PERBANDINGAN MUTU FISIK DAN PROFIL DISOLUSI TABLET IBUPROFEN MERK DAGANG DAN GENERIK SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERBANDINGAN AVAILABILITAS IN VITRO TABLET METRONIDAZOL PRODUK GENERIK DAN PRODUK DAGANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

UJI BIOEKIVALENSI IN VITRO PRODUK OBAT BERMEREK DAN GENERIK BERLOGO YANG MEGANDUNG FUROSEMID

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

PERBANDINGAN MUTU TABLET IBUPROFEN GENERIK DAN MEREK DAGANG

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

bahan tambahan yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik sehingga dapat dicetak langsung. Pada pembuatan tablet diperlukan bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

PENGGUNAAN ETIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA

PERBANDINGAN MUTU FISIK TABLET METFORMIN HIDROKLORIDA MERK DAGANG DAN GENERIK

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

REVITALISASI PENGGUNAAN OBAT GENERIK. Nanang Yunarto*

struktur yang hidrofobik dimana pelepasannya melalui beberapa tahapan sehingga dapat mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi (Bushra et al,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1) ketepatan dosis, 2) mudah cara

efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan antiinflamasi lainnya. Dosis ibuprofen sebagai anti-inflamasi mg sehari.

BIOFARMASI Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam pemenuhan kesehatan. Maka diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FORMULASI TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCl DENGAN MATRIKS METOLOSE 90SH : STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

FORMULASI TABLET PARACETAMOL SECARA KEMPA LANGSUNG DENGAN MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI AMILUM UBI JALAR (Ipomea batatas Lamk.) SEBAGAI PENGHANCUR

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB I PENDAHULUAN. Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

PERBANDINGAN SIFAT FISIK TABLET SALUT CIPROFLOXACIN 500 MG MEREK GENERIK DAN MEREK DAGANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERBANDINGAN MUTU FISIK DAN PROFIL DISOLUSI TABLET GRISEOFULVIN MERK DAGANG DAN GENERIK MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UJI KEKERASAN, KEREGASAN, DAN WAKTU HANCUR BEBERAPA TABLET RANITIDIN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Oleh: HENI SUSILOWATI K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menyerupai flubiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. adalah obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

6/2/2013. Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika Unsoed DISOLUSI

BAB I PENDAHULUAN. Pemberian pulveres kepada pasien ini dilakukan dengan cara

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

BAB I PENDAHULUAN. Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek

menyebabkan timbulnya faktor lupa meminum obat yang akhirnya dapat menyebabkan kegagalan dalam efektivitas pengobatan. Permasalahan ini dapat diatasi

FORMULASI SEDIAAN TABLET PARASETAMOL DENGAN PATI BUAH SUKUN (Artocarpus communis) SEBAGAI PENGISI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan pengisi (Ditjen POM, 1995). Tablet dapat dibuat dengan berbagai ukuran,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

PENGGUNAAN METIL SELULOSA SEBAGAI MATRIKS TABLET LEPAS LAMBAT TRAMADOL HCL: STUDI EVALUASI SIFAT FISIK DAN PROFIL DISOLUSINYA SKRIPSI

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA OCH2CHCH2 OCH3. 3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [ ] : Larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform dan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau lebih dengan atau zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat

Transkripsi:

0 PERBANDINGAN MUTU FISIK DAN PROFIL DISOLUSI TABLET IBUPROFEN MERK DAGANG DAN GENERIK SKRIPSI Oleh : ISFILAWATI ZUBAIDAH K 100040173 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2009

