BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan tembakau bertanggungjawab terhadap sebagian besar kematian di seluruh dunia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization (WHO) pada tahun 2011 jumlah perokok laki-laki di

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB I PENDAHULUAN. degeneratif seperti kanker, memperlambat pertumbuhan anak, kanker rahim dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meskipun terdapat larangan untuk merokok di tempat umum, namun perokok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Rokok sudah dikenal manusia sejak tahun sebelum Masehi. Sejak

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan. kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

Bab 1 PENDAHULUAN. Rokok adalah salah satu permasalahan kesehatan terbesar yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

BAB 1 : PENDAHULUAN. kalangan masyarakat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe,

BAB 1 : PENDAHULUAN. tempat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe, kendaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. negara yang perlu dididik untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja nantinya diharapkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 : PENDAHULUAN. karena membunuh 6 juta orang setiap tahunnya (1). Sekitar 21% dari populasi dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. 600 ribu kematian dikarenakaan terpapar asap yang ditimbulkan. Hampir 80%

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian baik bagi perokok dan orang yang ada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

A. Latar Belakang Epidemik tembakau secara luas telah menjadi salah satu ancaman kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat dunia yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Fawzani dan Triratnawati (2005), masalah rokok juga menjadi persoalan

BAB 1 : PENDAHULUAN. menimbulkan banyak kerugian, baik dari segi sosial, ekonomi, kesehatan bahkan

HASIL SURVEI PAPARAN ASAP ROKOK KEPADA PEROKOK PASIF

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menganggap merokok sebuah perilaku yang bisa membuat. ditentukan tidak boleh merokok/ kawasan tanpa rokok.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kehidupan anak sekolah mulai dari SMA, SMP dan bahkan sebagian anak SD sudah

PENGARUH PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK (KTR) DAN DUKUNGAN PENERAPANNYA DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Mycobacterium tuberculosis dan bagaimana infeksi tuberkulosis (TB)

BAB I PENDAHULUAN. upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

Deni Wahyudi Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. dari TCSC (Tobacco Control Support Center) IAKMI (Ikatan Ahli. penyakit tidak menular antara lain kebiasaan merokok.

BAB I PENDAHULUAN. adalah hasil dari non-perokok yang terpapar asap rokok. Hampir 80% dari lebih 1

- 1 - WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DAN KAWASAN TERBATAS MEROKOK

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB 1 PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh asap rokok orang lain (Harbi, 2013). Gerakan anti rokok

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Secara global, penyakit terkait dengan gaya hidup. dikenal sebagai penyakit tidak menular (PTM).

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 5 juta orang mati

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka, apa yang mereka pikirkan tentang

BAB II PENGATURAN MENGENAI KAWASAN TANPA ROKOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

BAB I PENDAHULUAN. tambahan (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009). Masalah utama. yang menjadi semakin tinggi tiap tahunnya.

Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Dampak Rokok bagi Masyarakat

I. PENDAHULUAN. dapat ditemui pada kalangan remaja (Fatimah, 2006). kimia yang akan menimbulkan berbagi penyakit (Partodiharjo, 2008).

Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia. Oleh Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung

WALIKOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peningkatan jumlah perokok di negara berkembang termasuk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rista Mardian,2013

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

KAWASAN TANPA ROKOK (KTR) UNIVERSITAS UDAYANA DIPATUHI ATAU DIABAIKAN?

BAB 1 PENDAHULUAN. walaupun sering ditulis di surat-surat kabar, majalah dan media masa lain yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) bahwa kurang lebih 3

