BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

dokumen-dokumen yang mirip
hal 0 dari 11 halaman

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

PERMOHONAN PUTUSAN SERTA-MERTA ATAS GUGATAN SEWA MENYEWA

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERKEMBANGAN PENGATURAN PUTUSAN SERTA-MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) DARI PENDEKATAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

E K S E K U S I (P E R D A T A)

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA

SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH WARISAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kecamatan yang bersangkutan.

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

P U T U S A N. Nomor : 150/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penerapan Asas Ratio Decidendi Hakim Tentang Penolakan Eksepsi dalam Perkara Cerai Talak Talak

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Heri Hartanto - FH UNS

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

ABSTRAK Latar belakang

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

Transkripsi:

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim atau lazim disebut juga dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang dapat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaikbaiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. 49 Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Adapun yang dimaksud dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu adalah putusan hakim yang tidak diajukan upaya hukum apapun baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Konsekuensi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah sebagai berikut: 50 1. Siapa pun tidak ada yang berhak dan berkuasa untuk mengubahnya, 49 Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 124. 50 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 871.

2. Yang dapat merubahnya, hanya terbatas pemberian grasi dalam perkara pidana, dan melalui peninjauan kembali dalam perkara perdata, 3. Oleh karena itu, setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dan mesti dilaksanakan baik secara sukarela atau dengan paksa melalui eksekusi, dan pelaksanaan atas pemenuhan putusan itu tanpa menghiraukan apakah putusan itu kejam atau tidak menyenangkan. Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) terhadap suatu perkara maka tujuan dari pencari keadilan telah terpenuhi. Hal ini karena melalui putusan pengadilan itu dapatlah diketahui hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berperkara, namun hal itu bukan berarti tujuan akhir dari para pihak yang berperkara tersebut telah selesai terutama bagi pihak yang menang, hal ini disebabkan pihak yang menang tidak mengharapkan kemenangannya itu hanya di atas kertas belaka tetapi harus ada pelaksanaan dari putusan tersebut. 51 Suatu putusan untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap diakui memang sering harus menunggu waktu yang lama kadang-kadang sampai bertahun-tahun. Namun ada sebuah ketentuan yang merupakan penyimpangan dalam hal ini, yaitu terdapat dalam Pasal 180 ayat 1 HIR/ Pasal 191 ayat 1 RBg yaitu ketentuan mengenai putusan yang pelaksanaannya dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada 51 M. Husni, Ilyas Ismail, dan Muzakkir Abubakar, Putusan Serta Merta dan Pelaksanaannya (Suatu penelitian Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh), (http://prodipps.unsyiah.ac.id/jurnalmih/images/jurnal/2.2013/2.2.11.2013/4.29.36.muhammad.husni.p df, diakses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 22.24 WIB), hal. 2.

banding dan kasasi dengan kata lain putusan itu dapat dilaksanakan meskipun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, lembaga ini dikenal dengan Uit Voerbaar Bij Vooraad. Hakim berwenang menjatuhkan putusan akhir yang mengandung amar, memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut, dijalankan atau dilaksanakan lebih dahulu: 52 1. Meskipun putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (res judicita). 2. Bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding. Berdasarkan ketentuan yang digariskan Pasal 180 ayat 1 HIR, Pasal 191 ayat 1 RBg serta Pasal 54 Rv, memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan yang berisi diktum: memerintahkan pelaksaanaan lebih dahulu putusan, meskipun belum memperoleh kekuatan tetap adalah bersifat eksepsional. Penerapan Pasal 180 HIR dimaksud, tidak bersifaf generalisasi, tetapi bersifat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang sangat khusus. Karakter yang memperbolehkan eksekusi atas putusan yang berisi amar dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, merupakan ciri eksepsional yakni pengecualian yang sangat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undangundang. 53 52 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 897. 53 Ibid, hal. 898.