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu obat tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat nyata dan berkualitas baik (Sambara, 2007). Saat ini banyak sekali beredar berbagai macam jenis obat baik itu produk generik maupun produk dagang, pada umumnya konsumen lebih suka mengkonsumsi produk bermerk/produk dagang dibanding produk generik, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa obat generik mempunyai mutu lebih rendah daripada produk yang bermerk dagang (Rahayu dkk, 2006). Dokter juga seringkali memberikan resep non generik kepada pasien sebagai pilihan untuk pengobatan, padahal harga produk dagang biasanya lebih mahal dari obat generik, sehingga bagi pasien yang tidak mampu sering membeli setengah obat resep dokter. Hal ini sangat berbahaya, terutama bila obat tersebut adalah suatu antibiotik. Mutu dijadikan dasar acuan untuk menetapkan kebenaran khasiat (efikasi) dan keamanan (safety). Mutu suatu sediaan obat dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas fisik dan kimia dimana sediaan obat (tablet, kapsul dan sediaan lainnya) harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Farmakope (Harianto dkk, 2006), selain itu mutu obat juga ditinjau dari bioavailabilitas (ketersediaan hayati) obat. Obat yang memiliki 1

2 mutu fisik dan profil disolusi yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik karena ketersediaan farmasetik dari obat tersebut tinggi, terutama untuk obatobat dengan klasifikasi biofarmasetik kelas dua. Bioavailabilitas yang berbeda antara produk-produk obat dari zat berkhasiat sama bisa jadi karena perbedaan formula yang digunakan, metode dari produk pabrik pembuat yang digunakan, kerasnya prosedur kontrol kualitas dalam proses pembuatan, dan bahkan metode penanganan, peralatan, pengemasan dan penyimpanan (Ansel dkk, 1999). Maka dari itu kontrol kualitas terhadap obat generik sangat penting untuk membantu kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan. Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesik kuat dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat (Ganiswara, 2007). Industri farmasi telah memproduksi dengan berbagai merk dagang, diantaranya Motrin, Proris, Ifen, Dolofen, dan lain- lain. Dalam Biopharmaceutics Classification System (BCS), ibuprofen termasuk kelas II atau obat dengan kelarutan rendah, tetapi memiliki permeabilitas yang tinggi (Dressman& Buttler, 2001), maka laju pelepasannya merupakan tahap yang paling menentukan absorbsinya. Di Amerika Serikat penggunaan obat generik meningkat 63% pada tahun 1993 setelah FDA menetapkan uji bioequivalensi terhadap zat aktif yang terkandung dalam beberapa obat generik dengan obat pembandingnya (Frank, 1993), sedangkan di Indonesia pada tahun 2001 penggunaanya mencapai 12%, dan di tahun 2007 tinggal 7,23% (Anonim, 2008). Pengujian sifat fisik dan profil

3 disolusi ini dilakukan untuk dapat membuktikan bahwa mutu tablet ibuprofen generik tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan non generik, sehingga dapat mendorong keberhasilan penggunaan Obat Generik Berlogo di pelayanan kesehatan. B. Perumusan Masalah Bagaimana perbedaan mutu fisik dan profil disolusi tablet ibuprofen merk dagang dan generik? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan membandingkan mutu fisik dan profil disolusi tablet Ibuprofen merk dagang dan generik. D. Tinjauan Pustaka 1. Obat generik dan obat bermerk Obat Generik menurut Permenkes No. 089/Menkes/Per/1/1989 adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya, produk obat generiknya disebut Obat Generik Berlogo (OGB), yaitu obat jadi dengan nama generik yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada penandaannya (Sambara, 2007). Obat bermerk dagang (Branded drug) adalah nama sediaan obat yang diberikan oleh pabriknya dan terdaftar di Departemen Kesehatan suatu negara, disebut juga sebagai merk terdaftar. Satu nama generik dapat diproduksi berbagai