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan tembakau bertanggungjawab terhadap sebagian besar kematian di seluruh dunia. Mackay & Eriksen (2002) menyebutkan bahwa kematian akibat penggunaan tembakau jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan total kematian akibat penyakit AIDS, penggunaan obat-obatan, kecelakaan lalu lintas, pembunuhan maupun bunuh diri. WHO (2012) juga mempertegas tingginya kematian akibat penggunaan tembakau yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Setiap tahunnya, tembakau membunuh sekitar 6 juta orang, baik perokok aktif maupun perokok pasif, dan angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 8 juta orang di tahun 2030 (WHO, 2015). Eriksen et al. (2015) menyebutkan bahwa penggunaan tembakau membunuh 100 juta orang di abad 20 dan jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan total kematian akibat perang dunia I dan perang dunia II. Jika perokok yang ada saat ini tidak berhenti merokok, maka pada abad 21 ini kematian yang terkait dengan penggunaan tembakau diperkirakan sekitar 1 miliar orang. Tingginya angka kematian karena penggunaan tembakau erat kaitannya dengan bahaya penggunaan tembakau yang tidak hanya terbatas pada kanker paruparu, penyakit jantung dan emfisema. Penggunaan tembakau dapat memperparah penyakit tidak menular lainnya, penyakit mental, masalah penyalahgunaan zat serta kerusakan lingkungan dan merongrong pembangunan manusia (Eriksen et al., 2015). Penyakit tidak menular lainnya terkait dengan penggunaan tembakau adalah kardiovaskuler, diabetes dan penyakit paru kronik (WHO, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga menyebutkan bahwa perilaku merokok sangat berpengaruh terhadap berkembangnya penyakit pernafasan kronis, yaitu asma dan penyakit paru obstruksi kronis (Balitbangkes, 2013). Claire et al. (2012) juga menyebutkan bahwa terpapar dengan asap rokok dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner dan kanker paru-paru pada orang dewasa, serta dapat meningkatkan risiko sindrom kematian mendadak pada bayi, infeksi pernafasan akut dan masalah pendengaran pada anak-anak. 1

2 Berbagai penyakit terkait dengan merokok di atas menunjukkan bahwa rokok tidak hanya berbahaya untuk perokok, tetapi juga orang lain yang tidak merokok. Merokok merupakan cara umum penggunaan tembakau di seluruh dunia (CDC Foundation, 2015) yang dilakukan dengan membakar rokok dan atau menghisap asap rokok (Pusat Promkes, 2011). Orang yang merokok, baik secara rutin atau hanya sekedar coba-coba, disebut perokok aktif dan orang yang tidak merokok namun menghirup asap rokok orang lain atau berada dalam 1 ruangan tertutup dengan orang yang sedang merokok disebut perokok pasif (Pusat Promkes, 2011). Perokok pasif perlu mewaspadai dampak kesehatan yang dapat mereka alami, karena pada 6 juta orang yang meninggal akibat penggunaan tembakau, lebih dari 600.000 kematian karena terkena paparan asap rokok (WHO, 2015). Keller et al. (2005) juga menyebutkan bahwa perokok pasif memiliki risiko 24% lebih tinggi untuk terkena kanker paru-paru dibandingkan dengan perokok aktif. Oleh karena itu, dampak perilaku merokok memberikan beban ganda, yaitu untuk perokok (perokok aktif) dan orang lain yang tidak merokok namun terpapar asap rokok (perokok pasif). Masalah rokok sangat membebani Indonesia. Pada tahun 1998, Indonesia termasuk dalam 5 besar negara konsumen rokok tertinggi di dunia dengan konsumsi sebanyak 215 miliar batang rokok (Mackay & Eriksen, 2002). Posisi Indonesia sebagai konsumen rokok tertinggi di dunia tidak mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, bahkan cenderung mengalami peningkatan konsumsi rokok. Hal ini ditunjukkan dengan posisi Indonesia yang menjadi negara konsumen rokok tertinggi ke-4 setelah Cina, Rusia dan Amerika, baik pada tahun 2009 maupun tahun 2014 (Eriksen et al., 2012; Eriksen et al., 2015). Konsumsi rokok di Indonesia perlu diwaspadai, karena pada tahun 2013 konsumsi rokok di Indonesia rata-rata 12,3 batang rokok per orang per hari (Balitbangkes, 2013), sementara di Cina 22 batang rokok per orang per hari (Eriksen et al., 2015). Konsumsi ini sudah mencapai 55,9% konsumsi rokok di Cina yang merupakan negara konsumen rokok nomor 1 dunia. Konsumsi rokok yang besar didukung oleh tingginya jumlah perokok yang ada. Lian & Dorotheo (2014) dalam The ASEAN Tobacco Control Atlas (SEATCA) menyebutkan bahwa wilayah ASEAN menyumbang 10% perokok dunia dan 50,7%