Syarat-syarat dimaksud merupakan pembatasan (restriksi) kebolehan menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad). Pelanggaran atas batas-batas yang digariskan syarat-syarat itu, mengakibatkan putusan mengandung pelanggaran hukum atau melampaui batas wewenang yang diberikan undang-undang kepada hakim, sehingga tindakan hakim itu dapat dikategori tidak profesional (unprofessional conduct). Penerapan Pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1 RBg bersifat fakultatif bukan imperatif, hakim tidak wajib mengabulkan akan tetapi dapat mengabulkan. Kewenangan hakim menjatuhkan putusan serta merta merupakan diskrioner, oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan putusan serta merta, sekalipun persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang secara formil telah terpenuhi, karena apabila putusan serta merta sudah dieksekusi barang sudah diserahkan kepada pemohon eksekusi kemudian ditingkat banding atau kasasi putusan Pengadilan Negeri dibatalkan dan gugatan ditolak akan timbul masalah untuk mengembalikan dalam keadaan semula obyek eksekusi. 54 Dapat dilihat betapa besarnya risiko yang harus dihadapi pengadilan atas pengabulan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu. Maka untuk memperkecil risiko yang dimaksud, Mahkamah Agung telah mengeluarkan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) untuk dijadikan pedoman apabila 54 H. Suwardi, Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta (Uitveorbaar Bij Voorraad), (ptbandung.go.id/uploads/8_paparan%20tuada%20perdata(1).pdf diakses tanggal 30 september 2014, pukul 20.55), hal. 2.

hakim hendak menjatuhkan putusan yang seperti itu. Secara kronologis telah dikeluarkan berturut-turut sebagai berikut: 55 1. SEMA Nomor 13 Tahun 1964 Tentang Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad). SEMA Nomor 13 Tahun 1964 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 10 Juli 1964 yang di dalamnya memuat mengenai penggunaan lembaga putusan serta merta. Isi SEMA Nomor 13 Tahun 1964 adalah menyambung instruksi yang diberikan Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1950 No.348 K/5216/M kepada Pengadilan Negeri-Pengadilan Negeri agar jangan secara mudah memberi putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad), walaupun tergugat mengajukan banding atau melakukan perlawanan. Instruksi ini dihubungkan dengan nasehat dari Ketua Mahkamah Agung dalam beberapa pertemuan dengan para hakim, agar putusan serta merta sedapat mungkin jangan diberikan, apabila terlanjur diberikan jangan dilaksanakan. Oleh karena apabila terhadap putusan tersebut dimintakan banding, maka: a) Apabila suatu perkara dimintakan banding, maka perkara itu menjadi mentah kembali, b) Apabila putusan tersebut terlanjur dilaksanakan untuk kepentingan penggugat, dan kemudian penggugat dikalahkan oleh Pengadilan Tinggi, maka akan ditemui banyak kesulitan-kesulitan untuk mengembalikan dalam keadaan semula. 55 M. Yahya Harahap, Op.cit hal. 899.

Mengingat kenyataannya bahwa Instruksi Mahkamah Agung dan nasehat Ketua Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1950 No.348 K/5216/M tersebut kurang diindahkan, terbukti masih banyak Pengadilan Negeri-Pengadilan Negeri yang memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu bahkan melaksanakan putusan-putusan tersebut walaupun terhadap putusan tersebut dimintakan banding. Maka dari itu, Mahkamah Agung sekali lagi menginstruksikan agar sedapat mungkin jangan memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, atau apabila benar-benar dipandang perlu memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, pelaksanaannya harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Mahkamah Agung. 2. SEMA Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad). SEMA Nomor 5 Tahun 1969 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 2 Juni 1969 yang isinya menegaskan kembali SEMA Nomor 13 Tahun 1964 terkait pelaksanaan putusan serta merta yang harus mendapat persetujuan lebih dulu dari Mahkamah Agung, yaitu: a) Bahwa yang dimaksud dalam SEMA Nomor 13 Tahun 1964 adalah permintaan persetujuan untuk melaksanakan putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad). b) Apabila terhadap putusan serta merta tersebut diajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding, kemudian diajukan permintaan persetujuan untuk dilaksanakan. Mahkamah Agung menyerahkan kepada Pengadilan

Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa, mempertimbangkan dan memutus dapat atau tidaknya permintaan persetujuan pelaksanaan putusan serta merta tersebut dikabulkan. 3. SEMA Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad SEMA Nomor 3 Tahun 1971 diterbitkan oleh Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1971 yang isinya merupakan lanjutan dari yang terdahulu, yang berisi keprihatinan atas sikap para hakim yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang digariskan pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg dalam mengabulkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu, oleh karena itu SEMA ini mempertegas lagi syarat-syarat itu untuk ditaati. 56 4. SEMA Nomor 6 Tahun 1975 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad SEMA Nomor 6 Tahun 1975 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 1 Desember 1975 yang isinya terdapat penggarisan yang lebih tegas, antara lain sebagai berikut: 57 a) Kewenangan menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu berdasar pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg adalah bersifat diskresioner, bukan imperatif sifatnya. b) Oleh karena itu, para hakim tidak menjatuhkan putusan yang demikian meskipun memenuhi syarat-syarat yang digariskan pasal-pasal dimaksud. c) Dalam hal yang sangat eksepsional dapat dikabulkan dengan syarat: 56 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 899. 57 Ibid.

1) Apabila ada conservatoir beslag yang harga barang yang disita tidak mencukupi menutup jumlah gugatan. 2) Meminta jaminan kepada pemohon eksekusi yang seimbang nilainya. d) Pada saat diucapkan, putusan sudah selesai. e) Dalam tempo 2 minggu setelah diucapkan salinan putusan dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi untuk meminta persetujuan eksekusi. 5. SEMA Nomor 3 Tahun 1978 Tentang Uit Voerbaar Bij Vooraad SEMA Nomor 3 Tahun 1978 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 1 April 1978 yang isinya mengingatkan kembali SEMA yang telah diterbitkan sebelumnya, tetapi sekaligus juga berisi penegasan dan penjelasan, yang terpenting diantaranya: 58 a) Menegaskan kembali agar para hakim di seluruh Indonesia tidak menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uit Voerbaar Bij Vooraad), meskipun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg terpenuhi. b) Hanya dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan putusan yang demikian dapat dikabulkan secara eksepsional dengan mengingat syarat-syarat yang tercantum dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1975, yang dikeluarkan pada tanggal 1 Desember 1975. Dalam SEMA ini kembali diperingatkan, dalam rangka pengawasan terhadapa putusan uit voerbaar bij vooraad yang dijatuhkan hakim 58 Ibid, hal. 900.

Pengadilan Negeri maka dalam tempo 2 minggu setelah diucapkan, Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus mengirimkan salinan putusannya kepada Pengadilan Tinggi dan tembusannya kepada Mahkamah Agung. 6. SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) Dan Provisionil SEMA Nomor 3 Tahun 2000 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 21 Juli 2000 yang isinya sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan peradilan sebagaimana menjadi wewenangnya untuk mengatur kembali tentang penggunaan lembaga putusan serta merta. Latar belakang diterbitkannya SEMA Nomor 3 Tahun 2000 adalah bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan pengkajian oleh Mahkamah Agung tentang putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan putusan provisionil yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang diatur dalam Pasal 180 ayat (1) Reglemen Indonesia yang di Perbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara Untuk Luar Jawa - Madura (RBg) telah menemukan fakta-fakta yaitu: 59 a) Putusan serta merta dikabulkan berdasarkan bukti-bukti yang keauntentikannya dibantah oleh pihak tergugat dengan bukti yang juga autentik. b) Hakim tidak cukup mempertimbangkan atau tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas dalam hal mengabulkan petitum tentang putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta merta) dan tuntutan provisionil. 59 Ikhtisar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta dan Provisionil.

c) Hampir terhadap setiap jenis perkara dijatuhkan putusan serta merta oleh hakim, sehingga menyimpang dari ketentuan Pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1 RBg. d) Untuk melaksanakan putusan serta merta dan putusan provisionil, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama meminta persetujuan ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa disertai dokumen surat-surat pendukung. e) Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama tanpa meneliti secara cermat dan sungguh-sungguh faktor-faktor ethos, pathos, logos serta dampak sosialnya mengabulkan permohonan Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama untuk melaksanakan putusan serta merta yang dijatuhkan. f) Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama serta para hakim mengabaikan sikap hati-hati dan tidak mengindahkan SEMA No.16 Tahun 1969, SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 Tahun 1978 dan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan serta Pasal 54 Rv. Sebelum menjatuhkan putusan serta merta dan mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan putusan serta merta. 7. SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil SEMA Nomor 4 Tahun 2001 diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 2001 dan substansinya adalah menegaskan kembali penggunaan lembaga putusan dengan pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij vooraad) yang harus disertai dengan penetapan sebagaimana yang diatur dalam SEMA No.3 Tahun 2000 yaitu: Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama. 60 Provisionil 60 Butir 7 Surat Edara Mahkamah Agung No.3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan

Terhitung sejak diterbitkannya SEMA No. 3 Tahun 2000, maka SEMA No.16 Tahun 1969, SEMA No.3 Tahun 1971, SEMA No.3 tahun 1978 serta SEMA yang terkait dinyatakan tidak berlaku lagi. Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut: 61 1. Surat Edaran bukan Peraturan Per-Undang-Undangan, hal itu dikarenakan Surat Edaran Mahkamah Agung tidak memuat tentang norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak berwenang), dan penetapan. 2. Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. 3. Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. 4. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma. 61 M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Per-Undang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah, (Bandung: Alumni, 1990), hal.8.

5. Surat Edaran merupakan suatu pejabat tertentu kepada bawahannya/orang di bawah binaannya. 6. Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan Surat Edaran. 7. Pejabat Penerbit Surat Edaran tidak memerlukan dasar hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya: a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak. b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan. c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan Per-Undang-Undangan. d. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. 8. Surat Edaran adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia adalah merupakan Surat Edaran yang berupa suatu perintah pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya artinya SEMA merupakan surat perintah Mahkamah Agung terhadap hakim peradilan umum, agama, tata usaha negara dan peradilan militer.

Secara yuridis, keberadaan SEMA Nomor 3 Tahun 2000 merupakan sebuah instrumen hukum yang mengatur mengenai lembaga putusan serta merta, meskipun kekuatan hukumnya hanya mengikat kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2000 tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar, namun berdasarkan substansinya hakim wajib mematuhi isi SEMA tersebut. Substansi bahwa hakim wajib mematuhi isi SEMA tersebut adalah dalam rumusan butir ke-9 bahwa diperintahkan untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, dan akan diambil tindakan apabila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya. B. Pelaksanaan Putusan Serta Merta Pada prinsipnya pelaksanaan putusan serta merta oleh Pengadilan Negeri bertujuan untuk mempermudah dan atau mempercepat proses suatu acara pengadilan dengan catatan tebal apabila telah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh HIR/RBg. Namun dengan lahirnya SEMA yang terkait dengan penjatuhan putusan serta merta menyebabkan fungsi dan tujuan utama diadakannya putusan serta merta menjadi sulit untuk dilaksanakan. Pelaksanaan putusan serta merta pada dasarnya baru dapat dijatuhkan apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54 Rv telah terpenuhi, walaupun diajukan perlawanan atau banding dan kasasi. Selain syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54 Rv tentunya juga harus terpenuhinya syarat secara formal yaitu sebelum menjatuhkan putusan serta merta, hakim wajib mempertimbangkan lebih dahulu gugatan tersebut

telah memenuhi syarat secara formal, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-syarat formil lainnya. Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenuhi syarat formil yang dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Adapun syarat putusan serta merta menurut pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 ayat 1 RBg, dan pasal 54 Rv yang harus dipenuhi terdiri dari: 62 1. Gugatan didasarkan atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik; 2. Didasarkan atas akta dibawah tangan yang diakui atau yang dianggap diakui jika putusan dijatuhkan verstek; 3. Didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Pasal 54 R.V berbunyi : Pelaksanaan terlebih dahulu putusan-putusan, walaupun ada banding atau perlawanan akan diperintahkan: 1. Apabila putusan didasarkan atas akta otentik, 2. Apabila putusan didasarkan atas akta dibawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut digunakan, atau secara sah dianggap diakui, apabila perkara diputuskan secara verstek. Sedangkan berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2000 persyaratan untuk menjatuhkan putusan serta merta adalah sebagai berikut: 63 62 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 902. 63 H. Suwardi, Op.cit, hal. 4.