4 macam sediaan obat dengan nama dagang yang berlainan (Idris dan Widjajarta, 2006). Produksi obat generik merupakan salah satu upaya penyediaan obat yang bermutu dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Obat generik umumnya memiliki harga yang lebih murah, beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah (Sambara, 2007) : a. Dalam harga obat nama dagang, terdapat komponen biaya promosi yang cukup tinggi mencapai sekitar 50% dari HET (Harga Eceran Tertinggi), sedangkan obat generik tidak dipromosikan. b. Harga obat dengan nama dagang biasanya ditetapkan berdasarkan daya serap pasar dengan memperhitungkan harga kompetitor, sedangkan harga obat generik lebih didasarkan pada biaya kalkulasi nyata. c. Harga obat dengan nama dagang biasanya mengikuti harga price leader dari obat yang sama, sedang obat generik tidak. Penelitian mengenai produk generik dan non generik telah banyak dilakukan, baik memberikan perbedaan bermakna maupun tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Trottet dkk, 2005, menunjukkan bahwa salep acyclovir generik yang mengandung 20% propilenglikol ternyata memiliki perbedaan efektifitas dengan salep acyclovir non generik yang mengandung 40 % propilenglikol (PG). Hal ini mungkin saja terjadi pada sediaan obat lain seperti tablet, kapsul, dll. Penelitian-penelitian tersebut sedikit banyak dapat berpengaruh pada penggunaan obat generik di masyarakat.

5 2. Ketersediaan farmasetik Ketersediaan farmasetik merupakan bagian obat yang dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorbsi, misalnya dari tablet, kapsul, serbuk, suspensi, suppositoria dan sebagainya. Dengan kata lain ketersediaan farmasetik menyatakan kecepatan larut (dan jumlah) dari obat yang tersedia secara in vitro (Tjay dan Rahardja, 2002). Formula baru dari bahan aktif atau bagian terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh Food Drug Administration (FDA). FDA dalam menyetujui produk obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label penggunaan. Selain itu produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi availabilitas dan bila perlu persyaratan ekivalensi untuk semua produk. Untuk produk-produk tertentu availabilitas dapat ditunjukkan secara in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama dengan bioavailabilitas obat. Idealnya disolusi obat in vitro berkorelasi bioavailabilitas in vivo (Shargel dkk, 2005). Banyak penelitian mengenai pharmaceutical availability telah dilakukan dengan tablet sebagai bentuk sediaan yang paling umum. Setelah ditelan tablet akan pecah di lambung dan menjadi granul kecil, yang terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu (gom, gelatin dan sebagainya). Setelah granul-granul ini pecah, zat aktif dibebaskan. Bila daya larutnya cukup besar, zat aktif tersebut akan melarut dalam cairan lambung/usus, tergantung dimana obat pada saat itu

6 berada. Setelah melarut, obat tersedia dan proses resorpsi oleh usus dapat dimulai. Peristiwa inilah yang disebut pharmaceutical availability (Tjay an Rahardja, 2002). Secara skematis, mekanismenya adalah sebagai berikut : pharmaseutical availability Bio availability tablet Pecah,zat aktif terlepas dan larut Absorbsi Distribusi Metabolisme Ekskresi Interaksi dengan reseptor di tempat kerja efek Fase biofarmasi Fase farmakokinetik Fase farmakodinamik Gambar 1. Skema obat dalam bentuk tablet (Tjay dan Rahardja, 2002) Banyak farmakope kini memuat syarat-syarat norma (standard) untuk memeriksa tablet, tidak hanya mengenai kadar zat aktifnya dan kesamaan kadar, melainkan juga mengenai kecepatan pecahnya (dalam cairan lambung buatan dan kecepatan larutnya dalam cairan usus buatan (dissolution rate) (Tjay dan Rahardja, 2002). 3. Pemeriksaan sifat fisik tablet yaitu: Beberapa uji yang dapat digunakan untuk mengetahui sifat fisik tablet a. Keseragaman bobot tablet Keseragaman bobot tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan dengan menimbang secara seksama 20 tablet, menghitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu persatu tidak boleh