3 perokok tersebut berada di Indonesia. Tingginya jumlah perokok di Indonesia ini didukung oleh data Riskesdas yang menunjukkan peningkatan proporsi perokok dari tahun ke tahun. Data Riskesdas Tahun 2007 menyebutkan bahwa proporsi penduduk umur 15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau di Indonesia sebanyak 34,2%. Angka ini mengalami peningkatan, 34,7% di tahun 2010 menjadi 36,3% di tahun 2013 (Balitbangkes, 2013). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan proporsi perokok dan angkanya selalu di atas angka nasional. Pada tahun 2013, proporsi perokok di NTB menempati urutan ke-7 tertinggi dari 33 provinsi yang ada (Balitbangkes, 2013). Proporsi ini meningkat jauh dibandingkan dengan tahun 2010 ketika Provinsi NTB berada pada urutan ke-22 tertinggi dari 33 provinsi yang ada (Balitbangkes, 2010). Proporsi perokok setiap hari di NTB, yaitu sebesar 26,8%, juga berada di atas angka nasional yang mencapai 24,3% dengan proporsi terbesar di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sebesar 31% (Ristrini dkk., 2013). Melindungi masyarakat dari bahaya produk tembakau menjadi tanggung jawab pemerintah, terutama untuk melindungi masyarakat yang tidak merokok namun terpapar asap rokok. Langkah pencegahan dan pengendalian penggunaan produk tembakau telah dilakukan oleh berbagai pihak. WHO dalam Global Action Plan 2013 2030 for Prevention and Control of Noncommunicable Diseases menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengendalikan penggunaan tembakau adalah dengan membuat peraturan tentang area bebas rokok di semua ruangan, baik di tempat kerja, sarana transportasi, maupun tempat lainnya, yang tertuang dalam konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) (WHO, 2013). Hasil penelitian Sureda et al., (2014) juga menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengurangi perilaku merokok sekaligus untuk melindungi perokok pasif dari paparan asap rokok adalah dengan membuat peraturan tentang kawasan tanpa rokok (KTR). Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115, Pemerintah Indonesia telah mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan KTR di wilayah masing-masing. KTR dimaksud ditetapkan di

4 beberapa tempat, yaitu : (a) fasilitas pelayanan kesehatan, (b) tempat proses belajar mengajar, (c) tempat anak bermain, (d) tempat ibadah, (e) angkutan umum, (f) tempat kerja, serta (g) tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Khusus bagi tempat kerja serta tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok. Adanya peraturan di tingkat pusat tidak serta merta diimplementasikan oleh pemerintahan di bawahnya, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Provinsi NTB baru mengatur KTR dalam bentuk peraturan pada tahun 2014. Peraturan tersebut berupa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTB Nomor 3 Tahun 2014 tentang KTR. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, KSB sebagai penyumbang terbesar jumlah perokok di NTB termasuk dalam 5 kabupaten/kota di Provinsi NTB yang memiliki proporsi terbesar penduduk umur 10 tahun yang tidak setuju dengan adanya KTR (18,9%) (Ristrini dkk., 2013). Hal ini mendukung perilaku merokok yang kerap terlihat di berbagai tempat di KSB. Kebijakan KTR di KSB sangat diperlukan. Hal ini untuk melindungi masyarakat KSB dari bahaya perilaku merokok. Perlindungan potensial yang dapat dilakukan adalah melindungi perokok pasif. Kaufman et al. (2015) menyebutkan bahwa suatu wilayah akan lebih percaya diri dalam melindungi perokok pasif dari paparan asap rokok jika kebijakan/peraturan KTR tersebut dipromosikan dan dipraktikkan langsung oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam rangka menetapkan KTR di berbagai tempat di KSB, perlu diawali dengan penetapan KTR di kantor pemerintah, dalam hal ini komplek perkantoran Pemerintah Daerah (pemda) KSB, yang dikenal dengan nama komplek Kemutar Telu Center (KTC). Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di KTC, pegawai Pemda KSB terlihat bebas merokok di berbagai tempat di lingkungan kantornya dan di ruang kerjanya, baik ruangan tanpa AC maupun ruangan ber-ac. Beberapa kantin kantor juga terlihat menjual rokok yang memudahkan akses para perokok. Pada kegiatan apel pagi yang wajib untuk dihadiri oleh semua pegawai di KTC yang dilaksanakan setiap hari kerja kerap terlihat pegawai yang merokok. Dinas Kesehatan KSB selaku leading sector di bidang kesehatan hingga tahun 2015 hanya memiliki Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Kesehatan terkait

