendah, sebab pada lingkungan ini suplai material detrital halus tidak sebanyak daripada lingkungan lower delta plain. Batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain, umumnya merupakan batubara yang insitu, dengan kata lain batubara pada lingkungan ini terbentuk dari tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh dan terendapkan di lingkungan yang sama, sehingga tidak mengalami proses transportasi yang berarti. Karena batubara ini tidak mengalami proses transportasi yang berarti maka kemungkinan tidak akan mengalami penambahan material detrital sewaktu proses transportasi, sehingga umumnya batubara di lingkungan upper delta plain akan lebih sedikit mengandung pengotor batubara dan menyebabkan kadar abunya rendah. 5.2.2.2 Analisis Kandungan Sulfur Kandungan sulfur dalam batubara, umumnya disebabkan oleh kehadiran mineral pirit dalam batubara tersebut. Terdapat dua jenis mineral pirit dalam batubara, yaitu mineral pirit epigenetik dan syngenetik. Mineral pirit epigenetik terbentuk sesudah proses pembatubaraan, pirit epigenetik memiliki bentuk kristal umumnya anhedral sampai subhedral dan fambroidal yang umumnya mengisi rekahan cleat atau terlepas dari butir maseral. Mineral syngenetik terbentuk selama proses penggambutan, umumnya berbentuk kristal euhedral sampai subhedral dan tertanam di dalam maseral batubara (Anggayana dan Widayat, 2007). Gambar 5.8 menunjukkan grafik perbandingan kandungan sulfur rata-rata antara blok utara dengan blok selatan. Sebaran nilai kadar sulfur batubara diperlihatkan pada peta sebaran kadar sulfur (Lampiran D). Berdasarkan data tersebut kandungan sulfur untuk Seam JR, BE, ML dan L1 di blok utara cenderung lebih tinggi daripada kandungan sulfur batubara di blok selatan. Batubara blok utara tergolong high sulfur, sedangkan batubara blok selatan tergolong low sulfur. Adanya perbedaan kandungan sulfur untuk lapisan batubara yang sama di daerah penelitian kemungkinan terdapat dua faktor yang mempengaruhinya, yang pertama adalah hubungan struktur geologi daerah penelitian dengan penyebaran sulfur dan yang kedua adalah hubungan lingkungan pengendapan batubara dengan kandungan sulfur. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 81

Hubungan Struktur Geologi dan Penyebaran Sulfur Penyebaran kandungan sulfur dalam batubara dapat dipengaruhi oleh kondisi geologi terutama dikontrol oleh struktur geologi yang berkembang. Struktur geologi yang bekerja pada suatu lapisan batubara akan mempengaruhi penyebaran kadar sulfur terutama dalam bentuk sulfur epigenetik, yaitu sulfur yang terbentuk setelah batubara diendapkan yang merupakan materi pengisi kekar, rekahan atau cleat pada batubara serta bersifat masif berupa mineral pirit. Di daerah penelitian berkembang struktur geologi, yaitu Sesar Naik Villa yang berarah hampir barat-timur di bagian tengah daerah penelitian yang membagi daerah penelitian menjadi blok utara dan blok selatan. Secara umum, diduga setelah batubara diendapkan terjadi proses perlipatan pada lapisan batubara di daerah penelitian. Akibat pengaruh gaya (tegasan) yang masih bekerja atau kondisi cekungan yang kurang stabil, kemudian terjadi pensesaran pada lapisan batubara di daerah penelitian. Proses pensesaran atau perlipatan akan menimbulkan bidang-bidang rekahan pada lapisan batubara atau yang disebut cleat, yang akan terisi mineral-mineral sulfur (mineral pirit epigentik) yang berasal dari sulfur yang terkandung dalam batuan penutup, khususnya batuan penutup yang diendapkan di lingkungan laut. Sulfur yang terkandung dalam batuan penutup dapat bereaksi dengan air tanah. Apabila komposisi kimia air tanah mengandung besi reaktif maka akan bereaksi dengan sulfur dan terjadi presipitasi pirit yang kemudian mengisi rongga cleat batubara, sehingga kandungan sulfur akan meningkat (Suits & Arthur, 2000; op.cit. Anggayana, 2007). Pirit epigenetik terbentuk karena adanya pengaruh lapisan overburden yang membawa material pembentuk pirit ke dalam batubara. Umumnya pirit epigenetik akan banyak pada lapisan batubara bagian atas karena pengaruh overburden dan semakin sedikit dengan bertambahnya kedalaman (Anggayana dan Widayat, 2007). Lapisan overburden tersebut biasanya diendapkan di lingkungan laut yang mengandung banyak mineral pirit. Kontrol struktur geologi pada lapisan batubara di daerah penelitian dalam hal ini dicerminkan oleh kehadiran cleat pada batubara dapat memberikan pengaruh terhadap penyebaran kandungan sulfur dalam batubara khususnya dalam bentuk sulfur epigenetik, namun demikian data yang mendukung kurang. Dari data hasil analisis petrografi batubara Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 82