7 lebih dari dua tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rataratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A, dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari harga yang ditetapkan kolom B (Anonim, 1979). Seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persyaratan Penyimpangan Bobot Tablet (Anonim, 1979) Penyimpangan bobot rata-rata Bobot rata-rata (%) A B 25 mg atau kurang 15% 30% 26 mg sampai dengan 150 mg 10% 20% 151 mg sampai dengan 300 mg 7,5% 15% lebih dari 300 mg 5% 10% b. Kekerasan tablet Tablet harus mempunyai kekuatan dan kekerasan tertentu serta dapat bertahan berbagai goncangan mekanik pada saat pembuatan, pengepakan dan transportasi. Alat yang biasa digunakan adalah hardness tester (Banker and Anderson, 1986). Tablet yang baik mempunyai kekuatan antara 4-8 kg (Parrott, 1971). Kekerasan tablet berhubungan langsung dengan waktu hancur dan disolusi. Pada umumnya tablet yang keras memiliki waktu hancur yang lama (lebih sukar hancur) dan disolusi yang rendah, namun tidak selamanya demikian. Kekerasan tablet juga berhubungan dengan densitas dan porositas (Sulaiman, 2007). c. Kerapuhan/friabilitas tablet Kerapuhan tablet menunjukkan ketahanan tablet terhadap goncangan selama proses pengangkutan dan penyimpanan. Pengujian kerapuhan dilakukan dengan alat friabilitor. Batas kerapuhan tablet yang masih diterima kurang dari

8 0,8 %. Kerapuhan di atas 0,8 % menunjukkan tablet yang rapuh dan dianggap kurang kuat (Lachman dkk, 1994 dan Voigt, 1984). Uji kerapuhan berhubungan dengan kehilangan bobot akhibat abrasi yang terjadi pada permukaan tablet. Semakin besar harga prosentase kerapuhan, maka semakin besar massa tablet yang hilang. Kerapuhan yang tinggi akan mempengaruhi konsentrasi/kadar zat aktif yang masih terdapat pada tablet (Sulaiman, 2007) d. Waktu hancur tablet Waktu hancur tablet adalah waktu yang dibutuhkan untuk hancurnya tablet dalam media yang sesuai sehingga tidak ada bagian tablet yang tertinggal diatas kassa. Waktu hancur dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia granul dan kekerasan tablet (Banker and Anderson, 1986). Tablet yang akan di uji (sebanyak 6 tablet) dimasukkan dalam tiap tube, ditutup dengan penutup dan dinaik-turunkan keranjang tersebut dalam medium air dengan suhu 37 0 C. Dalam monografi yang lain disebutkan mediumnya merupakan simulasi larutan gastrik (gastric fluid). Waktu hancur dihitung berdasarkan tablet yang paling terakhir hancur (Sulaiman, 2007). Kecuali dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan tablet untuk tablet tidak bersalut tidak lebih dari 15 menit dan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet bersalut gula atau bersalut selaput (Anonim, 1979). Semakin kecil waktu hancur, akan semakin cepat pelepasan bahan berkhasiat sehingga akan lebih cepat memberikan efek. e. Ketebalan dan diameter tablet Ketebalan tablet diperhitungkan terhadap volume dari bahan yang diisikan ke dalam cetakan, garis tengah cetakan dan besarnya tekanan yang dipakai punch

9 untuk menekan bahan isian. Untuk mendapatkan tablet yang seragam tebal perlu pengawasan supaya bahan yang diisikan dan tekanan yang diberikan tetap sama (Ansel dkk, 1999). Ketebalan luar tablet tunggal dapat diukur dengan tepat memakai mikrometer yang dapat memberikan informasi tentang variasi antar tablet. Cara lain dalam mengontrol produksi yaitu dengan meletakkan 5 atau 10 tablet di dalam baki, kemudian ketebalan luar tablet dapat diukur memakai jangka sorong yang melengkung. Ketebalan tablet harus terkontrol sampai perbedaan kurang lebih 5% dari nilai standar, selain itu ketebalan juga harus terkontrol guna memudahkan pengemasannya (Banker and Anderson, 1986). Sedangkan diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1 1 / 3 tebal tablet (anonim, 1979). 4. Disolusi Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat (Shargel dkk., 2005). Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin dkk, 1993). Proses disintegrasi dan disolusi tablet di dalam kondisi in vitro atau in vivo digambarkan oleh Wagner (1971) seperti pada gambar 2 dibawah ini :