5 dengan KTR di lingkup Dinas Kesehatan yang ditetapkan pada tahun 2011. Kondisi ini memunculkan pertanyaan: bagaimana dengan lingkup lainnya? dan mengapa KSB yang disebut kabupaten fitrah kurang memberi perhatian terhadap perilaku merokok?. Analisis kebijakan perlu dilakukan untuk dapat memahami fenomena ini sesuai dengan yang disebutkan Keleher et al. (2007) bahwa analisis kebijakan adalah proses mencari fakta, logika, interpretasi, posisi politik dan nilai yang ada, fisibilitas dan proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan melibatkan 4 faktor, yaitu: (1) aktor/pelaku penyusun kebijakan, (2) faktor kontekstual yang mempengaruhi kebijakan, (3) proses penyusunan kebijakan dan (4) isi/content kebijakan (Walt & Gilson 1994 cit Buse et al., 2005). Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan: bagaimana peran aktor dalam mempengaruhi suatu isu/masalah menjadi agenda kebijakan dan bagaimana isu tersebut dapat berharga. Aktor merupakan individu atau organisasi yang interest terhadap isu yang ada (Buse et al., 2005) yang dikenal juga dengan istilah stakeholder. Stakeholder adalah seseorang yang bisa membantu, baik untuk mencapai tujuan maupun mencegah terjadinya sesuatu (Honadle & Cooper, 1989 cit Honadle et al., 2000). Pentingnya peran stakeholder juga terlihat dalam tata cara penyusunan kebijakan di pemerintahan. Dalam menyusun kebijakan di pemerintahan, mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Permendagri RI) Nomor 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah. Peraturan kepala daerah atau untuk tingkat kabupaten disebut peraturan bupati memiliki alur penyusunan yang telah ditetapkan. Tim penyusun kebijakan, baik SKPD pemrakarsa maupun pejabat yang ditunjuk, harus berkoordinasi dengan bagian hukum dalam penyusunan naskah kebijakan. Tim penyusun juga harus berkoordinasi dengan SKPD terkait agar isi/cakupan kebijakan tepat, sehingga dapat terimplementasi dengan baik. Setelah itu, tim penyusun mengajukan naskah kebijakan kepada sekretaris daerah. Selanjutnya, sekretaris daerah akan mengajukan kebijakan tersebut kepada kepala daerah atau bupati. Sesuai dengan yang disebutkan dalam Permendagri RI di atas, kebijakan merupakan usulan SKPD pemrakarsa maupun pejabat yang ditunjuk mengacu