1. Gugatan didasarkan pada bukti autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti. 2. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. 3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/ lampau atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad tidak baik. 4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap. 5. Dikabulkannya gugatan provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv. 6. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan. 7. Pokok sengketa mengenai bezitsreht. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 tidak merinci perkara sampai dimana, akan tetapi menentukan yang pada pokoknya, untuk melaksanakan putusan serta merta dan putusan provisonil, Ketua Pengadilan Negeri meminta persetujuan ke Pengadilan Tinggi. Dari ketentuan tersebut maka yang berwenang untuk memberikan persetujuan eksekusi putusan serta merta adalah Pengadilan Tinggi sekalipun pemeriksaan perkara sudah sampai di tingkat kasasi. SEMA No. 3 Tahun 2000 ditentukan, setelah putusan serta merta dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri maka selambat-lambatnya 30 hari setelah diucapkan, turunan putusan yang sah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Apabila Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan serta merta dan putusan provisionil dilaksanakan, maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya

dikirim ke Pengadilan Tinggi disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 64 Setelah izin diberikan oleh ketua Pengadilan Tinggi maka sebelum eksekusi dilaksanankan harus ada jaminan dari pihak pemohon eksekusi, Ketua Pengadilan Tinggi harus meneliti secara cermat dan sungguh-sungguh, faktor ethos (kredibilitas sumber atau pembicara di mata para pendengar/pembaca), pathos (penciptaan daya tarik emosional bagi para pendengar/pembaca), logos (penciptaan daya tarik rasional bagi para pendengar/pembaca) serta dampak sosialnya sebelum memberikan persetujuan eksekusi putusan serta merta. Permasalahannya, jika perkara sudah sampai di tingkat kasasi sedangkan putusan serta merta belum dieksekusi, siapa yang berwenang untuk memberikan persetujuan, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan Tinggi. 65 Di dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 Mahkamah Agung memerintahkan agar petunjuk dalam SEMA tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab dan bila ternyata ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung akan mengambil tindakan-tindakan terhadap pejabat yang bersangkutan. Demikian dalam SEMA tersebut terdapat ancaman sanksi administratif bagi Ketua Pengadilan dan Hakim yang melakukan penyimpangan, dalam penerapan lembaga putusan serta merta. SEMA No. 3 Tahun 2000 sebagai petunjuk dan pedoman tambahan bagi hakim yang wajib dipatuhi dalam hal 64 H. Suwardi, Op.cit, hal. 7. 65 Ibid.

mengabulkan tuntutan serta merta agar putusannya tersebut dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan dan merugikan bagi yang berperkara. Jika dibandingkan persyaratan yang ditentukan dalam HIR/RBg dan Rv dengan persyaratan yang ditentukan dalam SEMA, pada dasarnya sama hanya dalam SEMA diperluas dan diperinci. Selain syarat-syarat di atas, sebelum menjatuhkan putusan harus memperhatikan asas ultra petitum yang diatur dalam Pasal 178 ayat 3 HIR. Pengabulan harus bertitik tolak dari petitum gugatan. Jika dalam gugatan ada diajukan petitum yang meminta putusan dapat dijalankan lebih dahulu, baru timbul kewenangan hakim untuk mengabulkan, dalam kategori dapat, bukan wajib mengabulkannya. Jika petitum yang demikian tidak ada, tertutup kewenangan hakim untuk menjatuhkan putusan serta merta. 66 Banyak pihak yang menderita kerugian akibat dari pelaksanaan putusan serta merta yang keliru, terutama pihak tergugat yang mestinya dia berhak mendapat benda yang menjadi sengketa karena ia menang dalam tingkat banding dan kasasi, tetapi kemenangan itu hampa karena benda yang menjadi sengketa telah terlanjur dieksekusi dan diserahkan kepada si penggugat sebagai akibat dari pelaksanaan putusan itu. Kalau keadaan seperti ini telah terjadi, rasanya sulit untuk bisa mengembalikan lagi seperti keadaan semula, kalaupun bisa tetapi memerlukan proses yang sangat sulit dan rumit serta memerlukan tempo yang agak lama. 67 66 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 904. 67 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cetakan ke III, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 119.

Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan Uit Voerbaar Bij Vooraad dalam perkara yang memenuhi ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBg serta Pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini hakim masih dapat menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang tereksekusi ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 2001 tentang Putusan Serta merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta merta dapat dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain. 68 C. Putusan Serta Merta Dalam Hukum Kepailitan Putusan serta merta merupakan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu dan berfungsi untuk membuat suatu proses persidangan menjadi sederhana, cepat dan biaya ringan, singkatnya lembaga uitvoerbaar ini dibuat bertujuan untuk mengefesienkan beracara di pengadilan guna mempermudah pihak yang berperkara agar segera memperoleh haknya. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit mempunyai daya dapat dilaksanakan terlebih dahulu yang sering disebut putusan Uit Voerbaar Bij Vooraad. Putusan serta merta yaitu putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi 68 M. Sofyan Lubis, Putusan Serta Merta Dari Segi Hukum dan Keadilan, http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/putusan-serta-merta-dari-segi-hukum-dan.html di akses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 21.00 WIB.