yang didapatkan penulis, tidak dibedakan antara mineral pirit epigenetik dengan mineral pirit syngenetik, sehingga tidak diketahui tipe mineral pirit yang lebih banyak pada sampel batubara. Apabila mineral pirit epigenetik lebih dominan maka asumsi bahwa kandungan sulfur meningkat setelah batubara diendapkan akibat pengaruh struktur geologi dapat diterima, sedangkan apabila mineral pirit syngenetik lebih dominan maka kandungan sulfur yang tinggi tersebut sudah ada sejak batubara diendapkan. Berdasarkan fakta ini, hubungan struktur geologi daerah penelitian dengan kandungan sulfur tidak signifikan mengontrol variasi kandungan sulfur batubara, sehingga ada kemungkinan lain yang menyebabkan perbedaan penyebaran kandungan sulfur di daerah penelitian yaitu hubungan lingkungan pengendapan dengan kandungan sulfur. Hubungan Lingkungan Pengendapan Batubara dan Kandungan Sulfur Menurut Diessel (1992), batubara yang mempunyai kandungan sulfur tinggi (lebih besar dari 2%) umumnya berasal dari tipe rawa topogenik dengan muka air tinggi dan ph yang tinggi. Tipe rawa tersebut merupakan rawa yang berkembang dalam lingkungan delta yang banyak mengalami invasi air laut, lingkungan yang cocok adalah lingkungan lower delta plain. Sedangkan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah (kurang dari 2%) umumnya berasal dari gambut topogenik dengan muka air tinggi dan ph yang rendah. Tipe rawa ini merupakan rawa yang berkembang di lingkungan terestrial, lingkungan yang cocok adalah lingkungan upper delta plain. Dengan demikian dilihat dari kandungan sulfur maka ada kesesuaian antara hasil interpretasi lingkungan pengendapan batubara daerah penelitian terhadap kriteria yang dinyatakan oleh Diessel (1992) tentang hubungan lingkungan pengendapan dengan kandungan sulfurnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya hasil analisis lingkungan pengendapan batubara berdasarkan Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986), batubara di daerah penelitian diinterpretasikan diendapkan pada kisaran lingkungan lower upper delta plain. Berdasarkan fakta di atas dapat dijelaskan mengenai perbedaan kandungan sulfur di daerah penelitian, kandungan sulfur pada batubara berhubungan dengan lingkungan pengendapannya. Di daerah penelitian diduga terjadi perubahan lingkungan pengendapan dari lingkungan upper delta plain ke lingkungan lower delta plain yang bisa disebabkan Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 83

akibat episode pasang-surut air laut secara bergantian atau proses tektonik berupa pengangkatan atau penurunan di daerah tersebut, akibat perbedaan lingkungan pengendapan ini yang menyebabkan perbedaan kandungan sulfur pada batubara. Lingkungan lower delta plain akan menghasilkan batubara dengan kandungan sulfur yang tinggi, tingginya kandungan sulfur karena lingkungan lower delta plain dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh air laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Sedangkan lingkungan upper delta plain akan menghasilkan batubara dengan kandungan sulfur yang relatif rendah, karena lingkungan ini lebih berkembang di lingkungan terestrial (darat). Batubara dengan kandungan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Dengan demikian kandungan sulfur yang tinggi pada batubara di blok utara dapat disebabkan karena diendapkan di lingkungan lower delta plain, sehingga kadar sulfurnya memang sudah tinggi sejak batubara diendapkan, sedangkan batubara di blok selatan dapat diinterpretasikan diendapkan di lingkungan upper delta plain dengan kadar sulfur yang relatif rendah. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan kandungan sulfur pada batubara di daerah penelitian lebih disebabkan hubungan lingkungan pengendapan batubara dengan kandungan sulfur. Asumsi ini sesuai dengan hasil interpretasi lingkungan pengendapan di daerah penelitian, batubara diendapkan pada lingkungan lower delta plain upper delta plain, perubahan lingkungan pengendapan inilah yang menyebabkan perbedaan kandungan sulfur dalam batubara antara blok utara dengan blok selatan. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 84

5.2.2.3 Analisis Nilai Kalori (Calorific Value) Gambar 5.9 menunjukkan grafik perbandingan antara nilai kalori batubara rata-rata blok utara dengan blok selatan. Sebaran nilai kalori batubara Pit J diperlihatkan pada peta sebaran nilai kalori batubara (Lampiran D). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk semua seam batubara nilai kalori batubara di blok utara cenderung lebih rendah daripada nilai kalori batubara di blok selatan. Penurunan nilai kalori di blok utara ini berhubungan dengan peningkatan kadar abu dan sulfur (high sulfur), yang menyebabkan rendahnya nilai kalori batubara blok utara, karena kadar sulfur dan nilai kalori mempunyai hubungan yang linear, semakin meningkat kadar sulfur, maka nilai kalori akan semakin menurun. Perbedaan lingkungan pengendapan batubara juga akan mempengaruhi tipe tumbuhan asal batubaranya yang juga akan menyebabkan perbedaan nilai kalori batubara yang dihasilkan. Seperti diketahui batubara di daerah penelitian diinterpretasikan diendapkan pada lingkungan lower upper delta plain. Kedua lingkungan ini pasti mempunyai tipe tumbuhan yang berbeda. Untuk lingkungan lower delta plain yang dekat laut umumnya didominasi oleh tumbuhan perdu, sehingga apabila terendapkan membentuk batubara akan menghasilkan batubara dengan kalori yang rendah. Sedangkan pada lingkungan upper delta plain yang lebih dekat ke darat didominasi tumbuhan-tumbuhan kayu yang apabila terendapkan secara insitu membentuk endapan batubara, maka akan lebih cenderung membentuk batubara dengan kalori yang tinggi. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai kalori batubara di daerah penelitian lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan pengendapan batubara. Asumsi ini sesuai dengan hasil interpretasi lingkungan pengendapan di daerah penelitian, Batubara diendapkan pada lingkungan lower delta plain upper delta plain. Batubara yang diendapkan pada lingkungan lower delta plain akan menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang lebih rendah daripada nilai kalori batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain. Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 85