6 kepada stakeholder kebijakan. Kebijakan KTR yang hingga saat ini belum ada di KSB menunjukkan stakeholder kebijakan belum menetapkan isu atau masalah perilaku merokok, khususnya perlindungan perokok pasif di komplek perkantoran Pemda KSB menjadi agenda kebijakan. Peran stakeholder sangat diperlukan untuk membuat isu ini menjadi berharga, sehingga bisa menjadi prioritas agenda kebijakan. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Fischer et al.(2007) bahwa suatu isu/masalah menjadi agenda kebijakan merupakan fungsi dari masalah itu sendiri serta keterlibatan aktor di dalamnya. Oleh karena itu, untuk memahami alasan suatu isu/masalah menjadi agenda kebijakan perlu diketahui aktor/stakeholder yang terlibat, persepsi, posisi aktor terhadap masalah yang ada hingga interaksi/jaringan di antara aktor. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa kebijakan KTR belum menjadi prioritas bagi Pemda KSB?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mendeskripsikan karakteristik stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui persepsi stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB tentang perilaku merokok dan KTR. b. Mengetahui kepentingan stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB terkait dengan KTR. c. Mengetahui posisi stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB terhadap KTR. d. Mengetahui interaksi dan jaringan sosial di antara stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB. e. Mengetahui kesiapan stakeholder pembuatan kebijakan KTR di komplek perkantoran Pemda KSB untuk mewujudkan KTR.

7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis a. Bagi Dinas Kesehatan KSB dapat digunakan sebagai masukan dalam mengembangkan program pencegahan dan pengendalian perilaku merokok, khususnya penerapan KTR. b. Bagi petugas kesehatan dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami proses kebijakan kesehatan. c. Bagi masyarakat dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengusulkan suatu isu kebijakan. 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya program promosi kesehatan dan sebagai acuan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan program pengendalian penggunaan tembakau. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain terkait dengan KTR dan menjadi rujukan pada penelitian ini antara lain: 1. Gafar (2011) meneliti evaluasi proses penerapan kebijakan KTR di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KTR telah dilaksanakan dengan baik. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan tersebut adalah keterlibatan semua elemen dalam proses pembuatan hingga penerapan kebijakan. Lahirnya kebijakan KTR karena adanya kepedulian walikota tentang kesehatan masyarakat. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah meneliti KTR. Perbedaannya terletak pada tujuan penelitian, yaitu analisis terhadap kebijakan, jenis dan metode penelitian, yaitu penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, dan subjek penelitian, yaitu kelompok pembuat dan pengambil kebijakan serta kelompok penerima kebijakan di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. 2. Mardhiah (2011) meneliti dukungan stakeholder terhadap KTR di lingkungan Kampus Terpadu Politeknik Kesehatan Kemenkes Nangroe Aceh Darussalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa non perokok lebih mendukung kebijakan

8 KTR di kampus dibandingkan dengan perokok. Peneliti juga menyebutkan bahwa kebijakan dilarang merokok dapat diterapkan sebagai langkah awal dalam menanggulangi masalah rokok dan diharapkan dapat diinisiasi oleh pejabat, dosen dan staf di lingkungan kampus. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah meneliti tentang KTR. Perbedaannya terletak pada tujuan penelitian, yaitu menggambarkan dukungan perokok dan non perokok, jenis dan metode penelitian, yaitu penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, dan subjek penelitian, yaitu mahasiswa, pejabat, dosen dan pemilik warung penjual rokok di Kampus Terpadu Politeknik Kesehatan Kemenkes Nangroe Aceh Darussalam. 3. Azkha (2013) meneliti efektivitas penerapan kebijakan Perda Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh tentang KTR dalam upaya menurunkan perokok aktif di Sumatera Barat tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Padang Panjang peraturan telah berjalan dengan baik karena adanya komitmen dari walikota, DPRD, dinas kesehatan dan dinas terkait lainnya serta adanya pemberdayaan masyarakat. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah meneliti tentang KTR. Perbedaannya terletak pada tujuan penelitian, yaitu mengetahui efektivitas kebijakan KTR dalam upaya menurunkan perokok aktif, jenis dan metode penelitian, yaitu penelitian dengan metode campuran dengan desain explanatory, dan subjek penelitian, yaitu masyarakat untuk kuantitatif dan Dinas Kesehatan, organisasi profesi, tokoh masyarakat dan perokok untuk kualitatif.

9