terlebih dahulu meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). 69 Hal ini dapat dilihat dari Pasal 8 ayat 7 dan Pasal 16 ayat 1 UUK, antara lain: Pasal 8 ayat 1: Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat 6 yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. Pasal 16 ayat 1 : Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Ratio legis dari pemberlakuan putusan pailit secara serta merta adalah bahwa kepailitan pada dasarnya sebagai alat untuk mempercepat likuidasi terhadap hartaharta debitor untuk digunakan sebagai pembayaran utang-utangnya. Demikian pula, kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan harta kekayaan debitor pailit dari eksekusi yang tidak legal dari para kreditor serta menghindari dari perlombaan memperoleh harta kekayaan debitor dimana akan berlaku siapa cepat akan dapat dan kreditor yang datang terlambat tidak akan kebagian harta kekayaan debitor tersebut, dan juga untuk menghindari penguasaan harta kekayaan debitor dari kreditor yang memiliki kekuatan baik kekuatan fisik maupun kekuasaan sehingga kreditor yang lemah tidak kebagian harta kekayaan debitor tersebut. 70 69 Jono, Op.cit, hal 101. 70 M. Hadi Shubhan, Op.cit, hal. 87.

Berbeda dengan hukum acara perdata biasa yang mengatur bahwa putusan bisa dilaksanakan jika sudah berkekuatan hukum tetap, kecuali jika ditetapkan sebaliknya yaitu putusan serta merta (Uit Voerbaar Bij Vooraad), maka putusan dalam kepailitan pada prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. Filosofi yuridis ketentuan ini adalah bahwa oleh karena perkara kepailitan menggunakan proses pembuktian sumir, maka putusan yang ada juga dianggap mudah kemana arahnya disamping bahwa asas beracara kepailitan adalah cepat prosesnya. 71 Dalam putusan hakim tentang kepailitan ada 3 hal yang esensial yaitu: 72 1. Pernyataan bahwa si debitor pailit. 2. Pengangkatan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. 3. Kurator. Dalam perkara kepailitan, yang melaksanakan putusan pailit dalam hal pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta pailit adalah Kurator bukan Ketua Pengadilan dan dalam perkara kepailitan tidak ada yang memimpin eksekusi, sebab UUK hanya menyatakan bahwa dalam melakukan pemberesan dan pengurusan harta pailit, Kurator diawasi oleh Hakim Pengawas. 73 71 Ibid, hal. 126. 72 Rahayu Hartini, Op.cit, hal. 103. 73 Parwoto Wignyosumarto, Peran dan Tugas Hakim Pengawas, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum, Prosiding (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hal. 180

Perlu diketahui bahwa dalam hal debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku kurator. Kurator didampingi oleh Hakim Pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Sedangkan apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan maka tetap sah dan mengikat bagi debitor. 74 Pelaksanaan putusan serta merta mempunyai segi positif dan segi negatifnya. Segi-segi positif dari putusan serta merta, antara lain: 75 1. Dijatuhkan dan dilaksanakan eksekusi putusan serta merta merupakan pelaksanaan dan pengamalan asas peradilan yang bersifat sederhana, cepat dan berbiaya ringan. 2. Putusan serta merta merupakan sarana untuk mempermudah dan memperlancar proses acara jalannya peradilan. Hal ini bertalian dengan segi positif yang pertama, yakni tercapainya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 3. Putusan serta merta merupakan salah satu sarana untuk melindungi kreditor dari sikap debitor yang nakal. 74 M. Hadi Shubhan, Op.cit, hal 163. 75 Jono, Op.cit, hal. 102.

Adapun segi negatifnya, jika putusan serta merta tersebut dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi maka segala tindakan hukum yang telah dijalankan sehubungan dengan putusan tersebut sulit untuk dipulihkan ke keadaan semula. Oleh karena itu, hakim yang ingin memutuskan suatu putusan serta merta, harus memegang prinsip kehati-hatian. 76 76 Ibid.