10 Tablet disolusi Disintegrasi Granul atau agregat Disolusi Obat dalam larutan (in vivo atau in vitro) absorbsi in vivo Obat dalam darah, cairan tubuh lainnya dan jaringan Deagregasi Partikelpartikel halus disolusi Gambar 2. Proses Disintegrasi dan Disolusi Tablet Dalam Kondisi In Vitro atau In Vivo (Martin dkk, 1993). Disolusi juga merupakan salah satu kontrol kualitas yang sangat penting untuk sediaan farmasi. Disolusi merupakan suatu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen. Sifat disolusi suatu obat berhubungan langsung dengan aktivitas farmakologinya. Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (invitroinvivo-correlation). Sediaan tablet mungkin akan atau mungkin juga tidak mengalami disintegrasi bila berinteraksi dengan cairan gastrointestinal ketika diberikan per oral (Sulaiman, 2007). Kecepatan disolusi dari bahan padat dalam cairan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

11 a. Faktor intrinsik obat (Parrott, 1971, Wagner, 1971). 1) Luas permukaan spesifik partikel 2) Distribusi ukuran partikel 3) Bentuk partikel 4) Polimorfi 5) Bentuk asam, basa, garam b. Faktor lingkungan medium (Parrott, 1971, Wagner, 1971). 1) Temperatur 2) Viskositas cairan 3) Konsentrasi partikel yang terdisolusi 4) Kecepatan mengalirnya cairan 5) Komposisi medium disolusi : ph, kekuatan ionisasi, tegangan permukaan. c. Faktor teknologi Perbedaan metode yang digunakan dalam produksi turut mempengaruhi disolusi obat. Demikian pula pengunaan bahan-bahan tambahan dalam produksi. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan adalah pensuspensi yang akan menurunkan laju disolusi karena kenaikan kekentalan. Contoh lain adalah bahan pelicin yang bersifat hidrofob karena mampu menolak air sehingga menurunkan laju disolusi obat. Studi kecepatan disolusi intrinsik sudah diawali oleh Noyes dan Whitney (Martin dkk, 1993) dengan persamaan : dc/dt = K.S (Cs-C)... (1)

12 Keterangan : dc/dt S K Cs C = Kecepatan disolusi obat = Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi = Tetapan kecepatan disolusi = Larutan bahan obat jenuh = Kadar dalam obat yang terlarut dan cairan medium Bentuk sediaan padat Lapisan difusi lapisan cairan (Cairan stagnan) Larutan bulk Konsentrasi Matriks C X = 0 X = h Gambar 3. Disolusi Obat Dari Suatu Padatan Matriks (Martin dkk, 1993) Laju disolusi dipengaruhi oleh difusi molekul-molekul zat terlarut melalui lapisan difusi ke dalam bahan dari larutan tersebut. Persamaan di atas mengemukakan bahwa laju disolusi dari suatu obat bisa ditingkatkan dengan memperbesar luas permukaan dengan meningkatkan kelarutan obat dalam lapisan dengan faktor-faktor yang diwujudkan dalam konstanta laju disolusi. Tetapan kecepatan disolusi termasuk intensitas pengadukan pelarut dan koefisien difusi dari obat yang melarut (Higuchi, 1963). Berdasarkan hukum Fick I tentang difusi, Brunner dan Nerints menghubungkan kecepatan pelarutan dengan koefisien difusi dalam persamaan :

13 dw/dt = D. S/h (Cs-C)... (2) Ket : dw/dt = Kecepatan larutan D S h Cs C = Koefisien difusi = Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi = Tebal membran = Larutan bahan obat jenuh = Kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium Dari data uji pelarutan dapat diungkapkan antara lain dengan cara (Khan, 1975) : 1). Metode klasik. Dalam metode ini kecepatan pelarutan sediaan dinyatakan dengan jumlah zat aktif terlarut dalam waktu tertentu, misalnya dinyatakan dengan C 60 artinya jumlah zat aktif telah larut dalam waktu 60 menit. 2). Waktu yang diperlukan mencapai persentase tertentu kelarutan obat. Misalnya : T 20%, T 50% adalah untuk melarutkan 20% atau 50% obat dalam cairan pelarut. 3). Metode Dissolution Efficiency Didefinisikan sebagai perbandingan luas daerah dibawah kurva disolusi pada waktu tertentu dengan luas daerah empat persegi panjang yang menggambarkan 100 % zat aktif terlarut pada waktu yang sama. Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan dengan kurva dibawah ini (Khan, 1975) :

14 % zat terlarut Y 100 E D D C I C II t (waktu) A t 1 B t 11 B Gambar 4. Kurva Hubungan % Zat Terlarut Dengan Waktu (kurva disolusi) (Khan, 1975) Luas bidang ABC DE pada waktu t 1 = x 100% Luas bidang ABDE... (3) Luas bidang AB' C' DE pada waktu t 11 = x 100%. (4) Luas bidang AB' D' E Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : DE (%) = t 0 Y.dt Y100. t x 100%. (5) Dimana : DE (%) : Dissolution Efficiency (%) t 0 Y.dt : luas bidang ABC atau luas daerah dibawah kurva disolusi dalam waktu tertentu. Y 100. t : luas bidang ABDE atau AB D E menggambarkan 100% zat aktif terlarut pada waktu yang sama. Dengan metode DE dapat digambarkan seluruh proses disolusi sampai pada waktu tertentu, jadi menggambarkan semua titik pada kurva disolusi. Di samping itu pengungkapan data metode DE identik dengan pengungkapan data percobaan secara in vivo (Khan, 1975).

15 5. Uraian zat aktif CH 3 CHCH 2 CH 3 CHCOOH CH 3 (±) 2-(p-Isobutilfenil) asam propionat [15637-27-1] Gambar 5. Rumus Bangun Ibuprofen (Anonim, 1995) Bobot molekul 206, 28 : rumus umum C 13 H 18 O 12 Pemerian : serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Anonim, 1995). Dalam dosis sekitar 2400 mg sehari, ibuprofen ekivalen dengan 4 gram aspirin dalam hal efek anti inflamasinya. Ibuprofen oral sering diresepkan dengan dosis rendah (< 2400 mg/hari), yang pada dosis ini mempunyai kemanjuran analgetik tetapi bukan anti inflamasi (Katzung, 2002). E. Landasan Teori Mutu obat generik dengan harga yang relatif lebih murah sering disangsikan oleh masyarakat, harga ibuprofen bermerk dagang yang beredar di pasaran berkisar tiga sampai sembilan kali lipat dari obat generik, yakni harga rata-rata ibuprofen generik yang hanya Rp. 150,-/tablet sangat berbeda jauh dengan salah satu produk ibuprofen bermerk yang harganya mencapai Rp. 1250,- /tablet (tahun 2008), untuk itu perlu adanya data laboratorium agar dapat dilihat

16 persamaan dan perbedaannya, terutama dilihat dari mutu fisik dan profil disolusinya. Perbandingan mutu fisik dan disolusi produk generik dan merk dagang dilakukan agar dapat menunjukkan kecepatan pelepasan obat dari tablet dan laju pelepasan yang seragam, serta sifat fisik yang memenuhi standar farmakope yang dipersyaratkan. Obat akan diabsorbsi di dalam tubuh dalam keadaan terlarut, oleh karena itu obat harus dilepaskan terlebih dahulu dari bahan pembawa, kemudian larut dalam cairan tubuh. Pelepasan obat tersebut dapat ditunjukkan dengan proses disolusi. Proses disolusi akan dipengaruhi oleh banyak hal seperti medium disolusi, suhu, dan kecepatan pengadukan. Faktor formulasi juga mempengaruhi proses disolusi seperti penambahan bahan tambahan/eksipien, peralatan yang digunakan, proses pembuatan dan lain-lain. Tetapi meskipun setiap produsen memiliki formulasi yang berbeda-beda tetapi tentunya tetap berpedoman pada CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Beberapa faktor tersebut yang menjadi dasar untuk melakukan penelitian ini, sehingga dapat mengetahui kesetaraan sifat fisik dan profil disolusi tablet ibuprofen merk dagang dan generik. F. Hipotesis Mutu fisik dan profil disolusi sediaan tablet ibuprofen generik tidak memiliki perbedaan bermakna dengan sediaan tablet ibuprofen bermerk dagang.